-
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kekuasaan Kehakiman Dalam Sistem Pembagian Kekuasaan
Lembaga
Negara
Berbicara tentang kekuasaan kehakiman dalam suatu negara hukum
tidak
akan ada artinya apabila kekuasaan penguasa negara masih
bersifat absolut
dan tidak terbatas. Dalam upaya membatasi kekuasaan penguasa,
perlu
diadakan pemisahan kekuasaan negara kedalam berbagai organ agar
tidak
terpusat di tangan seorang monarkhi (raja absolut).12Pada
prinsipnya,
konstitusi atau Undang – Undang Dasar suatu negara antara lain
merupakan
pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan didalam suatu
negara.
Pembagian kekuasaan menurut fungsinya menujukkan perbedaan
antara
fungsi – fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif,
eksekutif, dan yudikatif
yang lebih dikenal sebagai Trias Politika.
Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri
atas tiga
macam kekuasaan, yaitu :13
a. Kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang – undang,
dalam
peristilahan baru sering disebut (rule making function).
12 Bambang Sutiyoso. Sri Hastuti. Puspitasari. 2005. Aspek –
Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta.UII
Pres. Hal. 17
13Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi
Cetakan Pertama. Gramedia. Jakarta. Hal. 281
-
18
b. Kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang –
undang
(rule application function).
c. Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas
pelanggaran
undang – undang (rule adjudication function).
Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan –
kekuasaan
(function) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama
untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
Menurut Jhon Locke, kemungkinan munculnya negara dengan
konfigurasi
politik totaliter bisa dihindari dengan membatasi kekuasaan –
kekuasaan
negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah
sentralisasi
kekuasaan kedalam satu tangan atau lembaga.14 Dengan demikian
hak – hak
asasi warga negara dapat lebih terjamin.
Pertama kali mengenai fungsi – fungsi kekuasaan negara dikenal
di
Perancis pada abad ke-XVI, menurut John Locke (1632-1704)
dalam
bukunya Two Treatises on Civil Goverment (1690) kemudian
konsepsi
mengenai fungsi kekuasaan negara itu dibaginya menjadi tiga,
yaitu fungsi
legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi federatif (hubungan
luar negeri), yang
masing-masing terpisah satu sama lain.15
Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang
membagi
kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif,
kekuasaan
14 A. Ashin Thohari. 2004. Komisi yudisial dan Reformasi
Peradilan. Jakarta. ELSAM. Hal. 44
15Miriam Budiardjo, Ibid. Hal. 282
-
19
eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan yudikatif sangat
ditekankan
oleh Montesquieu, karena pada titik inilah letak kemerdekaan
individu dan
jaminan terhadap hak – hak asasi manusia. Montesquieu sangat
menekankan
kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan
perlindungan
terhadap hak – hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi
korban
despotis raja – raja.16
Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan
kekuasaan
maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang
adalah
kekuasaan yudikatif dalam sebuah negara hukum harus bebas dari
campur
tangan badan eksekutif maupun legislatif. Hal ini dimaksudkan
agar
kekuasaan yudikatif dapat berfungsi sewajarnya demi penegakan
hukum dan
keadilan serta menjamin hak – hak asasi manusia.
B. Pengawasan Yudikatif
1. Pengawasan Yudikatif Sebelum Amandemen UUD NRI 1945
Sebelum perubahan atau amandemen UUD 1945, Mahkamah Agung
merupakan pemegang tunggal kekuasaan yudikatif atau
kehakiman
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 24 dan 25 UUD 1945, yang
dalam
penjelasannya ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang
merdeka, yaitu terlepas dari pengaruh pemerintah. Secara
tertulis kedudukan
Mahkamah Agung telah diatur dalam Undang – Undang Dasar
1945,
sehingga dalam hal ini, tidak ada kekuasaan lembaga negara lain
yang
16 A. Ashin Thohari, op.cit., Hal. 45
-
20
memiliki kewenangan untuk melakukan kekuasaan kehakiman, akan
tetapi
implementasinya tidak dapat dipisahkan dari konfigurasi politik
yang dianut.
Seperti pada Pasal 11 ayat (2) Undang – Undang Nomor 14 Tahun
1970 yang
menyatakan, Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi,
dan
keuangan tersendiri. Dalam penjelasan pasal ini dikatakan bahwa
hal
demikian berarti organisasi, administrasi, dan keuangan tersebut
terpisah dari
administrasi dan keuangan departemental. Walaupun demikian
penentuan
organisasi, administrasi, dan keuangan sekretariat Mahkamah
Agung itu
dilakukan oleh Pemerintah dengan bahan – bahan yang di sampaikan
oleh
Mahkamah Agung.17
Adanya aturan tersebut menunjukkan adanya keraguan dalam
menjadikan
Mahkamah Agung sebagai pemegang tunggal kekuasan kehakiman.18
Sebab
di satu sisi UUD 1945 menjadikan Mahkamah Agung sebagai lembaga
tinggi
negara yang otonom dan pemegang tunggal pelaksana kekuasaan
kehakiman,
sedangkan di sisi lain pengorganisasian Mahkamah Agung
justru
dikendalikan atau dicampuri oleh lembaga tinggi negara
lainnya(Pemerintah)
yang setara dengan Mahkmah Agung. Kondisi ini memberikan
gambaran
bahwa kedudukan Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara
dalam
menjalankan kewenangannya sangat rentan dipengaruhi oleh
kekuasaan lain.
17Pasal 11 ayat (2) Undang – Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan – Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
18Zainal Arifin Hoesein. 2016. Kekuasaan Kehakiman Indonesia.
Malang. Setara Press. 2016. Hal. 162
-
21
Dalam hal pengawasan, menurut Pasal 10 ayat (4) Undang – Undang
No.
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman,
menegaskan bahwa Mahkamah Agungmelakukan pengawasan tertinggi
atas
perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang
ditetapkan dengan
Undang – Undang.19
2. Pengawasan Yudikatif Setelah Amandemen UUD NRI 1945
Setelah perubahan UUD 1945, badan yudikatif mengalami
perubahan
yang semula dalam menjalankan kekuasaan kehakiman diserahkan
sepenuhnya kepada Mahkamah Agung untuk mengurus jalannya
peradilan,
kini lahir lembaga – lembaga baru yang juga diberikan kewenangan
oleh
UUD 1945 untuk menjalankan kekuasaan kehakiman.
Perubahan UUD 1945 memberikan penegasan tentang kemerdekaan
kekuasaan kehakiman. Bila sebelumnya kemerdekaan kekuasaan
kehakiman
hanya diatur pada bagian penjelasan, maka pasca perubahan UUD
1945 telah
diatur dalam batang tubuh, yaitu pada Pasal 24 ayat 1 UUD 1945
yang
mengatakan “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”.
Selain itu melalui perubahan UUD 1945 juga ditegaskan bahwa
kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan
yang berada dibawahnya. dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Disamping
perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan
kekuasaan
kehakiman sebagaimana diatur di atas, UUD 1945 juga telah
19Pasal 10 ayat (4) Undang – Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
-
22
memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan
penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial.20
Berdasarkan Pasal 24B UUD 1945 Komisi Yudisial merupakan
lembaga
negara yang bersifat mandiri dan mempunyai dua kewenangan
konstitusional,
pertama, mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung,
dan kedua, mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.21
Pembentukan Komisi Yudisial dilatarbelakangi oleh pemikiran
bahwa
kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak bisa dibiarkan tanpa
kontrol/pengawasan. Kemerdekaan/independensi harus dibarengi
dengan
akuntabilitas agar tidak memunculkan abuse of power atau tirani
judicial.
Keduanya dengan demikian merupakan dua sisi dari sekeping mata
uang
yang tidak bisa dipisahkan. Karena itulah, sedari awal munculnya
gagasan
mengubah UUD 1945 telah mengemuka kesadaran bahwa sebagai
pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan
kekuasaan
kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di
bidang etika
kehakiman seperti di beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya
Komisi
Yudisial.
Komisi Yudisial lahir sebagai kehendak politik yang dituangkan
melalui
perubahan UUD 1945 yang diorientasikan untuk membangun sistem
checks
and balances dalam sistem kekuasaan kehakiman, Pembentukan
Komisi
20Elza Faiz dkk. 2013. Risalah Komisi Yudisial (Cikal Bakal,
Pelembagaan, dan Dinamika
Wewenang). Sekjend Komisi Yudisial Republik Indonesia. Hal.
6
21Lihat Pasal 24B UUD 1945
-
23
Yudisial oleh UUD 1945 dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa
kekuasaan
kehakiman yang merdeka tidak bisa dibiarkan tanpa
kontrol/pengawasan
sebagai wujud akuntabilitas.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan perwujudan dari
doktrin
dan teori pemisahan kekuasaan dalam demokrasi dan menjadi salah
satu
unsur penting di dalam negara hukum. Pemisahan kekuasaan
negara
(separation of powers) ke dalam cabang kekuasaan eksekutif,
legislatif dan
yudikatif memisahkan kekuasaan kehakiman (judicial power) dari
organ
lainnya. Keterpisahan dan independensi kekuasaan kehakiman
(separateness
and independence of judicial powers) diwujudkan untuk
melaksanaan fungsi
kontrol dan penyeimbang terhadap jenis kekuasaan lainnya.
Independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia dijamin dalam
Pasal 24
Ayat (1) UUD 1945 (Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum
dan
keadilan)22. Jaminan konstitusionalini diimplementasikan melalui
Undang –
Undang No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penjelasan Pasal
1
Undang – Undang No. 48/2009 mengartikan kebebasan kekuasaan
kehakiman sebagai “bebas dari segala campur tangan pihak
kekuasaan ekstra
yudisial, kecuali dalam hal – hal sebagaimana disebut dalam UUD
1945”
(Pasal 3 Ayat (2) Undang – Undang No. 48/2009).23 bahwa “Setiap
orang
22Pasal 24 ayat 1 Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945.
23 Pasal 1 dan 3 Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
-
24
yang sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(2)
dapat dipidana.”
Kekuasaan kehakiman tidak berada pada ruang yang hampa dan
independensinya tidak bersifat absolut. Hakim bukanlah manusia
yang
sempurna dan sangat mungkin melakukan kesalahan, karena itu
kemandirian
hakim harus disertai tanggungjawab (accountability). Pada awal
reformasi
kalangan peradilan menyadari pentingnya transparansi dan
akuntabilitas
yudikatif sebagai pendukung independensi kekuasaan kehakiman.
Jadi,
judicial independence and accountability seharusnya menjadi tema
pokok
reformasi peradilan.
Maka independensi yudikatif dibatasi oleh asas – asas umum
untuk
berperkara yang baik, oleh hukum yang berlaku, serta oleh
kehendak para
pihak yang berperkara. Dengan kata lain, kebebasan tersebut
terikat atau
terbatas. Kekuasaan kehakiman harus diimplementasikan menurut
nilai
keadilan, rambu – rambu hukum prosedural maupun substantif atau
materiil,
serta kepentingan pihak yang berperkara merupakan batasan bagi
kekuasaan
kehakiman.24
Pelaksanaan peradilan juga memerlukan pengawasan internal
maupun
eksternal. Di lingkungan internal Mahkamah Agung, menurut Pasal
39
Undang – Undang No. 48 Tahun 2009, Mahkamah Agung melakukan
pengawasan tertingi atas penyelenggaraan peradilan di semua
lingkungan
24 P.E. Lotulung. Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum.
dalam Hasil – Hasil
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII tahun 2003
-
25
peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Oleh karena
itu,
Mahkamah Agung berwenang mengawasi tingkah laku dan perbuatan
para
hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan
tugasnya,
berwenang meminta keterangan tentang hal – hal yang bersangkutan
dengan
teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan. Mahkamah Agung
juga
berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang
dipandang perlu
kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan. Kesemua itu
dilaksanakan
tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
Mengenai pengawasan eksternal, Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 membentuk Komisi Yudisial yang
independen yang
“mempunyai wewenang dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim” (Pasal 24 B).
Pembentukan Komisi
Yudisial dimaksudkan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim,
karena
sistem pengawasan internal dianggap tidak efektif dan tidak
berhasil, karena
adanya semangat korps yang salah, tidak adanya transparansi
dan
akuntabilitas, serta tidak adanya metode pengawasan yang
efektif.25Undang –
Undang No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang – Undang
No. 22
tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mengatur lebih lanjut
susunan,
kedudukan, dan hal-hal lainnya yang terkait dengan wewenang
Komisi
Yudisial.
25Lihat Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI. 2003
-
26
C. Tinjauan Umum Tentang Komisi Yudisial
1. Pengertian Komisi Yudisial
Undang – Undang Dasar 1945 adalah merupakan dasar hukum
pelaksanaan politik dalam sistem ketatanegaraam di Indonesia,
dalam sejarah
Indonesia UUD 1945 telah mengalami empat kali amendemenuntuk
lebih
memunculkan ketentuan checks and balances secara lebih
proporsional.
Perwujudan Indonesia sebagai negara hukum melalui checks and
balances
antara lembaga negara dalam ranah eksekutif, legislatif dan
yudikatif lebih
menonjol pasca amendemen UUD 1945 setelah lahirnya beberapa
lembaga
negara baru melalui perubahan UUD 1945 tersebut, salah satunya
adalah
Komisi Yudisial.
Berdasarkan Pasal 24 B ayat (1) UUD 194526:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat,
serta perilaku hakim.
Yang dimaksud Komisi Yudisial dalam pasal 1 Undang – Undang
Nomor
18 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 22
Tahun
2004 Tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial adalah lembaga
negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya berdasarkan pasal 2 Undang –
Undang
26 Pasal 24 B ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945
-
27
Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial
merupakan
lembaga negara yang bersifat mandiri dalam pelaksanaan
wewenangnya
bebas dari campur tangan atau kekuasaan lainnya.27
2. Sejarah Komisi Yudisial
Lahirnya Komisi Yudisial di Indonesia berawal pada tahun 1968
yaitu
pada saat munculnya ide tentang pembentukan Majelis
Pertimbangan
penelitian Hakim (MPPH) yang memiliki fungsi untuk
memberikan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan akhir mengenai saran –
saran
dan atau usulan – usulan yang berkenaan dengan pengangkatan,
promosi,
kepindahan, pemberhentian, dan tindakan/hukuman jabatan para
hakim.
Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan ke dalam undang –
undang
tentang Kekuasaan Kehakiman.28Kemudian pada tahun 1997 – 1998
muncul
kembali ide tersebut dan menjadi seiring gelombang reformasi
yang menerpa
bangsa Indonesia dan berdampak adanya pergantian kepemimpinan
nasional
dimana Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada
Presiden
Habibie.
Pasca peralihan kekuasaan, Indonesia mengalami perubahan
signifikan
dalam berbagai aspek kenegaraan, termasuk di dalamnya sistem
penyelenggaraan kekuasaan negara yang terdiri dari legislatif,
eksekutif dan
yudikatif. Dasar perubahan ini lahir dengan adanya Ketetapan MPR
RI
27 Pasal 1 dan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011
Tentang Perubahan atas
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
28 Komisi Yudisial. Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial,
http://www.komisi yudisial.go.id. diakses tanggal 27 Januari 2018,
pukul 23.09.04
http://www.komisi/
-
28
No.X/MPR/1998 tentang pokok – pokok Reformasi Pembangunan
Dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai
Haluan
Negara. Salah satu agenda yang harus dijalankan berdasakan
Ketetapan MPR
tersebut yaitu pelaksanaan reformasi di bidang hukum untuk
mendukung
penanggulangan krisis di bidang hukum dimana salah satu agenda
yang harus
dijalankan, yaitu pemisahan yang tegas antar fungsi – fungsi,
eksekutif,
yudikatif dan legislatif.Berdasarkan hal tersebut, lahir ide
untuk pembentukan
Komisi Yudisial diawali pada tahun 1999 ketika Presiden
Habibie
membentuk Panel untuk mengkaji pembaharuan UUD 1945. Di salah
satu
diskusi forum panel dihasilkan berbagai gagasan mengenai
pembentukan
sebuah badan yang disebut “Judicial Commission”. Gagasan
pembentukan
Judicial Commission dilanjutkan oleh pimpinan Ketua Mahkamah
Agung
saat itu. Mei 2001, Mahkamah Agung membentuk Tim yang
dipimpin
Abdurrahman Saleh (Hakim Agung) yang bertugas melakukan
studi,
pengkajian, dan menyusun rumusan – rumusan substantif sebuah
badan yang
kemudian dinamakan Komisi Yudisial.29 Rumusan tersebut menjadi
materi
dalam perubahan ketiga, yang kemudian diatur dalam Pasal 24B dan
24C
UUD RI 1945.
Bersamaan dengan ide tersebut, pada tahun 1999 pemangku
kekuasaan
melakukan perubahan terhadap Undang – Undang Nomor 14 tahun
1970
tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman yang
dirubah
dengan Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009. Dalam Undang –
29 Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2012. Mengenal Lebih
Dekat Komisi Yudisial. Jakarta. Pusar Data dan Layanan Informasi.
Hal. 02
-
29
Undangtersebut terjadi pengalihan organisasi, administrasi, dan
finansial
peradilan, dimana sebelumnya secara administratif dan keuangan
di bawah
kendali Departemen Kehakiman, sedangkan secara teknis yudisial
berada di
bawah kendali Mahkamah Agung. Konsep ini lebih dikenal dengan
sebutan
penyatuatapan kekuasaan kehakiman, one roof system of judicial
power.
Akibat penyatuan atap tersebut dikhawatirkan terjadi monopoli
kekuasaan
kehakiman. Hal tersebut membuat para ahli dan pengamat hukum
mengeluarkan ide untuk membentuk lembaga pengawas eksternal yang
diberi
tugas menjalankan fungsi checks and balances.
Ide tersebut akhirnya direspon oleh MPR sehingga pada Sidang
Tahunan
Tahun 2001 pada pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945 dibahas
pula
keberadaan Komisi Yudisial. Pasal 24B UUD 1945 secara lugas
menyebutkan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara
yang
bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.30
Berdasarkan atas
UUD 1945, kemudian disusun Undang – Undang No. 22 Tahun 2004
tentang
Komisi Yudisial yang disahkan pada tanggal 13 Agustus 2004 di
era
pemerintahan Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Guna
merealisasikan
Undang – Undang tersebut, pemerintah membentuk Panitia Seleksi
Komisi
Yudisial, dan akhirnya terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan
sebagai
Anggota Komisi Yudisial periode 2005 – 2010.
30Ibid. Hal, 05
-
30
3. Latar Belakang dan Tujuan Pembentukkan Komisi Yudisial
Dibeberapa negara, Komisi Yudisal muncul sebagai akibat dari
salah satu
atau lebih dari beberapa hal sebagai berikut31 :
a. Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan
kehakiman,
karena monitoring hanya dilakukan secara internal.
b. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara
kekuasaan
pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen
Kehakiman
dan kekuasaan kehakiman (judicial power).
c. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi
dan
efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila
masih
disibukkan dengan persoalan – persoalan teknis non-hukum.
d. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena
setiap
putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketet
dari
sebuah lembaga khusus.
e. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan
masalah
politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya
adalah
lembaga – lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan
moderen
merupakan suatu perkembangan yang sangat menarik dalam
cabang
kekuasaan kehakiman (judicial power). Keberadaannya juga
merupakan trend
yang terjadi pada abad ke-20 dalam sejarah negara demokrasi
modern yang
31 A. Ashin Thohari. 2004. Komisi yudisial dan Reformasi
Peradilan. Jakarta. ELSAM.
Hal. 144.
-
31
menharuskan adanya lembaga peradilan yang bebas dari campur
tangan
kekuasaan lain di luarnya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
dibentuknya
Komisi Yudisial sekurang – kurangnya mempunyai salah satu atau
lebih dari
empat alasan yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan
kekuasaan
kehakiman yang merdeka32, yaitu :
a. Dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar dapat melakukan
,omitoring
secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan cara
melibatkan
unsur – unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas – luasnya
dan
bukan hanya monitoring secara internal.
b. Komisi yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung
antara
kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasan
kehakiman
(judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin
kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan
apapun
juga khususnya kekuasaan pemerintah.
c. Dengan adanya Komisi Yudisial,tingkat efisiensi dan
efektivitas
kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi
dalam
banyak hal baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring
hakim
agung serta pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman.
d. Dibentuknya Komisi Yudisial adalah untuk menjaga kualitas
dan
konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa
diawasi
secara intensif oleh lembaga yang benar – benar independen.
Disini
diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi
lagi,
32Ibid. Hal, 147.
-
32
karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan
yang
ketat dari Komisi Yudisial, dengan demikian putusan – putusan
yang
dianggap kontrovesial dan mencederai rasa keadilan masyarakat
dapat
diminimalisasi kalau buakan dieliminasi.
e. Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen
hakim, karena
lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat
mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga
politik
lagi, sehingga diidealkan kepentingan – kepentingan politik
tidak lagi
ikut menentukan rekruitmen hakim yang ada.
Pada beberapa negara yang mengenal lembaga Komisi Yudisial
dalam
struktur ketatanegaraannya, salah satu atau lebih dari lima hal
diatas dapat
ditemukan, karena pada umumnya persoalan yang dihadapi oleh
berbagai
lembaga peradilan di seluruh dunia berkaitan dengan kurang atau
tidak
berjalannya monitoring terhadap lembaga peradilan, tidak adanya
lembaga
penghubung antara kekuasaan dan kekuasaan pemerintah,
kekuasaan
kehakiman terlalu disibukkan dengan persoalan – persoalan teknis
non-
hukum, buruknya kualitas dan konsistensi putusan, dan perekrutan
hakim
selalu dipolitisasi oleh lembaga – lembaga politik33.
4. Kedudukan Komisi Yudisial dalam Kekuasaan Kehakiman
Komisi yudisial Republik Indonesia, merupakan Lembaga Negara
yang
bersifat mandiri dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
usaha
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Melalui
kewenanganya
33Ibid. Hal, 150
-
33
yang mengusulkan pengangkatan hakim agung serta melakukan
pengawasan
(pengawasan eksternal) terhadap hakim sebagai pelaku kekuasaan
yang
transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan,
keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan kewenangan yang
diberikan oleh
pasal 24B UUD 1945 maka, kedudukan Komisi Yudisial telah
mendapatkan
justifikasinya dari konstitusi dengan memberikan kewenangan
sebagai
pendukung lembaga peradilan.
Banyak pakar yang mengatakan, bahkan putusan Mahkamah
Konstitusi
menyebutkan, bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga penunjang
atau
lembaga yang turut membantu dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman.
Tetapi penyebutan itu hanyalah bersifat akademis saja mengingat
secara
konstitusional, istilah itu sama sekali tidak dikenal. Dari
sudut materi tugas
yang dibebankan, Komisi Yudisial memang merupakan lembaga
yang
membantu dalam melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman, tetapi
sebagi
lembaga Negara yang menjadi “pengawas eksternal” Komisi
Yudisial
sebenarnya adalah lembaga Negara yang mandiri seperti yang
secara eksplisit
disebutkan dalam pasal 24B ayat (1) UUD 1945.34
Pada dasarnya Komisi Yudisial bukan lembaga kekuasaan
kehakiman,
tetapi Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dalam
menjalankan
tugasnya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam
rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku
34 Moh. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara. Jakarta.
LP3ES. Hal. 117.
-
34
hakim. Dengan demikian, Komisi Yudisial adalah lembaga negara
yang
dibentuk melalui konstitusi untuk melakukan pengawasan eksternal
terhadap
hakim.
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-IV/200635:
Komisi Yudisial adalah lembaga supporting institution yang
khusus
dibentuk sebagai lembaga pengawas eksternal bagi lembaga
kekuasaan kehakiman, tepatnya Mahkamah Agung.
Meskipun lembaga Komisi Yudisial tidak menjalankan kekuasaan
kehakiman, tetapi keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Bab IX
tentang
kekuasaan kehakiman, karena itu, keberadaannya tidak dapat
dipisahkan dari
kekuasaan kehakiman.
5. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial
Berdasarkan isi Pasal 13 Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011
menyebutkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan.
b. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta
perilaku hakim.
35 Moh. Mahfud MD. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi
Isu. Jakarta. Raja
Grafindo Persada. Hal. 269.
-
35
c. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
bersama-
sama dengan Mahkamah Agung.
d. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau
Pedoman
Perilaku Hakim.
Berdasarkan ketentuan lain Komisi Yudisial berwenang
menganalisis
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar
untuk
melakukan mutasi hakim (Pasal 42 Undang – Undang No. 48 Tahun
2009),
dan melakukan seleksi pengangkatan hakim Pengadilan Negeri,
Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara bersama Mahkamah
Agung
(diatur dalam Undang – Undang No. 49 Tahun 2009, Undang – Undang
No.
50 Tahun 2009 tentang PA, dan Undang – Undang No. 51 Tahun
2009
tentang PTUN).
Sedangkan dalam melaksanakan wewenang ini Komisi Yudisial
mempunyai tugas untuk Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung :
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung.
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung.
c. Menetapkan calon Hakim Agung.
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.
-
36
D. Pengawasan Dalam Kekuasaan Kehakiman
1. Pengawasan Internal
Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat
dalam
organisasi itu sendiri36. Pengawasan internal lebih dikenal
dengan
pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional adalah pengawasan
terhadap
lembaga peradilan, yang dilakukan secara fungsional oleh suatu
lembaga
yang dibentuk untuk melaksanakan pengawasan fungsional, yang
kedudukannya merupakan bagian dari lembaga yang diawasi.
Pengawasan Internal kekuasaan kehakiman di Indonesia dijalankan
oleh
suatu lembaga tertinggi dalam lingkup peradilan yaitu Mahkamah
Agung.
Mahkamah Agungadalah lembaga tertinggi di bidang hukumdan
memiliki
kekuasaan tertinggi dalam halperadilan. Secara khusus, Mahkamah
Agung
dalamkonteks pengawasan Tugas Hakim, memilikiperan penting
sebagai
pengawas internal.Dikatakan pengawas internal karenaMahkamah
Agung
juga adalah seoranghakim yang diangkat melalui jalur
karierkehakiman dan
juga jalur non karier. Ini tertuang dalam Undang – Undang Nomor
4 tahun
2004tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab II tentang badan peradilan
dan
asasnya, pasal 11 ayat(4) ditegaskan bahwa Mahkamah
Agungmelakukan
pengawasan tertinggi atasperbuatan pengadilan dalam
lingkunganperadilan
yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan
undang-undang.37
36 Victor Situmorang dan Jusuf Juhir. 1994. Aspek Hukum
Pengawasan Melekat dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah. Jakarta. Rineka Cipta. Hal. 28
37Achmad Fauzan dan Suhartanto. 2009. Teknik Menyusun Gugatan di
Pengadilan Negeri.
Bandung. Yrama Widya. Hal. 213
-
37
Mahkamah Agung adalah lembagapengawasan internal yang
memegangfungsi kontrol dari dalam terhadap kinerja hakim agar
sesuai
dengan amanat Undang – Undang Dasar 1945. Mahkamah Agung
adalahpengadilan tertinggi dan melakukanpengawasan tertinggi
atas
perbuatan Pengadilan. Sagala menjelaska bahwaMahkamah Agung
tidak
hanya berfungsi dibidang peradilan belaka, melainkan mempunyai
fungsi –
fungsi lain. Jadi jika disimpulkan maka Mahkamah
Agungmempunyai
beberapa fungsi, yakni: Fungsiperadilan (Justitiele
functie),
Fungsipengawasan (Toeziende functie), Fungsimengatur (Regelende
functie),
Fungsipenasihat (Advieserende functie), dan Fungsi
Administratif
(Administratieve functie).38
Dari penjelasan di atas jelas bahwaMahkamah Agung memiliki
peranan
yangsangat penting dalam penegakan keadilandi lingkungan
peradilan.
Mahkamah Agungsecara internal memiliki wewenang
untukmengawasi
tingkah laku para hakim,jalannya persidangan,
pekerjaanpengadilan,
penasehat hukum dan notarisdi semua lingkungan peradilan.
Dalamkonteks
pengawasan internal ini, makatugas pengawasan Mahkamah Agung
terhadap
parahakim sangat nampak dalam Pasal 32 Undang – Undang Nomor
14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, bahwa Mahkamah Agung
memegangkewenangan tertinggi di bidang pengawasan atas peradilan
dan
tingkah laku hakim dalammenjalankan tugas di seluruh tingkatan
peradilan.
38 Budiman B. Sagala. 1982. Praktek Sistem Ketatanegaraan
Menurut UUD 1945. Jakarta.
Gahlia Indonesia. Hal. 157-158
-
38
2. Pengawasan Eksternal
Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh
suatu
lembaga atau aparat dari luar suatu lembaga atau organisasi itu
sendiri39.
Pengawasan Eksternal kekuasaan kehakiman di Indonesia dijalankan
oleh
suatu lembaga negara yang bersifat mandiri dan mempunyai peranan
yang
sangat penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman
yang
merdeka yaitu Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsi pengawasan
eksternal
berlandaskan pada kekuasaan yang diberikan oleh pasal 24 B ayat
(1) Undang
– Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dijabarkan
dalam Pasal 22 ayat 1 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004, yaitu
:
a. Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim.
b. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan
berkaitan
dengan perilaku hakim.
c. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku
hakim.
d. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
melanggar
kode etik perilaku hakim.
e. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi
dan
disampaikan ke Mahkamah Agung dan/Mahkamah Konstitusi, serta
tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
39 Victor Situmorang dan Jusuf Juhir. 1994. Aspek Hukum
Pengawasan Melekat dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah. Jakarta. Rineka Cipta. Hal.
28
-
39
Dalam pandangan yuridis – praktis, kewenangan Komisi Yudisial
tidak
akan mengalami tumpang tindih dengan kewenangan Mahkamah
Agung,
karena kewenangan Mahkamah Agung bersifat teknis yuridis,
sementara
kewenangan Komisi Yudisial sebatas perilaku hakim. Lebih lagi
pengawasan
Mahkamah Agung berupa pengawasan secara internal dan sangat
teknis
menyangkut dengan administrasi, finansial, dan teknis yuridis.
Sedangkan
pengawasan Komisi Yudisial lebih bersifat melihat kinerja hukum
dan
mengawasi perilaku para hakim.
Dalam kerangka konseptual model pengawasan pelaksanaan tugas
para
hakim, dilakukan melalui dua jenis pengawasan40 :
a. Pengawasan internal yang dilakukan oleh badan pengawas
pada
Mahkamah Agung. Pengawasan internal ini berfungsi sebagai
pengawasan terhadap pelaksanaan tugas – tugas peradilan di
semua
tingkatan dan di seluruh wilayah hukum peradilan Republik
Indonesia.
b. Pengawasan eksternal yang dilakukan oleh komisi independen
yaitu
Komisi Yudisial. Keberadaan pengawas eksternal ini penting
agar
proses pengawasan dapat benar – benar bertindak obyektif
untuk
kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif,
dan
efisien.
Selain pengawasan internal dan eksternal, dalam masyarakat
juga
berkembang ide pengawasan oleh masyarakat.
40 Titik Triwulan Tutik. 2007. Eksistensi, Kedudukan, dan
Wewenang Komisi Yudisial.
Jakarta. Prestasi Pustaka. Hal. 169
-
40
E. Hakim Sebagai Obyek Pengawasan
Hidup lepas tanpa pengawasan dan aturan yang membelenggu
sungguh
menjadi salah satu fitrah manusia. Manusia lebih nyaman apabila
memegang
kendali secara utuh, tanpa ada pihak yang mengganggu. Tidak
berlebihan
kiranya apabila filosof kenamaan John Emerich Edward Dahlberg
Acton atau
yang dikenal dengan Lord Acton mengemukakan power tends to
corrupt, and
absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup,
dan
kekuasaan yang absolut dipastikan akan korupsi). Kecenderungan
korupsi itu
disebabkan sifat dasar manusia yang haus akan kekuasaan.41
Hakim pada dasarnya memiliki kekuasaan yang sangat penting
dan
menentukan dalam bekerjanya sistem peradilan. Melalui putusannya
seorang
hakim dapat mengalihkan hak kepemilihan seseorang, mencabut
kebebasan
warga negara, menyatakan sah tidaknya tindakan sewenang –
wenang
pemerintah terhadap warga negaranya, sampai dengan
memerintahkan
penghilangan hak hidup seseorang.
Hakim pada dasarnya di tuntut untuk dapat memelihara kehormatan
dan
keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan
dalam
peraturan perundang – undangan dan harus diimplementasikan
secara konkrit
dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di
luar
41 Buletin Komisi Yudisial. 2010. Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman
Yang Merdeka dan
Bertanggungjawab. Vol. IV No. 6. Juni – Juli. Hal. 16
-
41
tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya
penegakan
hukum dan keadilan.42
Maka dari itu untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka
dan
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, seperti dikehendaki
UUD 1945,
maka perlu dilakukan pengawasan terhadap hakim sebagai
pelaksana
kekuasaan kehakiman. Berdasakan kewenangannya, melalui Pasal 24B
ayat
(1) UUD 1945, Komisi Yudisial dituntut agar dapat melakukan
pengawasan
terhadap hakim demi menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
1. Pengertian Hakim
Hakim merupakan pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman
yang
diatur dalam undang – undang. Hakim adalah hakim pada Mahkamah
Agung
dan hakim padabadan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan
peradilan umum,lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer,
lingkungan peradilan tatausaha negara, dan hakim pada pengadilan
khusus
yang berada dalam lingkunganperadilan tersebut.43
Hakim merupakan unsur utama dalam pengadilan. Bahkan
iaidentik
dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaankehakiman
sering kali
diidentikkan dengan kebebasan hakim.Demikian halnya,
keputusan
pengadilan diidentikkan dengankeputusan hakim. Oleh karena itu,
pencapaian
42Keputusan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi
Yudisial
Republik Indonesia Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim.
43 Pasal 1 angka 5 Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
-
42
penegakan hukum dankeadilan terletak pada kemampuan dan kearifan
hakim
dalammerumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.44
2. Fungsi Keputusan Bersama Mahkamah Agung Dan Komisi
Yudisial
Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim
Kode etik mempunyai fungsi dan tujuan tertentu yang apabila
dilanggar
maka dapat dikenakan sanksi, kode etik bertujuan untuk
menciptakan
profesional yang baik. Terdapat berbagai macam profesi yang
memiliki kode
etik. Kode etik profesi adalah nilai – nilai pandangan hidup
sebagai individu
dan anggota masyarakat dan bukanlah suatu hal yang baru, kode
etik profesi
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengatur setiap perilaku
kelompok
tertentu dan harus dapat dievaluasi atau direvisi setiap
saat.45
Kode etik hakim merupakan penjabaran dari lambang atau simbol
yang
menggambarkan sifat atau watak hakim yaitu kartika yang
dilambangkan
dengan bintang yang berarti sifat takwa, candra yang
dilambangkan dengan
bulan yang berarti sifat bijaksana, cakra yang dilambangkan
dengan senjata
pamungkas yang berarti sifat adil, tirta yang dilambangkan
dengan air yang
berarti sifat jujur, dan sari yang dilambangkan dengan bunga
yang berarti
sifat tidak tercela. Kode etik hakim akan dijadikan sebagai
pedoman
berperilaku dalam melaksanakan tugasnya.
44Erfaniah Zuhriah. 2008. Peradilan Agama di Indonesia Dalam
Rentang Sejarah dan
Pasang Surut. Malang. UIN Malang Press. Hal. 165
45 Widiartana G. 2009.Silabus Etika dan Tanggung Jawab Profesi.
Universitas Atma Jaya. Hal. 9.
-
43
Kode etik dan pedoman perilaku hakim dibentuk oleh Mahkamah
Agung
Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia,
yang
dituangkan dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung Republik
Indonesia
dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor :
047/KMA/SKB/IV/2009
dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim.
Kode etik dan pedoman perilaku hakim menjadi pegangan para hakim
di
seluruh Indonesia serta pedoman bagi Mahkamah Agung Republik
Indonesia
dan Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam melaksanakan
fungsi
pengawasan internal dan eksternal.46
Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa
hakim adalah salah satu profesi yang memiliki kedudukan yang
penting untuk
mencapai tujuan hukum, karena hakim dalam sebuah persidangan
bertindak
sebagai pemutus atau menjatuhkan putusan atas sebuah perkara. Di
dalam
menjalankan profesinya, baik hakim agung maupun hakim harus
berpegang
pada norma – norma hukum, dan diiringi dengan kewajiban
untuk
menjalankan kehidupannya dengan baik sesuai dengan nilai – nilai
yang di
rumuskan di dalam surat keputusan bersama antara Mahkamah Agung
dan
Komisi Yudisial tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim
agar tercipta
hakim – hakim yang terhormat dan bermartabat.
46Keputusan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi
Yudisial
Republik Indonesia Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim.
-
44
3. Prinsip – Prinsip Dasar Kode Etik Hakim
Kode etik profesi hakim merupakan aturan tertulis yang harus
dipedomani
oleh setiap hakim Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi
sebagai
hakim.Kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim adalah panduan
dalam
rangkamenjagadan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta
perilaku hakim dalammenjalankan tugas profesinya dan dalam
hubungan
kemasyarakatan di luarkedinasan.47
Maksud penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim
dimaksudkan
sebagai acuan dalam rangka menegakkan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku
Hakimdan tujuan penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim
bertujuan
untukmenciptakan kepastian dan kesepahaman dalam penerapan kode
etik
dan pedomanperilaku hakim.48
Dalam forum International Judicial Conference di Banglore India
tahun
2001,berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku hakim
sedunia yang
dikenal denganThe Bongalore Draft yang di dalamnya terkandung 6
(enam)
prinsip yang harusdijadikan pegangan bagi hakim secara universal
yaitu :49
a. Indepedensi (Independence Principle).
b. Ketidak berpihakan (Impartially Prinsiple).
47Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang
Komisi Yudisial dan
Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April
2009Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
48 Ibid.
49 Jimly Asshiddiqie. 2009. Pengantar Ilmu hukum Tata Negara. PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 317
-
45
c. Integritas (Integrity Principle).
d. Kepantasan dan kesopanan (Propriety Principle).
e. Kesetaraaan (Equality Principle).
f. Kecakapan dan keseksamaan (Competence and Diligent
Principle).
Prinsip – prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim
ini
kemudian di implementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan kode etik
perilaku
hakim di Indonesia, sebagai berikut :50
a. Berperilaku Adil
Berperilaku adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya
danmemberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu
prinsip
bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan
demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah
memberikan
perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and
fairness)
terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang
melaksanakan
tugasatau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung
jawab
menegakkanhukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil
dengan
tidakmembeda – bedakan orang.
b. Berperilaku Jujur
Berperilaku jujur bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa
yang
benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran
mendorong
50Pasal 4 dan 5 Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Ketua
KomisiYudisial Republik Indonesia Nomor : 02/PB/MA/IX/2012-
02/PB/P.KY/09/2012 Tentang PanduanPenegakan Kode Etik Dan Pedoman
Perilaku Hakim.
-
46
terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran
akan
hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud
sikap
pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam
persidangan
maupun diluar persidangan.
c. Berperilaku Arif dan Bijaksana
Berperilaku arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak
sesuai
dengan norma – norma yang hidup dalam masyarakat baik
norma-norma
hukum, norma – norma keagamaan, kebiasaan – kebiasaan maupun
kesusilaandengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat
itu, serta
mampumemperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif
dan
bijaksanamendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan
luas,
mempunyaitenggang rasa yang tinggi, bersikap hati – hati, sabar
dan
santun.
d. Bersikap Mandiri
Berperilaku mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa
bantuan
pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari
pengaruh
apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku hakim
yang
tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas
kebenaran
sesuaituntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.
e. Berintegritas Tinggi
Berperilaku berintegritas tinggi bermakna memiliki sikap dan
kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan.
Integritas
-
47
tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh
berpegang
pada nilai – nilai atau norma – norma yang berlaku dalam
melaksanakan
tugas.Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang
berani
menolakgodaan dan segala bentuk intervensi, dengan
mengedepankan
tuntutan hatinurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
serta selalu
berusaha melakukan tugas dengan cara – cara terbaik untuk
mencapai
tujuan terbaik.
f. Bertanggung Jawab
Berperilaku bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk
melaksanakan sebaik – baiknya segala sesuatu yang menjadi
wewenang
dantugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala
akibat
ataspelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.
g. Menjunjung Tinggi Harga Diri
Berperilaku menjunjung harga diri bermakna bahwa pada diri
manusia
melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan
dijunjung
tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri,
khususnya
hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan
tangguh,
sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan
dan
martabat sebagai aparatur Peradilan.
h. Berdisiplin Tinggi
Berperilaku disiplin bermakna ketaatan pada norma – norma
atau
kaidah – kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk
mengemban
-
48
amanahserta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin
tinggi
akanmendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam
melaksanakan
tugas,ikhlas dalam pengabdian dan berusaha untuk menjadi
teladan
dalamlingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang
dipercayakankepadanya.
i. Berperilaku Rendah Hati
Berperilaku rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan
kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap
bentuk
keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap
realistis,
maumembuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat
orang
lain,menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta
mewujudkankesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di
dalam
mengemban tugas.
j. Bersikap Profesional
Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh
tekad
untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan,
yang
didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan
dan
wawasanluas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya
pribadi
yangsenantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan,
serta
berusahauntuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga
tercapai
setinggi – tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan
efisien.
BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Kekuasaan Kehakiman Dalam Sistem
Pembagian Kekuasaan Lembaga NegaraB. Pengawasan Yudikatif1.
Pengawasan Yudikatif Sebelum Amandemen UUD NRI 19452. Pengawasan
Yudikatif Setelah Amandemen UUD NRI 1945
C. Tinjauan Umum Tentang Komisi Yudisial1. Pengertian Komisi
Yudisial2. Sejarah Komisi Yudisial3. Latar Belakang dan Tujuan
Pembentukkan Komisi Yudisial4. Kedudukan Komisi Yudisial dalam
Kekuasaan Kehakiman5. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial
D. Pengawasan Dalam Kekuasaan Kehakiman1. Pengawasan Internal2.
Pengawasan Eksternal
E. Hakim Sebagai Obyek Pengawasan1. Pengertian Hakim2. Fungsi
Keputusan Bersama Mahkamah Agung Dan Komisi Yudisial Tentang Kode
Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim3. Prinsip – Prinsip Dasar Kode Etik
Hakim