19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia A.1. Konsep Sistem Peradilan Pidana Secara umum sistem peradilan pidana dapat dimaknai sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga yang dimulai dari tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga adanya putusan hakim yang dijalankan oleh lembaga pemasyarakatan. 22 Menurut Romli Atmasasmita yang dikutip dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Michael Barama mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu penegakan hukum atau law enforcement, maka didalamnya terkandung aspek hukum yang menitik beratkan kepada operasionalisasi berjalannya suatu peraturan perundang-undangan dalam hal mengupayakan penanggulangan kejahatan dan bertujuan untuk mencapai kepastian hukum. 23 Kemudian menurut Mardjono yang dikutip dalam buku Romli Atmasasmita yang berjudul Sistem Peradilan Pidana Kontemporer menyatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada di batas-batas 22 Supriyanta, KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, http://download. portalgaruda.org/article.php?article=114843&val=5264, diakses tanggal 09 Desember 2017 23 Michael Barama. 2016. Model Sistem Peradilan Pidana dalam Perkembangan. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3. No. 8. Hal. 9
27
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana di ...eprints.umm.ac.id/41103/3/BAB II.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya mengatur mengenai pelaku kekuasaan kehakiman
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
A.1. Konsep Sistem Peradilan Pidana
Secara umum sistem peradilan pidana dapat dimaknai sebagai suatu
proses bekerjanya beberapa lembaga yang dimulai dari tahap penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga adanya putusan hakim yang
dijalankan oleh lembaga pemasyarakatan.22 Menurut Romli Atmasasmita
yang dikutip dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Michael Barama
mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu penegakan
hukum atau law enforcement, maka didalamnya terkandung aspek hukum
yang menitik beratkan kepada operasionalisasi berjalannya suatu peraturan
perundang-undangan dalam hal mengupayakan penanggulangan kejahatan
dan bertujuan untuk mencapai kepastian hukum.23
Kemudian menurut Mardjono yang dikutip dalam buku Romli
Atmasasmita yang berjudul Sistem Peradilan Pidana Kontemporer
menyatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu
masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi
diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada di batas-batas
22 Supriyanta, KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, http://download.
portalgaruda.org/article.php?article=114843&val=5264, diakses tanggal 09 Desember 2017
23 Michael Barama. 2016. Model Sistem Peradilan Pidana dalam Perkembangan. Jurnal
Ilmu Hukum. Vol. 3. No. 8. Hal. 9
20
toleransi masyarakat. Sehingga definisi disini memberikan maksud bahwa
dengan adanya sistem peradilan pidana digunakan untuk upaya
pengendalian terhadap masalah hukum yangtimbul agar tetap berada di
batas toleransi masyarakat atau dapat dikatakan tidak melebihi batas.24
Selanjutnya pembahasan mengenai tujuan akhir dari sistem
peradilan pidana yakni dalam jangka panjang untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan kebijakan sosial dan
dalam jangka pendek untuk mengurangi terjadinya kejahatan dan
residivisme (kecenderungan individu atau kelompok untuk mengulangi
perbuatan tercela walaupun telah pernah dihukum karena melakukan
perbuatan tersebut). Jika tujuan ini tidak tercapai maka dapat dipastikan
bahwa sistem itu tidak berjalan secara efisien.25
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan pidana
merupakan suatu ciri dengan pendekatan sistem dalam mengatasi
kejahatan yang ada di masyarakat untuk menjamin kesejahteraan dan
perlindungan terhadap masyarakat di Indonesia.
Kemudian berdasarkan peraturan perundang-undangan tahapan
dalam proses peradilan pidana di Indonesia ada 4 yakni tahap penyelidikan
dan penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan pengadilan dan
24 Romli Atmasasmita, 2011. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta. Kencana
Prenadamedia Group. Hal. 3
25 Ibid
21
tahap pelaksanakan putusan.26 Sehingga dalam hal ini tahapan-tahapan
tersebut harus dilewati untuk menyelesaikan perkara pidana.
Pada umumnya dalam menjalankan sistem peradilan di Indonesia
disini dilakukan oleh suatu lembaga peradilan seperti Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawah
Mahkamah Agung yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Setiap lembaga peradilan
memiliki tugas dan wewenang masing-masing dalam menjalankan
peradilan di Indonesia. Akan tetapi dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara pidana ialah peradilan umum seperti pengadilan negeri dan/atau
pengadilan khusus yang diatur oleh undang-undang lain.
A.2. Sub Sistem Peradilan Pidana
Sub sistem peradilan pidana di Indonesia yang diakui baik dalam
pengetahuan kebijakan pidana maupun dalam ruang lingkup penegakan
hukum terdiri dari beberapa 4 sub dan/atau komponen dan/atau unsur
yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Namun, apabila sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu
pendukung dari suatu kebijakan kriminal maka unsur pembuat undang-
undang juga memiliki peran penting dalam sistem peradilan pidana.27
26 Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta. UII
Press. Hal. 62
27 Romli Atmasasmita, Op.cit. Hal. 16
22
Hal yang mendasari dari sub sistem yang disebutkan di atas,
Indonesia mengacu kepada peraturan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut dengan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dimana dalam hal ini,
peraturan tersebut juga memuat tugas dan wewenang dari tiap sub sistem
yang dimulai dari penyelidikan hingga pelaksanaan hukuman.28
Penjelasan lebih lanjut mengenai sub sistem dalam peradilan
pidana akan diuraikan sebagai berikut :
a. Kepolisian
Kepolisian diatur dalam Undang-undang RI Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Menurut pasal 13
kepolisian mempunyai tugas pokok yakni memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Kemudian sebelum berlakunya KUHAP, penyidik terdahulu adalah
kejaksaan dan polisi hanya sebagai pembantu jaksa penyidik akan tetapi
setelah diberlakukan KUHAP di Indonesia diatur dalam pasal 5 sampai
7 KUHAP polisi memiliki kewenangan khusus yakni sebagai penyidik.
b. Kejaksaan
Kejaksaan diatur dalam Undang-undang RI Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan sebagai salah
28 Junelpri saragih, Komponen Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, http://www.
hukumpedia.com/junelsidauruk/komponen-sistem-peradilan-pidana-di-indonesia, diakses tanggal
17 Desember 2017
23
satu sub sistem peradilan pidana, mempunyai tugas dan wewenang
dibidang pidana sebagaimana diatur Pasal 14 KUHAP, yaitu :
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat
(3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai
surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-
undang ini;
j. Melaksanakan penetapan hakim.29
c. Pengadilan
Keberadaan lembaga pengadilan diatur dalam Undang-undang
RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana pada
pasal 1 disebutkan bahwa :
”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia.”
Tugas Pengadilan dalam hal ini adalah menerima, memeriksa
dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dalam peradilan
29 Ibid
24
pidana apabila memeriksa seseorang terdakwa, hakim bertitik tolak
pada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan
mendasarkan pada alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184
KUHAP, yang kemudian dengan alat bukti sekurang-kurangnya 2 alat
bukti dan keyakinan hakim.
d. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS
diatur dalam Undang-undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyaratakan. Hal ini mengubah sistem pemenjaraan menjadi
sistem pemsyarakatan. Sistem pemsyarakatan disini merupakan suatu
rangkaian penegakan hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak
dapat terlepas dari pengembangan konsep umum mengenai
pemidanaan. Lembaga Pemasyarakatan disini adalahsebagai tempat
untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemsyarakatan.30
A.3. Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sarana untuk
menanggulangi kejahatan dengan tujuan untuk :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah di pidana;
30 Ibid
25
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulangi lagi kejahatan.31
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari sistem
peradilan pidana disini adalah sebagai upaya pencegahan agar masyarakat
tidak menjadi korban kejahatan dengan cara menyelesaikan permasalahan
dan kasus-kasus yang terjadi sehingga masyarakat merasa aman dan
mengusahakan agar perbuatan kejahatan tersebut tidak diulangi kembali
baik dari pelaku sendiri maupun dari orang lain.
B. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
B.1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Setiap proses acara di pengadilan selalu dipimpin oleh hakim yang
berwenang untuk memutuskan suatu perkara di pengadilan. Pada proses
pemberian putusan hakim memiliki kewenangan atau kekuasaan yang
dikenal dengan istilah Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman
dapat diartikan sebagai kewenangan untuk dalam situasi konkret tertentu,
menetapkan nilai hukum dan tindakan warga masyarakat atau keadaan
tertentu berdasarkan kaidah hukum positif dan menautkan akibat hukum
tertentu pada tindakan atau keadaan tersebut.32 Menurut Undang-undang
RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan
31 H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Restu
Agung. Hal. 3
32 Rachmani Puspitadewi. 2006. Sekelumit Catatan Tentang Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia. Jurnal Hukum Pro Justitia. Vol. 24 No.1. Hal. 1
26
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu elemen dari rumusan
berdasar atas hukum (rechtsstaat). Pengertian kekuasaan yang dijabarkan
oleh Aristoteles dalam buku Zainal Arifin yang berjudul Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia menyatakan bahwa kekuasaan harus bersumber
kepada hukum dan oleh sebab itu hukum disini tidak hanya harus memiliki
kewibawaan ataupun kedaulatan melainkan juga harus menjadi landasan
kehidupan bernegara bagi yang diperintah maupun yang memerintah
sehingga kedua belah pihak memiliki kedudukan hukum yang sama.
Kemudian arti mengenai kehakiman diberikan oleh Subekti yang
menyatakan bahwa kehakiman dapat diartikan sebagai hukum dan
peradilan.33
Sehingga dari dua pengertian yang dikemukakan oleh dua ahli
tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang bersumber dari hukum yang nantinya akan
menjadi landasan atau dasar dalam menjalankan peradilan dimana setiap
orang memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum.
33 Zainal Arifin Hoesein, 2016. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Setara Press.
Malang. Hal. 47
27
B.2. Pengaturan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman disini diatur tersendiri di dalam bab IX
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diaturnya
kekuasaan kehakiman secara tersendiri dalam bab tertentu menunjukkan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang mandiri
(otonom) yang berarti tidak diperintah, tidak menerima perintah maupun
mendampingi kekuasaan pemerintah lainnya. Kekuasaan kehakiman disini
memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga pemerintahan negara
lainnya sehingga dalam hal ini kekuasaan kehakiman dapat menjalankan
fungsinya mengenai penegakan hukum dan penemuan hukum.34
Selanjutnya selain diatur tersendiri di dalam bab IX Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kekuasaan
kehakiman juga diatur dalam Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya mengatur mengenai
pelaku kekuasaan kehakiman disertai dengan asas-asas hingga
pengangkatan para hakimnya. Kemudian di dalam pasal 24 angka 3
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
lembaga peradilan dibawahnya yang meliputi Lingkungan Peradilan
Negeri, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Agama, dan
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara serta oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
34 Zainal Arifin Hoesein, Op.cit. Hal. 131 dan 132
28
B.3. Kekuasaan Kehakiman Sebagai Kekuasaan yang Merdeka
Kekuasaan kehakiman sebagaimana disebutkan dalam Undang-
undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yakni
sebagai kekuasa negara yang merdeka dalam memutus suatu perkara,
hakim memiliki kemerdekaan dari campur tangan atau intervensi dari
pihak manapun yang dikenal dengan ungkapan “Kekuasaan kehakiman
yang merdeka” atau dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman yang
bebas dari campur tangan pihak manapun. Kekuasaan kehakiman yang
merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang
dimiliki oleh hakim yang bertujuan untuk terciptanya suatu putusan yang
bersifat objektif dan imparsial.35
Maksud dari sifat putusan yang objektif adalah dalam proses
pemberian putusan hakim harus berpendirian jujur, berpandangan yang
benar atau berpandangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan
mengacu pada ukuran atau kriteria objektif yang berlaku umum,
sedangkan maksud dari putusan yang bersifat imparsial adalah putusan
yang dihasilkan seorang hakim tidak memihak kepada salah satu pihak
yang menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang berperkara
atau bersengketa. Disamping itu, keputusan yang diberikan tersebut secara
langsung memberi kepastian hukum kepada masyarakat. Jadi, kekuasaan
kehakiman yang merdeka, harus menjamin terlaksananya peradilan yang
35 Rachmani Puspitadewi, Loc.cit
29
jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum masyarakat berdasarkan
aturan yang berlaku.36
C. Putusan Mahkamah Konstitusi
C.1. Pengertian Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan merupakan hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala
kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak
proses bermula telah membebani para pihak. Menurut Sudikno
Mertokusumo putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim,
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan
dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak.37
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan konstitusi,
mempunyai karakter khas yang membedakannya dengan peradilan umum
atau peradilan biasa. Salah satu sifat khas tersebut ialah sifat putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak ada upaya hukum lainnya.
Sifat ini berbeda dengan putusan lembaga peradilan di lingkungan
Mahkamah Agung (MA) yang menyediakan mekanisme upaya hukum
lain, termasuk melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Pasal 47
Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi
36 Ibid. Hal. 2
37 Fajar Laksono Soeroso. 2014. Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah
Konstitusi. Jurnal Konstitusi. Vol. 11. No. 1. Hal 80
30
mempertegas sifat final tersebut dengan menyatakan bahwa Putusan MK
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno
yang terbuka untuk umum. Berdasarkan ketentuan tersebut, sifat final
menunjukkan sekurang-kurangnya 2 (dua) hal, yaitu (1) bahwa Putusan
MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; (2) karena telah
memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum
bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan.38
Hal ini merupakan ciri khas yang membedakan putusan MK
dengan putusan peradilan lain. Selain bersifat final, putusan MK disini
juga bersifat konkrit dan mengikat, dimana konkrit disini berarti putusan
ini dianggap ada dan/atau nyata sedangkan mengikat yakni mengikat bagi
seluruh masyarakat Indonesia termasuk bagi lembaga dan badan negara.
C.2. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi
Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan,
yaitu putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili
yang disebut dengan putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan
menjaid bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau
sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan
sela atau putusan provisi merupakan putusan yang diberikan oleh hakim
berdasarkan permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan sesuatu
hal yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa yang dapat berupa
38 Ibid. Hal. 60
31
permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan
status hukum sebelum adanya putusan akhir.
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, pada awalnya putusan
sela atau putusan provisi hanya ada dalam perkara sengketa kewenangan
lembaga negara. Namun seiring dengan perkembangan akhirnya putusan
sela disini juga dikenal dalam perkara pengujian undang-undang (judicial
review) dan juga perselisihan hasil pemilu.39
Dilihat dari amar dan akibat hukumnya putusan dapat dibedakan
menjadi tiga yakni :
a. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan
apa yang menjadi hukum.
b. Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu
keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum
baru.
c. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi
penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu
prestasi.40
Lebih khususnya mengenai putusan dalam perkara pengujian
undang- undang (judicial review) terdapat beberapa jenis putusan, yakni :
a. Putusan tidak diterima, dimana dalam hal ini pemohon ataupun
termohon tidak memenuhi syarat legal standing;
39 Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jakarta. Hal. 51
40 Ibid. Hal. 55
32
b. Putusan dikabulkan, dalam hal permohonan yang diajukan
beralasan;
c. Putusan ditolak, dalam hal permohonan yang diajukan tidak
berasalan hukum.
Pada perkembangannya, Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku
kekuasaan kehakimn menciptakan beberapa varian putusan yakni putusan