19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Pidana Penjara Indonesia Pidana penjara sesungguhnya adalah satu jenis pidana perampasan kemerdekaan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP) dari banyak negara, jenis pidana ini tergolong ke dalam pidana pokok, termasuk Negara Indonesia. 5 Namun di masa penjajahan Belanda, pada saat itu Belanda mulai menguasai beberapa bagian dari Indonesia, maka sejak itulah dirasa perlu diadakan peradilan untuk orang-orang Pribumi. Hukum yang berlaku yaitu hukum yang berlaku atau yang dianggap berlaku bagi orang pribumi dengan batasan antara lain, mengenai jenis pidana dan asas keseimbangan di dalam penjatuhan pidana, pidana potong tangan dan kaki dihapus, sedang yang masih dipertahankan adalah pembakaran, penusukan dengan keris, penderaan, mencap dengan besi panas, perantaian, dan hukuman kerja paksa. 6 Pada zaman Hindia Belanda, berdasarkan penelitian Notosoesanto 7 , yang dilakukan beliau ketika menjabat sebagai Kepala Jawatan Kepenjaraan, rumah tahanan pada zaman Penjajahan Belanda ada tiga macam: 1. Bui (1602) tempatnya dibatasi pemerintah kota. 5 Roeslan Saleh. 1981.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan. Jakarta. Aksara Baru. Hal. 25. 6 Sudarto. 1981.Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Hal. 25. 7 Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta. Pradnya Paramita. Hal. 77.
28
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Pidana Penjara Indonesiaeprints.umm.ac.id/38649/3/BAB II.pdf · kenyataannya perlakuan terhadap narapidana bangsa Indonesia selama periode pendudukan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Pidana Penjara Indonesia
Pidana penjara sesungguhnya adalah satu jenis pidana perampasan
kemerdekaan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
disebut dengan KUHP) dari banyak negara, jenis pidana ini tergolong ke
dalam pidana pokok, termasuk Negara Indonesia.5
Namun di masa penjajahan Belanda, pada saat itu Belanda mulai
menguasai beberapa bagian dari Indonesia, maka sejak itulah dirasa perlu
diadakan peradilan untuk orang-orang Pribumi. Hukum yang berlaku yaitu
hukum yang berlaku atau yang dianggap berlaku bagi orang pribumi dengan
batasan antara lain, mengenai jenis pidana dan asas keseimbangan di dalam
penjatuhan pidana, pidana potong tangan dan kaki dihapus, sedang yang
masih dipertahankan adalah pembakaran, penusukan dengan keris,
penderaan, mencap dengan besi panas, perantaian, dan hukuman kerja
paksa.6
Pada zaman Hindia Belanda, berdasarkan penelitian Notosoesanto7,
yang dilakukan beliau ketika menjabat sebagai Kepala Jawatan Kepenjaraan,
rumah tahanan pada zaman Penjajahan Belanda ada tiga macam:
1. Bui (1602) tempatnya dibatasi pemerintah kota.
5 Roeslan Saleh. 1981.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan.
Jakarta. Aksara Baru. Hal. 25. 6 Sudarto. 1981.Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita Selekta
Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Hal. 25. 7 Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta. Pradnya
Paramita. Hal. 77.
20
2. Ketingkwarter, merupakan tempat buat orang-orang perantauan.
3. Vrouwentuchthui adalah tempat menampung orang-orang perempuan
Bangsa Belanda yang karena melanggar kesusilaan (overspel).
1. Sejarah Kepenjaraan di Indonesia
Perkembangan kepenjaraan di Indonesia terbagi menjadi 2 kurun
waktu dimana tiap-tiap kurun waktu mempunyai ciri tersendiri, diwarnai
oleh aspek-aspek sosio kultural, politis, ekonomi yaitu:
a. Kurun waktu pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan di Indonesia
sebelum proklamasi kemerdekaan RI (1872-1945), terbagi dalam 4
periode yaitu :
1) Periode kerja paksa di Indonesia (1872-1905). Pada periode ini
terdapat 2 jenis hukum pidana, khusus untuk orang Indonesia dan
Eropa. Hukum pidana bagi orang Indonesia ( KUHP 1872 ) adalah
pidana kerja, pidana denda dan pidana mati. Sedangkan hukum
pidana bagi orang Eropa (KUHP 1866) telah mengenal dan
dipergunakan pencabutan kemerdekaan (pidana penjara dan pidana
kurungan). Perbedaan perlakuan hukuman pidana bagi orang Eropa
selalu dilakukan di dalam tembok (tidak terlihat) sedangkan bagi
orang Indonesia terlihat oleh umum.
2) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia menjelang berlakunya
Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland Indie ( KUHP, 1918 )
periode penjara sentral wilayah ( 1905-1921 ). Periode ini ditandai
dengan adanya usaha-usaha untuk memusatkan penempatan para
21
terpidana kerja paksa di dalam pusat-pusat penampungan wilayah.
Pidana kerja lebih dari 1 tahun yang berupa kerja paksa dengan
dirantai atau tanpa dirantai dilaksanakan diluar daerah tempat asal
terpidana. Kemudian sejak tahun 1905 timbul kebijaksanaan baru
dalam pidana kerja paksa dilakukan di dalam lingkungan tempat
asal terpidana.
3) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia setelah berlakunya
Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland Indie (KUHP 1918)
periode kepenjaraan Hindia Belanda ( 1921-1942 ). Pada periode ini
terjadi perubahan sistem yang dilakukan oleh Hijmans sebagai
kepala urusan kepenjaraan Hindia Belanda, ia mengemukakan
keinginannya untuk menghapuskan sistem dari penjara-penjara
pusat dan menggantikannya dengan struktur dari sistem penjara
untuk pelaksanaan pidana, dimana usaha-usaha klasifikasi secara
intensif dapat dilaksanakan Hijmans. Pengusulan adanya tempat-
tempat penampungan tersendiri bagi tahanan dan memisahkan
antara terpidana dewasa dan anak-anak, terpidana wanita dan pria.
4) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia dalam periode pendudukan
balatentara Jepang (1942-1945). Pada periode ini menurut teori
perlakuan narapidana harus berdasarkan reformasi atau rehabilitasi
namun dalam kenyataannya lebih merupakan eksploitasi atas
manusia. Para terpidana dimanfaatkan tenaganya untuk kepentingan
Jepang. Dalam teori para ahli kepenjaraan Jepang perlu adanya
22
perbaikan menurut umur dan keadaan terpidana. Namun pada
kenyataannya perlakuan terhadap narapidana bangsa Indonesia
selama periode pendudukan tentara Jepang merupakan lembaran
sejarah yang hitam dari sejarah kepenjaraan di Indonesia, hal ini
tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya (penjajahan
Belanda).
2. Dasar Hukum Sistem Penjara Sebelum Kemerdekaan
a. Ordonnantie op de Voorwaardilijke Ivrijheidstelling (Stb. 1917-
149.27 Desember 1917 jo. Stb. 1926-488).
b. Gestichtenreglement (Stb. 1917-708, 10 Desember 1917).
c. Dwangopvoedingsregeling (Stb. 1917-741, 24 Desember 1917).
d. Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardilijke Veroordeeling (Stb.
1926-487. 6 November 1926).
Perubahan besar dalam sistem penjara dan perbaikan keadaan penjara
baru dimulai pada tahun 1905. Beberapa penjara yang lebih luas dan sehat
mulai didirikan, pegawai-pegawai yang dianggap cakap dalam urusan
kepenjaraan mulai direkrut. Di penjara Glodok diadakan percobaan dengan
cara memberikan pekerjaan dalam lingkungan pagar tembok penjara kepada
beberapa narapidana kerja paksa.8 Sehubungan dengan percobaan ini, maka
Staatblad 1871 No. 78 mendapat sediki perubahan. Dalam jangka waktu
1905 sampai 1918 didirikan penjara-penjara untuk dijadikan contoh.
8 Mohammad Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.
Yogyakarta. Kreasi Wacana. Hal. 139.
23
Penjara-penjara pusat biasanya berukuran sangat besar, dengan kapasitas
kira-kira untuk 700 orang terpiidana, merupakan gabungan Huis van
Bewaring (rumah penjara pidana berat), yang sukar untuk mengurusnya
karena masing-masing golongan menghendaki cara perlakuan yang khusus.9
Pada tahun 1931 ada beberapa penjara yang mempunyai kedudukan
khusus yaitu : (1) Penjara Sukamiskin dijadikan penjara istimewa untuk
semua golongan yang terpelajar dan berkedudukan dalam masyarakat. (2)
Penjara Sukamiskin diberikan percetakan. (3) Di Penjara Cipinang
dilanjutkan percobaan dengan chambretta (tempat tidur yang terpisah untuk
narapidana). (4) Bagian-bagian untuk orang-orang komunis di Penjara
Padang dan Glodok dihapuskan dan dipindah ke Pamekasan. (5) Penjara
untuk anak-anak di Pamekasan dihapuskan dan digunakan untuk orang-
orang yang dituduh komunis dan penjara anak-anak di Banyubiru dan
Tangerang. (6) Mengadakan percobaan dengan ploeg-stukloon system (7
(tujuh) atau 8 (delapan) orang bekerja bersama-sama dengan mendapat
upah).10
Sejarah masa lampau tentang gambaran penjara pada zaman
penjajahan Belanda, penuh dengan penderitaan yang kini masih terlihat pada
bangunan-bangunan penjara dengan sel-selnya. Bangunan penjara dirancang
sedemikian rupa secara khusus sebagai tempat untuk membuat jera para
9 Ibid. 10 Ibid. hal. 141 – 142.
24
pelanggar hukum. Oleh karena itu namanya menjadi penjara, yaitu tempat
untuk membuat jera.11
Kemudian pada zaman kemerdekaan tercetuslah gagasan
pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Sahardjo dalam pidatonya saat
penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas
Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya itu beliau memberikan
rumusan dari tujuan pidana penjara sebagai berikut: “Di samping itu
menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan
bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi
seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, dengan perkataan
yang lain, tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan, yang mengandung
makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya
perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang telah
tersesat, diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga
menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.12
Jika berbicara tentang sistem pemasyarakatan, maka tidak terlepas
dengan salah seroang pemimpin di bidang pemasyarakatan yang telah ada
sejak zaman Hindia Belanda, yaitu Bachroedin Soerjobroto. Beliau
mengemukakan, bahwa prinsip pemasyarakatan itu adalah “pemulihan
kembali kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan, yang
terjalin antara manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya,
11 Suwarto. 2007. Disertai Doktor: Pengembangan Ide Individualisasi Pidana Dalam
Pembinaan Narapidana Wanita. Medan.Universitas Sumatera Utara. Hal. 103. 12 Djoko Prakoso. 1988. Hukum Penitensier di Indonesia. Yogyakarta. Liberty. Hal. 62.
25
manusia dengan masyarakat, manusia sebagai keseluruhan, manusia dengan
alamnya dan (dalam keseluruhan ini manusia sebagai makhluk Tuhan,
manusia dengan KhalikNya).13
Walaupun istilah penjara telah diubah menjadi Lembaga
Pemasyarakatan, namun pelaksanaannya masih menghadapi beberapa
masalah, antara lain : 14
a. Gedung-gedung penjara peninggalan Belanda masih tetap
dipergunakan, karena merubah sesuai dengan cita-cita
pemasyarakatan memerlukan biaya yang sangat besar.
b. Petugas-petugas pemasyarakatan masih sedikit sekali yang
memahami tujuan pemasyarakatan.
c. Masalah biaya dan masyarakat yang masih belum dapat menerima
narapidana setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam perkembangan selanjutnya diharapkan Indonesia terus
melakukan segala macam upaya perbaikan dan penyempurnaan
penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan Undang-Undang
No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut dengan :
UU No. 12/1995)
13 Sudarto, Op. Cit. Hal. 98. 14Soedjono Dirdjosisworo. 1972. Dasar-Dasar Penologi Usaha Pembaharuan Sistem
Kepenjaraan dan Pembinaan Narapidana. Bandung. Alumni. Hal. 87.
26
3. Perbedaan Prinsip Sistem Kepenjaraan dan Sistem Pemasyarakatan
Sistem kepenjaraan dan sistem pemasyarakatan perbedaannya terletak
pada asas tujuan dan pendekatan yang melandasi tata perlakuan (pembinaan)
terhadap para narapidana.
Tabel 1.
Perbedaan Sistem Kepenjaraan dan Sistem Pemasyarakatan
No. Perbedaan Sistem Kepenjaraan Sistem Pemasyarakatan
1. Asas Titik berat pada
pembalasan,
memberikan derita
kepada pelanggar
hukum.
Pancasila (falsafah
negara).
2. Tujuan Supaya pelanggar
hukum menjadi jera,
masyarakat dilindungi
dari perbuatan jahatnya.
Disamping melindungi
masyarakat, juga
membina narapidana
agar selama dan
terutama setelah selesai
menjalani pidananya ia
dapat menjadi manusia
yang baik dan berguna.
3. Pendekatan Pendekatan keamanan
dan pengasingan dari
masyarakat secara
penuh.
Pendekatan keamanan
melalui tahap
maksimum, dan
minimum security dan
dilakukan pula
pendekatan pembinaan
(treatment approach) di
dalam maupun diluar
lembaga
pemasyarakatan dengan
menerapkan metode
kekeluargaan.
B. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan
Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno dalam konferensi dinas
Pemasyarakatan tahun 1964, menyampaikan arti penting pembaharuan
27
pidana penjara di Indonesia, yaitu merubah nama kepenjaraan menjadi
pemasyarakatan. Berdasarkan pertimbangan ini kemudian disusun suatu
pernyataan tentang Hari Lahir Pemasyarakatan Republik Indonesia pada hari
Senin tanggal 27 April 1964 dan Piagam Pemasyarakatan Indonesia.15
Selanjutnya dalam sambutan Menteri Kehakiman RI dalam
pembukaan rapat kerja terbatas Direkorat Jenderal Bina Tuna Warga tahun
1976 menegaskan kembali prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan
sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan dalam Konfernsi Dinas
Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Jawa Barat.16
Maka dirumuskanlah sepuluh (10) prinsip dasar yang kemudian
menjadi salah satu landasan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di
Republik Indonesia. Sesuai dengan tuntutan dari apa yang tercantum dalam
sepuluh prinsip Pemasyarakatan itu, maka perlakuan terhadap narapidana
dan anak didik harus berpedoman pada pembinaan. Kesepuluh prinsip yang
dihasilkan dalam Konferensi Lembang tersebut, dinilai sangat baik untuk
digunakan dalam menjalankan pmbinaan narapidana dan anak didik. Maka
sebaiknya para petugas lembaga pemasyarakatan yang ada diseluruh
Indonesia diharapkan dapat berusaha dengan maksimal untuk
melaksanakannya. Dengan demikian perlakuan terhadap narapidana dan
anak didik adalah melakukan pembinaan, agar narapidana itu menjadi
manusia yang berguna di masa mendatang. Program pembinaan harus
disusun sedemikian rupa dan dengan segala pertimbangan, agar manfaatnya
15 Suwarto. Op. Cit. Hal. 106. 16 Ibid.
28
dapat dirasakan oleh narapidana dan anak didik, kemudian diharapkan
menumbuhkan kesadaran hukum narapidana dan anak didik secara baik.
Program-program pembinaan yang teratur, dan disusun secara matang serta
yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kelayakan akan menjamin
integritas sistem pemasyarakatan.17
10 (sepuluh) prinsip pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan:18
1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya
sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang
pembalasan.
3. Berikan bimbingan ( bukan penyiksaan) supaya mereka bertaubat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk, atau
lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya pada
narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak
boleh bersifat sekedar pengisi waktu.
7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan
anak didik adalah berdasarkan Pancasila.
17 Soegindo. 1984. Kebutuhan Biologis Bagi Narapidana Ditinjau Dari Segi Hukum,
Agama dan Psychologi. Majalah Pemasyarakatan No. 14. Hal. 15 - 17. 18 Rutan Klas 1 Tangerang. Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan. Dalam http://
http://rutantangerang.web.id diakses pada 3 Juli 2018.
29
8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit yang perlu diobati
agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah
dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarganya, dan
lingkungannya kemudian dibina dan dibimbing kejalan yang benar.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi
kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu.
10. Pembinaan dan bimbingan diberikan kepada narapidana serta anak
didik maka disediakan sarana yang diperlukan.
Mengenai struktur sistem pemasyarakatan, tentang perubahan yang
dilakukan sebagai berikut: pemasyarakatan berorientasi pada pengayoman
dan pembinaan.19 Pembinaan narapidana dan anak didik berdasarkan sistem
pemasyarakatan ini berlaku untuk segala segi yang ada dalam proses
pembinaan pemasyarakatan. Baik untuk pmbinaannya di dalam lembaga
pemasyarakatan maupun mengenai pembinaannya di luar lembaga
pemasyarakatan.20
Sistem pemasyarakatan di dalamnya terdapat proses pemasyarakatan
yang diartikan sebagai suatu proses pemasyarakatan yang diartikan sebagai
suatu proses sejak seorang narapidana atau anak didik masuk ke Lembaga
Pemasyarakatan sampai dengan kembali ke dalam kehidupan masyarakat.
Proses pembinaan ini dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap. Tahap pertama,
yaitu tahap maximum security sampai batas 1/3 dari masa pidana yang
19 G. Suyanto. 1981. Seluk Peluk Pemasyarakatan. BPHN. Departemen Kehakiman RI.
Hal. 7. 20 Suwarto. Op. Cit. Hal. 108
30
dijatuhkan. Tahap kedua adalah medium security sampai batas ½ dari masa
pidana yang dijatuhkan. Tahap ketiga, minimum security sampai batas 2/3
dari masa pidana yang dijatuhkan. Tahap keempat yaitu tahap integrasi dan
selesainya 2/3 dari masa pidana sampai habis masa pidananya.21
Tahap-tahap sebagaimana telah diuraikan di atas hanya diberikan
apabila narapidana benar-benar mengikuti aturan-aturan yang telah berlaku
di dalam Lembaga Pemasyarakatan, serta mengikuti pembinaan yang
diberikan oleh petugas-petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan tekun
hingga berkelakuan baik dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin.
Tetapi apabila dia berkelaukan tidak baik maka dia tidak akan dinaikkan ke
tahap berikutnya atau misalnya dia sudah berkelakuan baik dan naik pada
tahap berikutnya, namun dia membuat keributan dan mengadakan
pemberontakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, atau bahkan melarikan
diri lalu kemudian tertangkap lagi, maka dia kembali ke tahap pertama
(tahap maximum security).
Untuk itu secara idealnya setiap Lembaga Pemasyarakatan secara
khusus diperuntukkan bagi narapidana atau anak didik berdasarkan pada
tahap-tahap sebagaimana telah dijelaskan di atas. Misalnya Lembaga
Pemasyarakatan khusus untuk narapidana pada tahap maximum security saja
21 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir. 1995. Lembaga Pemasyarakatan
dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Hal. 72 - 72.
31
atau untuk tahap medium security saja ataupun untuk tahap minimum
security saja. Ini disebut Lembaga Pemasyarakatan “Single Purpose”.22
Posisi Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan di
dalam sistem peradilan pidana sangat strategis dalam merealisasikan tujuan
akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi
pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penaggulangan kejahatan
(surpression of crime).23 Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang
dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan akan memberikan kemungkinan-
kemungkinan penilaian yang dapat bersifat positif maupun negatif. Penilaian
itu bersifat positif, apabila bekas narapidana menjadi warga masyarakat
yang taat pada hukum. Penilaian itu dapat negatif, bahkan mencela Lembaga
Pemasyarakatan jika mantan narapidana yang pernah dibina menjadi
seorang residivis.24
Isi pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yaitu sistem pembinaan
pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Pengayoman.
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan.
c. Pendidikan.
d. Pembimbingan.
22 Bachtiar Agus Salim. 1985. Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana di Indonesia.
Disertai Doktor : Universitas Sumatera Utara. Hal. 188 - 189. 23 Irwan Petrus Panjaitan. 1992. Persepsi Bekas Narapidana Terhadap Pola Pembinaan
Narapidana Melalui sistem Pemasyarakatan. Tesis Program Studi Ilmu Hukum, Program