1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin delictum. Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti ”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van werkelijkheid” sedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit ” itu dapat diterjemahkan sebagai ” sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. 1 Sedangkan Moeljatno dalam Sudarto, memberikan arti perbuatan pidana sebagai suatu perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 2 Pendapat para ahli mengenai tindak pidana ini berbeda-beda, berkaitan dengan pandangan yang mereka anut, yaitu pandangan dualistis dan pandangan monistis. Menurut Pompe, yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut 1 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 181 2 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang 1990, h. 43
35
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Tindak Pidanarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11648/2/T2_322013034_BAB II...A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana 1. ... sebagai pelanggaran
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin delictum.
Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti
”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van werkelijkheid”
sedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah
perkataan ”strafbaar feit ” itu dapat diterjemahkan sebagai ” sebagian
dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.1 Sedangkan Moeljatno
dalam Sudarto, memberikan arti perbuatan pidana sebagai suatu
perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar
larangan tersebut.2
Pendapat para ahli mengenai tindak pidana ini berbeda-beda,
berkaitan dengan pandangan yang mereka anut, yaitu pandangan
dualistis dan pandangan monistis.
Menurut Pompe, yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit
itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut
1 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997, h. 181 2 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang 1990, h. 43
2
sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan
yang dapat dihukum”.3
Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah “suatu kelakuan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”. 4
J. Bouman (dalam Adami Chazawi) berpendapat bahwa tindak
pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat
melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.5 Pandangan ini
berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban
pidana harus dipisahkan.
Meskipun dalam KUHP tidak memberikan pengertian tentang
tindak pidana tetapi kita dapat melihat dari beberapa pakar hukum
pidana yang memberikan pengertian tentang straafbaarfeit. Straafbaar
feit menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang
yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-
undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Alasan
dari Simons dalam Moeljatno merumuskan straafbaarfeit seperti
tersebut di atas, karena6 :
a. Untuk adanya straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat
suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan
undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau
Istilah restorative justice yang dalam terjemahan bahasa Indonesia
disebut dengan istilah keadilan restoratif, secara definisi atau pengertian dari
restorative justice, para ahli hukum memiliki pendapat yang beragam.
Menurut pendapat dari Andi Hamzah menerjemahkan keadilan restoratif
sama dengan criminal justice diterjemahkan dengan peradilan pidana.18
Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall
dalam tulisannya Restorative justice an Overview memberi definisi
restorative justice:19
Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake
in a particular offence come togather to resolve collectively how to
deal with the aftermath of the offence and its implications for the
future.
Terjemahan:
Restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang
berkepentingan dalam pelanggaran atau delik tertentu bertemu
bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama atau
kolektif bagaimana menyelesaikan mengenai akibat dari suatu
pelanggaran atau delik tersebut demi kepentingan masa depan.
Pengertian dari Tony F. Marshall tersebut di atas, kemudian
diuraikan secara lebih lengkap oleh Susan Sharpe dengan mengungkapkan
lima prinsip kunci dari restorative justice yaitu sebagai berikut:20
1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;
2. Restorative justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian
yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;
3. Restorative justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari
pelaku secara utuh;
18 Andi Hamzah, Restorative Justice dan Hukum Pidana Indonesia, Makalah yang disampaikan
pada Seminar IKAHI tanggal 25 April 2012, halaman 5 (Selanjutnya disebut: Andi Hamzah I). 19 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative
Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 28 (Selanjutnya disebut: Marlina I). 20 Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap Anak yang
Berhadapan dengan Hukum, dalam Mahmul Siregar dkk, Pedoman Praktis Melindungi Anak
dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak
(PKPA), Medan 2007, h. 83 (Selanjutnya disebut Marlina II)
15
4. Restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga
masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan kriminal;
5. Restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar
dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya;
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan
menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang
dikemukakan oleh Dignan, sebagai berikut:21
Restorative justice ia a new framework for responding to
wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and
support by educational, legal, sosial work and and counseling
professionals and community groups. Restorative justice is a valued-
based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a
balanced fokus on theperson harmed, the person causing the harm,
and the affected community.
Terjemahan:
Keadilan restoratif adalah suatu kerangka pemikiran baru untuk
mengatasi penyimpangan dan konflik yang membutuhkan
penerimaan dan dukungan secara cepat dari kaum intelektual,
penegak hukum, pekerja sosial dan konsultan professional serta
kelompok komunitas. Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan
berbasis nilai untuk mengatasi penyimpangan dan konflik, dengan
fokus yang seimbang antara korban dan pelaku serta masyarakat.
Restorative justice memberikan keutamaan untuk mengembalikan
konflik kepada semua pihak yang berperkara, dalam hal ini yang paling
terkena pengaruh yaitu korban, pelaku dan kepentingan kelompok
komunitas untuk memecahkan suatu perkara dengan pengutamaan
rekonsiliasi (penyelesaian seperti semula). Menurut Eva Achjani Zulfa,
keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
21 Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji, Op.Cit., h. 65
16
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat
ini. 22
Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan
keadilan restoratif membutuhkan peran aktif baik dari korban maupun
pelaku. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Marlina yang menyatakan:23
Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan
pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban
dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan
untuk bersama-sama berbicara.
Menurut Eva Achjani Zulfa, tidak mudah memberikan definisi bagi
pendekatan keadilan restoratif ini, mengingat banyaknya variasi model dan
bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Karenanya banyak
terminologi yang digunakan untuk menggambarkan aliran keadilan
restoratif ini antara lain “commutarian justice (keadilan komutarian),
making amends (penggantian kerugian), positive justice (keadilan positif),
Dengan demikian bahwa keadilan restoratif memiliki terminologi
yang bervariasi dan dapat diuraikan dengan merumuskan makna yang
terkandung di dalamnya, sebagaimana diuraikan oleh Harkristuti
Harkrisnowo adalah sebagai berikut:25
- Respon yang lentur terhadap kejahatan, pelaku dan korban, yang
memungkinkan penyelesaian kasus secara individual;
22 Eva Achjani Zulfa I, Op.Cit., hlm..3 23 Marlina I, Op.Cit., hlm 180 24 Eva Achjani Zulfa I, Op.Cit., hlm 118 25 Harkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Saksi dan Korban: Pendekatan Restorative Justice
dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah yang disampaikan pada Focus Group Discussion yang
diselenggarakan oleh LPSK pada tanggal 1 Desember 2011
17
- Respon atas kejahatan dengan tetap mempertahankan harkat dan
martabat setiap orang, membangun saling pengertian dan harmoni
melalui pemulihan korban, pelaku dan masyarakat;
- Mengurangi dampak stigmatisasi pelaku;
- Dapat dilakukan sejalan dengan mekanisme tradisional yang masih
dipertahankan;
- Melakukan pemecahan masalah dan sekaligus mengatasi akar
munculnya konflik;
- Tidak harus bertumpu pada prosedur hukum.
Keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran atau
gagasan untuk merespon dalam pengembangan sistem peradilan pidana dan
dengan menitikberatkan pada kebutuhan untuk melibatkan masyarakat dan
korban, yang selama ini tidak puas dengan mekanisme yang ada terhadap
bekerjanya sistem peradilan pidana. Sehingga keadilan restoratif yang
merupakan suatu kerangka berpikir baru diharapkan dapat digunakan dalam
merespon suatu tindak pidana bagi para penegak hukum.
Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep
pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan
materil). Restorative Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan
siste m pemasyarakatan. Dari kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang
berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated justice),
yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi
masyarakat. Hal inilah yang mendorong kedepan konsep ”restorative
justice”.
Kemudian Bagir Manan, dalam tulisannya juga, menguraikan
tentang substansi ”restorative justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain:
”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok
masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana.
Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang
bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang
dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.
18
Konsep restorative justice merupakan proses penyelesaian tindak
pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan
pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam suatu pertemuan untuk
bersama-sama berbicara.26
Prinsip yang di paparkan oleh Tony Marshal dan prinsip yang ditulis
Susan Sharpe sebenarnya telah di praktikkan selama ribuan tahun oleh
masyarakat walaupun secara nonformal. Di Indonesia praktik secara
restorative justice ini juga telah dilakukan yang di kenal dengan
penyelesaian secara kekeluargaan.
Bentuk praktik restorative yang telah berkembang di negara Eropa,
Amerika Serikat, Canada, Australia, dan Newzealand dapat di kelompookan
menjadi empat jenis praktik yang menjadi pioneer penerapan restorative
justice di beberapa negara yaitu:
1. Victim Offender Mediation (VOM)
2. Conferencing/Family Group Conferencing
3. Circles
4. Restorative Board/Youth Panels
1. Victim Offender Mediation (VOM)
Program victim offender mediation pertama kali dilaksanakan
sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia
dan Finlandia.
26 Marlina, Op. Cit, h. 180.
19
Tujuan dilaksanakannya VOM dalah memberi penyelesaian
terhadap perristiwa yang terjadi, diantaranya dengan membuat sanksi
alternatif bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat
khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius.27
Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan kepada korban
dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan
berbicara secara sukarela serta memberi kesempatan pada pelaku
bejalar terhadap akibat dari perbuatannya itu serta membuat rencana
penyelesaian kerugian yang terjadi.
Peserta yang terlibat dalam bentuk mediasi adalah korban
(secara sukarela), pelaku, pihak yang bersimpati terhadap kedua pihak,
dan orang yang dianggap penting bila diperlukan, serta mediator yang
dilatih khusus.
Dalam VOM para pihak yang ikut tidak menjadi berdabat.
Seseorang yang secara jelas melakukan kejahatan dan telah mengakui
perbuatannya sehingga koraban merasa dihormati. Selanjutnya isu
bersalah atau tidak bersalah tidak diagendakan dalam victim offender
mediation, juga tidaka mengharapkan bahwa korban kejahatan
berkompromi dan mengharapkan lebih kecil dari apa yang mereka
butuhkan untuk mengembalikan kerugiannya.
Kalau jenis mediasi yang lain lebih menitikberatkan
pertanggungjawaban tapi victim offernder mediation mendasarinya
27 Marlina, Op. Cit, h. 181.
20
dengan dialog dengan perhatian kepada penyembuhan korban dan
pertanggungjawaban pelaku dan mengembalikan kerugian.
2. Family Group Conferencing (FGC)
Conferencing pertama kali dikembangkan di negara Newzealand
pada tahun 1989 dan di Australiia pada tahun 1991 dan pada mulanya
merupakan refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional
masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli Newzzealand yaitu
bangsa Maori.
Conferencing tidak hanya melibatkan korban utama dan pelaku
utama, tetapi juga korban sekunder seperti anggota keluarga dan teman
korban. Orang-orang ini ikut dilibatkan karena mereka juga terkena
damaak atau imbas dalam berbagai bentuk akibat dari kejahatan yang
terjaadi dan juga karena mereka peduli terhadap korban ataupun pelaku
utama.28
Sasarannya memberikan kesempatan kepada korban untuk
terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan
mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan saksi yang tepat
bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku
tentang pelanggaran yang terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian
atas akibat perbuatannya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku
bertanggungjawab penuh dapat bersama-sama menentukan sanksi bagi
pelaku dan membimbingnya setelah mediasi berlangsung. Terakhir
adalah memberikan korban dan pelaku untuk saling berhuubungan
28 Marlina, Op. Cit, h. 188.
21
dalam memperkuat kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah
karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.
Orang yang turut serta dalam proses family group conferencing
adalah anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau
pihak dari korban dan pelaku serta lembaga yang punya perhatian
terhadap permasalahan anak.
3. Circles
Pelaksanaan circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon,
Canada. Circles sama halnya dengan conferencing yang dalam
pelaksanaannya memperluas partisiasi para peserta dalam proses
mediasi di luar korban dan pelaku utama. Pihak keluarga dan
pendukung dapat diikutsertakan sebagai peserta peradilan pidana.29
Sasaran yang ingin di capai melalui proses circle adalah
terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan
pelaku dan memberi kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki
dirinya dengan tanggungjawab penyelesaian kesepakatan.
Keberhasilam dari Circle ini adalah jika adanya kerjasama
dengan system peradilan formal dan masyarakat. Sistem peradilan
formal perlu ikut berperan untuk memastikan bahwa proses yang
dijalankan telah memberikan keadilan dan bersifat jujur bagi semua
pihak dan tanpa pemaksaan. Kekuatan masyarakat yang ikut serta
29 Marlina, Op. Cit, h. 192.
22
dalam circle akan terjalin erat melalui kepedulian secara bersama-sama
mengatasi tindak pidana anak.
4. Reparatif Board/Youth Panel
Program ini mulai dilaksanakan di negara bagian Vermont pada
tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice Assictance
setelah melihat respon yang baik dari warga negara terhadap studi yang
dibuat oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan keikutsertaan
masyarakat dalam program reparative tersebut dan sifat perbaikan yang
menjadi dasarnya.30
Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan
oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator, dan
juga hakim, jaksa, dan pembela secara bersama merumuskan bentuk
sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau
masyarakat.
Sasarannya adalah peran aktif serta anggota masyarakat secara
langsung dengan pelaku. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut
pelaku melakukan pertanggungjawaban secara langsung atas tindakan
yang telah dilakukannya.
Tata cara pelaksanaannya mediator yang memfasilitasi
pertemuan ini aalah orang-orang yang sudah diberi pendidikan khusus
mediasi. Pertemuan dilaksanakan secara tatap muka semua peserta dan
dihadiri juga oleh pihak pengadilan. Selama pertemuan para petugas
berdiskusi dengan pelaku tentang perbuatan negatifnya dan konsekuensi
30 Marlina, Op. Cit, h. 194.
23
yang harus ditanggung. Kemudian para peserta merancang sebuah
sanksi yang didiskusikan dengan pelaku dalam jangka waktu tertentu
untuk membuat perbaikan atas akibat tindak pidananya. Setelah
dirasakan cuku dan disepakati maka hasilnya dilaporkan kepada pihak
pengadilan untuk disahkan. Setelah itu maka keterlibatan board
terhadap pelaku berakhir.
D. Kebijakan Dalam Restoratif Justice
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Kebijakan” dari akar
kata “bijak” sebagai “rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan
cara bertindak (tata pemerintahan, organisasi dan sebagainya)”. Kebijakan
juga berarti; “pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis
pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran”.31
Sebagai suatu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana pelaksanaan tindakan maka kebijakan merupakan suatu
sistem. Sebagai sistem, kebijakan penanggulangan tindak pidana merupakan
sub sistemdari sistem Kebijakan Sosial (Social Policy). Kebijakan sosial
dengan demikian dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas dalam
pelaksanaan suatu rencana bertindak pemerintah untuk mencapai suatu
tujuan. Kebijakan sosial dalam berfungsinya mempunyai tujuan besar yakni
“kesejahteraan masyarakat” (social welfare) dan “perlindungan masyarakat”
(social defence).
31 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Electronic, Yufidinc, 26 Januari 2015
24
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat diberi arti lain
dengan “Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Dalam
kerangka sistem policy, sub sistem criminal policy secara operasional
berupaya mewujudkan tujuan utama; social welfare dan social defence.
Sebagai sarana penanggulangan kejahatan, criminal policy dapat ditempuh
melalui sarana penal (penal policy) dan sarana non penal (non penal policy).
Barda Nawawi Arief dalam kajian social policy dan criminal policy ini
memberikan bagan sistematis mengenai kebijakan tersebut.32
Dalam pelaksanaan tugas Polri dalam masyarakat terutama sebagai
penegak hukum yang berupaya menanggulangi tindak pidana, maka yang
dikemukakan Barda Nawawi Arief di atas dapat dipakai sebagai acuan
tugas, bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dalam pelaksanaannya
perlu ditempuh melalui kebijakan integral (integrated appoarch) dengan
memadukan antara social policy dengan criminal policy dan memadukan
antara penal policy dan non penal policy.
Dalam menguraikan berbagai segi negatif dari perkembangan
masyarakat, Sudarto menegaskan bahwa upaya “minta bantuan” kepada
hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana hendaknya atau
harus dipertimbangkan paling akhir. Hukum pidana mempunyai fungsi
subsidier artinya baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan
kurang memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Akan tetapi
kalau toh hukum pidana akan dilibatkan, maka hendaknya dilihat dalam
hubungan keseluruhan politik kriminal terutama pada tujuan “perlindungan
32 Barda Nawawi Arief, Opcit., h. 78.
25
masyarakat” (sebagai planning for social defence). Rencana perlindungan
masyarakat ini harus merupakan bagian integral dari planning for national
development (rencana pembangunan nasional).33
Sehubungan dengan integrasi antara rencana perlindungan
masyarakat dengan rencana pembangunan nasional, berikut ini disampaikan
berbagai ketetapan internasional yang menunjang integrasi tersebut;
Kongres PBB ke-4 tentang “Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders” tahun 1970 membicarakan masalah pokok “Crime and
Development” juga pernah menegaskan :34 “any dictionary between a
country’s policies for social defence and its planning for national
development was unreal by definitions”.
Penegasan Kongres di atas memberikan makna pentingnya integrasi
antara kebijakan perlindungan masyarakat dengan rencana pembangunan
nasional, bahkan Kongres menegaskan hal tersebut jangan didekotomikan.
Kongres PBB ke-5 tahun 1975 juga menegaskan35: “The many
aspects of criminal policy should be coordinated and the whole should be
integrated into the general social policy of each country”. Makna yang
dapat diambil dari penegasan Kongres di atas adalah; banyak aspek dari
kebijakan kriminal yang harus dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam
kebijakan social setiap Negara.
Penegasan Kongres di atas membuktikan perlunya integrasi antara
kebijakan social (social policy) dengan kebijakan kriminal (criminal policy).
33 Sudarto, direformulasi oleh penyusun dari buku Hukum Pidana dan perkembangan masyarakat,
Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 34. 34 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2005, h. 5. 35 Ibid., h. 6
26
Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa bertolak dari konsepsi
kebijakan, integral sebagaimana penegasan Kongres PBB di atas, maka
kebijakan penanggulangan kejahatan (tindak pidana = penulis) tidak banyak
artinya apabila kebijakan sosial kebijakan pembangunan itu sendiri justru
menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan victimogen.36
Akhirnya Sudarto menegaskan bahwa dilibatkan hanya hukum
pidana dalam social defence planning, harus diingat atau harus diakui
bahwa penggunaan hukum pidana ini merupakan penanggulangan sesuatu
gejala (“KURIEREN AM SYMPTOM”) dan bukan suatu penyelesaian
dengan menghilangkan sebab-sebabnya.37
Dilibatkannya hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak
pidana sebagaimana diuraikan di atas, terutama ke masalah kemampuan
hukum pidana sendiri, bahwa dia menduduki posisi subsidier,
kemampuannya hanya pada penanggulangan atas gejala, bukan
menanggulangi penyebab, membuktikan sifat terbatasnya kemampuan
hukum pidana tersebut. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan masalah
biaya yang harus dikeluarkan negara jika hukum pidana dilibatkan tentu
teramat besar.
Dalam kaitannya kinerja Polri, maka syarat “kemampuan aparat
penegak hukum” layak menjadi perhatian dalam pelaksanaan tugasnya.
Makna kemampuan tidak sekedar diberi makna kuantitas atau jumlah
personil Polri, yang lebih utama justru pada kualitas personil Polri tersebut.
Kualitas personil Polri mencakup, tingkat intektualitasnya, moralnya,
36 Ibid., h. 7 37 Sudarto, Op. Cit., h. 35.
27
kinerjanya, kedisiplinannya, ketegasannya, keteladanannya dan
ketaqwaannya. Semua persyaratan itu amat berpengaruh pada citra Polri.
Dalam upaya kebijakan, penanggulangan tindak pidana (criminal
policy), G. Peter Hoefnogels menggambarkan ruang lingkupnya
sebagaimana direferensikan oleh Barda Nawawi Arief dan dianalisa oleh
penulis sebagai berikut.38 G. Peter Hoefnagels menggambarkan, bahwa