Top Banner
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal 1. Pengertian Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014) kata kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan dan kemampuan seseorang. Berikutnya, kata mengelola adalah menyelengarakan, mengurus dan orang yang mengelola. Kata konflik secara etimologis berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (kelompok) yang salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya (Laksana, 2015). Wirawan (2016) menyatakan konflik merupakan proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Webster (dalam Pickering, 2001) mendefinisikan konflik sebagai persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain, perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan dan perseteruan. Pertentangan dalam kehidupan antara dua pihak yang saling bergantung, maka kedua pihak tersebut akan merasakan tujuan yang tidak sesuai atau tidak sejalan, keterbatasan sumber daya, dan gangguan dari orang lain dalam mencapai tujuan yang mengarah pada konflik interpersonal
21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Mengelola ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3009/2/BAB II KEMAMPUAN...12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal 1.

Feb 14, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 12

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal

    1. Pengertian Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014) kata kemampuan adalah

    kesanggupan, kecakapan, kekuatan dan kemampuan seseorang. Berikutnya, kata

    mengelola adalah menyelengarakan, mengurus dan orang yang mengelola. Kata

    konflik secara etimologis berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling

    memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara

    dua orang atau lebih (kelompok) yang salah satu pihak berusaha menyingkirkan

    pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya (Laksana,

    2015).

    Wirawan (2016) menyatakan konflik merupakan proses pertentangan yang

    diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai

    objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang

    menghasilkan keluaran konflik. Webster (dalam Pickering, 2001) mendefinisikan

    konflik sebagai persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok

    satu sama lain, perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan

    yang bertentangan dan perseteruan. Pertentangan dalam kehidupan antara dua

    pihak yang saling bergantung, maka kedua pihak tersebut akan merasakan tujuan

    yang tidak sesuai atau tidak sejalan, keterbatasan sumber daya, dan gangguan dari

    orang lain dalam mencapai tujuan yang mengarah pada konflik interpersonal

  • 13

    (Hocker & Wilmot, dalam Wirawan 2016). Laksana (2015) menyatakan konflik

    interpersonal merupakan konflik sosial yang melibatkan individu di dalam konflik

    tersebut, konflik ini terjadi karena adanya perbedaan, pertentangan, atau ketidak

    cocokan antara individu satu dan individu lainnya. Tiap-tiap individu bersikukuh

    mempertahankan tujuannya atau kepentingan masing-masing dalam mencapai

    tujuan yang diinginkannya. Konflik interpersonal adalah konflik pada satu orang

    atau lebih (kelompok) di antara pihak-pihak yang terlibat konflik dan saling

    tergantung dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk pencapaian tujuan secara

    bersama (Wirawan, 2016). Menurut Pickering (2001) konflik interpersonal adalah

    konflik antara dua individu yang mempunyai kebutuhan dasar keinginan untuk

    dihargai dan diperlakukan sebagai manusia, keinginan memegang kendali, harga

    diri dan keinginan untuk konsisten yang mana bisa mencetuskan konflik bila tidak

    terpenuhi.

    Berdasarkan definisi yang telah dibahas oleh beberapa ahli, maka dapat

    disimpulkan dari definisi Laksana bahwa kemampuan mengelola konflik

    interpersonal merupakan kemampuan seseorang dalam mengelola setiap

    permasalahan didalam kehidupan yang melibatkan antara dua pihak yang saling

    berselisih atau bertentangan, konflik tersebut terjadi karena adanya perbedaan,

    pertentangan, atau ketidak cocokan sehingga kedua pihak akan merasakan tujuan

    yang tidak sesuai.

    2. Apek-aspek Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal

    Hardjana (1994) mengemukakan aspek-aspek kemampuan mengelola

    konflik interpersonal, yaitu :

  • 14

    a. Mendengarkan

    Setiap orang yang cakap mendengarkan tidak hanya mampu menangkap isi

    hal yang dikatakan rekan bicaranya secara logis, tetapi juga mampu menyatu

    dengan rekan bicaranya dalam memikirkan, merasakan, dan menjiwai perkara

    yang diungkapkan. Seseorang dapat menangkap isi hal yang dikatakan

    lengkap dengan maksud, perasaan dan barangkali mencangkup keprihatinan

    yang ada dalam diri rekan bicaranya. Kemampuan mendengarkan itu

    diperlukan dalam mengelola konflik, karena hanya dengan kemampuan itu,

    seseorang dapat menanggapi apa yang diutarakan orang yang menjadi lawan

    konfliknya secara tepat mengenai persoalan dan dengan cara yang baik untuk

    dapat diterima.

    b. Menanggapi

    Kecakapan menanggapi membuat seseorang mampu memperhatikan rekan

    bicaranya. Hal tersebut, didapatkan melalui raut wajah, gerak-gerik tubuh,

    kata-kata dan berbagai cara lainnya. Seseorang juga akan cakap menanggapi,

    mampu menunjukkan bahwa dia mau menerima orang lain sepenuhnya dan

    menaruh perhatian pada segala hal yang diutarakan. Dengan perhatian itu

    maka seseorang akan cakap menanggapi, membuat rekan bicaranya dihargai

    dan bersedia berbicara dengan baik dan bebas karena merasa diterima dan

    dipahami.

    c. Menangkap dan mengutarakan hal

    Kemampuan menangkap masalah inti konflik membantu orang menemukan

    apa masalah yang menjadi inti konflik. Bila masalah itu kompleks, banyak

  • 15

    segi dan saling terkait, orang yang mampu menagkap masalah, dapat melihat

    inti dan kaitannya. Selanjutnya dengan jelas dan meyakinkan orang itu mampu

    mengutarakan masalah yang dikonflikan. Masalah yang ditemukan dengan

    tepat dan diutarakan dengan baik membantu orang, pihak atau kelompok

    orang memahami, dan menyetujuinya. Oleh karena itu, pemahaman dan

    persetujuan tentang apa masalah yang menjadi inti konflik, langkah tanggapan

    dan pembahasan pengelolaanya dapat dimulai, sehingga pembahasan yang

    berpangkal pada masalah yang dipahami dan disetujui bersama, besar

    kemungkinannya untuk maju menuju penyelesaiannya.

    d. Menghadapi

    Kecakapan menghadapi membantu orang untuk mengemukakan perbedaan

    dengan tenang dan baik. Dengan demikian orang mampu menyebutkan akibat-

    akibat perbedaan itu bagi dirinya dan perasaan yang ada karena akibat itu,

    tanpa mempersalahkan, menuduh, menyebut orang, pihak, kelompok orang

    yang menjadi lawan konflik sebagai akar permasalahan. Kecakapan

    menghadapi itu jelas merupakan hal yang penting dalam pengelolaan konflik

    karena dengan begitu perkara dikemukakan dengan baik, pribadi, harga diri,

    dan pendirian lawan konflik dijaga dan dihargai, tanpa disangkal kekurangan

    dan kelemahannya.

    e. Menahan emosi dan diri

    Kemampuan menahan diri membantu seseorang mengelola konflik, namun

    tetap ada pada posisinya sehingga tidak mudah terbawa emosinya dan tetap

    pada kepentingan yang diperjuangkan dan menjaga kepaladingin. Kemampuan

  • 16

    menahan emosi dan diri tercapai bila didasari oleh pandangan yang sehat

    terhadap diri sendiri dan orang lain. Pandangan yang sehat terhadap orang lain

    dan diri sendiri dalam konflik membuat orang lain tetap memperhatikan dan

    memperjuangkan kepentingannya dan menjaga hubungan baik dengan orang,

    pihak, kelompok yang menjadi lawan konfliknya.

    Aspek-aspek kemampuan mengelola konflik interpersonal selanjutnya

    dikemukakan oleh Donohue dan Kolt (1992), yaitu sebagai berikut :

    a. Interdependence

    Ketika orang-orang menggunakan konflik untuk belajar lebih tentang suatu

    ide-ide dan perspektif lainnya, konflik membantu menyatukan berbagai pihak.

    b. Manifest

    Orang-orang mendiskusikan perselisihan atau pertikaiannya dan

    menghadapinya secara terbuka.

    c. Need and Interest

    Kebutuhan pribadi yang mendasar untuk mempertahankan kekuasan dan

    menghindari diri agar tetap berada dalam kondisi yang aman.

    d. Interference

    Mengadopsi suatu sifat yang leluasa dalam mencapai tujuan, meminta

    kesedian untuk bekerja dengan kelompok lainnya.

    Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat lima

    aspek kemampuan mengelola konflik interpersonal menurut Hardjana (1994)

    yaitu mendengarkan, menanggapi, menangkap dan mengutarakan hal,

    menghadapi, menahan emosi dan diri, selain itu kemampuan mengelola konflik

  • 17

    interpersonal juga mencangkup aspek lainnya yang dikemukakan oleh Donohue

    dan Kolt (1992) yaitu interdependence, manifest, need and interest, interference.

    Dari beberapa aspek-aspek yang telah dijabarkan, maka peneliti memilih

    untuk menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Hardjana yaitu mendengarkan,

    menanggapi, menangkap dan mengutarakan hal, menghadapi, menahan emosi dan

    diri. Aspek tersebut dipilih oleh peneliti sebagai acuan yang digunakan untuk

    mengukur kemampuan mengelola konflik interpersonal pada mahasiswa yang

    tinggal di asrama putra “X” Yogyakarta. Peneliti memiliki pertimbangan dalam

    memilih aspek tersebut karena sejalan dengan variabel penelitian, penjabarannya

    lebih konkrit, dan dilihat dari kondisi tempat yang akan dijadikan penelitian.

    Selain itu, kelima aspek tersebut mampu mengungkap kemampuan mengelola

    konflik interpersonal yang dimiliki subjek lebih mendalam.

    3. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Mengelola Konflik

    Interpersonal

    Menurut Hardjana (1994) terdapat faktor - faktor yang mempengaruhi

    kemampuan mengelola konflik interpersonal, yaitu :

    a. Hubungan antara orang-orang yang ada dalam konflik

    Menurut KBBI (2014) hubungan merupakan jaringan yang terwujud karena

    adanya interaksi dari individu satu dengan yang lainnya. Duck (dalam

    Rakhmat, 2012) menytakan bahwa pembentukan hubungan didapatkan

    melalui perkenalan yaitu proses komunikasi dimana seseorang mengirimkan

    (secara sadar) atau menyampaikan informasi tentang struktur dan inti

    kepribadiannya kepada pihak lainnya. Salah satu caranya dengan

  • 18

    menggunakan kemampuan komunikasi interpersonal yang merupakan

    kesanggupan atau kemampuan seseorang dalam berkomunikasi antara dua

    orang atau lebih, menyangkut komunikasi dari orang ke beberapa orang

    lainnya (kelompok kecil) (Wiryanto, 2004).

    b. Watak orang yang terlibat dan keseimbangan kekuasaan

    Jika orang-orang yang terlibat sama-sama keras kepala dan kekuasaan mereka

    seimbang, pengelolaan konflik mempunyai kemungkinan lebih tersendat-

    sendat daripada jika orang-orang yang terlibat seimbang mentalnya dan yang

    satu lebih berkuasa daripada yang lain.

    b. Resiko yang dihadapi oleh orang-orang yang terlibat dalam mengelola konflik

    Pengelolaan yang dilakukan dalam suasana aman apapun akibatnya tidak amat

    berat, berbeda dengan pengelolaan dalam situasi terancam, akibatnya dapat

    berat bagi salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat.

    c. Hakikat konflik

    Konflik yang relatif besar, berlangsung keras, bersifat menentukan, rumit,

    menyangkut banyak hal dan banyak pihak, tentu lebih berat pengelolaanya

    daripada konflik yang kecil, lunak, tidak menentukan, sederhana dan

    menyangkut hal atau pihak terbatas saja.

    d. Masalah yang menjadi inti konflik

    Bila masalahnya tidak berat dan kedua belah pihak yang berkonflik sudah

    sepakat tentang isi dan pentingnya masalah dalam konflik, tentu

    pengelolaannya lebih ringan daripada bila berkonflik tentang masalah berat

    yang masih diperdebatkan isi dan pentingnya.

  • 19

    e. Modus atau cara mengelola

    Setiap cara itu ada kekuatan dan kelemahannya sendiri, kesalahan penentuan

    cara pengelolaan konflik amat menentukan hasilnya.

    f. Perkiraan berhasil tidaknya pengelolaan konflik

    Pengelolaan konflik yang diperkirakan oleh orang-orang yang terlibat lebih

    banyak berhasil, pengelolaannya akan berjalan lebih optimis dan bersemangat

    daripada pengelolaan konflik yang diperkirakan belum tentu berhasil, apalagi

    diperkirakan pasti gagal.

    g. Sikap dalam mengelola konflik

    Sikap yang baik dalam mengelola konflik akan menghasilkan pengelolaan

    konflik yang baik bagi pihak, orang, dan kelompok yang terlibat konflik, sikap

    itu diperlihatkan dalam pandangan yang sehat terhadap konflik, emosi atau

    perasaan yang positif, itikad yang baik dan perilaku yang konstruktif.

    Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat delapan

    faktor kemampuan mengelola konflik interpersonal yaitu hubungan antara orang-

    orang dalam konflik yang ditandai dengan kemampuan komunikasi interpersonal,

    watak orang yang terlibat dan keseimbangan kekuasaan, resiko dalam mengelola

    konflik, hakikat konflik, masalah inti konflik, modus atau cara mengelola,

    perkiraan berhasil tidaknya pengelolaan konflik, sikap mengelola konflik.

    Dari uraian yang telah dikemukakan, peneliti menggunakan faktor yang

    mempengaruhi kemampuan mengelolah konflik dari Hardjana yaitu hubungan

    antara orang-orang dalam konflik. Menurut Duck (dalam Rakhmat, 2012)

    pembentukan hubungan didapatkan melalui perkenalan yaitu proses komunikasi

  • 20

    dalam menyampaikan informasi kepada pihak lain. Salah satu caranya dengan

    menggunakan kemampuan komunikasi interpersonal (Wiryanto, 2004). Hal

    tersebut didukung berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hapsari dan

    Handayani (2013) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif antara

    kemampuan komunikasi interpersonal dengan kemampuan mengelola konflik

    interpersonal. Berdasarkan pendapat di atas maka kemampuan komunikasi

    interpersonal akan menjadi faktor yang dipilih dalam penelitian ini.

    B. Kemampuan Komunikasi Interpersonal

    1. Pengertian Kemampuan Komunikasi Interpersonal

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014) kata kemampuan adalah

    kesanggupan, kecakapan, kekuatan dan kemampuan seseorang. Secara harfiah

    komunikasi berarti pemberitahuan, pembicaraan, percakapan, pertukaran pikiran,

    atau hubungan. Komunikasi dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian

    makna dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lain

    melalui media tertentu (Hardjana, 2003). Menurut Laksana (2015) komunikasi

    merupakan peristiwa sosial yang terjadi ketika seorang manusia berinteraksi

    dengan manusia lain. Lebih lanjut Laksana (2015) mengatakan komunikasi adalah

    ilmu penyampaian energi dari alat-alat indra ke otak, pada peristiwa penerimaan

    dan pengolahan informasi, pada proses saling pengaruh di antara berbagai sistem

    dalam diri organisme dan di antara organisme.

    Komunikasi erat hubungannya dengan proses pemindahan informasi dan

    pengertian antara dua orang atau lebih, yang masing-masing berusaha untuk

  • 21

    memberikan arti pada pesan-pesan simbolik dikirim melalui suatu media yang

    menimbulkan umpan balik, hal tersebut didapatkan melalui adanya peran dari

    komunikasi interpersonal (Devito, 1997). Pada hakikatnya komunikasi

    interpersonal merupakan komunikasi antara komunikator dengan komunikan.

    Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap,

    pendapat, maupun perilaku seseorang karena sifatnya yang dianggap dialogis

    berupa percakapan antara satu pihak dengan pihak lainnya (Effendy dalam

    Laksana, 2015). Menurut Laksana (2015) komunikasi interpersonal adalah

    kegiatan komunikasi yang dilakukan secara langsung atau tatap muka antara

    seseorang dan orang lainnya, sedangkan Wiryanto (2004) menyatakan komunikasi

    interpersonal merupakan komunikasi antara dua orang atau lebih, menyangkut

    komunikasi dari orang ke beberapa orang lain (kelompok kecil).

    Kemampuan komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai suatu

    proses pertukaran makna antar orang-orang yang saling berkomunikasi, proses

    tersebut mengacu pada perubahan dan tindakan yang berlangsung terus menerus.

    Kemampuan komunikasi interpersonal juga merupakan suatu pertukaran, yaitu

    tindakan menyampaikan dan menerima pesan secara timbal balik dengan

    pemahaman di antara semua pihak yang berkomunikasi terhadap pesan yang

    digunakan dalam proses komunikasi (Daryanto & Raharjo, 2016). Kemampuan

    komunikasi interpersonal merupakan kecakapan seseorang dalam berkomunikasi

    antara komunikator dengan komunikan. Komuniksi jenis ini dianggap paling

    efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat, dan perilaku seseorang.

  • 22

    Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga komuniksi bersifat

    arus langsung (Liliweri, 1991).

    Berdasarkan definisi yang telah dibahas oleh beberapa ahli, maka dapat

    disimpulkan dari definisi Laksana bahwa kemampuan komunikasi interpersonal

    merupakan kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain yang

    dilakukan secara langsung atau tatap muka antara seseorang dan orang lainnya.

    2. Aspek-aspek Kemampuan Komunikasi Interpersonal

    Aspek-aspek kemampuan komunikasi interpersonal menurut Devito

    (1997), yaitu :

    a. Keterbukaan (openness)

    Kualitas keterbukaan tidaklah berarti bahwa seseorang harus dengan segera

    membuka riwayat hidupnya karena harus ada kesediaan membuka diri,

    mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan

    pengungkapan diri ini patut untuk diperbincangkan. Komunikator akan

    bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Seseorang yang diam,

    tidak kritis, tidak dianggap umumnya merupakan peserta percakapan yang

    menjemukan. Memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara

    spontan terhadap orang lain.

    b. Empati (empathy)

    Backrack (dalam Devito, 1995) mendefinisikan empati sebagai kemampuan

    seseorang untuk mengetahui apa yang dirasakan orang lain pada suatu saat

    tertentu. Seseorang yang empatik mampu memahami motivasi dan

    pengalaman orang lain, perasaan dan sikap, serta harapan dan keinginannya

  • 23

    untuk masa mendatang. Empati membantu seseorang untuk lebih mampu

    menyesuaikan komunikasinya. Menyesuaikan apa yang dikatakan atau

    bagaimana seseorang mengatakannya, dapat menghindari topik tertentu, dan

    berdiam diri atau melakukan pengungkapan diri.

    c. Sikap mendukung (supportiveness)

    Sikap mendukung adalah sikap yang mengurangi sikap defensive, dimana

    seseorang akan jujur, memiliki empatis, dan mampu memahami orang lain.

    Seseorang juga bersedia mendengarkan pendapat orang lain dan bersedia

    mengubah posisi jika sedang mengharuskan sehingga setiap pihak mampu

    memberikan dukungan terhadap pesan yang disampaikan.

    d. Sikap positif (positiveness)

    Seseorang yang merasa positif terhadap diri sendiri mengisyaratkan perasaan

    ini kepadaa orang lain, yang selanjutnya juga akan merefleksikan perasaan

    positif ini. Sikap positif mendukung citra pribadi seseorang dan membuat

    seseorang meerasa lebih baik.

    e. Kesetaraan (equality)

    Pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan

    berharga dan bahwa tiap-tiap pihal mempunyai sesuatu yang penting untuk

    disumbangkan. Menurut laksana (2015) kesetaraan merupakan upaya

    memahami perbedaan yang ada daripada sebagai kesempatan untuk

    menjatuhkan pihak lain. Lebih lanjut, kesearaan tidak mengharuskan seeorang

    menerima dan menyetujui semua perilaku pihak lain namun bagaimana

    seseorang menghargai dan mampu menerima keberagamaan tersebut.

  • 24

    Aspek-aspek kemampuan komunikasi interpersonal selanjutnya

    dikemukakan oleh Pearson (dalam Daryanto & Raharjo, 2016), yaitu :

    a. Dimulai dengan diri sendiri (self)

    Berbagai persepsi yang menyangkut pengamatan dan pemahaman komunikasi

    berasal dari dalam diri kita, artinya dibatasi oleh diri kita dan bagaimana

    pengalaman kita.

    b. Bersifat transaksional

    Angapan ini mengacu pada tindakan pihak-pihak yang berkomunikasi secara

    serempak menyampaikan dan menerima pesan.

    c. Aspek-aspek isi pesan dan hubungan antar pribadi

    Komunikasi interpersonal tidak hanya berkenan dengan isi pesan yang

    dipertukarkan, tetapi juga melibatkan siapa patner komunikasi kita dan

    bagaimana hubungan kita dengan patner tersebut.

    d. Mensyaratkan interaksi

    Mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara pihak-pihak yang berkomunikasi.

    e. Interdependen

    Melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung satu dengan yang lainnya

    (interdependen) dalam proses komunikasi.

    f. Tidak dapat diubah maupun diulang

    Jika kita salah mengucapkan sesuatu kepada patner komunikasi kita, mungkin

    kita dapat maaf dan diberi maaf. Akan tetapi, itu tidak berarti menghapus apa

    yang kita pernah ucapkan. Demikian pula kita tidak dapat mengulang suatu

    penyataan dengan harapan untuk mendapatkan hasil yang sama, karena dalam

  • 25

    proses komunikasi interpersonal, hal ini akan sangat bergantung dalam

    tanggapan patner komunikasi kita.

    Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat lima

    aspek komunikasi interpersonal menurut Devito (1997) yaitu keterbukaan

    (openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif

    (positiveness), dan kesetaraan (equality), selain itu komunikasi interpersonal juga

    mencangkup aspek lainnya menurut Pearson (dalam Daryanto & Raharjo, 2016)

    yaitu dimulai dengan diri sendiri (self), bersifat transaksional, aspek-aspek isi

    pesan dan hubungan antar pribadi, mensyaratkan interaksi, interdependen, dan

    tidak dapat diubah maupun diulang.

    Dari beberapa aspek-aspek yang telah dijabarkan, maka peneliti memilih

    untuk menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Devito yaitu keterbukaan

    (openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif

    (positiveness), dan kesetaraan (equality). Aspek tersebut dipilih oleh peneliti

    sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi

    interpersonal pada mahasiswa yang tinggal di asrama putra “X” Yogyakarta.

    Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih aspek tersebut karena sejalan

    dengan variabel penelitian, penjabarannya lebih konkrit, dan dilihat dari kondisi

    tempat yang akan dijadikan tempat penelitian. Selain itu, kelima aspek tersebut

    mampu mengungkap kemampuan komunikasi interpersonal yang dimiliki subjek

    lebih mendalam.

  • 26

    C. Hubungan antara Kemampuan Komunikasi Interpersonal dengan

    Kemampuan Mengelola Konflik Interpersonal pada Mahasiswa yang

    Tinggal di Asrama Putra “X” Yogyakarta

    Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk

    memenuhi kebutuhan, berkomunikasi, menyampaikan kehendak, dan gagasan

    yang mana hal tersebut memungkinkan dapat menimbulkan konflik antara satu

    dengan yang lainnya (Laksana, 2015). Hubungan antara satu sama lain terjadi

    pula pada mahasiswa, dimana memungkinkan untuk terjadinya pertentangan

    dalam berkomunikasi antara mahasiswa. Pertentangan yang terjadi membuat

    kedua pihak merasakan tujuannya tidak sejalan sehingga akan mengarah pada

    konflik interpersonal (Hocker & Wilmot dalam Wirawan, 2016). Konflik

    interpersonal interpersonal tentunya dapat terhindari ketika seseorang memiliki

    kemampuan mengelola konflik interpersonal yang merupakan kemampuan

    seseorang dalam mengelola komunikasi antara dua pihak yang saling berselisih

    paham (Laksana, 2015). Kemampuan mengelola konflik interpersonal terbagi

    dalam lima aspek yaitu mendengarkan, menanggapi, menangkap dan

    mengutarakan hal, menghadapi, menahan emosi dan diri (Hardjana, 1994).

    Hardjana (1994) menyatakan bahwa kemampuan mengelola konflik

    interpersonal dapat dipegaruhi atau terjadi karena adanya kemampuan

    komunikasi interpersonal. Kemampuan komunikasi interpersonal merupakan

    kemampuan seseorang dalam berinteraksi antara dua orang atau lebih yang

    dilakukan secara langsung atau tatap muka untuk menyampaikan pendapat

    maupun informasi yang dibutuhkan, baik secara terorganisir maupun dengan

  • 27

    kerumunan orang (Laksana, 2015). Komunikasi jenis ini memegang peran penting

    terhadap komunikator yang mengetahui apakah komunikasinya itu positif atau

    negatif, berhasil atau tidaknya (Liliweri, 1991).

    Devito (1997) mengemukakan bahwa kemampuan komunikasi

    interpersonal harus memenuhi aspek tertentu agar dapat berpengaruh baik bagi

    seseorang dalam berinteraksi. Interaksi yang baik akan menciptakan suasana

    dialogis sehingga dapat mengetahui pikirannya, perasaannya, serta melaksanakan

    apa yang dimaksud, jika harapan terpenuhi, maka dapat disimpulkan komunikasi

    tersebut telah berhasil karena umpan baliknya membuat kita bersama menjadi

    saling mengerti. Disi lain, jika harapan tidak terpenuhi, maka membuat saling

    berselisih paham (Liliweri, 1991). Aspek kemampuan komunikasi interpersonal

    menurut Devito (1997) yaitu keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap

    mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan

    (equality).

    Kemampuan seseorang untuk membuka diri pada masalah-masalah yang

    umum terdapat pada aspek keterbukaan (openness) (Devito, 1997). Seseorang

    yang memiliki sikap terbuka akan menilai perasaan secara objektif yaitu ketika

    berpendapat dan menyampaikan sesuatu akan bersikap jujur apa adanya sesuai

    dengan keadaan dirinya dan bersedia mengubah kepercayaan atau menerima

    pendapat pihak lain agar dapat membangun diri maupun lingkungan. Hal tersebut

    dapat menimbulkan kecakapan seseorang dan pihak lain dalam menghadapi

    berbagai macam hal, dimana kedua pihak akan merasakan keakraban karena

    saling percaya antara satu sama lain dan saling berhubungan melaksanakan

  • 28

    kegiatan untuk pencapaian tujuan yaitu mencari jalan keluar dan mendapatkan

    hasil diskusi untuk kemajuan bersama (Hocker & Wilmot dalam Wirawan, 2016).

    Sebaliknya, sikap tertutup membuat seseorang menilai perasaan berdasarkan

    motif pribadi yaitu dengan berkata bohong untuk menutupi kesalahannya,

    mengabaikan pihak lain ketika sedang mengutarakan pendapat, dan menolak

    pandangan yang tidak sesuai kepercayaan dengan bersikukuh mempertahankan

    pendapat walaupun pendapatnya belum tentu benar. Sikap tertutup

    memungkinkan terjadinya kesalahan seseorag dalam menangkap dan

    mengutarakan hal sehingga dapat menimbulkan kegagalan berkomunikasi,

    yaitu pihak lain tidak memahami maksud yang sesungguhnya maka akan

    mengurangi rasa percaya antara satu sama lain dan menimbulkan pertikaian

    (Hocker dan Wilmot dalam Chandra, 1992).

    Empati (empathy) juga menjadi salah satu aspek penting karena

    menunjukan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu yang dirasakan dan

    dialami oleh orang lain (Devito, 1997). Menurut (Rakhmat, 2012) seseorang yang

    memiliki empati dapat memahami orang lain dengan menetapkan dirinya pada

    posisi orang lain yang sedang mengalami permasalahan ringan maupun berat,

    dengan begitu seseorang tersebut akan memberikan motivasi berupa sikap

    perhatiannya. Empati juga membuat seseorang memiliki pengelolaan emosi yang

    baik, menahan diri dalam bersikap dengan tidak menyingung permasalahan

    yang dapat melukai, dan memperlakukan dengan menunjukan emosinya yaitu

    memberikan sikap serta kata-kata yang lembut sebagai tanda keperdulian terhadap

    temannya yang mengalami permasalahan. Lebih lanjut, seseorang yang tidak

  • 29

    berempati akan mengalihkan perhatiannya atau tidak perduli atas kejadian yang

    menimpa temannya. Ketidak pedulian seseorang berpengaruh terhadap

    kemampuan kecakapan mendengarkan, dimana seseorang tidak akan mampu

    menangkap isi hal yang dikatakan rekan bicaranya dan tidak mampu menyatu

    dengan rekan bicaranya dalam memikirkan, merasakan, dan menjiwai perkara, hal

    tersebut berdampak pada keretakan interaksi atau tidak adanya sikap saling

    menghargai antara pihak-pihak yang berkaitan (Hardjana, 1994). Menurut

    Pickering (2001) manusia memiliki kebutuhan dasar keinginan untuk dihargai,

    diperlakukan sebagai manusia, keinginan memegang kendali, dan harga diri yang

    mana bisa mencetuskan konflik bila tidak terpenuhi.

    Keinginan dalam memegang kendali dan dihargai memerlukan sikap

    mendukung (supportiveness) sebagai andil dalam saling memberikan dukungan

    antara satu pihak dengan pihak lainnya terhadap pesan yang disampaikan (Devito,

    1997). Rakhmat (2012) menyatakan bila seseorang memiliki sikap supportif maka

    akan dapat mengevaluasi artinya seseorang akan mempertimbangkan hal-hal yang

    diungkapan pihak lain dengan mencari sumber dan isi pesan yang disampaikan,

    selanjutnya akan mengontrol permasalahan dengan mengendalikan perilaku saat

    berpendapat (tidak mudah terbawa emosi dan suasana saat melakukan tindakan

    dengan kepala dingin). Oleh karena itu, seseorang akan menanggapi permasalahan

    dengan menyatu bersama rekan bicaranya dalam memikirkan solusi yang tepat

    terhadap suatu perkara dan menjiwai perkara untuk mencapai hasil yang tidak

    melukai pihak manaun (Hardjana, 1994). Menurut Rakhmat (2012) bila seseorang

    tidak bisa menjiwai suatu perkara maka tidak akan menerima pendapat yang

  • 30

    disampaikan pihak lain, hilangnya kejujuran berpendapat, dan empatis yang

    rendah dalam situasi komunikasi maka seseorang tersebut tidak bersikap

    supportif. Dengan demikian, seseorang akan mempersalahkan, menuduh,

    menyebut orang, pihak, kelompok orang yang menjadi lawan konflik sebagai akar

    permasalahan dalam berkomunikasi, sehingga seseorang sulit untuk menghadapi

    permasalahannya (Hardjana, 1994).

    Sikap positif (positiveness) juga menentukan bagaimana seseorang dapat

    berkomunikasi dengan baik karena sikap dan perasaan positif terhadap diri sendiri

    dalam situasi komunikasi mempengaruhi kelancaran dalam berinteraksi (Devito,

    1997). Sikap positif membuat seseorang merasa setara dengan pihak lain, dapat

    menerima pengalaman dan gagasan baru yang disampaikan oleh pihak lain. Sikap

    positif juga akan menunjukan bagaimana seseorang menangkap dan

    mengutarakan hal dengan mampu memperbaiki diri dan berusaha mengubah

    perilaku yang menimbulkan konflik (tidak jujur, menghiraukan orang lain, merasa

    paling benar, dan lain sebagainya) melalui keyakinan terhadap kemampuannya

    mengenai masalah yang dihadapi. Disisi lain, seseorang yang memiliki sikap

    negatif tidak pernah tahan terhadap kritikan, mudah marah, selalau mengeluh,

    mencela, merasa tidak disenangi orang lain dan tidak diperhatikan. Sikap negatif

    akan membuat seseorang kesulitan dalam menahan emosi dan diri, dengan

    begitu seseorang tidak bisa melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan,

    cenderung menghindari dialog terbuka, dan bersikeras mempertahankan

    pendapatnya (Rakhmat, 2012).

  • 31

    Kehangatan dan keakraban dapat dibangun dengan adanya kesetaraan

    (equality) yang merupakan pengakuan bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan

    berharga (Devito, 1997). Adanya kesetaraan membuat seseorang meninjau

    kembali pendapatnya, untuk mengakui setiap pendapat orang lain, karena wajar

    jika suatu saat keyakinannya bisa berubah sehingga seseorang akan menanggapi

    pihak lain dengan menunjukan persamaan komunikasi, penghargaan yang saling

    menghargai, dan rasa hormat pada perbedaan. Lain halnya, jika seseorang tidak

    memiliki kesetaraan dalam dirinya akan menunjukan derajat yang lebih tinggi

    dari orang lain melalui status, kekuasaan, kemampuan intelektual, kekayaan, atau

    kecantikan sehingga ingin menang sendiri dan melihat pendapatnya sebagai

    kebenaran yang tidak dapat digangggu gugat, hal tersebut akan menimbulkan

    ketidak mampuan seseorang terhadap kemampuan kecakapan mendengarkan

    (Rakhmat, 2012).

    Adanya aspek-aspek kemampuan komunikasi interpersonal dalam diri

    membuat seseorang mampu mengetahui pendapat, saling memberikan dukungan,

    dan memiliki sikap positif (Devito, 1997). Pickering (2001) menyatakan apabila

    seseorang merasakan kemudahan berkomunikasi maka akan menimbulkan

    kemampuan mengelola konflik interpersonal dengan menunjukan ikatan

    kelompok yang erat, meningkatkan pemecahan masalah, dan saling menghargai.

    Sebaliknya, ketika seseorang yang tidak memiliki kemampuan komunikasi

    interpersonal maka tidak adanya kemampuan membuka diri, kurang memberikan

    dukungan, dan memiliki perasaan negatif (Devito, 1997). Hal tersebut menjadikan

  • 32

    proses pengambilan keputusan tertunda, timbulnya masalah moral, pembentukan

    kubu-kubu, kepercayaan merosot dan komunikasi berkurang (Pickering, 2001).

    Menurut Duck (dalam Rakhmat, 2012) pembentukan hubungan didapatkan

    melalui perkenalan yaitu proses komunikasi dimana seseorang mengirimkan

    pesan (secara sadar) atau menyampaikan informasi tentang struktur dan inti

    kepribadiannya kepada pihak lainnya. Salah satu caranya dengan menggunakan

    kemampuan komunikasi interpersonal yang dapat menumbuhkan pengetahuan

    mengelola konflik interpersonal (Wiryanto, 2004). Hal tersebut didukung

    berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hapsari dan Handayani (2013)

    yaitu terdapat hubungan positif antara kemampuan komunikasi interpersonal

    dengan kemampuan mengelola konflik interpersonal. Kontribusi tersebut

    mengindikasikan bahwa kemampuan komunikasi interpersonal memiliki peranan

    penting dalam membentuk kemampuan mengelola konflik interpersonal pada

    mahasiswa.

    D. Hipotesis

    Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian

    ini yaitu terdapat hubungan positif antara kemampuan komunikasi interpersonal

    dengan kemampuan mengelola konflik interpersonal pada mahasiswa yang tinggal

    di asrama putra “X” Yogyakarta. Semakin tinggi kemampuan komunikasi

    interpersonal maka semakin tinggi pula kemampuan mengelola konflik

    interpersonal. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan komunikasi interpersonal

    maka semakin rendah pula kemampuan mengelola konflik interpersonal.