19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Harta Perkawinan 1. Pengertian Harta Perkawinan Harta perkawinan menurut hukum adalah semua harta yang dikuasai, suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah. 28 2. Macam-Macam Harta Perkawinan a. Harta Bawaan Adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelumj perkawinan. Macam-macam harta bawaan adalah : 1) Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam pernikahan yang berasal dari peninggalan orang taua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris bersama, di kerenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi kepada setiap ahli waris. 28 Hilman Hadiksuma, 2003. Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya .Bandung : PT. Citra Aditnya Bakti. Hal 11
29
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Harta ...eprints.umm.ac.id/39548/3/BAB 2.pdf · mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda. Kedudukan anak angkat menurut
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Harta Perkawinan
1. Pengertian Harta Perkawinan
Harta perkawinan menurut hukum adalah semua harta yang
dikuasai, suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan,
baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perorangan yang
berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta
pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah.28
2. Macam-Macam Harta Perkawinan
a. Harta Bawaan
Adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri
sebelumj perkawinan. Macam-macam harta bawaan adalah :
1) Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang
dibawah oleh suami atau istri kedalam pernikahan yang berasal
dari peninggalan orang taua untuk diteruskan penguasaan dan
pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris
bersama, di kerenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi
kepada setiap ahli waris.
28Hilman Hadiksuma, 2003. Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara
Adatnya .Bandung : PT. Citra Aditnya Bakti. Hal 11
20
2) Harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawah
oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari
harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara
perseorangan guna memelihara kehidupan berumah tangga.
3) Harta wasiat adalah harta atau barang-barang yang dibawah
oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari
hibah atau wasiat anggota kerabat.
4) Harta pemberian atau hadiah adalah harta atau barang-barang
yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang
berasal dari pemberian atau hadiah para anggota kerabat dan
mungkin juga orang lain karena hubungan baik.
b. Harta Penghasilan
1. Harta Pencaharian
Adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami
atau istri bersama-sama selama perkawinan tanpa
mempersoalkan apakah dalam mencari harta kekayaan itu
suami aktif bekerja sedangkan istri mengurus rumah tangga
dan anak-anak, kesemua harta kekayaan yang didapat
suami istri itu adalah hasil pencarian mereka yang
berbentuk harta bersama suami istri.
2. Hadiah Perkawinan
Adalah harta yang diperoleh suami istri bersama ketiaka
upacara perkawinan sebagai hadiah. Hadiah perkawinan yang
21
diterima mempelai pria sebelum upacara perkawinan
dimasukkan dalam harta bawaan suami sedangkan yang
diterima mempelai wanita sebelum upacara perkawinan masuk
dalam harta bawaan istri dan semua hadiah yang disampaikan
ketika kedua mempelai duduk bersanding dan menerima
ucapan selamat dari para hadirin adalah harta bersama kedua
suami istri terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat atau hanya
dibawah pengaruh orang tua yang melaksanakan upacara
perkawinan itu yang kedudukan hartanya diperuntukkan kedua
mempelai bersangkutan.29
Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 25 menyatakan bahwa harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menajdi harta bersama,
sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adlah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain,
dan apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut
hukumnya masing-masing.
B. Tinjauan Tentang Pewarisan Janda dan Anak Angkat dalam Hukum
Waris Islam
1. Pewarisan Janda dalam Hukum Waris Islam
29 Ali Afandi, 2000. Hukum Waris, hukum Keluarga, Dan Hukum Pembuktian. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
22
Istilah hukum kewarisan Islam yang digunakan dalam tulisan ini
adalah mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut
KHI) yaitu:30
“Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing”. Sedangkan yang dimaksud dengan ahli
waris adalah “Orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Hukum waris Islam mengelompokkan ahli waris menjadi dua
macam: pertama, ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan
kewarisannya didasarkan karena adanya hubungan darah
(kekerabatan). Kelompok ini dibedakan menjadi dua yaitu dari pihak
laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
kakek. Dari pihak perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek. Kedua, ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang
hubungan kewarisannya karena suatu sebab, yaitu sebab perkawinan
dan memerdekakan budak (memerdekan budak saat ini sudah tidak
dijumpai lagi). Perkawinan yang dimaksud disini adalah perkawinan
yang sah, hubungan perkawinan masih ada, termasuk dalam kategori
30 Pasal 171 huruf a dan c KHI, H. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan
Islam, cet. ke-1 (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 3.
23
ini adalah perkawinan yang telah diputuskan dengan talak raj’i yang
masa iddah bagi istri belum selesai.31
Dilihat dari bagian yang akan diterima, atau berhak dan tidaknya
seseorang menerima warisan, ahli waris dibedakan menjadi tiga macam:32
a. Ahli waris ashab al-furud yaitu ahli waris yang telah ditentukan
bagian- bagiannya, seperti ½, 1/3, dan lain-lain.
b. Ahli waris ashab al-‘usubah yaitu ahli waris yang ketentuan
bagiannya adalah menerima sisa setelah diberikan kepada ashab al-
furud, seperti anak laki-laki, ayah, paman, dan lain sebagainya.
c. Ahli waris zawi al-arham yaitu orang yang sebenarnya mempunyai
hubungan darah dengan sipewaris, namun karena dalam ketentuan
nas tidak diberi bagian, maka mereka tidak berhak menerima
bagian kecuali apabila ahli waris ashab al-furud dan ashab al-usubah
tidak ada.
Dari uraian tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa kedudukan
janda dalam hukum waris Islam, baik dari segi sebab adanya hak
kewarisan maupun dari segi bagian yang diterima, janda termasuk ahli
waris yang utama yang tidak dapat dihalangi haknya oleh ahli waris
yang lain.
31 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997),
hlm. 383. Lihat juga H. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, hlm.
43-47.
32 Ibid hlm. 384
24
2. Pewarisan Anak Angkat dalam Hukum Waris Islam
Dalam KHI terdapat pengaturan tentang pengelompokkan
ahli waris yang diatur padaPasal 174 KHI, yaitu:33
1) Kelompok ahli waris terdiri dari :
a . Menurut hubungan darah :
a) Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki,
saudara laki-laki, paman, dan kakek.
b) Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak
perempuan, saudara perempuan, dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.34
2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak
mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Kedudukan anak angkat menurut KHI adalah tetap sebagai anak
yang sah berdasarkan putusan pengadilan dengan tidak memutuskan
hubungan nasab atau darah dengan orang tua kandungnya,
dikarenakan prinsip pengangkatan anak menurut KHI adalah
merupakan manifestasi keimanan yang terwujud dalam bentuk
memelihara anak orang lain sebagai anak dalam bentuk
33 Linda Fri Filia, 2011, Status Anak Angkat Dalam Kewarisan Menurut Kompilasi Hukum Islam,
skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Diakses tanggal 21 Januari 2017 34 Ibid
25
pengasuha35n anak dengan memelihara segala keperluan dan
kebutuhan hidupnya.
Hak waris anak angkat yang dilaksanakan melalui wasiat wajibah
harus terlebih dahulu dilaksanakan dibandingkan pembagian warisan
terhadap anak kandung atau ahli waris. Aturan yang mnejadi landasan
hukumnya terdapat di dalam Pasal 175 KHI, tentang kewajiban ahli
waris terhadap pewaris, dimana pada salah satu kewajibannya
tersebut terdapat kewajiban untuk menunaikan segala wasiat dari
pewaris.36
Wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaanya tidak
dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kehendak orang yang
meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan, atau
dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi
pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat
tersebut diucapkan, dituliskan atau dikehendaki, tetapi
pelaksanaannya didasarkan pada alasan-alasan hukum yang
membenarkan bahwa wasiat terebut dilaksanakan.37
Didalam KHI, pengaturan mengenai wasiat wajibah disebutkan
dalam Pasal 209 ayat 1 dan 2 , yang berbunyi sebagai berikut:
35 Ibid 36 Ibid 37 Suparno Usman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta,
hlm. 163
26
a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal-Pasal
176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang
tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat
wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
b. terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah, sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya.
Peraturan pemberian wasiat terhadap anak angkat melalui wasiat
wajibah ini sesungguhnya dianggap baru apabila dikaitkan dengan
fiqh tradisional, bahkan peraturan perundang-undangan mengenai
kewarisan yang berlaku diberbagai dunia.
Adapun pemberian wasiat wajibah harus memenuhi dua (2) syarat yaitu:38
Pertama :Yang wajib menerima wasiat, bukan ahli waris. Jika dia
berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat
untuknya.
Kedua :Orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum
memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang
diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya. Dan
jika dia telah memberikan kurang daripada jumlah wasiat wajibah,
maka wajiblah disempurnakan wasiat itu.
38Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy ,2011, Fiqh Mawaris, Pustaka Rizki Putra,
Semarang, hlm.
27
Landasan yang bisa digunakan untuk menjadikan aturan mengenai
wasiat wajibah terhadap anak angkat sebagaimana diatur dalam Pasal
209 KHI ini sebagai bagian dari fiqh hanyalah melalui metode
ijtihad istishlah, ‘urf, dan istihsan. Sama halnya seperti wasiat wajibah
terhadap cucu yatim. Maksudnya, dengan pertimbangan kemaslahatan dan
adat sebagian masyarakat Indonesia (misalnya keengganan melakukan
poligami walaupun telah bertahun-tahun tidak dikaruniai keturunan maka
wasiat wajibah untuk orang yang dianggap sebagai anak angkat itu
boleh diberikan.39
C. Pewarisan Janda dan Anak Angkat dalam Sistem Kekerabatan
Bilateral
Di Indonesia, hukum adat memiliki sistemnya sendiri terutama
berkenaan dengan kewarisan. Hukum adat waris memiliki 3 (tiga) sistem
kewarisan yaitu:40
1. Sistem kewarisan individual memiliki ciri-ciri yaitu harta
peninggalan atau harta warisan dapat dibagi-bagikan diantara para
ahli waris seperti yang terjadi dalam masyarakat bilateral (parental)
Jawa. Di Jawa setiap anak dapat memperoleh secara individual harta
peninggalan dari ayah, ibu atau kakek neneknya. Sistem pewarisan
individual yang memberikan hak mewaris secara individual atau
39 Ahmad Junaidi,2013, Wasiat Wajibah : Pergumulan Hukum Adat dan Hukum Islam di
Indonesia, Cetakan Pertama, PustakaPelajar dan STAIN Jember Press, Jember, hlm.92
40 Suriyaman Mustari Pide, 2014 , Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang.Jakarta: Kencana,
h. 51
28
perorangan kepada ahli waris seperti di Jawa, Madura, Toraja, Aceh,
dan Lombok.
2. Sistem kewarisan kolektif memiliki ciri-ciri bahwa semua harta
peninggalan terutama harta asal atau harta pusaka diwariskan kepada
sekelompok ahli waris yang berasal dari satu ibu asal berdasarkan
garis silsilah keibuan seperti di Minangkabau atau masyarakat woe-
woe Ngadubhaga di Kabupaten Ngada-Flores.
3. Sistem kewarisan mayorat memiliki ciri-ciri bahwa harta
peninggalan yaitu harta warisan terutama harta pusaka seluruh atau
sebagian besar diwariskan hanya kepada satu anak saja. Seperti di
Bali hanya di wariskan kepada anak laki-laki tertua atau di Tanah
Semendo di Sumatera Selatan hanya diwariskan kepada anak
perempuan tertua saja.41
a) Sistem pewarisan mayorat;
a. Mayorat pria : anak/keturunan laki-laki tertua/sulung pada
saat pewaris meninggal merupakan ahli waris tunggal
(Lampung, Bali, Irian Jaya)
b. Mayorat wanita : anak perempuan tertua pada waktu
pemilik harta warisan meninggal, adalah waris tunggal
(Tanah Semendo, Sumatera Selatan.)
c. Mayorat wanita bungsu : anak perempuan terkecil/bgsu
menjadi ahli waris ketika si pewaris meninggal (Kerinci).
41 Ibid hal. 52
29
Ketiga sistem kewarisan ini masing-masing tidak langsung
menunjuk kepada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu dimana sistem
kewarisan itu berlaku, sebab suatu sistem itu dapat ditemukan juga dalam
berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun dalam suatu bentuk susunan
masyarakat dimana dapat dijumpai lebih dari satu sistem kewarisan
dimaksud.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem hukum warisan
Adat di Indonesia tidak terlepas dari pada sistem keluarga atau sistem
kekerabatan yang telah penulis jelaskan di atas. Hukum warisan adat
mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional
dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunan patrilineal, matrilineal,
parental atau bilateral. Dengan demikian, hukum warisan adat di Indonesia
terdapat tiga sistem hukum warisan, yaitu: pertama sistem hukum warisan
patrilineal, kedua sistem hukum warisan matrilineal, dan yang ketiga
sistem hukum warisan parental atau bilateral.
a. Pada Pewarisan Janda dalam Sstem Kekerabatan Parental/Bilateral
Dalam sistem ini, anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak
yang sama atas harta peninggalan orang tuanya. Ahli waris dalam
sistem ini terdiri dari ahli waris sedarah dan ahli waris tidak sedarah.
Ahli waris sedarah, yaitu anak kandung, orang tua, saudara, dan cucu.
Ahli waris tidak sedarah, yaitu duda/janda, dan anak angkat. Harta
warisan dalam sistem ini terdiri dari harta asal (kekayaan yang dimiliki
30
oleh seseorang yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan
dengan cara pewarisan, hibah atau hadiah), dan harta bersama (harta
hasil usaha bersama suami istri di dalam perkawinan).42
Sistem ini juga mengenal istilah ahli waris pengganti, yaitu
apabila seorang ahli waris meninggal terlebih dahulu dari si pewaris.
Ahli waris pengganti adalah anak dari ahli waris atau cucu si pewaris.
Seorang ahli waris dapat kehilangan hak untuk mewarisi jika ia
membunuh pewaris, atau ia berbeda agama dengan si pewaris.
Pelaksanaan pembagian harta warisan dalam sistem ini dapat
dilakukan dengan cara musyawarah antara sesama ahli waris dengan
atau tanpa disaksikan oleh sesepuh desa.
Pada masyarakat parental, kapan suatu harta diperoleh (asal
usulnya) sangat penting menentukan pada kedudukan harta
perkawinan. Asal usul harta tersebut sangatlah berkait dengan ketika
perkawinan harus berakhir dengan perceraian, maka tidak jarang suami
isteri akan memilah-milah mana harta yang termasuk dalam harta asal
dan harta bersama. Harta asal akan merupakan hak dari yang
bersangkutan, sedangkan harta bersama akan dibagi dua antara suami
isteri dengan bagian masing-masing setengah. Demikian juga jika
salah satu dari suami isteri meninggal terlebih dahulu, maka harta
bersama akan dibagi dua, sedangkan harta asal masih belum terdapat
42 Eka Susylawati, Kedudukan Janda Pada Masyarakat Parental, Journal : (Dosen Tetap Jurusan
Syari’ah STAIN Pamekasan dan peserta Program Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya, email: