12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kekuasaan Kehakiman 1. Kekuasaan Kehakiman Kemerdekaan kekuasaan kehakiman (Selanjutnya akan disebut dengan istilah independensi) memang sudah sejak lama dipandang perlu dalam sistem peradilan, tetapi konsep tersebut tidak memperoleh perhatian yang cukup berarti dalam praktiknya. Namun demikian, indepedensi kekuasaan kehakiman sebagai suatu konsep telah mendapat perhatian penuh dan menjadi bahan kajian (Ahmad Kamil, 2012: 206). Berkembangnya kekuasaan kehakiman tidak terlepas dari peran dan organisasi internasional seperti Internasional Commision of Jurist yang berhasil mengajukan dokumen Milan Principles yang diadopsi oleh sidang umum United Nations pada tahun 1985. Pada tingkat regional, Komite Menteri pada Dewan Eropa menerima Recommendation on the Indepedence, Efficiency, and the Role of Judges, dan kemudian diadopsi oleh Dewan Uni-Eropa pada tahun 1998 dengan sebutan European Chaier on the Statute for Judges (Djohansyah, 2008:123). Milan principles maupun instrumen-instrumen internasional tersebut di atas merupakan hasil perkembangan internasional yang kemudian dilanjutkan ke tingkat lokal oleh masing-masing negara seperti yang dianjurkan oleh United Nations agar setiap pemerintah negara Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
42
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kekuasaan ...repository.ump.ac.id/7751/3/ADE YIYIT SUTANTO_BAB II.pdf · Kekuasaan Kehakiman adalah ciri pokok dari negara hukum (rechtsstaaat)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Kekuasaan Kehakiman
1. Kekuasaan Kehakiman
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman (Selanjutnya akan disebut
dengan istilah independensi) memang sudah sejak lama dipandang perlu
dalam sistem peradilan, tetapi konsep tersebut tidak memperoleh perhatian
yang cukup berarti dalam praktiknya. Namun demikian, indepedensi
kekuasaan kehakiman sebagai suatu konsep telah mendapat perhatian
penuh dan menjadi bahan kajian (Ahmad Kamil, 2012: 206).
Berkembangnya kekuasaan kehakiman tidak terlepas dari peran
dan organisasi internasional seperti Internasional Commision of Jurist
yang berhasil mengajukan dokumen Milan Principles yang diadopsi oleh
sidang umum United Nations pada tahun 1985. Pada tingkat regional,
Komite Menteri pada Dewan Eropa menerima Recommendation on the
Indepedence, Efficiency, and the Role of Judges, dan kemudian diadopsi
oleh Dewan Uni-Eropa pada tahun 1998 dengan sebutan European Chaier
on the Statute for Judges (Djohansyah, 2008:123).
Milan principles maupun instrumen-instrumen internasional
tersebut di atas merupakan hasil perkembangan internasional yang
kemudian dilanjutkan ke tingkat lokal oleh masing-masing negara seperti
yang dianjurkan oleh United Nations agar setiap pemerintah negara
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
13
mempertimbangkan prinsip-prinsip independensi kekuasaan kehakiman
yang telah diadopsi oleh United Nations dalam setiap pembuatan peraturan
perundang-undangan mereka. Pada dasarnya negara-negara di dunia
mengakui pentingnya independensi kekuasaan kehakiman untuk
diterapkan di negara masing-masing tentunya berdasarkan landasan
teoritis dan filosofis masing-masing negara. Secara umum pendekatan
teoritis tentang independensi kekuasaan kehakiman, seputar ajaran
kepastian hukum dan keadilan hukum (Ahmad Kamil, 2012: 207).
Macdonald, Matscher dan Petzold, dalam bukunya yang berjudul “
The euoropean System for the Protection of Human Rights”(1993).
sebgaimana dikutip Jimmly Asshidiqieu: “ Indepedence judicary is a
fundamental requierement for democracy. Within this undestanding is the
nation that judicial indepedence must first exist in relation to the executive
and in relation to the parties. It must also involve indepedence in relation
to the legislative powers as well as in relation to political, economic, or
social pressure groups.”
Independensi kekuasaan kehakiman merupakan syarat utama
demokrasi. Dalam pengertian tersebut terkandung penekanan bahwa
independensi kekuasaan kehakiman pertama-tama harus terdapat dalam
hubungan kepada eksekutif dari para pihak (dalam suatu perkara). Hal
tersebut juga termasuk independensi dalam hubungan dengan kekuasaan
legislatif, sebagaimana juga dalam hubungan dengan kelompok politik,
ekonomi atau kelompok penekanan sosial”(Ahmad Kamil, 2012: 212).
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
14
Kekuasaan Kehakiman adalah ciri pokok dari negara hukum
(rechtsstaaat) dan prinsip the rule of law. Dalam catatan sejarah, setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, perkembangan
lembaga kekuasaan kehakiman dapat dikatakan sangat bergantung pada
keinginan baik (political will) pembuat Undang-undang atau rezim yang
berkuasa. Desain kelembagaan maupun status dan kedudukannya amat
ditentukan oleh siapa yang memerintah. Jika sang penguasa menghendaki
agar lembaga kekuasaan kehakiman berada di bawah pengaruhnya,
kekuasaan kehakiman pun tidak dapat berbuat banyak. Hal itu semakin
mengkristalkan jika konstitusi tidak secara eksplisit menjamin
kemandirian dan imparsialitas kekuasaan kehakiman (Komisi Yudisial,
2014:4).
Independensi kekuasaan kehakiman mulai banyak diperbincangkan
dalam berbagai kesempatan seiring menguatnya jaminan UUD NRI
Tahun 1945 tentang independensi hakim dalam menjalankan
kewenangannya. Sebagian menaruh harapan akan masa depan pengadilan
yang lebih dipercaya, jauh dari intervensi kekuasaan eksternal
sebagaimana terjadi di era orde baru. Tetapi tidak sedikit pula yang
mengkhawatirkan intervensi justru datang dari kekuasaan kehakiman itu
sendiri, atau dari pihak-pihak yang berperkara dengan modus transaksi.
Independensi adalah proteksi yang berbasis pada kepercayaan terhadap
manusia penyandang kewenangan yudikatif sebagai penegak keadilan
yang harus dilindungi dari kemungkinan intervensi dari manapun agar
dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
15
Karena independensi kekuasaan kehakiman adalah sebuah ide yang
kompleks, tidak semata-mata sebagai sesuatu nilai, tetapi sebagai
instrumen yang bermanfaat untuk mengejar nilai-nilai lain yang lebih
tinggi, yaitu rule of law. Kompleksitas pemikiran tentang independensi
kekuasaan kehakiman terjadi karena pemikiran tersebut tidak dapat
dilepaskan dari ide lain dalam masyarakat, khususnya mengenai
kekuasaan kehakiman dan fungsinya. Ide-ide tersebut, termasuk ide
mengenai independensi kekuasaan kehakiman digambarkan seperti
matriks yang saling berkaitan.
Franken, (1997: 9,10) ahli hukum Belanda, menyatakan bahwa
indepedensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan ke dalam 4 (empat)
bentuk yaitu :
a. Indepedensi Konstitusional (Constitusionale Onafhan Kelikjheid).
b. Indepedensi Fungsional (Zakelijke of Functionale Onafhankelijekheid).
c. Indepedensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionale
Onafhankelijekheid).
d. Indepedensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke
Onafhankelijekheid).
Independensi konstitusional adalah Indepedensi yang dihubungkan
dengan doktrin trias politica dengan sistem pembagian kekuasaan menurut
Montesquieu lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti
kedudukan kelembagaannya harus bebas dari pengaruh politik.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
16
Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh hakim ketika menghadapi sengketa dan harus memberikan
suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh
menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan Undang-undang apabila
Undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Karena
bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi
Undang-undang pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan.
Independensi hakim adalah mengenai kebebasan hakim secara
individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa. Brenninkmeijer
mengatakan bahwa: “ De zakelike onafhankelijekheid moet worden gezien
als een uitvloeisel van de persoonlijke onafhankeljkeheid. Ik denk dat men
eerder van het omgekerde kan spreken, aangeizen de zakelijke
onafhankelijkheid direct betrekking heeft of de invulling van de
Constitusionele toegedachte taken.”(franken, H. 1997: 41).
Independensi fungsional harus dilihat sebagai hasil dari
indepedensi personal hakim. Saya berpendapat bahwa orang dapat saja
berbicara lebih dahulu secara kebalikannya, melihat indepedensi personal
memiliki hubungan langsung dengan tugas-tugas yang ditetapkan oleh
konstitusi.”
Independensi praktis adalah indepedensi hakim untuk tidak
berpihak (imparsial). Hakim itu harus mengikuti perkembangan
pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media.
Hakim harus mengetahui sampai sejauh mana dapat menerapkan norma-
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
17
norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat (Ahmad Kamil, 2012:
217).
Dalam transaksi politik di Indonesia pasca orde baru, memang
terdapat perubahan mendasar kedudukan kekuasaan kehakiman di dalam
UUD 1945 yang baru yang menandakan adanya transisi rezim ke
demokrasi secara signifikan. Perubahan dimaksud dimuat dalam pasal 24
A ayat (1) yang berbunyi kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum
dan keadilan. Ayat (2)- nya berbunyi kekuasaan kehakiman tidak hanya
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, tetapi juga oleh sebuah
Mahkamah Konsitusi.
Di luar itu, dalam Pasal 24 B ayat (1) terdapat pula lembaga negara
baru yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Substansi yang dimuat dalam rangkaian Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945
itu menegaskan dan menjamin tiga dimensi kekuasaan kehakiman, yaitu :
pertama, dimensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kedua, dimensi kekuasaan
kehakiman lain oleh Mahkamah Konstitusi, dan ketiga, dimensi kekuasaan
kehakiman dalam rangka mengusulkan pengangkatan hakim agung
menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim (Komisi Yudisial, 2012:285).
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
18
Kekuasaan kehakiman sejak awal kemerdekaan diniatkan sebagai
cabang yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan
Presiden. Dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum
perubahan ditentukan “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
merdeka terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Berhubung
dengan itu, harus diadakan jaminan Undang-undang tentang kedudukan
hakim”.
Terhadap dua pasal beserta penjelasannya itu Prof. Wirjono
Prodjodikoro, S.H. memberikan pengertian sebagai berikut:
a. Bahwa ada Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif) terlepas dari kekuasaan
perundang-undangan (Legislatif) dan Kekuasaan pemerintah
(Eksekutif).
b. Bahwa kekuasaan kehakiman ini adalah merdeka dalam arti terlepas
dari pengaruh pemerintah.
c. Bahwa ada satu Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi
di Indonesia.
d. Bahwa adanya badan-badan pengadilan lain di Indonesia diserahkan
pada Undang-undang untuk menentukannya.
e. Bahwa susunan dan kekuasaan in concerto dari Mahkamah Agung dan
lain-lain badan pengadilan itu diserahkan kepada Undang-undang
untuk mengaturnya.
f. Bahwa pun syarat-syarat untuk pengangkatan dan pemberhentian
sebagai hakim diserahkan kepada Undang-undang untuk mengaturnya.
g. Bahwa ada semacam instruksi kepada pembentuk Undang-undang agar
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
19
dijamin kedudukan yang layak dari para hakim di tengah tengah
masyarakat (Bambang Arumanadi, 1990:86).
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu unsur kekuasaan di
Indonesia selain kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Ketiga
cabang tersebut bersinergi dan saling berhubungan satu sama lain baik
dengan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) maupun
pembagian kekuasaan (distribution power) (Jimmly Asshiddiqe, 2006:23).
Pemberian dan pembatasan kekuasaan dari lembaga-lembaga
negara secara konstitusional tersebut dalam perkembangannya berevolusi
dalam beragam bentuk dan mekanisme sesuai dengan dinamika politik dan
ketatanegaraan suatu negara yang tergambar dalam konstitusi bangsa itu
sendiri. Dalam hubungan antar lembaga negara dikenal adanya suatu
mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi (check and
balances) diantara cabang kekuasaan negara tersebut dalam menjalankan
kewenangannya.
Meskipun sering disalah pahami sebagai penggagas teori
pemisahan kekuasaan (the separation of power) secara murni, sebenarnya
Montesquieu sendiri meyakini urgensi mekanisme pengawasan dari suatu
lembaga terhadap lembaga lainnya dalam menjalanan kekuasaanya. Lebih
jelas Monstequieu mengatakan bahwa: “constan experience shows us that
every man invested with power is apt to abuse it....(it is) necesary from the
every nature of things that power should be a check to power.... that the
government should be devided among different persons and bodies, which
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
20
would act as on each other” (2016: 78).
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman, pada Pasal 19 menyebutkan bahwa demi
kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentigan
masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat turut atau campur
tangan dalam soal-soal pengadilan. Tentu sangat jelas bahwa norma
kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam penjelasan UUD 1945 tidak
dapat diterjemahkan, meminjam bahasa laku dalam doktrin orde baru,
pelaksanaan secara konsisten dan konsekuen dalam Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1964. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka
sangat bergantung pada sistem dan corak politik kekuasaan yang
berlangsung.
Reformasi membawa angin segar pembaharuan kekuasaan
kehakiman. Pada awal reformasi lahirlah Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 menggeser induk organisasi
lingkungan peradilan berada dibawah Mahkamah Agung sepenuhnya.
Penyatuan ini ditindak lanjuti pengaturannya dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004. Lebih
fundamental, perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 semakin menegaskan kemandirian kekuasaan
kehakiman. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebut bahwa “kekuasaan
kehakiman merupakan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
21
guna menegakan hukum dan keadilan”. Jaminan konstitusi yang kuat hadir
untuk memastikan bahwa kekuasaan kehakiman merdeka dari campur
tangan kekuasaan kehakiman.
Pembaharuan peradilan meliputi banyak agenda, mulai dari
penyatuatapan, perbaikan sistem kepegawaian dan pengkajian, penerapan
sistem informasi di pengadilan , dan lain sebagainya. Namun, kekuasan
kehakiman belum sepenuhnya dipercaya hadir oleh masyarakat. Apabila
pada masa lalu kekuasaan kehakiman tidak merdeka dari campur tangan
kekuasaan lain, pada masa reformasi dunia peradilan justru dicurigai tidak
merdeka secara oleh begitu banyak persoalan yang bisa terpicu secara
eksternal (Komisi Yudisial, 2014: 289).
Di dalam dunia peradilan, prinsip-prinsip dasar kekuasaan
kehakiman yang mandiri yang harus dihormati oleh setiap negara yang
melakukan rule of law , antara lain meliputi:
a. Judicial Indefedence, lembaga peradilan harus merupakan suatu
lembaga yang memberikan manfaat sangat besar bagi setiap
masyarakat, dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan peradilan
yang terbuka untuk umum yang dilaksanakan oleh pengadilan yang
berwenang, adil dan tidak memihak. Peradilan yang mandiri
merupakan syarat mutlak untuk melaksanakan hak tersebut yang
mensyaratkan bahwa peradilan akan memeriksa perkara dengan adil
dan menerapkan hukum yang baik.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
22
b. Objective of the judiciary, tujuan peradilan adalah:
1) Menjamin setiap orang dapat hidup dengan aman dibawah the rule
of law .
2) Meningkatkan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia.
3) Melaksanakan hukum secara adil dalam sengketa antara sesama
warga masyarakat dan antar warga masyarakat dengan negara.
c. Appoinment of Judges. Para hakim harus diangkat beradasarkan
kemampuannya yang nyata, integritas yang tinggi dan mandiri, dan
harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga akan menjamin bahwa
hanya yang terbaik yang dapat menduduki jabatan tersebut. Prosedur
pengangkatannya harus transparan dan tanpa diskriminasi (Suku,
warna, kulit, agama, gender, aliran politik, dan sebagainya).
d. Tenure, yaitu bahwa masa jabatan hakim harus dijamin, baik melalui
pemilihan kembali atau prosedur resmi lainnya. Tetapi diusulkan agar
hakim hanya akan pensiun/diberhentikan setelah mencapai usia
tertentu dan ketentuan batas usia tersebut tidak boleh dirubah sehingga
merugikan hakim yang sedang melaksanakan tugasnya. Hakim hanya
boleh diberhentikan sebelum batas usia pensiun karena terbukti tidak
mampu , dijatuhi pidana, atau mempunyai kelakuan yang tidak sesuai
dengan kedudukannya sebagai hakim, dan harus berdasarkan prosedur
yang jelas.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
23
Secara khusus kekuasaan kehakiman telah diatur pula dalam UU
No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian UU
No 48 Tahun 2009 merupakan undang-undang organik, sekaligus sebagai
induk dan kerangka umum yang meletakan asas-asas, landasan dan
pedoman bagi seluruh lingkungan peradilan di Indonesia.
Pasal 18 UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan oleh Mahkamah Konstitusi”.
Dengan demikian, badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
Mengenai kedudukan dan wewenang masing-masing lingkungan
peradilan tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa peraturan
perundang-undangan di bawah ini, yakni :
a. UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan beberapa
perubahannya dalam UU No 5 Tahun 2004 dan UU No 3 Tahun 2009.
b. UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan beberapa
perubahannya dalam UU No 8 Tahun 2004 dan UU No 49 Tahun
2009.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
24
c. UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan
beberapa perubahannya dalam UU No 9 Tahun 2004 dan UU No 51
Tahun 2009.
d. UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahannya
dalam UU No 3 Tahun 2006 dan UU No 50 Tahun 2009.
e. UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
f. UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan
perubahannya dalam UU No 8 Tahun 2011.
g. UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan perubahannnya.
Sasaran penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk
menciptakan kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman
dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian para
penyelenggara dilakukan dengan meningatkan integritas, ilmu
pengetahuan, dan kemampuan. Adapun peradilan yang berkualitas
merupakan produk dari kinerja para penyelenggara peradilan tersebut
(Muhammad Nuh, 2011:95).
Kompetensi atau wewenang pengadilan dibedakan atas lingkungan
dan tingkat peradilan, berdasarkan lingkungannya pengadilan dibedakan
atas :
a. Pengadilan Negeri
Adalah suatu peradilan umum yang berwenang memeriksa dan
memutuskan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara perdata
dan pidana sipil untuk semua golongan penduduk.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
25
b. Pengadilan Agama
Adalah suatu peradilan yang memeriksa dan memutuskan perkara-
perkara yang timbul antara orang-orang islam yang berkaitan dengan
nikah, rujuk, talak, nafkah waris dan lain-lain.
c. Pengadilan Tata Usaha Negara
Adalah pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus semua
sengketa tata usaha negara pada tingkat pertama.
d. Pengadilan Militer
Adalah pengadilan yang berwenang mengadili dalam lapangan pidana
bagi anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian
Republik Indonesia atau orang yang disamakan dengannya.
Wewenang peradilan berdasarkan tingkatannya dibedakan atas:
a. Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri)
Wewenang pengadilan tingkat pertama adalah memeriksa dan
memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang khususnya tentang:
1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyelidikan atau penghentian tuntutan.
2) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang
perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.
b. Pengadilan Tingkat Kedua
Wewenang pengadilan tingkat kedua adalah :
1) Mengadili perkara yang diputuskan oleh pengadilan negeri dalam
daerah hukumnya yang dimintakan banding.
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
26
2) Berwenang untuk memerintahkan pengiriman berkas-berkas
perkara dan surat-surat untuk diteliti dan memberi penilaian
terhadap kecakapan dan kerajinan hakim.
c. Kasasi oleh Mahkamah Agung
Wewenang Mahkamah Agung adalah sebagai berikut :
1) Mengadili semua perkara yang dimintakan kasasi.
2) Meminta keterangan dari semua pengadilan lingkungan peradilan.
Pengadilan dalam menegakan hukum yang telah di buat dan
disediakan oleh pembentuk Undang-undang, berbeda dengan
komponen eksekutif, yaitu menjalankan penegakan hukum itu dengan
aktif, sedangkan peradilan dapat disebut pasif, karena harus menunggu
datangnya pihak-pihak yang membutuhkan jasa peradilan. Para pencari
keadilan datang membawa persoalan mereka untuk diselesaikan
melalui proses peradilan.
Undang-undang yang telah dibuat dan disediakan oleh
pembentuk Undang-undang itu, tidak selamanya dapat diterapkan
begitu saja pada peristiwanya. Tetapi ketentuan perundang-undangan
itu harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan sesuai dengan
peristiwanya, kemudian baru dapat diterapkan pada peristiwanya.
Penerapan atau penegakan Undang-undang yang bersifat abstrak dan
umum seperti ini lazimnya dilakukan melalui peradilan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa, kalaupun Undang-
undang itu jelas, Undang-undang itu tidak sempurna tidak mungkin
Analisis Putusan Mahkamah... Ade Yiyit Sutanto, Fakultas Hukum UMP, 2018
27
Undang-undang itu lengkap dan tuntas. Tidak mungkin Undang-
undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas,
karena kegiatan manusia itu tidak terbilang banyaknya.
Sejalan dengan pernyataan diatas, Ismail Shaleh menyatakan
bahwa Menegakan hukum bukanlah sekedar melaksanakan huruf,
kalimat atau Pasal “mati” dalam peraturan Perundang-undangan
sebagai hukum positif. Hukum positif mempunyai kekurangan-
kekurangan atau kekosongan-kekosongan, karena hukum positif
memang tidak dapat mengikuti kecepatan dinamika perkembangan
masyarakat, bahkan dalam beberapa hal ketinggalan dengan masalah-
masalah yang timbul dalam masyarakat. Kekosongan hukum tersebut
dapat diisi oleh hakim, sehingga hakim pun dalam hal ini menjadi
pembuat hukum.
Penegakan melalui peradilan tidak selamanya menerapkan
ketetuan perundang-undangan, tetapi peradilan juga dapat menciptakan