6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lalu Lintas dan Angkuan Jalan `Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 4 Bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya, yang mana pengertian lalu lintas itu sendiri di atur di dalam UU lalu lintas dan angkutan jalan khusunya Pasal 1 ayat (1). Untuk lalu lintas itu sendiri terbagi atas Laut, darat dan udara. Lalu lintas sendiri merupakan suatu sarana transportasi yang di lalui bermacam-macam jenis kendaraan, baik itu kendaraan bermesin roda dua atau beroda empat pada umumnya dan kendaraan yang tidak bermesin contohnya sepeda, becak dan lain-lain. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah merupakan suatu dasar hukum terhadap 4 Undang-undang No.22 Tahun 2009, Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bab I, Pasal I.
25
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bahwa Lalu Lintas dan …eprints.ung.ac.id/1252/5/2012-2-74201-271408010-bab2... · Sebagai pembanding adalah perlintasan kereta api, dimana pada perlintasan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Lalu Lintas dan Angkuan Jalan
`Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.4 Bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan
sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan,
Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya, yang mana pengertian lalu
lintas itu sendiri di atur di dalam UU lalu lintas dan angkutan jalan khusunya
Pasal 1 ayat (1). Untuk lalu lintas itu sendiri terbagi atas Laut, darat dan
udara. Lalu lintas sendiri merupakan suatu sarana transportasi yang di lalui
bermacam-macam jenis kendaraan, baik itu kendaraan bermesin roda dua
atau beroda empat pada umumnya dan kendaraan yang tidak bermesin contohnya
sepeda, becak dan lain-lain.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi
nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan
keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan
Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan
pengembangan wilayah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan adalah merupakan suatu dasar hukum terhadap
4 Undang-undang No.22 Tahun 2009, Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bab I, Pasal I.
7
pemberlakuan Kegiatan lalu lintas ini, dimana makin lama makin berkembang
dan meningkat sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang
terus meningkat. Kalau ditinjau lebih lanjut tingkah laku lalu lintas ini
ternyata merupakan suatu hasil kerja gabungan antara manusia, kendaraan
dan jaringan jalan.
Lalu Lintas adalah gerak kendraan dan orang diruang lalu lintas jalan.5
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan :
1) Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan angkutan jalan yang aman,
selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Kendaraan Bermotor12 adalah
Setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain
kendaraan yang berjalan diatas rel.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 bahwa kendaraan Bermotor Umum adalah
Setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan
dipungut bayaran.13
2.4. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas
Sedangkan menurut Djajoesman menyatakan bahwa kecelakaan adalah14
kejadian yang tidak disengaja atau tidak disangka-sangka dengan akibat kematian,
luka-luka atau kerusakan benda-benda.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Pasal 1 mengatakan Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu
peristiwa jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan
dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia/atau
kerugian harta benda.
Kecelakaan Lalu lintas merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan
yang melibatkan paling sedikit satu kendaraan bermotor pada suatu ruas jalan dan
mengakibatkan kerugian materil dan bahkan sampai menelan korban jiwa.15
12 Undang-Undang Lalu Lintas No.22 Tahun 2009,Bab I,Pasal I.13Ibid.,14 Umbang.blogspot.com/2012/06/Pengertian-Lalu-lintas.html. Di Akses Pada Tanggal 20/8/2012
20
2.5. Pengertian Perbuatan Pidana
Menurut Moeljatno bahwa Perbuatan Pidana adalah16 perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi siapa, asal dikatakan bahwa perbuatan yang dikatakan
bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum yang
dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan
ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaa atau kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya di tujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu.
Dalam hukum pidana, kedudukan sifat melawan hukum sangat khas.
Umumnya telah terjadi kesepahaman di kalangan para ahli dalam sifat melihat
melawan hukum apabila dihubungkan dengan tindak pidana. Bersifat melawan
hukum apabila dihubungkan dengan pidana.
Menurut Roeslan menyatakan, memidana sesuatu yang tidak bersifat
melawan hukum tidak ada artinya, sementara itu, Andi Zainal Abidin mengatakan,
salah satu unsur ensensial delik ialah sifat melawan hukum (wederrechtelikheid)
dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam hukum suatu pasal Undang-undang
Pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana yang melakukan
dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya tersebut harus
15https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:6p1xsu1n4x4J:digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-13841-3105100017-Presentation. pdf+&hl=id &pid=bl&srcid =ADGEESixMmDQGT921jZyfS5IEVAdTWJdA906tqpL3Eeo5i0BMXgmsIkhu64LVDg59lcV7nlvxINvmBerA64CdI_zqKHpThxYsy_X8wptcn5XUkZeH8zaIJVHhQeJM91QOklBU628HEg9&sig=AHIEtbRrkHwDtSFlkHr01odsswrsnHVcEg di Akses pada Tanggal 14/01/2013
16 Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta.2008, Hlm.59
21
bersifat melawan hukum. Orang yang melakukan suatu perbuatan pidana harus
adanya suatu sifat melawan hukum dan orang yang lelakukan suatu sifat melawan
hukum dapat dikenai sanksi sesuai apa yang telah diperbuat.17
2.6. Pertanggungjawaban Pidana
Menurut Moeljatno18 bahwa Pertanggungjawaban seseorang yang
melakukan tindak pidana biasa dihukum apabila sipelaku sanggup
mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah
penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas
pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas tidak dipidana tanpa ada
kesalahan Geen straf zonder schuld untuk menentukan apakah seorang pelaku
tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan
dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai
kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang
tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya
hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan
sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan
perbuatan pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah
17 Chairul Huda,Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban pidana Tanpa ada Kesalahan,Media Group,Jakarta,2008,Hlm.51
18 Moeljatno,Op.Cit,Hlm.171.
22
ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang,
akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum.
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang
mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Pada
umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari
beberapa hal yaitu:
1. Keadaan Jiwanya
a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.
b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya)
c. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap dan
sebagainya).
2. Kemampuan Jiwanya :
a. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.
b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
dilaksanakan atau tidak.
c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Menurut Moeljatno19 seseorang baru bisa diminta pertanggungjawabannya
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara
kemasyarakatan adalah dilarang.
19 Ibid.,Hlm.178
23
2. Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya
tersebut.
Selain itu menurut, doktrin untuk menentukan kemampuan
bertanggungjawab harus ada dua hal yaitu adanya kemampuan untuk
membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum
dan yang bertentangan dengan hak. Adanya kemampuan untuk menentukan
kehendaknya menurut keinsafannya tentang baik buruknya perbuatan yang
dilakukan. Sementara itu berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung
jawab KUHP tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskannya secara
negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu
mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan.
Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP seseorang tidak dapat
dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu:20
1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya.
2. Jiwanya terganggu karena penyakit.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena
itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggung
jawaban harus juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya
unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu
dan biaya, maka dalam praktek dipakai yaitu bahwa setiap orang dianggap mampu
bertanggungjawaban kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain.
20 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,Pasal 44 Ayat 1
24
Keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian
pertanggung jawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko
dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.
2.8. Pengertian Kesalahan
Menurut Moeljatno21 bahwa berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu
Geen straf zonder schuld, tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka
pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban
tindak pidana.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan
perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat
tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga
mempunyai kesalahan. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur
kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang
terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam
suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut
dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua
unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk
melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa
perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung
21 Moeljatno,Op.Cit,Hlm.59
25
pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en
wetens. Penjelasan yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan
suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau
haruslah menghendaki apa yang telah diperbuat dan memenuhi unsur wettens atau
haruslah mengetahui akibat dari apa yang telah diperbuat.
Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel
maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja22 adalah
kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu
akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud
dari dilakukannya perbuatan itu.
Unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya
dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil
karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara
materiil, maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan
tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat
dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan
keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu melakukan perbuatan melanggar
hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Unsur kesengajaan di atas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian
atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai
kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau
22 Chairul Huda,Op.Cit,Hlm.19
26
bewuste schuld. Dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat
menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.
Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini
dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan
perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan
dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak
menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat tidak
melakukan perbuatan itu sama sekali.
Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku
mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat
membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau
dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu
akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-
undang.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan
antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada
hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan
akibat yang dilarang itu, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku
atas perbuatan pidananya itu. Dalam teori pemisahan tindak dan
pertanggungjawaban pidana, maka tindak pidana merupakan sesuatu yang bersifat
eksternal dan pertanggungjawaban pembuat. Dilakukannya tindak pidana
merupakan syarat eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal
27
untuk adannya kesalahan ada pula syarat. Dalam hal ini persyarat yang justru
terletak pada pembuat. Kongkretnya, kondisi pembuat yang dapat dipersalahkan
atas suatu tindak pidana. Syarat (internal) tersebut karenanya merupakan unsur
pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan selalu bertalian dengan pembuat tindak pidana. Kesalahan
adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena sebenarnya dapat berbuat
lain. dicelannya subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya
dapat dilakukan terhadap mereka yang keadaan batinya normal. Dengan kata lain,
untuk adannya kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat, yaitu keadaan batin
yang normal. Moeljatno mengatakan, hanya terhadap orang-orang yang keadaan
jiwanya normal saja, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya.23
2.9. Pengertian Kesengajaan
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada tahun 1809
dicantumkan: ”Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-
undang.”
Menurut Menteri Kehakiman sewaktu mengajukan Crimineel Wetboek
tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia tahun
1915), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu adalah dengan sadar berkendak
untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (debewuste richting van den wil op een
beppald misdriff).
23 Ibid.,Hlm.105
28
Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara Mengutarakan24 bahwa
yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah
Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki
(willen) perbuatan itu harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat
perbuatan itu.
Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet,
bukan unsur culpa. Hal ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman
pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Pada Hakikatnya
sengaja berarti bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ternyata apabila itu
sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan.25
2.9.Pengertian Kealpaan
Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya
kesengajaan, tetapi terhadap sebagian dari padanya di tentukan bahwa di samping
kesengajaan itu orang sudah dapat dipidana bila mana kesalahannya berbentuk
kealpaan. Misalnya Pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan
matinya orang lain karena kealpaannya. Ini di samping pasal 338 KUHP : “dengan
sengaja menyebabkan matinya orang lain”
Berdasarkan Moeljatno26 Bahwa mengenai kealpaan keterangan resmi dari
pihak pembentuk W.v.S (smidt 1-825) adalah sebagai berikut: “pada umumnya
bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan