BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Konsep Kerangka Konsep dibutuhkan untuk mempermudah dalam memahami sebuah kasus dalam bentuk tabel, diagram atau semacamnya seperti kerangka dibawah ini yang menjelaskan tentang kronologis singkat kasus sengketa saham TPI antara PT.Berkah Karya Bersama dengan PT.Citra Televisi Pendidikan Indonesia yang mempunyai 2 putusan pengadilan berbeda yaitu Putusan Mahkamah Agung dengan Putusan Arbitrase sehingga menimbulkan kebingungan antara para pihak tentang putusan manakah yang lebih berwenang dalam kasus ini. Gambar 2.1 : Kerangka Konsep Keterangan : : Sengketa : Menghasilkan TPI PT.BERKAH KARYA BERSAMA PT.Citra Televisi Pendidikan Indonesia Putusan Mahkamah Agung Putusan Arbitrase Siapa yang menang?
31
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II - library.binus.ac.id · 1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau 2.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konsep
Kerangka Konsep dibutuhkan untuk mempermudah dalam memahami sebuah
kasus dalam bentuk tabel, diagram atau semacamnya seperti kerangka dibawah ini
yang menjelaskan tentang kronologis singkat kasus sengketa saham TPI antara
PT.Berkah Karya Bersama dengan PT.Citra Televisi Pendidikan Indonesia yang
mempunyai 2 putusan pengadilan berbeda yaitu Putusan Mahkamah Agung dengan
Putusan Arbitrase sehingga menimbulkan kebingungan antara para pihak tentang
putusan manakah yang lebih berwenang dalam kasus ini.
Gambar 2.1 : Kerangka Konsep
Keterangan :
: Sengketa
: Menghasilkan
TPI
PT.BERKAH KARYA BERSAMA
PT.Citra Televisi Pendidikan Indonesia
Putusan Mahkamah Agung
Putusan Arbitrase
Siapa yang menang?
B. Arbitrase
1. Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Tentang Arbitrase
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umumyang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Sebelum UU Arbitrase dan APS diberlakukan, peraturan yang digunakan
sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah
Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op
de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:-52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia
Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad
1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan
Kemudian pada tahun 1970, dasar pemeriksaan arbitrase kembali mendapat
pengaturan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada penjelasan Pasal 3 ayat (1)
disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase diperbolehkan, namun putusan arbiter
hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau
perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan.2
Dengan persetujuan DPR, Presiden Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf
Habibie mengesahkan UU Arbitrase dan APS pada tanggal 12 Agustus 1999 sebagai
dasar pengaturan arbitrase di Indonesia.
Sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 UU Arbitrase dan APS, Undang undang
ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu
hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara
tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang
mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara
1 Hukum Online, “Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana diundangkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872, selanjutnya disebut Penjelasan UU Arbitrase dan APS”. (On-line), tersedia di WWW: http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt4c5133d42cfc8/parent/815 ( 10 Juni 2015).
2 Ibid.
69
arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. UU Arbitrase dan APS adalah
dasar keberadaan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan
umum Indonesia.
Dalam Penjelasan Umum UU Arbitrase dan APS, dijelaskan terdapat
beberapa keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan melalui
proses peradilan, yaitu :
a. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin
b. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
dapat dihindari
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur
dan adil
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian
masalahnya
e. Para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase
f. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui
prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Arbitrase dalam UU Arbitrase dan APS didefinisikan sebagai cara
penyelesaian sengketa dagang di luar pengadilan. Arbitrase dipilih berdasarkan
perjanjian arbitrase tertulis yang dibuat oleh para pihak yang berselisih. Pasal 1 ayat
1 UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dari pengertian Pasal 1 ayat 1 UU Arbitrase dan APS tersebut jelas bahwa
yang menjadi dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak sendiri, yang
didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh
para pihak mengikat mereka sebagai undang–undang.
Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat 8 UU Arbitrase dan APS, disebutkan
bahwa Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, di mana
lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Arbitrase dan APS, yang dapat
diselesaikan melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah sengketa
atau perbedaan pendapat yang timbul atau mungkin timbul antar para pihak dalam
suatu hubungan hukum tertentu yang telah diperjanjikan sebelumnya bahwa
penyelesaiannya akan ditentukan dengan cara arbitrase atau Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Yurisdiksi arbitrase muncul ketika ada klausul mengenai pilihan yurisdiksi
atau pilihan forum di dalam perjanjian, yang menyebutkan bahwa arbitrase
merupakan badan penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka. Klausula tersebut disebut
sebagai klausula arbitrase.
Pasal 1 ayat 3 UU Arbitrase dan APS mengartikan perjanjian arbitrase adalah
suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Dari rumusan
tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya
kesepakatan berupa :
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau
2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah
timbul sengketa.
Perjanjian arbitrase atau klausula arbitrase merupakan tambahan yang
diletakkan kepada perjanjian pokok. Keberadaannya hanya sebagai tambahan
kepada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan
pemenuhan perjanjian. Untuk dapat mengetahui lebih jelas letak klausula arbitrase
dalam suatu perjanjian, dapat ditemukan pada perjanjian antara PT Berkah Karya
Bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut.
Keduanya menandatangani investment agreement tertanggal 23 Agustus 2002
yang mengakibatkan 75% saham TPI beralih kepada PT Berkah Karya Bersama.
Investment agreement tersebut terkandung klausula arbitrase yaitu pada pasal 13.2,
pasal 13.3 dan pasal 13.4 dan pasal 13.7
71
Pasal 13.2 “Segala sengketa yang timbul diantara Para pihak yang
berasaldari atau terkait dengan Perjanjian ini, termasuk tetapi tidak terbatas
pada, pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan,
keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun akan
diselesaikan secara musyawarah”;
Pasal 13.3 “Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dengan
musyawarah oleh Para pihak, maka sengketa tersebut harus diselesaikan
secara eksklusif dan bersifat final melalui arbitrase di Jakarta menurut
Peraturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia”;
Pasal 13.4 “Pasal 13 ini merupakan suatu Klausula Arbitrase yang tercakup
dalam pengertian menurut Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (12 Agustus 1999) dan tidak
dapat dicabut serta mengikat Para Pihak untuk menyerahkan sengketa
kepada arbitrase bersifat final dan mengikat sesuai dengan hukum dan
ketentuan-ketentuan di dalam Perjanjian ini”;3
Pasal 13.7 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya berwenang untuk
pelaksanaan (eksekusi) dari putusan arbitrase Indonesia (BANI).
Pada perjanjian diatas terdapat klausula arbitrase dalam bentuk pacta de
compromittendo (klausula arbitrase yang dibuat pada saat sebelum terjadi sengketa).
Adanya klausula arbitrase tersebut dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan
yang mungkin timbul antara para pihak. Dalam investment agreement tersebut telah
disebutkan adanya pemilihan arbitrase sebagai penyelesaian apabila terjadi sengketa
dikemudian hari.
Kesepakatan mengenai arbitrase sebagai lembaga yang dipilih oleh para
pihak untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka harus dibuat secara tertulis.
3 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Putusan Mahkamah Agung
Nomor 238 PK/Pdt/2014” (On-line), tersedia di WWW:
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/d21492ac727b66a570075df168197d07 (20 Maret
2015).
Perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis dalam suatu dokumen yang
ditandatangani oleh para pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UU
Arbitrase dan APS.4
Dalam hal perjanjian arbitrase dibuat oleh para pihak di mana kesepakatan
mengenai arbitrase dibuat setelah sengketa terjadi, Pasal 9 UU Arbitrase dan APS
mengatur ketentuan-ketentuannya. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa tidak
hanya tertulis dan ditandatangani para pihak, perjanjian arbitrase memiliki syarat
syarat materiil yang harus dipenuhi. Jika syarat-syarat materiil yang ditentukan
tersebut tidak dipenuhi, akan berakibat perjanjian yang dibuat oleh para pihak
menjadi batal. Hal tersebut sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU
Arbitrase dan APS sebagai berikut :
1. Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah
sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu
perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
2. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus
dibuat dalam bentuk akta notaris.
3. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :
a) masalah yang dipersengketakan;
b) nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d) tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e) nama lengkap sekretaris;
f) jangka waktu penyelesaian sengketa;
g) pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h) pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung
segala biaya yang diperlukan untuk penyelesalan sengketa melalui
arbitrase.
4 Hukum Online, “Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa Pasal 4 ayat 2” (On-line), tersedia di WWW:
Huala Adolf, Syarat Tertulis Dan Independensi Klausul Arbitrase, (Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter Number 6/2009), hlm.24.
Fungsi utama dari perjanjian arbitrase adalah sebagai sumber kewenangan
dari peradilan arbitrase, karena peradilan arbitrase hanya dapat melaksanakan
kekuasaan memeriksa dan mengadili suatu sengketa karena para pihak sepakat
memberikan kekuasaan demikian. Kesepakatan yang dibuat para pihak melahirkan
hukum.24
Klausula arbitrase disebutkan oleh Gabrielle Kaufmann-Kohler and Thomas
Schults harus memenuhi persyaratan formal dan material sebagai berikut:
An arbitration clause must generally meet formal and substantive validity
requirements, including written form, arbitrability (in the sense that the
subject matter of the dispute must be capable of settlement by way of
arbitration), and consent.25
Karakteristik penting mengenai perjanjian arbitrase adalah keharusan syarat
tertulis. UU Arbitrase dan APS mensyaratkan para pihak untuk mengadakan
perjanjian tertulis dalam Pasal 1 ayat 1.
Syarat tertulisnya suatu perjanjian arbitrase memiliki beberapa tujuan, di antaranya
adalah sebagai berikut :
1. Mengikuti apa yang diharuskan oleh undang-undang atau hukum; dan
2. Untuk kepastian hukum bagi kompetensi badan arbitrase.26
Karakteristik penting lain dari klausul arbitrase adalah sifat otonom atau
independensi. Istilah yang juga digunakan adalah doktrin separabilitas dari klausul
arbitrase. Menurut doktrin ini, meskipun klausula arbitrase adalah salah satu klausula
dalam suatu kontrak, namun klausula ini tidaklah merupakan bagian atau tambahan
dari kontrak tersebut. Sehingga, batal atau berakhirnya kontrak tidak serta merta
membatalkan klausula arbitrase.27
Dalam perjanjian arbitrase, terdapat dua kontrak yang terpisah. Kontrak
pertama adalah kontrak yang memuat hak dan kewajiban para pihak terkait bidang
perdagangan yang mereka sepakati. Selanjutnya, kontrak kedua adalah kontrak yang
24 Ibid. 25
Gabrielle Kaufmann-Kohler and Thomas Schults, Online Dispute Resolution: Challenges for Contemporary Justice, (Kluwer Law International, The Hague, 2004), hlm.138.
Arbitration Quarterly Newsletter Number 6/2009), hlm.3-4. 30
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, (Cetakan Kesatu, PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, 2002), hlm.228.
perdata yang timbul dalam bidang perdagangan. Sengketa perdata dalam praktik
yang terjadi di masyarakat meliputi sengketa wanprestasi dan sengketa perbuatan
melawan hukum. Sehingga sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari
para pihak yang terikat dengan klausula arbitrase, dapat diperiksa dan diputus oleh
arbitrase.
Sengketa atau perkara yang sudah memiliki klausula arbitrase tidak dapat
diajukan ke Pengadilan Negeri. Dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan
arbitrasenya tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan Negeri, kecuali apabila ada
perbuatan melawan hukum dalam proses pemeriksaan dan pengambilan putusan
arbitrase. Dalam hal ada perbuatan melawan hukum dalam proses pengambilan
putusan demikian yang mengakibatkan kerugian pada pihak yang dikalahkan, maka
pihak yang dirugikan dapat menggugat ke Pengadilan Negeri atas dasar perbuatan
melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad
baik, melanggar ketertiban umum (public policy), bertentangan dengan hukum dan
kepatutan serta Pasal 70 UU Arbitrase dan APS. Menurut Pasal 21 UU Arbitrase dan
APS dinyatakan bahwa: Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan
tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses
persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis
arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.
Terhadap persetujuan para pihak dalam memuat perjanjian arbitrase baik
dalam bentuk pactum de compromittendo (Kesepakatan untuk memilih penyelesaian
sengketa melalui arbitrase yang dilakukan sebelum timbul sengketa) maupun akta
kompromis (sesudah terjadinya sengketa) yang mengesampingkan kompetensi
pengadilan, terdapat dua aliran sebagai berikut :
1. Klausula arbitrase : bukan publik orde
Aliran ini berpendapat bahwa arbitrase tidak bersifat absolut. Klausul
tersebut harus dipertahankan para pihak sehingga akan tetap mengikat.
Apabila sengketa yang timbul dari perjanjian yang mengandung klausul
arbitrase diajukan salah satu pihak ke pengadilan, pengadilan berwenang
mengadili. Kewenangan baru gugur apabila pihak tergugat mengajukan
eksepsi akan adanya klausul arbitrase.
2. Klausula arbitrase : pacta sunt servanda
87
Aliran ini bertitik tolak dari doktrin hukum yang mengajarkan bahwa semua
persetujuan yang sah akan mengikat dan menjadi undang undang bagi para
pihak. Oleh karena itu, setiap persetujuan hanya dapat gugur (ditarik
kembali) atas kesepakatan bersama para pihak. 31
Kajian terhadap kasus di atas menggunakan beberapa asas dan teori untuk
mencari kepastian hukum dalam menjawab rumusan masalah yang ada, untuk itu
perlu dijelaskan asas-asas dan teori- teori yaitu :
1. Asas pacta sunt servanda secara positif telah dituangkan dalam Pasal 1338
KUHPerdata yang berintikan :
a. Setiap perjanjian mengikat kepada para pihak;
b. Kekuatan mengikatnya serupa dengan ketentuan undang-undang;
c. Hanya dapat ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak;
Bertitik tolak dari prinsip pacta sunt servanda, aliran klausula arbitrase: pacta
sunt servanda berpendapat bahwa setiap perjanjian yang memuat klausul arbitrase:
a. Mengikat secara mutlak kepada para pihak;
b. Kewenangan memeriksa dan memutus sengketa yang timbul
menjadi kewenangan absolut.
2. Asas Lex specialis derogat legi generalis adalah asas penafsiran hukum
yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)
Menurut Bagir Manan , ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:
a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum
tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum
khusus tersebut;
b. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan
ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-
undang)
31
Feby Wisana, Sukarno Aburaera dan M. Said Karim,“Kewenangan Badan Peradilan
Memeriksa Sengketa Dengan Klausula”. Tersedia di
WWW:http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/85987e0a735579aa1c407c750129c985.pdf (25 Mei 2015).
c. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan
hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.32
3. Prinsip Final dan Binding
Akibat atau dampak hukum putusan arbitrase bagi para pihak adalah bersifat
final dan binding. Prinsip ini tercermin di dalam ketentuan Pasal 60 UU
Arbitrase yang berbunyi “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.” Maksud putusan bersifat
final adalah putusan Mahkamah Arbitrase merupakan putusan tingkat
pertama dan tingkat terakhir. Artinya terhadap putusan arbitrase tidak dapat
diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Menurut Yahya Harahap, klausula arbitrase merupakan pacta sunt servanda,
bukan publik orde. Karena klausula arbitrase adalah kesepakatan yang dituangkan
oleh para pihak dalam perjanjian, maka asas asas yang terkandung dalam pacta sunt
servanda dan Pasal 1338 KUHPerdata berlaku sepenuhnya terhadap klausula
arbitrase. Adapun acuan penerapannya adalah sebagai berikut :
1. Persetujuan arbitrase mengikat secara mutlak kepada para pihak
2. Oleh karena itu, apabila timbul persengketaan dari apa yang telah
mereka perjanjikan, kewenangan untuk menyelesaikan dan memutus
sengketa “mutlak” menjadi kewenangan arbitrase
3. Dengan demikian, pengadilan tidak berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa secara mutlak
4. Dan gugurnya klausula arbitrase hanya terjadi apabila secara tegas
ditarik kembali atas kesepakatan para pihak
5. Serta tidak dapat dibenarkan hukum penarikan secara diam-diam,
apalagi penarikan secara sepihak.33
Sejak para pihak menyepakati perjanjian arbitrase, para pihak secara otomatis
dan mutlak telah terikat. Kemutlakan keterikatan kepada perjanjian arbitrase
32
Hukum Online, “Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis” (On-line) tersedia di WWW: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-generalis (12 Januari 2016)
33 Yahya Harahap, Arbitrase, Op,Cit, hlm.129.
89
memberikan kewenangan absolut bagi arbitrase untuk memeriksa dan memutus
penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian di antara para pihak tersebut.
Oleh karenanya, ada atau tidak adanya eksepsi yang diajukan, Pengadilan
harus tunduk kepada ketentuan UU Arbitrase dan APS dan menyatakan diri tidak
berwenang mengadili.34
Sehingga adanya perjanjian abitrase di antara para pihak untuk menyelesaikan
sengketa keperdataan yang akan timbul atau yang timbul di dari perjanjian antara
mereka, memberikan kewenangan absolut bagi arbitrase untuk memeriksa dan
mengadili sengketa tersebut. Dan sepanjang sengketa di antara para pihak adalah
sengketa perdata dan dapat diadakan perdamaian, arbitrase menjadi lembaga
penyelesaian sengketa yang berwenang. Sengketa perdata yang dapat diperiksa tidak
hanya sengketa wanprestasi yang timbul dari perjanjian para pihak, akan tetapi juga
sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari hubungan hukum keperdataan
di antara para pihak.
Lalu dalam penulisan skripsi ini, teori yang digunakan adalah pemikiran
Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitarianisme dan teori kepastian hukum,
Jeremy Bentham berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-
mata apa yang berfaedah bagi orang. Menurut Teory Utilitis, tujuan hukum ialah
menjamin adanya kebahagian sebesar-besarnya pada orang sebanyak-banyaknya.
Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama dari pada
hukum. Dalam hal ini pendapat Bentham dititik beratkan pada hal-hal yang
berfaedah dan bersifat umum. Kemudian yang dimaksud dengan “Asas Kepastian
Hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara
Negara Undang-undang adalah keputusan kehendak dari satu pihak yaitu negara
sementara perjanjian adalah keputusan kehendak dari dua pihak. Dengan kata lain,
orang terikat pada perjanjian berdasarkan atas kehendaknya sendiri, berbeda dengan
undang-undang di mana keterikatan pihak adalah terlepas dari kehendaknya.35
34 Ibid. hlm.130. 35 Meydora Cahya Nugrahenti, “Kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus
sengketa perbuatan melawan hukum: studi-studi putusan pengadilan” (On-line), tersedia di
Pada tanggal 3 Desember 1977, kurang lebih 22 tahun sebelum
dibuatnya UU No.30 Tahun 1999, atas prakarsa dari Prof.R.Subekti,S.H.
(Mantan Ketua Mahkamah Agung), Harjono Tjitrosubono,S.H. (Ketua Ikatan
Advokat Indonesia), dan Prof Dr. Priyatna Abdurrasyid sengketa komersial
yang bersifat otonom dan independen.
Pendirian BANI ini didukung penuh oleh Kamar Dagang dan Industri
Indonesia, yaitu oleh Marsekal (purn) Suwoto Sukendar (Ketua) dan Julius
Tahya (anggota pengurus). Selain itu pendirian ini juga telah mendapat restu
dari Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Ketua Bappenas dan juga Presiden Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Anggaran Dasar BANI, BANI adalah
sebuah badan yang didirikan atas prakarsa KADIN Indonesia, yang bertujuan
untuk memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa
perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan,
baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. BANI
merupakan lembaga peradilan yang mempunyai status yang bebas, otonom
dan juga independen, artinya BANI tidak dapat di intervensi oleh kekuasaan
yang lain, selayaknya lembaga peradilan yang independen. Dengan demikian,
BANI diharapkan dapat bersikap objektif, adil, dan jujur dalam memandang
dan memutuskan perkara yang dihadapinya nanti.
Salah satu hal yang dapat menunjukkan keindependenan BANI adalah
dengan metode pengangkatan kepengurusannya yang untuk pertama kali
diangkat oleh Ketua KADIN, dan selanjutnya berbentuk yayasan. Proses
pembentukan yayasan inilah yang dapat menunjukkan kemandirian dan
indepedensi BANI, sebagai lembaga yang bukan berada di bawah
kepentingan lembaga (KADIN).
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 48 tahun 2009), metode penyelesaian sengketa di luar
pengadilan telah diakui, di mana dinyatakan bahwa upaya penyelesaian
sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan Negara melalui arbitrase
atau alternatif penyelesaian sengketa.
91
Pengaturan penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini diberikan
pengaturan secara umum dalam Bab XII Pasal 58 sampai dengan Pasal 61
UU No.48 Tahun 2009.
Lembaga BANI berkedudukan di Jakarta dan memiliki kantor
perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia di antaranya adalah Surabaya,
Denpasar, Bandung, Medan, Pontianak, Palembang, dan Batam.36
b. Tujuan dan Lingkup Kegiatan BANI
Pada dasarnya, BANI merupakan lembaga yang menyelenggarakan
penyelesaian sengketa yang timbul sehubungan dengan perjanjian perjanjian
atau transaksi bisnis mengenai soal perdagangan, industri, dan keuangan.
Dalam menjalankan kegiatan dilapangan usaha bisnis, merupakan suatu
kebutuhan mutlak agar suatu sengketa dapat di tangani dan diselesaikan
secara cepat dan adil.
Hal ini dikarenakan semakin lambat sengketa tersebut diselesaikan
akan semakin besar pula biaya dan juga kerugian yang dapat diderita oleh
para pelaku usaha. Untuk mencapai penyelesaian suatu sengketa secara cepat
dan adil tersebut, maka para pelaku usaha akhirnya memilih metode
penyelesaian sengketa berupa arbitrase sebagai bentuk penyelesaian yang
lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan mengupayakan penyelesaian
sengketa melalui pengadilan.
Di sinilah BANI berperan sebagai lembaga independen yang
menyediakan sarana-sarana untuk menyelenggarakan proses arbitrase tersebut
serta ahli-ahli (experts) yang berpengalaman dan kompeten sebagai arbiter,
yang memberikan pertimbangan-pertimbangannya berdasarkan keahlian serta
hukum yang ada dalam bentuk putusan arbitrase. Secara umum BANI
didirikan untuk tujuan berikut.
a. Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia
menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang
terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui
arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya
36Tentang BANI Arbitration Centre (On-line), tersedia di
WWW:http://www.baniarbitration.org/ina/about.php (10 Mei 2015).
antara lain di bidang-bidang Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan,
Fabrikasi, Hak Kekayaan Intelektual, Lisensi, Franchise, Konstruksi,
Pelayaran/maritim, Lingkungan Hidup, Penginderaan Jarak Jauh, dan
lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan
internasional.
b. Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa
lainnya, seperti negiosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat
yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI atau peraturan
prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan.
c. Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan
keadilan.
d. Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program
pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa.
C. Peradilan yang Berkaitan Dengan Putusan Arbitrase
1. Kekuasaan Kehakiman
Hukum sebagai sarana untuk mengatur kepentingan masyarakat dengan
segala tugas dan fungsinya tentu saja harus ditegakkan, dan oleh karena itu
maka diperlukan aparat atau lembaga yang harus mengawasi
pelaksanaan/penegakan hukum tersebut.
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dikatakan: Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 48 tahun 2009),
“metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah diakui, di mana
dinyatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di
93
luar pengadilan Negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa".37
Pengaturan penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini diberikan
pengaturan secara umum dalam Bab XII Pasal 58 sampai dengan Pasal 61
UU No.48 Tahun 2009.
Kewenangan Absolut Peradilan
Adanya suatu kepentingan yang dapat menyebabkan timbulnya suatu
sengketa akan menimbulkan permasalahan mengenai kompetensi.
“Kompetensi juga dapat disebut yurisdiksi, yang di dalam lingkungan
kekuasaan kehakiman berarti kewenangan pengadilan untuk mengadili atau
pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan
ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan”.38
Keberadaan UU Arbitrase dan APS yang memperkuat yurisdiksi
arbitrase dan lebih memberikan kepastian hukum kepada pengadilan negeri
untuk tidak memiliki yurisdiksi atas sengketa yang terjadi dari suatu kontrak
yang mengandung klausul arbitrase ternyata masih disikapi berbeda oleh
hakim-hakim pengadilan. Dalam beberapa kasus, pengadilan negeri
menyatakan berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa di antara
para pihak yang telah terikat dengan klausul arbitrase. Meskipun demikian,
dalam beberapa kasus lainnya pengadilan negeri tunduk pada ketentuan Pasal
11 UU Arbitrase dan APS dan menyatakan tidak berwenang memeriksa dan
memutus sengketa yang timbul dari kontrak yang mengandung klausul
arbitrase.
Salah satu alasan yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim pada
pengadilan negeri dalam menyatakan dirinya berwenang memeriksa dan
memutus sengketa di antara para pihak yang telah terikat dengan klausul
arbitrase adalah bahwa sengketa yang terjadi di antara para pihak tersebut
merupakan sengketa perbuatan melawan hukum. Hakim berpendapat bahwa
37
Hukum Online, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman” (On-line) tersedia di WWW: http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4b01297e9d172/nprt/2/uu-no-48-tahun-2009-kekuasaan-kehakiman (25 Mei 2015)
38 Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. (Jakarta, Sinar Grafika. 2005). hlm. 179.
arbitrase hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa yang berkenaan
dengan perselisihan atas pelaksanaan dari suatu kontrak yang mengandung
klausul arbitrase. Oleh karenanya arbitrase dipandang hanya berwenang
memeriksa dan memutus sengketa wanprestasi. Perbuatan melawan hukum
dinilai menjadi kewenangan dari pengadilan negeri.
2. Yurisprudensi MA Tentang Kewenangan Badan Arbitrase
Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Pengadilan Negeri
tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase. Bahkan Pasal 11 ayat (2) menegaskan bahwa
Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Sebelum berlakunya undang-undang tersebut, landasan hukum yang
menentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa
antara para pihak yang telah bersepakat bila dalam perjanjian terdapat klausul
arbitrase dirasakan oleh masyarakat tidak tegas, tidak pasti, dan tidak kuat.
Selalu saja Pengadilan Negeri menyatakan berwenang mengadili perkara-
perkara yang timbul dari perjanjian sekalipun di dalam perjanjian itu telah
secara tegas dimuat klausul arbitrase. Untung sekali Mahkamah Agung
berpendirian tegas bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkara-
perkara yang telah disepakati oleh para pihak bahwa sengketa yang timbul di
antara mereka akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase apakah di dalam
perjanjian di antara mereka dicantumkan suatu klausul arbitrase.
Sikap Mahkamah Agung yang demikian itu terlihat dari beberapa
putusan Mahkamah Agung sebagaimana digambarkan di bawah ini.
Mahkamah Agung RI dalam putusannya No. 225 K/Sip/1976 tanggal 30
September 1983 menegaskan pendiriannya bahwa klausula arbitrase bagi
pihak�pihak, mempunyai kekuatan sebagai undang-undang yang harus
ditaati.39
39 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Putusan Mahkamah Agung RI
No. 225 K/Sip/1976” (On-line) tersedia di WWW: http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=Putusan+Mahkamah+Agung+RI+No.+225+K%2FSip%2F1976 (25 Mei 2015).
95
Pendirian tersebut telah pula dianut dalam putusan Mahkamah Agung RI
No. 2424 K/Sip/1981 tanggal 22 Februari 1982 dan No. 455 K/Sip/1982
tanggal 27 Januari 1983. Dengan kata lain asas “pacta sunt servanda”,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, dihormati oleh
Mahkamah Agung RI. Bahkan dalam putusan yang lain, yaitu putusannya
No. 3992 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988, Mahkamah Agung RI yang
menguatkan putusan pengadilan tingkat banding yang berpendirian bahwa
kewenangan memeriksa sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat
klausul arbitrase, mutlak menjadi yurisdiksi arbitrase. Selanjutnya pula di
dalam putusannya No. 3179 L/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988, Mahkamah
Agung RI berpendirian bahwa apabila di dalam perjanjian dimuat klausul
arbitrase, maka Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili
gugatan, baik dalam konvensi maupun rekonvensi. Oleh karena putusan-
putusan Mahkamah Agung menunjukkan sikap yang konsisten dari
Mahkamah Agung, maka putusan-putusan tersebut di atas telah dapat disebut
sebagai yurisprudensi.
Berikut Yurisprudensi dari putusan Mahkamah Agung :
a. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 197/Pdt.G/1991,
tertanggal 4 Juni 1991; Para Pihak Christine Hartini Tjakra vs.
Syamsulrizal Anis, Cs;
“…Pertentangan dan perselisihan dari atau sehubungan dengan
perjanjian atau pelaksanaannya (termasuk perselisihan/sengketa
keabsahan perjanjian ini) akan diselesaikan melalui arbitrase oleh
Badan Arbitrase yang terdiri dari 3 (tiga) anggota yang akan
bersidang di Jakarta dalam bahasa Inggris berdasarkan “The Rule of
The United Nation Centre For International Trade (UNCITRAL
Rules)”;
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 455 K/Sip/1982, tanggal 27 Januari
1987 Para Pihak PT Maskapai Asuransi Ramayana vs Sohadi
Kawilarang;
“Dalam Polis Kecelakaan Pribadi Nomor 210/PA/20.318 tanggal
10 Agustus 1978 dicantumkan bahwa “pertikaian berkenaan
dengan polis ini, diselesaikan dalam tingkat tertinggi di Jakarta
oleh 3 orang juri pemisah (arbitrase)”; “Meskipun hal ini tidak
diajukan oleh pihak Tergugat namun berdasarkan Pasal 134 RIB
Hakim berwenang untuk menambahkan pertimbangan dan alasan
hukum secara jabatan. Dengan demikian Pengadilan Negeri tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini. Pasal 3 Undang
Undang Nomor 14/1970 (khusus memori penjelasan). Pasal 134