11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep dan Ketentuan Hukum Meterai 1. Pengertian Meterai Meterai menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (selanjutnya disebut UUBM) dinyatakan bahwa “dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam undang-undang ini”. Dengan demikian, fungsi utama Bea Meterai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen-dokumen tertentu. Kata “Bea” di sini digunakan sebagai istilah khusus untuk menyatakan “pajak tidak langsung”. 14 Pajak tidak langsung yaitu pajak yang dikenakan secara insidental yaitu pada saat dipenuhinya Tatbestand (keadaan, perbuatan, peristiwa) yang ditentukan dalam Undang-undang Pajak, tidak mempunyai kohir atau daftar dan jumlahnya dapat dilimpahkan kepada orang lain. 15 Dalam Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda – Bahasa Indonesia, pengertian pajak, tarif, bea disebut belasting yaitu semua jenis pungutan resmi yang diatur oleh perundang-undangan dan dipungut oleh pemerintah untuk dimasukkan ke dalam kas negara. 16 14 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Jidil 1, Eresco, Bandung, 1992, hal. 3. 15 Rochmat Soemitro, Pajak Ditinjau dari Segi Hukum, Eresco, Bandung, 1991, hal. 1. 16 A.F. Elly Erawaty, Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda – Bahasa Indonesia, 1997/1998, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta, hal. 18-19.
43
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep dan Ketentuan Hukum ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dan Ketentuan Hukum Meterai
1. Pengertian Meterai
Meterai menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 13
Tahun 1985 tentang Bea Meterai (selanjutnya disebut UUBM) dinyatakan
bahwa “dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang
disebut dalam undang-undang ini”. Dengan demikian, fungsi utama Bea
Meterai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk
dokumen-dokumen tertentu.
Kata “Bea” di sini digunakan sebagai istilah khusus untuk
menyatakan “pajak tidak langsung”.14
Pajak tidak langsung yaitu pajak
yang dikenakan secara insidental yaitu pada saat dipenuhinya Tatbestand
(keadaan, perbuatan, peristiwa) yang ditentukan dalam Undang-undang
Pajak, tidak mempunyai kohir atau daftar dan jumlahnya dapat
dilimpahkan kepada orang lain.15
Dalam Kamus Hukum Umum Bahasa
Belanda – Bahasa Indonesia, pengertian pajak, tarif, bea disebut belasting
yaitu semua jenis pungutan resmi yang diatur oleh perundang-undangan
dan dipungut oleh pemerintah untuk dimasukkan ke dalam kas negara.16
14
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Jidil 1, Eresco, Bandung, 1992, hal. 3. 15
Rochmat Soemitro, Pajak Ditinjau dari Segi Hukum, Eresco, Bandung, 1991, hal. 1. 16
A.F. Elly Erawaty, Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda – Bahasa Indonesia,
1997/1998, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta, hal. 18-19.
12
Menurut Santoso Brotodihardjo, pengertian pajak adalah sebagai
berikut:
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terhutang oleh wajib Pajak membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan”.17
Pengertian dokumen itu sendiri menurut Pasal 1 ayat (2) UUBM
adalah “kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud
tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-
pihak yang berkepentingan”. Definisi ini memberikan pengertian dokumen
secara sempit yaitu terbatas pada kertas yang berisikan tulisan. Dikatakan
secara sempit karena dalam kehidupan sehari-hari dokumen tidak hanya
terbatas dalam bentuk kertas yang berisikan tulisan, tetapi juga bentuk lain
seperti film, rekaman vidio, kaset, dan sebagainya.
Pengertian dokumen secara harfiah dapat dilihat pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pedidikan Nasional, dokumen
memiliki tiga pengertian, yaitu: (a) Surat yang tertulis atau tercetak yang
dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti kelahiran, surat nikah, dan
surat perjanjian); (b) Barang cetakan atas naskah karangan yang dikirim
melalui pos; atau (c) Rekaman suara, gambar di film, dan sebagainya yang
dapat dijadikan bukti keterangan.18
Hanya saja, karena secara umum yang
17
R. Santoso Brotodihardjo, Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1995, hal. 2. 18
Tim Penyusun Pusat Pembiaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2005, hal. 1175.
13
digunakan oleh masyarakat (setidaknya sampai dengan tahun 1983 pada
saat UUBM dibuat) adalah kertas sebagai dokumen yang membuktikan
adanya perbuatan hukum, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan
atau pihak-pihak yang berkepentingan, maka dokumen yang dikenakan
pajak dalam UUBM dibatasi hanya pada kertas yang berisi tulisan.
Menurut Mariot P. Siahaan, dokumen adalah kertas yang berisikan
tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan,
atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak berkepentingan,
dalam hal ini dikenal sebagai surat dan dapat dikembangkan menjadi
akta.19
Dengan demikian, unsur-unsur yang terkandung dalam dokumen
antara lain:
(a) Ada pembuat/orang yang membuat;
(b) Ada orang yang menerima dokumen atau yang mendapat manfaat dari
dokumen tersebut;
(c) Ada suatu tulisan di atas kertas atau bahan lain;
(d) Ada keadaan, perbuatan kejadian atau peristiwa yang dinyatakan dalam
dokumen.
(e) Bahwa keadaan, perbuatan, peristiwa itu ada di bidang hukum perdata.
(f) Ada tanda tangan dari orang yang membuatnya.20
Selain benda meterai dan dokumen, aturan yang melekat di dalam
UUBM adalah tanda tangan. Dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c UUBM, yang
dimaksud tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya
19
Marihot Pahala Siahaan, Bea Meterai di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006,
hal.. 15. 20
R. Santoso Brotodihardjo, Op.Cit, hal. 279.
14
dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap
paraf, teraan cap atau nama lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Bea Meterai
adalah pajak tidak langsung yang dipungut secara insidental jika dibuat
dokumen yang dibuat oleh Undang-undang dari suatu keadaan, perbuatan
atau peristiwa dalam suatu masyarakat. Insidental mempunyai arti bahwa
pajak itu dipungut sekali (tidak berulang-ulang seperti pajak langsung)
yang dapat digunakan sebagai bukti dari keadaan, perbuatan atau peristiwa
di bidang hukum perdata oleh pemegangnya.
2. Subjek dan Objek Bea Meterai
Pengenaan Bea Meterai di Indonesia sudah mulai dikenal sejak
tahun 1817 yaitu pada masa penjajahan Belanda, yang disebut De Heffing
Van Het Recht Kleinnegel. Dalam peraturan tersebut pengenaan Bea
Meterai didasarkan pada perbuatan atau persetujuan yang tercantum dalam
surat (akta). Tahun 1885 aturan pengenaan Bea Meterai tersebut di atas
diganti dengan Ordonantie op de heffing van het legel recht in
Nederhlands Indie. Pengertian Bea Meterai ada dua cara yaitu yang
seragam dan ada pula yang sebanding yaitu untuk akta yang dibuat melalui
pejabat umum, peraturan ini berlaku sampai tahun 1921.
Mulai tahun 1921 berlaku Aturan Bea Meterai 1921 (Zegel
Verordening 1921) yang dimuat dalam Staatslelad 1921 Nomor 498,
sebagaimana telah beberapa kali telah diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 2 Prp Tahun 1956 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor
15
121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-
Undang No 7 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38),
yakni ditetapkan menurut luas kertas dan Bea Meterai sebanding.
Mengingat Bea Meterai yang selama ini dipungut berdasarkan Aturan Bea
Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) tidak sesuai lagi dengan keperluan
dan perkembangan keadaan di Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, yang mulai
berlaku tanggal 1 Januari 1986.21
Undang-undang yang terakhir ini
sifatnya perubahan atau penyempurnaan dari Aturan Bea Meterai 1921
dan masih berlaku atau digunakan dalam lalu lintas perdagangan di
Indonesia sampai sekarang.
Berdasarkan Pasal 1 (1) UUBM, menetapkan bahwa objek yang
dikenakan Bea Meterai adalah dokumen-dokumen yang disebutkan dalam
Undang-undang. Adapun jenis dokumen yang dikenakan Bea Meterai
adalah sebagai mana tercantum dalam Pasal 2 UUBM jo Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai,
antara lain:
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya22
yang dibuat dengan tujuan
untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai pembuatan,
kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya;
21
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. 22
Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa, surat hibah, surat
pernyataan. Penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
16
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk
rangkap-rangkapnya;
d. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah):
1) Yang menyebutkan penerimaan uang;
2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam
rekening di bank;
3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4) Yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau
sebagaimana telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek yang berharga
nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga
nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Selain itu, Bea Meterai dikenakan pula atas dokumen yang akan
digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (3) UUBM, sebagai berikut:
a. Surat-surat biasa23
dan surat kerumahtanggaan24
;
23
Surat-surat biasa yang dimaksud dalam huruf a ayat ini dibuat tidak untuk tujuan sesuatu
pembuktian, misalnya seseorang mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjualkan suatu
barang. Surat semacam ini tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila kemudian dipakai sebagai alat
pembuktian di muka pengadilan, maka terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian. (Lihat
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a Undang-undang No. 13 Tahun 1985 jo Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 2000). 24
Surat-surat kerumahtanggaan misalnya daftar harga barang. Daftar ini dibuat tidak dimaksudkan
untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itu tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila
kemudian ada sengketa dan daftar harga barang ini digunakan sebagai alat pembuktian, maka
daftar harga barang ini terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian (Lihat Penjelasan Pasal 3
huruf ayat (3) huruf a Undang-undang No. 13 Tahun 1985 jo Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
2000).
17
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang
lain, lain dari maksud semula.
Ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (3) UUBM di atas
secara tegas menyatakan bahwa dokumen berupa surat-surat biasa dan
surat kerumahtanggaan yang semula tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila
digunakan sebagai alat bukti di muka Pengadilan, maka terlebih dahulu
dilakukan pemeteraian kemudian. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara
pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atau permintaan
pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana
mestinya (Pasal 1 ayat (2) huruf d UUBM).
Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa secara jelas dinyatakan
bahwa objek pajak Bea Meterai adalah dokumen seperti dinyatakan dalam
huruf a sampai f Pasal 2 UUBM dimaksud. Dengan demikian, jika tidak
dibuat dokumen ada masalah pengenaan Bea Meterai. Artinya, yang
menjadi objek Bea Meterai bukan perbuatan hukumnya, seperti dokumen
perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, kuitansi, melakukan
pemborongan pekerjaan, dan sebagainya. Tetapi, tidak semua dokumen
dapat dikenakan Bea Meterai. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 UUBM
yang menyebutkan bahwa tidak dikenakan Bea Meterai, antara lain:
a. Dokumen yang berupa :
1) Surat penyimpanan uang;
2) Konosemen;
3) Surat angkutan penumpang dan barang;
18
4) Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen
sebagaimana dimaksud dalam angka 1), angka 2) dan angka 3);
5) Bukti untuk penerimaan dan pengiriman uang;
6) Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengiriman;
7) Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat
sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).
b. Segala bentuk ijazah25
;
c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan
pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta
surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;
d. Tanda bukti penerimaan uang negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah
Daerah, dan bank;
e. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang
disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan
bank;
f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan pembayaran uang tabungan
kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan dan lainnya
yang bergerak di bidang tersebut;
h. Surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;
i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
25
Termasuk dalam pengertian segala bentuk ijazah ialah surat tanda tamat belajar, tanda lulus,
surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, latihan, kursus, dan penataran. (Lihat
Penjelasan Pasal 4 huruf b Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai).
19
Mengenai subjek Bea Meterai diatur dalam Pasal 6 UUBM, yang
menentukan bahwa Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau
pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-
pihak yang bersangkutan menentukan lain. Selanjutnya dalam penjelasan
Pasal 6 UUBM tersebut dijelaskan subjek Bea Meterai untuk tiap-tiap
jenis dokumen sebagai berikut:
a. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi maka Bea
Meterai terhutang oleh penerima kuitansi.
b. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya
surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terhutang
Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.
c. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai
yang terhutang baik akta asli yang disimpan oleh Notaris maupun
salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan
terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen
tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian. Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan
lain, maka Bea Meterai terhutang oleh pihak atau pihak-pihak yang
ditentukan dalam dokumen tersebut.
3. Tarif Bea Meterai
Tarif Bea Meterai pada dasarnya dibagai dua, yaitu (1) tarif
berdasarkan jenis dokumen dan (2) tarif berdasarkan jumlah nominal yang
disebutkan dalam dokumen tersebut. Pembagian ini memang tidak
20
disebutkan secara jelas dalam UUBM, namun secara implisit dapat dilihat
dalam Pasal 2 UUBM, yaitu dokumen yang merupakan surat yang dibuat
dengan tujuan untuk digunakan sebagai barang bukti di pengadilan, seperti
akta notaris dan akta PPAT dikenakan tarif yang sama tanpa melihat isi
dari dokumen tersebut. Selain itu, dokumen yang memuat jumlah uang
akan dikenakan tarif Bea Meterai berdasarkan jumlah uang yang termuat
dalam dokumen itu.26
Tarif Bea Meterai atas dokumen-dokumen sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 UUBM adalah Rp 1.000,- dan Rp 500,-. Selanjutnya dalam
Pasal 3 UUBM disebutkan bahwa dengan Peraturan Pemerintah dapat
ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga
nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan,
dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UUBM. Seiring dengan adanya
perkembangan ekonomi nasional, pemerintah telah mengadakan dua kali
penyesuaian tarif dan besarnya harga nominal yang dikenakan Bea
Meterai, yaitu perubahan pertama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7
tahun 1995, tarif Bea Meterai diubah menjadi Rp 1.000,- dan Rp 2.000,-.
Perubahan kedua diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
2000 yaitu tarif Bea Meterai ditentukan sebesar Rp 3.000,- dan Rp 6.000.27
Berikut ini perubahan tarif Bea Meterai menurut ketentuan
Undang-undang No. 13 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2000, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
26
Hasanuddin Tatang. Modul Bea Meterai. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak, Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Direktur Jenderal Pajak, Jakarta, 2006, hal. 10. 27
Ibid. hal. 10.
21
Tabel 1. Perubahan Tarif Bea Meterai
No.
Dokumen
Tarif Bea Meterai
UU No. 13
Tahun 1985
PP No. 24
Tahun 2000
1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya
(al. surat kuasa, hibah, surat pernyataan)
yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, keadaan yang
bersifat perdata.
Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
2. Akta Notaris dan salinannya Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
3. Akta yang dibuat PPAT termasuk
rangkapannya.
Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
4.a Surat yang memuat sejumlah uang lebih
dari Rp. 1.000.000,00 (harga nominal
yang dinyatakan dalam mata uang
asing)
a. Yang menyebutkan penerimaan
uang;
b. Yang menyatakan pembukaan uang
atau penyimpanan uang dalam
rekening di bank;
c. Yang berisi pemberitahuan saldo
rekening di bank, dan
d. Yang berisi pengakuan bahwa utang
seluruhnya atau sebagian telah
dilunasi atau diperhitungkan.
Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
4.b Surat yang memuat jumlah uang lebih
dari Rp.250.000,00 tetapi tidak lebih
dari Rp. 1.000.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
4.c Surat yang memuat jumlah uang lebih
dari Rp.100.000,00 tetapi tidak lebih
dari Rp. 250.000,00
Rp. 500,- Nihil
4.d Surat yang memuat jumlah uang tidak
lebih dari Rp.100.000,00
Nihil Nihil
5.a Surat berharga seperti wesel,
promes,dan aksep yang harga
nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00
Rp. 1.000,- Rp. 6.000 -
5.b
Surat berharga seperti wesel, promes,
dan aksep yang harga nominalnya lebih
dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih
dari Rp 1.000.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
5.c Surat berharga seperti wesel, promes,
dan aksep yang harga nominalnya tidak
lebih dari Rp 250.000,00
Rp. 500,- Nihil
22
6.a Cek dan bilyet giro yang harga
nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00
Rp. 1.000,- Rp. 3.000,-
6.b Cek dan bilyet giro yang harga
nominalnya lebih dari Rp 250.000,00
tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
6.c Cek dan bilyet giro yang harga
nominalnya lebih dari Rp 100.000,00
tetapi tidak lebih dari Rp 250.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
6.d Cek dan bilyet giro yang harga
nominalnya tidak lebih dari
Rp100.000,00
Nihil Rp. 3.000,-
7.a Efek yang harga nominalnya lebih dari
Rp 1.000.000,00
Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
7.b Efek yang harga nominalnya lebih dari
Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari
Rp 1.000.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
7.c Efek yang harga nominalnya lebih dari
Rp 100.000,00 tetapi tidak lebih dari
Rp 250.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
7.d Efek yang harga nominalnya tidak lebih
dari Rp 100.000,00
Nihil Rp. 3.000,-
8. Dokumen yang akan digunakan sebagai
alat bukti di muka pengadilan meliputi :
a. Surat-surat biasa dan surat kerumah-
tanggaan;
b. Surat-surat yang semula tidak
dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk
tujuan lain atau digunakan oleh orang
lain, selain dari masksud semula.
Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
Sumber: UUBM dan PP No. 24 Tahun 2000 (diolah penulis).
4. Saat Terutang Bea Meterai
Ketentuan mengenai saat terutang Bea Meterai diatur dalam Pasal
5 UUBM, yang menyatakan bahwa saat terutang Bea Meterai ditentukan
dalam hal :
a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu
diserahkan.
23
Penjelasan ayat ini bahwa dokumen dikenakan Bea Meterai
pada saat dokumen tersebut diserahkan dan diterima oleh pihak untuk
siapa dokumen tersebut dibuat, bukan pada saat ditandatangani,
misalnya kuitansi, cek dan sebagiannya. Misalnya, A membuat surat
kuasa kepada B, dimana dalam surat kuasa itu disebutkan bahwa B
atas nama A diberi kuasa untuk menagih dan menerima sejumlah uang
dari C yang berhutang kepada A. Pada waktu surat kuasa itu dibuat
oleh A dan belum diserahkan kepada B, maka atas surat kuasa itu
belum dikenakan Bea Meterai. Jika surat kuasa itu diserahkan kepada
B (pihak penerima kuasa) maka pada saat penyerahan itu Bea
Meterainya menjadi terhutang.
b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat
dokumen itu selesai dibuat
Maksud dari ayat ini adalah saat terutang Bea Meterai atas
dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak adalah pada saat
dokumen itu selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda
tangan dari yang bersangkutan. Misalnya, A menjual tanah kepada B
dihadapan PPAT, maka tanda tangan PPAT merupakan penutup dari
akta jual beli yang sebelumnya ditandatangani oleh saksi dan para
penghadap. Pada saat akta jual beli itu selesai ditandatangani oleh
semua pihak yang bersangkutan termasuk PPAT, maka saat itulah Bea
Meterai terutang.
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat dokumen
tersebut digunakan di Indonesia.
24
Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 9 UUBM yang menetapkan
bahwa: “Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di
Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang terutang dengan cara
pemeteraian kemudian.” Misalnya, A (orang Indonesia) membuat
perjanjian jual beli di Kuala Lumpur dengan B warga negara Malaysia.
Jika dokumen perjanjian jual beli itu oleh A dibawa ke Indonesia dan
disimpan saja di dalam lemari, maka atas dokumen perjanjian jual beli
itu belum/tidak terutang Bea Meterai. Tetapi, jika dokumen perjanjian
itu hendak digunakan di Indonesia (misalnya dalam realisasi jual beli
yang diperjanjikan) maka pada saat itu terutang Bea Meterai dan harus
dibubuhi meterai dengan cara pemeteraian kemudian di Kantor Pos.
Mengenai siapa yang terutang Bea Meterai. Ketentuan ini di atur
dalam Pasal 6 UUBM yang menetapkan bahwa: “Bea Meterai terhutang
oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari
dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan
lain.”
Dalam Penjelasan Pasal 6 UUBM tersebut diberikan contoh-contoh
sebagai berikut :
a. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai
terutang oleh penerima kuitansi.
b. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya
surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terutang
Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.
25
c. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris maka Bea Meterai
yang terhutang baik atas asli salih yang disimpan oleh Notaris maupun
salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan
terutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen
tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian.
d. Jika pihak-pihak bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai
terutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen
tersebut.
5. Pelunasan dan Penggunaan Benda Meterai
a. Pelunasan Bea Meterai
Cara melunasi Bea Meterai pada dasarnya diatur melalui Pasal
7 ayat (2) UUBM, menetapkan bahwa: Bea Meterai atas dokumen
dilunasi dengan cara: a. Menggunakan benda meterai; b. Menggunakan
cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Berikut uraian
selengkapnya atas pelunasan Bea Meterai dimaksud.
1) Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Benda Meterai
Benda meterai yang dapat digunakan sebagai sarana
pelunasan benda meterai terutang adalah benda meterai
sebagaimana dimaksud dalm Pasal 1 ayat (2) huruf b UUBM, yaitu
meterai tempel dan kertas metereai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
26
Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan meterai
tempel dilakukan sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) sampai dengan
ayat (6) UUBM, yaitu sebagai berikut:
a) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak
rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
b) Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan
dibubuhkan.
c) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman
tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang
sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas
kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.
d) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan
harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan
sebagian di atas kertas.
Letak perekatan meterai tempel bergantung kepada dimana
letak tanda tangan akan dibubuhkan di atas kertas yang
bersangkutan. Pada umumnya di bawah tulisan yang sudah selesai
dibuat. Jika suatu dokumen yang dibubuhi meterai tempel harus
ditanda-tangani oleh lebih dari satu orang, penanda tanga pertama
harus mempergunakan meterai tempel tersebut.28
Sementara pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan
kertas meterai dilakukan sesuai dengan Pasal 7 ayat (7) dan ayat
28
Hasanuddin Tatang, Op.Cit. hal. 12.
27
(8) UUBM, yaitu dengan cara menuliskan dokumen yang menjadi
objek Bea Meterai pada kertas meterai yang ditentukan. Tanda
tangan pihak yang membuat dokumen tersebut dilakukan di atas
kertas meterai, pada bagian yang sesuai dengan dokumen yang
dibuat (tidak ditentukan harus pada sisi tertentu dari kertas
meterai). Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu
panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang
digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat
digunakan kertas tidak bermeterai.
Suatu dokumen yang menggunakan beberapa helai kertas
(misalnya akta pendirian sebuah perseroan terbatas) dan akta
pendirian tersebut menggunakan kertas meterai, maka hanya
bagian awal (helai pertama) saja yang menggunakan meterai,
kemudia helai-helai berikutnya dapat menggunakan kertas biasa
tanpa meterai.
Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh
digunakan lagi (Pasal 7 ayat (7) UUBM). Hal ini berarti bahwa
sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali
pemakai, sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang
dimuat dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagian
saja dari kertas meterai. Jika bagian yang masih kosong atau tidak
terisi tulisan atau keterangan akan dimuat tulisan atau keterangan
lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain tersebut
28
terutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan dengan
besarnya tarif Bea Meterai yang berlaku.29
Jika sehelai kertas meterai karena suatu hal tidak jadi
digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh pembuat
atau yang berkepentingan, sedangkan dalam kertas meterai telah
terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang belum
merupakan suatu dokumen yang selesai, kemudian tulisan yang
ada pada kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau
keterangan baru, maka kertas meterai yang demikian dapat
digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi.30
Konsekuensi penggunaan meterai di luar ketentuan tentang
bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai,
demikian pula pencetakan, serta tata cara pelunasan Bea Meterai
tidak dipenuhi sebagaimana ditentukan oleh UUBM di atas, maka
dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
2) Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Cara Lain
Penjelasan Pasal 7 UUBM menyebutkan bahwa pada
umumnya Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan benda
meterai menurut tarif yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Disamping itu dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat
ditetapkan cara lain bagi pelunasan Bea Meterai, misalnya
membutuhkan tanda tera sebagai pengganti benda meterai di atas 29
Ibid. hal. 13. 30
Penjelasan Pasal 7 ayat (7) Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
29
dokumen dengan mesin teraan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ditentukan untuk itu.
Cara pelunasan Bea Meterai dengan cara lain yang
ditetapkan Menteri Keuangan, yaitu : (a) Membubuhkan tanda Bea
Meterai Lunas dengan menggunakan mesin teraan meterai; (b)
Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi
percetakan; (c) Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan
sistem komputerisasi; (d) Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas
dengan alat lain dan teknologi tertentu.31
a) Pelunasan Bea Meterai dengan Mesin Teraan Meterai
Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan mesin
teraan meterai diperbolehkan bagi penerbit dokumen yang
melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari
minimal 50 dokumen. Penerbit dokumen yang akan
menggunakan mesin teraan meterai harus memenuhi beberapa
syarat berikut:32
(1) Mengajukan permohonan ijin tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan
jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang
akan digunakan serta melampirkan surat pernyataan tentang
31
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai
dengan Menggunakan Cara Lain. 32
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai
dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
30
jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai
setiap hari.
(2) Melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal
sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kas Negara
melalui Bank Persepsi.
(3) Dalam hal wajib pajak telah memperoleh ijin untuk
menggunakan mesin teraan meterai, maka wajib pajak
harus menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin
teraan meterai kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
setempat, paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
(4) Ijin menggunakan mesin teraan meterai berlaku untuk 2
(dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya, dan dapat
diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan.
(5) Dalam hal mesin teraan meterai rusak atau tidak digunakan
lagi, maka Bea Meterai yang belum digunakan dapat
dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai lain
atau pencetakan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi
percetakan ataupun dengan sistem komputerisasi.
(6) Penerbit dokumen yang akan mengalihkan Bea Meterai
harus mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak setempat disertai dengan alasan
dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan.33
33
Notaris Herman. Tax Learning Bea Meterai. Diakses melalui http://herman-notary.
blogspot.com/2009_05_01_archive.html. tanggal 15 Oktober 2013.
31
b) Pelunasan Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan
Tata cara pelunasan Bea Meterai dengan teknologi
percetakan diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP - 122c/PJ./2000 tentang Tata Cara Pelunasan Bea
Meterai dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas
dengan Teknologi Percetakan, yang menetapkan sebagai
berikut: 34
(1) Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi percetakan hanya
digunakan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro,
dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun.
(2) Perusahaan yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak untuk
melaksanakan pembubuhan tanda Bea Meterai lunas adalah
Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia
(PERURI) dan/atau perusahaan sekuriti yang memperoleh
ijin dari Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu
(BOTASUPAL) yang ditunjuk oleh Bank Indonesia,yaitu:
PT Wahyu Abadi, PT Graficindo Megah Utama, PT
Swadharma Eragrafindo Sarana, PT Jasuindo Tiga Perkasa,
PT Sandipala Arthaputra, PT Karsa Wira Utama.35
(3) Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea
Meterai dengan teknologi percetakan harus melakukan
pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen
34
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 122c/PJ./2000 tentang Tata Cara Pelunasan
Bea Meteri dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Teknologi Percetakan. 35
Notaris Herman. Op.Cit.
32
yang harus dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan
SSP ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
(4) Penerbit dokumen yang melakukan pelunasan Bea Meterai
dengan teknologi percetakan harus mengajukan
permohonan ijin tertulis kepada Dirjen Pajak dengan
mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea
Meterai dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.
(5) Perum PERURI dan perusahaan sekuriti yang melakukan
pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet
giro, atau efek, harus menyampaikan laporan bulanan
kepada Dirjen Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
(6) Surat ijin dikeluarkan oleh Dirjen pajak dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari sejak permohonan diterima secara
lengkap.
(7) Bea Meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai
Lunas yang tercetak pada cek, bilyet giro, dan efek yang
belum digunakan dapat dialihkan untuk pengisian deposit
mesin teraan meterai atau untuk pembubuhan tanda Bea
Meterai dengan cara lainnya.
(8) Penerbit dokumen yang akan mengalihkan Bea Meterai
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Dirjen Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea
Meterai yang akan dialihkan.
33
(9) Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek
yang tanda Bea Meterai Lunasnya dibubuhkan sebelum
tanggal 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan menggunakan
mesin teraan meterai atau meterai tempel.
(10) Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek
yang tanda lunasnya dibubuhkan sejak tanggal 1 Mei 2000
harus dilunasi dengan menggunakan mesin teraan meterai
atau dengan meterai tempel ditambah denda administrasi
sebesar 200% dari Bea Meterai kurang bayar (Pasal 9
UUBM).
c) Pelunasan Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi
Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda
Bea Meterai Lunas dengan sistem Komputerisasi diatur dalam
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang
Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda
Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi, dengan syarat
sebagai berikut :
(1) Dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang
sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf d Peraturan
Pemerintah No.24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal
yang Dikenakan Bea Meterai, dengan jumlah rata-rata
pemeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen.
34
(2) Penerbit dokumen yang menggunakan sistem komputerisasi
harus mengajukan ijin tertulis kepada Dirjen Pajak dengan
mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-
rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.
(3) Penerbit dokumen yang menggunakan sistem komputerisasi
harus membayar Bea Meterai di muka minimal sebesar
perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai
setiap bulan, dengan menggunakan SSP ke Kas Negara
melalui Bank Persepsi.
(4) Penerbit dokumen yang memperoleh ijin pelunasan Bea
Meterai dengan sistem komputerisasi harus menyampaikan
laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo
Bea Meterai kepada Dirjen Pajak paling lambat tanggal 15
setiap bulan.
(5) Ijin pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi
berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada
saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan
pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.
(6) Penerbit dokumen yang saldo Bea Meterainya kurang dari
estimasi kebutuhan satu bulan, harus mengajukan
permohonan ijin baru, dengan terlebih dahulu membayar
uang muka minimal sebesar kekurangan yang harus
dipenuhi untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
35
(7) Bea Meterai yang belum digunakan karena sesuatu hal,
dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan
meterai, atau pencetakan Bea Meterai Lunas dengan
teknologi percetakan.
(8) Penerbit dokumen yang melakukan pengalihan Bea Meterai
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Dirjen Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea
Meterai yang dialihkan.36
b. Penggunaan Bea Meterai
Penggunaan benda meterai dalam pelunasan Bea Meterai di
atur dalam Pasal 6 ayat (3) sampai dengan ayat (9) UUBM, sebagai
berikut :
(3) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak
di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
(4) Meterai tempel direkatkan di tempat di mana tanda tangan akan
dibubuhkan.
(5) Pembubuhan tandatangan disertai dengan pencantuman tanggal,
bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau sejenis dengan itu,
sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi
di atas meterai tempel.
36
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 122d/PJ./2000 tentang Tata Cara Pelunasan
Bea Meterai dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem Komputerisasi.
36
(6) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus
dibubuhkan sebagaian di atas semua meterai tempel dan sebagian
diatas kertas.
(7) Kertas meterai yang sudak digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
(8) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang
untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan,
maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan
kertas tidak bermeterai.
(9) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai
dengan ayat (8) tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan
dianggap tidak bermeterai.
Ketentuan penggunaan meterai di atas secara eksplisit
menegaskan bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan
untuk sekali pemakaian, sekalipun dapat terjadi tulisan atau keterangan
yang dimuat dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan
sebagaian saja dari kertas meterai. Andaikan bagian yang masih
kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan, akan dimuat tulisan
atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain
tersebut terhutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan
dengan besarnya tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Jika
sehelai kertas meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan
dalam hal ini belum ditanda tangani oleh pembuat atau yang
berkepentingan, sedangkan dalam kertas meterai telah terlajur ditulis
37
dengan beberapa kata atau kalimat yang belum merupakan suatu
dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada kertas
meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru maka
kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu
dibubuhi meterai lagi.37
Jadi, apabila penggunaan meterai digunakan tidak sesuai
dengan sebagaimana hal-hal yang telah diuraikan di atas maka
konsekuensinya terhadap dokumen yang diberikan meterai tersebut
baik tempel maupun kertas meterai akan dianggap tidak bermeterai,
hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 ayat 3 UUBM.
6. Pemeteraian Kemudian (Nazegelen)
Mengenai pemeteraian kemudian diatur dalam Pasal 8, Pasal 9 dan
Pasal 10 UUBM, yang lengkapnya sebagai berikut :
a. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya
tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda
administrasi sebesar 200 % (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang
tidak atau kurang dibayar (Pasal 8 ayat (1) UUBM).
b. Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus melunasi Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya
dengan cara pemeteraian kemudian (Pasal 8 ayat (2) UUBM).
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia
harus telah dilunasi Bea Meterai yang terhutang dengan cara
pemeteraian kemudian (Pasal 9 UUBM).
37
Penjelasan Pasal 6 ayat (7) Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
38
d. Pemeteraian kemudian atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 dilakukan oleh Pejabat Pos
menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (Pasal 10
UUBM).
Menurut Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Keuangan No.
476/KMK.03/2002 Tahun 2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dgn Cara
Pemeteraian Kemudian, dinyatakan bahwa pemeteraian kemudian
dilakukan atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun
akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Pemeteraian
kemudian juga dilakukan atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang
akan digunakan di Indonesia (Pasal 1 huruf c Keputusan Menteri
Keuangan No. 476/KMK.03/2002).
Pemeteraian kemudian wajib dilakukan oleh pemegang dokumen
dengan menggunakan Meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak dan
kemudian disahkan oleh Pejabat Pos. Besarnya Bea Meterai yang harus
dilunasi adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan
yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan (Pasal 3 huruf a
Keputusan Menteri Keuangan No. 476/KMK.03/2002).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemeteraian
kemudian dilakukan karena :
1) Dokumen yang semula tidak/belum perlu dibubuhi meterai tetapi
karena kemudian dipergunakan sebagai alat bukti di muka Pengadilan,
maka harus dibubuhi meterai (Pasal 2 ayat (3) UUBM).