11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai Kriminologi Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek. Nama kriminologi pertama kali dikemukakan oleh P. Topinard, seorang ahli antropologi prancis. Kriminologi terdiri dari dua kata yakni kata crime yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi adalah ilmu tentang kejahatan5. seperti halnya disiplin ilmu lainnya menghendaki pembatasan atau definisi. Apabila dilihat dari kata tersebut, maka kriminologi mempunyai arti sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan 6. Kriminologi tidak hanya mempelajari tentang kejahatan akan tetapi secara luas mempelajari kejahatan, pelaku kejahatan dan reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut sebagai upaya pencegahan kejahatan7. “Kriminologi yang merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologis teoritis atau kriminologis murni). Kriminologis teoritis adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman, yang seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala yang mencoba menyelidiki sebab- sebab dari gejala tersebut dengan cara-cara yang ada padanya”8. 5 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulva. 2001. Kriminologi, Rajawali Grafindo : Jakarta, hal.9 6 Tolib Effendi. 2017. Dasar-Dasar Kriminologi, Setara Press : Malang, Hal.26 7 Ibid 8 Topo Santoso dan Eva, 2012, Kriminologi, Rajawali Pers :Jakarta, Hal.9
29
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai …eprints.umm.ac.id/61459/3/BAB II.pdf · 2020. 5. 13. · Hadianto Djanggih dan Nurul Qamar, Penerapan Teori-teori Kriminologi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis Mengenai Kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejahatan dari berbagai aspek. Nama kriminologi pertama kali
dikemukakan oleh P. Topinard, seorang ahli antropologi prancis.
Kriminologi terdiri dari dua kata yakni kata crime yang berarti kejahatan
dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi adalah ilmu
tentang kejahatan5. seperti halnya disiplin ilmu lainnya menghendaki
pembatasan atau definisi. Apabila dilihat dari kata tersebut, maka
kriminologi mempunyai arti sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan6.
Kriminologi tidak hanya mempelajari tentang kejahatan akan tetapi secara
luas mempelajari kejahatan, pelaku kejahatan dan reaksi masyarakat atas
kejahatan tersebut sebagai upaya pencegahan kejahatan7.
“Kriminologi yang merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan
menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologis teoritis atau
kriminologis murni). Kriminologis teoritis adalah ilmu pengetahuan yang
berdasarkan pengalaman, yang seperti ilmu pengetahuan lainnya yang
sejenis, memperhatikan gejala-gejala yang mencoba menyelidiki sebab-
sebab dari gejala tersebut dengan cara-cara yang ada padanya”8.
5 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulva. 2001. Kriminologi, Rajawali Grafindo : Jakarta, hal.9
Kriminologi tidak hanya diterjemahkan dari kata crimen dan logos
saja, terdapat banyak literatur yang memberikan definisi tentang
kriminologi. Sutherland dan Cressey berpendapat, bahwa : kriminologi
adalah keseluruhan pengetahuan yang membahas kejahatan sebagai suatu
gejala sosial12. Kemudian selanjutnya Robert F. Meier dalam bukunya crime
and society mendefinisikan Criminology is the study of law making, law
breaking and responses to the law breaking13 Maka dari itu obyek studi
kriminologi melingkupi:
a) Kejahatan
Hal inilah yang membedakan kriminologi dengan hukum pidana,
dikarenakan jika objek kajian kriminologi merupakan kejahatan
sedangkan objek kajian Hukum Pidana adalah tindak pidana. Kejahatan
yang terus berkembang dan didefinisikan dalam berbagai sudut
pandang, dari hal inilah yang menjadikan salah satu factor
perkembangan kriminologi.
Dengan demikian yang perlu dijelaskan yakni kejahatan didefinisikan
secara luas dan bentuk kejahatan tidak sama menurut tempat dan waktu.
Dengan mempelajari kejahatan dan jenis jenis yang telah dikualifikasi
dengan baik, kriminologi diharapkan dapat mempelajari tingkat
kesadaran hukum masyarakat terhadap kejahatan yang dicantumkan
dalam undang-undang pidana.
12 Tolib Effendi, Op.cit, hal.29 13 Robert F. Meier .1989. Crime and Society, Allyn and Bacon, Massachusetts, hal. 28
15
b) Pelaku
Jika sebelumnya telah dijelaskan terkait dengan kejahatan maka obyek
selanjutnya adalah pelaku kejahatan. Pelaku adalah orang yang
melakukan kejahatan, sering juga disebut sebagai penjahat. Hermann
Mannheim mengemukakan tiga pendekatan yang dapat dilakukan
dalam mempelajari kejahatan dan pelaku kejahatan14:
a. Pendekatan deskriptif, dalam hal ini yang dimaksud pendekatan
deskriptif adalah salah satu pendekatan dengan cara melakukan
observasi dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan fakta
suatu kejahatan dan pelaku kejahatan. Hal yang termasuk dalam
berkaitan yakni tingkah laku criminal, bagaimana sebuah kejahatan
itu dilakukan, frekuensi kejahatan pada waktu dan tempat yang
berbeda lalu ciri ciri khas seorang pelaku kejahatan hingga
perkembangan karis seorang pelaku kejahatan.
b. Pendekatan sebab akibat, hubungan sebab akibat dalam kriminologi
berbeda dengan sebab akibat dalam hukum pidana, maka dalam
kriminologi hubungan sebab akibat dicari setelah hubungan sebab
dan akibat dalam hukum pidana telah terbukti. Secara sederhananya
mengetahui mengapa pelaku melakukan kejahatan.
c. Pendekatan secara normatif, objek kajian kriminologi dalam hal ini
kejahatan dan pelaku kejahatan beberapa pakar membatasi pada
tataran formil dan normatif. Bianchi menyatakan, apabila kejahatan
14 Made Darma Weda. 1996. Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta,hal.1
16
itu merupakan konsep yuridis, berarti merupakan dorongan bagi
kriminologi untuk mempelajari norma-norma, maka dari itu
kriminologi bersifat normatif. Meskipun kriminologi adalah sesuatu
hal yang mempelajari yang bersifat normatif, tetapi kriminologi
sendiri bersifat faktual.
c) Reaksi masyarakat terhadap perbuatan melanggar hukum dan pelaku
kejahatan, pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan tingkah laku
yang bagaimana yang tidak dapat dibenarkan, dalam hal ini bertujuan
untuk mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakat dari
perbuatan yang timbul yang dinilai merugikan atau membahayakan.
Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Suatu perbuatan baru dapat
dikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat15.
Salah satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat
pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana
masing-masing berhubungan satu sama lain16. Maka dari itu beberapa ahli
berpendapat tentang teori kriminologi untuk memberikan penjelasan yang
lebih detail tentang ilmu kejahatan sendiri, diantaranya :
1. Teori Ketegangan (Strain Theory)
Teori ini dikemukakan oleh sosiolog perancis yakni Emille Durkheim
dan Robert K. Merton. Durkheim menggunakan istilah anomi untuk
menyebut suatu kondisi yang mengalami regulasi, teori ini
15 Topo Santoso dan Eva Achyani Zulfa, Op.cit, hal.5
16 Ibid, hal.58
17
menggambarkan keadaan yang kacau tanpa peraturan. Dapat dikatakan
dengan anomi adalah suatu keadaan, dimana dalam suatu masyarakat,
tidak adanya kesempatan, adanya perbedaan struktur kesempatan untuk
mencapai sebuah tujuan (cita-cita). Kedua factor inilah yang
menyebabkan masyarakat menjadi frustasi; terjadinya konflik; adanya
ketidakpuasan yang tidak didasarkan kepada norma yang berlaku,
inilah yang disebut anomi17. Durkheim ingin menyampaikan secara
sederhana, bahwa factor penyebab kejahatan adalah kondisi
perekonomian seseorang saja, namun tidak terpaku pada factor
ekonomi saja, bagaimana masyarakat bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya jika kondisi perekonomian makro suatu negara juga tidak
mampu menjamn kebutuhan hidup warga negaranya.
Selanjutnya Robert Merton mengungkapkan bahwa perilaku
menyimpang dianggap sebagai suatu tingkah laku abnormal karena hal
itu berawal pada individu. Tingkah laku yang menyimpang ini
disebabkan karena adanya kesenjangan antara tujuan hidup yang ingin
dicapai dengan cara untuk menggapai tujuan tersebut. Maka dari itu
Robert menjelaskan jika perlu adanya 2 unsur yang ada dalam
masyarakat yakni tujuan yang harus diperjuangkan dan cara
mencapainya.
Berdasarkan penjelasan diatas, struktur sosial dalam hal ini merupakan
akar dari masalah kejahatan yang terjadi. Ketidaksesuaian antara fakta
17 Yesmil Anwar dan Adang,Op.Cit hal.88
18
dan angan-angan tersebut berakibat pada ketegangan (strain) dan
frustasi yang pada gilirannya akan menimbulkan respon psikofisis pada
individu dan berakhir dengan terjadinya kekerasan atau perlawanan18.
Strain Teori ini berasumsi bahwa orang itu taat hukum, tetapi dibawah
tekanan besar mereka akan melakukan kejahatan. Robert Merton
menyatakan bahwa munculnya perilaku kejahatan ini disebabkan
karena struktur kesempatan yang tidak merata, dari hal inilah
menimbulkan frustasi dalam masyarakat yang tidak dapat menggapai
tujuannya. Tekanan-tekanan dalam masyarakat yang terus menerus
berjalan dan berlanjut inilah yang menyebabkan kriminal terjadi.
2. Teori Differential Association
Teori ini diperkenalkan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1934
dalam bukunya Principle of Criminology. Menurutnya perilaku
kriminal merupakan perilaku yang dipelajari didalam lingkungan
sosial, artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai
cara. Namun tidak hanya dalam satu versi namun Sutherland
memperkenalkan dalam dua versi sehingga mengembangkan teorinya.
Sehingga dapat disimpulkan jika munculnya teori asosiasi diferensial
ini didasarkan karena setiap orang akan menerima dan mengakui pola
perilaku yang dapat dilakukan, kegagalan untuk mengikuti pola tingkah
laku dapat menimbulkan sesuatu yang bersifat tidak harmonis dan
18 Hadianto Djanggih dan Nurul Qamar, Penerapan Teori-teori Kriminologi dalam
Penanggulangan Kejahatan Siber, Pandecta, Volume 13, No 1, June 2018, hal.13
19
konflik budaya adalah prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.
Menurutnya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh seseorang ini
disebabkan oleh perbedaan pergaulan dan interaksi dengan orang yang
berbeda latar belakangnya.
3. Teori Kontrol Sosial
Teori ini dikemukakan oleh Travis Hirschi yang menjelaskan jika
perilaku kriminal merupakan kegagalan kelompok-kelompok sosial
konvensional seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk
mengikatkan atau terikat dengan individu. Dalam teori ini merumuskan
jika manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki moral murni,
maka dari itu dianggap jika manusia memiliki kebebasan untuk
melakukan sesuatu hal. Namun dalam teori yang dikemukakan oleh
Travis ini sendiri menitikberatkan pada sekelompok orang yang taat
hukum sehingga tidak semua orang melanggar hukum.
Lalu berkembanglah teori ini hingga pada tahun 1951, Albert J. Reiss
Jr menggabungkan konsep kepribadian dan sosialisasi dengan hasil
penelitian sehingga menghasilkan teori kontrol sosial yang dibagi
menjadi dua yakni personal control yaitu kemampuan seseorang untuk
menahan diri agar dalam memenuhi kebutuhannya tidak menggunakan
cara yang melanggar norma dan social control dimana kemampuan
kelompok sosial untuk dapat melaksanakan norma-nroma atau
peraturan untuk menjadi lebih efektif.
4. Teori Labelling
20
Teori ini muncul pada tahun 1960 yang banyak dipengaruhi oleh aliran
Chicago. Teori ini mengukur mengapa terjadinya kejahatan namun
terdapat dua konsep dengan makna yang berbeda yakni pertama
menjelaskan mengapa dan bagaimana orang diberikan label dan
selanjutnya pengaruh dari label tersebut atas perilaku atau tindakan
yang telah dilakukan.
Menurut teori ini sebuah tindak kejahatan dapat terjadi karena aturan
lingkungan, sifat individualistic serta reaksi masyarakat terhadap
kejahatan. Proses pemberian label ini juga menyebabkan seseorang
melakukan kejahatan dikarenakan salah satu konsep tersebut dapat
membentuk karakter kriminal pada diri seseorang
5. Teori Kesempatan
Teori ini dikemukakan oleh Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin
yang menjelaskan jika sebuah kejahatan dan bentuk bentuk perilakunya
bergantung pada kesempatan, baik kesempatan patuh norma maupun
kesempatan penyimpangan norma.
6. Teori Disorganisasi sosial
Teori ini dikemukakan oleh Clifford R. Shaw dan Henry D yang
menjelaskan jika status yang dimiliki suatu masyarakat lebih tinggi
maka angka kejahatan cenderung rendah dan sebaliknya, faktor
ekonomi yang sangat mempengaruhi seseorang melakukan sebuah
tindak pidana.
21
B. Tinjauan Teoritis Mengenai Kejahatan
Kejahatan merupakan tanda yang diberikan kepada orang yang
melakukan perbuatan jahat, dengan demikiran pelaku disebut juga dengan
penjahat. Kejahatan bukanlah konsep baru dalam sejarah peradaban
manusia. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri
tidak mendefinisikan secara jelas terkait kejahatan, namun KUHP telah
mengatur sejumlah delik kejahatan yang diatur dalam buku kedua. Dalam
hal ini tindak kejahatan bisa dilakukan baik wanita maupun pria dan tidak
memandang status sosial.
Dalam pandangan kriminologi (positivistis) di Indonesia, kejahatan
dipandang sebagai : pelaku yang telah diputus oleh pengadilan; perilaku
yang perlu deskriminalisasi; perbuatan yang mendapat reaksi sosial19.
Beberapa ahli kriminologi merumuskan kejahatan sebagai berikut :
a. Menurut W.A Bonger, kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang
secara sadar mendapatkan reaksi dari negara berupa pemberian derita dan
kemudian, sebagai reaksi-reaksi terhadap rumusan hukum (legal
definition) mengenai kejahatan 20.
b. Sutherland, kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena
merugikan, terhadapnya negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya
untuk mencegah dan memberantasnya21
19 Yesmil Anwar dan Adang, Op.cit, hlm 178
20 W.A. Bonger .2018. Pengantar Tentang Kriminologi, PT Pembangunan: Jakarta
21 Yesmil Anwar dan Adang, Loc.Cit.
22
c. Sue Titus Reid, kejahatan adalah suatu tindakan sengaja, dalam
pengertian ini seseorang tidak hanya dapat dihukum karena pikirannya,
melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak.
Dalam hal ini kegagalan dalam bertindak dapat juga dikatakan sebagai
kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam
kasus tententu, disamping itu pula harus ada niat jahat22.
Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan
antara kejahatan dan pelanggaran adalah perbedaan antara rechtsdelicten
(delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang). Pelanggaran
termasuk dalam wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk
kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hal yang
terlarang. Sedangkan kejahatan termasuk dalam rehtsdelicten (delik
hukum), yaitu peristiwa- peristiwa yang berlawanan atau bertentangan
dengan asas-asas hukum yang, hidup dalam keyakinan manusia. dan
terlepas dari undang-undang.
Menurut Kartono bahwa : “secara yuridis formal, kejahatan adalah
bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan,
merupakan masyarakat, asocial sifatnya dan melanggar hukum serta
undang-undang pidana”23. Ringkasnya, secara yuridis formal, kejahatan
adalah bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana.
22 Sue Titus Reid, Crime and Criminology, New York : Holt, Rinehart and Wiston, p.5 23 Roeslan Saleh. 1998. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. PT Aksara Baru :
Jakarta, hal.13
23
Selanjutnya, semua tingkah laku yang dilarang oleh undang-undang harus
dijauhi.
Namun secara sosiologis, kejahatan adalah segala bentuk ucapan,
perilaku dan tingkah laku yang secara umum dapat merugikan masyarakat
dikarenakan melanggar norma-norma susila yang tumbuh dimasyarakat.
Menurut objek hukum yang diserangnya, kejahatan dapat dibagi
dalam:
a) Kejahatan ekonomi, kejahatan ini lebih memfokuskan terhadap sistem
ekonomi dan pembangunan suatu masyarakat maupun dalam bidang
keuangan. Kejahatan yang dilakukan memiliki dampak luas dalam
perekonomian masyarakat.
b) Kejahatan politik dan pertahanan keamanan, kejahatan yang
menyerang organisasi yang timbul dari berfungsinya negara tersebut
serta mengancam sistem keamanan dan pertahanan suatu negara
c) Kejahatan kesusilaan, segala kejahatan yang berhubungan dengan
masalah kesusilaan.
d) Kejahatan terhadap jiwa orang dan harta benda, kejahatan dalam bentuk
penyerangan terhadap nyawa orang lain yang mengakibatkan hilangnya
nyawa dan kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain.
C. Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Penipuan
Strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya,
yaitu : tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana, maupun
24
perbuatan yang dapat dipidana24. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana,
menurut Simons didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang diancam
dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum,
dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung
jawab25.
Dengan adanya tindak pidana juga merupakan bentuk tanggung
jawab negara untuk memberlakukan hukum pidana melalui alat
pelengkapnya seperti kepolisian, kejaksaan serta pengadilan. Namun dalam
memberlakukan hukum pidana sehingga seseorang dapat dinyatakan
bersalah perlu untuk memenuhi unsur unsur yang telah dirumuskan menjadi
tindak pidana. Jika salah satu unsur tindak pidana ini tidak terpenuhi maka
proses penuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum tidak dapat
dilanjutkan atau batal demi hukum.
Pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan jika seseorang telah
memenuhi semua unsur tindak pidana sebagaimana yang dirumusukan
didalam pasal undang-undang pidana. Jika dibagi menurut unsurnya, secara
umum tindak pidana terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur subyektif dan
unsur obyektif, yaitu:
b. Unsur Subyektif, unsur ini merupakan unsur yang ada dalam diri pelaku
sifatnya melekat. Banyaknya perbedaan pendapat para ahli terkait unsur
24 Rony Wiyanto. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju : Bandung, hal.160
25 Ibid
25
subyektif dalam tindak pidana yang berbeda maka dapat disimpulkan
yang meliputi unsur subyektif adalah sebagai berikut :
1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningswatbaarheit)
2. Kesalahan (schuld) yang meliputi Kesengajaan (dolus) dan Kealpaan
(culpa)
c. Unsur Obyektif, unsur ini merupakan unsur yang berasal dari luar diri
pelaku. Yang termasuk dalam unsur obyektif seperti, perbuatan /
tindakan, suatu akibat dan suatu keadaan.
Tindak pidana penipuan diatur dalam KUHP Buku II. Tindak pidana
penipuan merupakan kejahatan tentang harta benda dan dalam pokoknya
tindak pidana telah diatur dalam Pasal 378 KUHP. Penipuan juga mengatur
perbuatan yang ditujukan terhadap harta benda dimana oleh pelaku
didapatkan dengan cara menipu maupun menggunakan tipu muslihat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa tipu
berarti kecoh, daya acara, perbuatan atau perkataan yang tidak jujur dalam
artian melakukan kebohongan palsu dst, dengan maksud untuk mencari
sebuah keuntungan.
Dalam pengertian secara yuridis tindak pidana penipuan dapat
dilihat dari rumusan KUHP. Namun yang perlu diketahui adalah rumusan
KUHP bukanlah suatu definisi namun hanya menentukan unsur-unsur
sehingga seseorang dapat dikatakan melakukan penipuan jika telah
memenuhi unsur unsur tersebut. Penipuan yang diatur dalam pasal 378
KUHP adalah sebagai berikut :
26
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntukan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun”
Seseorang yang melakukan penipuan adalah menerangkan sesuatu
seolah olah betul atau terjadi, tetapi sesungguhnya perkataan itu adalah tidak
sesuai dengan kenyataannya, karena tujuannya hanya untuk meyakinkan
orang yang menjadi sasaran agar diakui keinginannya, sedangkan
menggunakan nama palsu agar yang bersangkutan tidak diketahui
identitasnya26.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka tindak pidana penipuan
memiliki unsur yang dibagi menjadi dua yakni sebagai berikut:
a. Unsur Subyektif, dalam sebuah tindak pidana penipuan meliputi :
1. Dengan maksud
Dalam hal ini istilah “dengan maksud” menunjukkan adanya unsur
kesengajaan dalam tindak pidana penipuan. Kesengajaannya ini
berasal dari diri pelaku dan ketika seseorang melakukan penipuan
26 H. Dudung Mulyadi, S.H.,M.H, Unsur-Unsur Penipuan dalam Pasal 378 KUHP dikaitkan
dengan Jual Beli Tanah, Volume 5 No.2- September, hal.211
27
bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum.
2. Untuk menguntungkan diri sendiri
Menguntungkan memberikan arti menambah kekayaan dari yang
sudah ada baik menambah hartanya sendiri maupun orang lain.
3. Secara melawan hukum
Yang dimaksud dengan secara melawan hukum yakni perbuatannya
bertentangan dengan apa yang dikehendaki masyarakat. Dalam hal ini
pelaku melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang atau
melawan hukum materiil, sesuai dengan rumusan tindak pidana
penipuan.
b. Unsur Obyektif
1. Menggerakkan orang lain
Menggerakkan dalam konteks Pasal 378 KUHP ialah dengan
menggunakan tindakan-tindakan maupun perkataan-perkataan yang
bersifat menipu27.
Dalam KUHP sendiri tidak memberikan penjelasan secara rinci terkait
istilah menggerakan (Bewegen). Objek yang dipengaruhi dalam hal
ini adalah kehendak orang lain sehingga perlu adanya mempengaruhi