9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Materialisme 1. Pengertian Materialisme Materialisme dalam psikologi didefinisikan sebagai suatu keyakinan yang berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan barang dalam hidup (Richins dan Dawson, 1992). Belk (1985), mendefinisikan materialisme sebagai the importance a consumer attaches to worldly possessions (sebuah kelekatan konsumen pada kepemilikan barang duniawi yang penting). Definisi tersebut menegaskan bahwa materialisme terkait dengan masalah kepemilikan barang duniawi yang dianggap penting dalam hidup. Pada definisi yang lain, materialisme adalah pandangan yang berisi orientasi, sikap, keyakinan, dan nilai-nilai hidup yang menekankan atau mementingkan kepemilikan barang- barang material atau kekayaan material di atas nilai-nilai hidup lainnya, seperti yang berkenaan dengan hal-hal spiritual, intelektual, sosial, dan budaya (Kasser, 2002). Dari pendapat para ahli di atas disimpulkan bahwa materialisme mengacu pada keyakinan berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan barang yang bersifat material dalam hidup individu. 2. Aspek-aspek materialisme Menurut Richins dan Dawson (1992), Individu yang materialistis dikenal meyakini 3 keyakinan yang mana ketiganya merupakan aspek-aspek nilai materialisme, yaitu: a. Acquisition Centrality
22
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. Pengertian Materialismeeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3424/4/SKRIPSI (BAB II).pdf · materialisme adalah pandangan yang berisi orientasi, sikap, keyakinan,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Materialisme
1. Pengertian Materialisme
Materialisme dalam psikologi didefinisikan sebagai suatu keyakinan yang
berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan barang dalam
hidup (Richins dan Dawson, 1992). Belk (1985), mendefinisikan materialisme
sebagai the importance a consumer attaches to worldly possessions (sebuah
kelekatan konsumen pada kepemilikan barang duniawi yang penting). Definisi
tersebut menegaskan bahwa materialisme terkait dengan masalah kepemilikan
barang duniawi yang dianggap penting dalam hidup. Pada definisi yang lain,
materialisme adalah pandangan yang berisi orientasi, sikap, keyakinan, dan
nilai-nilai hidup yang menekankan atau mementingkan kepemilikan barang-
barang material atau kekayaan material di atas nilai-nilai hidup lainnya, seperti
yang berkenaan dengan hal-hal spiritual, intelektual, sosial, dan budaya
(Kasser, 2002).
Dari pendapat para ahli di atas disimpulkan bahwa materialisme mengacu
pada keyakinan berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan
barang yang bersifat material dalam hidup individu.
2. Aspek-aspek materialisme
Menurut Richins dan Dawson (1992), Individu yang materialistis dikenal
meyakini 3 keyakinan yang mana ketiganya merupakan aspek-aspek nilai
materialisme, yaitu:
a. Acquisition Centrality
10
Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang adalah tujuan hidup yang
paling penting. Individu yang materialistis menempatkan barang tersebut
dan pemerolehannya di pusat kehidupan mereka. Kepemilikan barang
memberikan makna bagi hidup dan memberikan tujuan bagi aktivitas atau
usaha keseharian. Pada titik ekstremnya, individu materialis dapat
dikatakan memuja benda-benda, dan pengejaran atas benda-benda tersebut
menggantikan tempat agama dalam menstruktur kehidupan dan
mengarahkan perilaku mereka.
b. Acquisition as the Pursuit of Happines
Keyakinan bahwa barang dan uang adalah jalan utama untuk mencapai
kebahagiaan personal, kehidupan yang lebih baik, dan identitas diri yang
lebih positif. Satu alasan mengapa harta benda dan perolehannya menjadi
sangat penting bagi individu yang materialis adalah karena mereka
memandang ini penting bagi kepuasan hidup dan well-being mereka.
Individu materialis mengejar kebahagiaan lewat perolehan barang
ketimbang lewat cara yang lain, seperti hubungan personal, pengalaman,
atau prestasi.
c. Possession-Defined Success
Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang merupakan alat ukur
untuk mengevaluasi prestasi diri sendiri juga orang lain. Individu yang
materialis cenderung untuk menilai kesuksesan diri dan orang lain dari
jumlah dan kualitas barang yang dikumpulkan. Mereka memandang
kesejahteraan atau well-being material sebagai bukti kesuksesan dan
kebenaran cara berpikir (right-mindedness). Nilai suatu kepemilikan
11
barang tidak hanya dari kemampuannya untuk memberikan status, tetapi
juga memproyeksikan kesan diri yang diinginkan dan identitas individu
sebagai partisipan dalam kehidupan sempurna yang dibayangkan.
Menurut Belk (1985), individu yang materialistis dapat dijelaskan melalui
aspek-aspek berikut:
a. Kepemilikan (Possessiveness)
Kepemilikan adalah kecenderungan dan tendensi untuk menahan kontrol
atau kepemilikan milik individu. Ruang lingkup kepemilikan tersebut
meliputi kepedulian individu atas kehilangan harta bendanya baik melalui
tindakan mereka sendiri maupun orang lain. Individu tersebut lebih
menyukai kontrol yang lebih besar atas objek yang diperoleh melalui
kepemilikan tersebut. individu yang memiliki tingkat materialisme tinggi
menganggap penting kelekatan pada kepemilikan barang duniawi,
kepemilikan tersebut menjadi pusat sentral kehidupan individu yang
diyakininya memberikan sumber kepuasan dan ketidakpuasan dalam hidup
(Belk, 1985).
b. Ketidakmurahan hati (nongenerosity)
Ketidakmurahan hati adalah sebuah sikap ketidak bersediaan individu
memberikan kepemilikan barangnya untuk orang lain. Individu yang
materialistis cenderung dimotivasi oleh sifat egois. Individu tersebut lebih
mementingkan diri sendiri atas orang lain. Ketidak-sediaan meminjamkan
atau menyumbangkan harta benda kepada orang lain dianggap sebagai
ekspresi dari sifat kepribadian individu materialistis (Husna, 2016).
c. Kecemburuan/iri hati (envy)
12
Kecemburuan/iri hati adalah sebuah sikap interpersonal individu yang
melibatkan ketidaksenangan dan niat buruk pada individu lain dalam
kebahagiaan, kesuksesan, reputasi atau kepemilikan apa pun yang
diinginkan. rasa iri hati pada individu materialis ditetapkan pada
kepemilikan barang orang lain. iri hati tersebut berorientasi pada
kepemilikan individu lain atas sesuatu. Seperti halnya kepemilikan
(Possessiveness) dan ketidakmurahan hati (nongenerosity), iri hati (envy)
di sini dipahami sebagai ciri umum daripada sikap tertentu terhadap
individu. individu yang iri hati mengharapkan kepemilikan harta benda
dari individu lain. Individu yang iri hati juga membenci mereka yang
memiliki harta yang diinginkannya dan merasa direndahkan secara pribadi
oleh individu lain yang memiliki benda-benda yang diinginkan, terutama
jika individu lain tersebut dipandang kurang layak memiliki harta tersebut
(Shoeck, dalam Belk, 1985).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa aspek
materialisme menurut Richins dan Dawson (1992), terdiri dari kepemilikan
barang milik material dan uang adalah tujuan hidup yang paling penting,
barang sebagai jalan utama untuk mencapai kebahagiaan personal, barang
milik sebagai alat ukur kesuksesan, sedangkan menurut pendapat Belk (1985),
aspek materialisme terdiri dari kepemilikan, ketidakmurahan hati dan
kecemburuan/iri hati.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan aspek materialisme menurut
pendapat Richins dan Dawson (1992) karena cakupan penjelasan setiap
aspeknya lebih luas serta sesuai dengan permasalahan pada subjek yang
13
peneliti angkat. Selain itu banyak penelitian sebelumnya yang menggunakan
aspek-aspek materialisme Richins dan Dawson sebagai orientasi nilai
individual.
3. Faktor-Faktor Materialisme
Ada berbagai pengaruh eksternal maupun internal yang tidak sehat, yang
mengaktivasi materialisme pada diri individu. Menurut Husna (2015),
terdapat beberapa penelitian terkait dengan tema materialisme dan telah
ditemukan sejumlah faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah:
a. Faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah dan kecemasan akan
kematian dan rasa tidak aman.
b. Faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga yang tidak suportif dalam
membangun self-esteem yang positif, orangtua yang tidak nurturant, dan
(hanya) menekankan kesuksesan finansial serta stres dan konflik dalam
keluarga.
c. Faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan pengaruh teman yang
materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman atau figur di media.
d. Faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda dan media yang
mendorong konsumerisme.
e. Faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran.
f. Faktor jenis kelamin. Menurut Mangestuti (dalam Djudiyah dan Sumantri,
2015), mahasiswa perempuan lebih materialis dan memiliki
kecenderungan belanja kompulsif yang lebih tinggi dibanding dengan laki-
laki. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki
persentase berbelanja lebih besar dibanding dengan laki-laki.
14
g. Faktor kemudahan berhutang (kartu kredit). Anak-anak muda sekarang
memiliki nilai materialistik tinggi karena mereka mendukung kredit. Bank
yang memberikan fasilitas kredit ataupun toko yang memberikan layanan
pembelian secara kredit juga mampu membuat orang suka berbelanja
maupun memiliki nilai materialistik tinggi.
Menurut Kasser (dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015), ada beberapa
faktor yang membentuk nilai materialisme pada diri individu diantaranya
yaitu:
a. Psychological inscurity, yaitu ketidakamanan psikologis. Individu yang
merasa tidak aman secara psikologis dapat melakukan kompensasi dengan
berjuang keras untuk materi. Ketidakamanan psikologis dapat bersumber
dari:
1) Pola asuh. Orang tua yang kurang mendukung tumbuhnya rasa aman
pada anak akan menghasilkan anak-anak yang kurang aman secara
psikologis.
2) Orang tua yang bercerai atau berpisah. Orang tua yang bercerai atau
berpisah juga akan menghasilkan anak-anak yang tidak aman secara
psikologis, sehingga mereka cenderung lebih materialis.
3) Deprivasi ekonomi. Orang yang berasal dari keluarga yang secara
ekonomi kurang, cenderung lebih materialistik karena merasa kurang
aman dengan kondisinya. Hasil penelitian menemukan bahwa individu
yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi kurang
menguntungkan seringkali lebih materialis.
15
b. Tayangan peran model yang materialis
1) Tayangan Iklan. Iklan di berbagai media yang menayangkan gaya
hidup yang menganggap penting materi dapat membuat individu
menjadi materialis. Iklan di TV sering kali menggambarkan gambaran
ideal dari selebriti dan kehidupannya. Ia akan mendorong pemirsa
untuk membandingkan kehidupan sendiri dengan image ideal.
2) Orang tua yang materialis. Orang tua yang materialis cenderung
menghasilkan anak-anak yang materialis. Orang tua yang memiliki
harapan tinggi terhadap materi, akan menghasilkan anak-anak yang
cenderung materialis.
3) Peer group yang materialis. Peer group materialis yang dijadikan
referensi dalam berperilaku juga akan berpengaruh pada temannya.
Komunikasi dengan peer merefleksikan interaksi dengan teman.
Individu yang sering kali berkomunikasi dengan teman mungkin
menunjukkan kebutuhan yang kuat untuk diterima oleh peer.
Perbandingan sosial dengan teman merupakan prediktor yang lebih
baik pada materialisme dibanding dengan figure di media. Hal ini
mungkin disebabkan karena teman lebih mudah diakses dan pola-pola
konsumsi mereka lebih konkrit dan lebih mudah untuk diobservasi.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa faktor yang
mempengaruhi materialisme seseorang menurut Kasser (dalam Djudiyah dan
Sumantri, 2015), terdiri dari psychological inscurity yaitu ketidakamanan
psikologis dan tayangan peran model yang materialis. Menurut beberapa
16
penelitian yang terkait dengan tema materialisme diperoleh beberapa faktor
diantaranya: faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah, kecemasan akan
kematian dan rasa tidak aman, faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga
yang tidak mendukung dalam membangun self-esteem yang positif, orangtua
yang tidak nurturant, dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial dan stres
dan konflik dalam keluarga, faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan
pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman
atau figur di media, faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda
serta media yang mendorong konsumerisme, faktor kemudahan berhutang
kemudian faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran
(Husna, 2015), dan faktor jenis kelamin (Mangestuti dalam Djudiyah dan
Sumantri, 2015).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang
berhubungan dengan materialisme adalah religiusitas. Peneliti memilih faktor
religiusitas disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah belum adanya
penelitian terkait dengan faktor religiusitas sebagai variabel yang berhubungan
dengan materialisme pada mahasiswa usia remaja akhir. Kemudian terkait
dengan faktor lainnya, peranan faktor religiusitas cukup menonjol karena
nilai-nilai religiusitas lebih melekat pada internal jiwa individu. Nilai-nilai
religiusitas tersebut dapat melandasi sikap dan pandangan individu di dalam
menghadapi lingkungan hidup yang terpapar nilai-nilai materialisme, sehingga
individu tersebut tidak mudah terjebak pada nilai-nilai materialisme tersebut.
Menurut Jalaluddin, (2016) bahwa nilai-nilai religiusitas sebagai realitas yang
abstrak menjadi daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup.
17
Dalam realitasnya, nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku,
pola berpikir, dan pola bersikap. Dari beberapa hasil penelitian juga ditemuka
kesimpulan bahwa individu yang memiliki religiusitas tinggi berdampak
negatif yang signifikan pada materialisme dan berdampak positif pada
kepuasan hidup (Rakrachakarn et al. dalam Husna, 2016). Kasser, dkk, (dalam
Husna, 2015) menyatakan bahwa nilai-nilai religiusitas berlawanan dengan
nilai-nilai materialisme. Lebih lanjut Menurut Djudiyah dan Sumantri, (2015)
bahwa religiusitas merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk
meminimalisir nilai materialistik pada mahasiswa.
B. Religiusitas
1. Pengertian Religiusitas
Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) menyatakan, bahwa religiusitas
adalah tingkat penghayatan individu dalam usaha mendekatkan diri kepada
Tuhan yang mencakup dimensi keyakinan (ideologi), praktik agama
(ritualistik), pengalaman (eksperiensial), pengetahuan (intelektual) dan
pengamalan (konsekuensial). Kelima dimensi tersebut saling berhubungan,
saling terkait, serta saling menentukan dalam membentuk religiusitas.
Nurcholish Madjid (dalam Jalaluddin, 2016) meyatakan, bahwa religiusitas
adalah tingkah laku yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaannya kepada
kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan yang supra-empiris. Ia
meletakan sesuatu yang empiris sebagai mana layaknya, tetapi ia meletakkan
nilai sesuatu yang empiris di bawah supra-empiris.
Ancok dan Suroso (dalam Purwadi, 2007) mengartikan religiusitas sebagai
keberagamaan yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang
18
bukan hanya terjadi ketika individu melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi
juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan
supranatural. Sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak.
Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta
keyakinan manusia tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa
ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari
sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam
kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu
Tuhan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas
adalah tingkat penghayatan individu dalam usaha mendekatkan diri kepada
Tuhan yang mencakup dimensi keyakinan (ideologi), praktik agama
(ritualistik), pengalaman (eksperiensial), pengetahuan (intelektual) dan
pengamalan (konsekuensial). Kelima dimensi tersebut saling berhubungan,
saling terkait, serta saling menentukan dalam membentuk religiusitas pada diri
individu.
2. Dimensi-dimensi Religiusitas
Menurut Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) religiusitas terdiri dari
lima macam dimensi, yaitu:
a. Dimensi keyakinan (ideologi) menunjukkan tingkat keyakinan atau
keimanan individu terhadap kebenaran ajaran agama, terutama terhadap
ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik. Walaupun
demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya
19
diantara agama-agama, tetapi juga seringkali juga diantara tradisi-tradisi
dalam agama yang sama.
b. Dimensi praktik agama (ritualistik) mencakup perilaku pemujaan, ketaatan
dan hal-hal yang dilakukan individu untuk menunjukan komitmen
terhadap agama yang dianutnya. Praktik agama ini terdiri dari ritual dan
ketaatan. Ritual mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan
formal dan praktik-praktik suci yang dilakuakn para pemeluknya.
Sedangkan ketaatan dan ritual bagaikan ikan dalam air.
c. Dimensi pengalaman (eksperiensial) berkaitan dengan pengalaman
keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi
yang dialami individu atau didefenisikan oleh suatu kelompok keagamaan
(atau suatu masyarakat) terhadap komunikasinya terhadap Tuhan.
d. Dimensi pengetahuan (intelektual) menunjukkan tingkat pengetahuan dan
pemahaman individu terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang
termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya.
e. Dimensi pengamalan (konsekuensial) mengacu pada identifikasi dari
akibat-akibat keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan individu
dari hari ke hari seperti perilaku individu yang dimotivasi oleh ajaran
agamanya atau seberapa jauh individu menerapkan ajaran agamanya
dalam perilaku hidupnya sehari-hari. Dimensi ini merupakan efek
seberapa jauh kebermaknaan religiusitas individu. Jika keimanan dan
ketaqwaan individu tinggi, maka berdampak positif pada perilaku individu
dalam kehidupan sehari-hari.
20
Menurut John E. Fetzer (1999) dimensi religiusitas terdiri dari dua belas
dimensi diantaranya yaitu:
a. Daily spiritual experiences
Merupakan dimensi yang memandang dampak agama dan spiritual dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini daily spiritual experiences
merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan hal
yang transenden (Tuhan, sifat-Nya) dan persepsi interaksi dengan
melibatkan transenden dalam kehidupan sehari-hari, sehingga daily
spiritual experiences lebih kepada pengalaman dibandingkan kognitif,