Top Banner
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kriteria Rumah Tanaman Tropika Basah Konsep rumah tanaman dengan umbrella effect diusulkan Rault (1988) untuk daerah tropika basah seperti Indonesia. Oleh karena itu, rumah tanaman pada daerah tropis basah lebih ditujukan untuk melindungi tanaman dari hujan, angin dan hama, mengurangi intensitas radiasi matahari yang berlebihan, mengurangi penguapan air dari daun dan media, serta memudahkan perawatan tanaman (Suhardiyanto 2009). Menurut von Zabeltitz (1999) rumah tanaman di daerah tropika basah dapat memiliki luas bukaan ventilasi dinding sebesar mungkin, tetapi bukaan pada bubungan rumah tanaman perlu dibatasi. Rault (1988) menyatakan rumah tanaman di daerah tropika perlu memperhatikan kriteria berikut: (1) Bukaan rumah tanaman harus merupakan kombinasi yang baik antara bukaan untuk ventilasi dan proteksi terhadap air hujan; (2) Kerangka konstruksi harus cukup kuat sebagai antisipasi terhadap kemungkinan angin kencang; (3) Biaya pembangunan harus cukup murah dan tata letaknya mempertimbangkan kemungkinan perluasan area rumah tanaman. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perancangan rumah tanaman adalah kemiringan atap (Suhardiyanto 2009) dan tinggi dinding (Bot 1983). Hal ini merupakan faktor penting yang menentukan kondisi termal di dalam rumah tanaman. Rekomendasi lain dinyatakan oleh Kumar et al.(2009), bahwa luasan ventilasi alami yang optimum pada rumah tanaman di daerah tropis yang berkasa 20-40 mesh adalah sebesar 15-30% dari luasan dinding kasanya. 2.2 Modifikasi Rumah Tanaman Tipe Standard Peak Rumah tanaman bentuk modified standard peak merupakan modifikasi dari span roof, dimana bentuk gable tidak lagi segitiga, melainkan dimodifikasi menjadi atap bersusun dua bagian dengan bukaan ventilasi diantara dua bubungan atap tersebut dan tertutupi screen (Suhardiyanto 2009). Bentuk atap dengan bukaan ventilasi seperti ini memungkinkan terjadinya ventilasi alamiah walaupun tidak ada angin yang bertiup. Aliran udara yang keluar melalui bukaan ventilasi dibagian bubungan terjadi akibat adanya perbedaan kerapatan udara. Agar
18
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

5

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kriteria Rumah Tanaman Tropika Basah

Konsep rumah tanaman dengan umbrella effect diusulkan Rault (1988)

untuk daerah tropika basah seperti Indonesia. Oleh karena itu, rumah tanaman

pada daerah tropis basah lebih ditujukan untuk melindungi tanaman dari hujan,

angin dan hama, mengurangi intensitas radiasi matahari yang berlebihan,

mengurangi penguapan air dari daun dan media, serta memudahkan perawatan

tanaman (Suhardiyanto 2009).

Menurut von Zabeltitz (1999) rumah tanaman di daerah tropika basah dapat

memiliki luas bukaan ventilasi dinding sebesar mungkin, tetapi bukaan pada

bubungan rumah tanaman perlu dibatasi. Rault (1988) menyatakan rumah

tanaman di daerah tropika perlu memperhatikan kriteria berikut: (1) Bukaan

rumah tanaman harus merupakan kombinasi yang baik antara bukaan untuk

ventilasi dan proteksi terhadap air hujan; (2) Kerangka konstruksi harus cukup

kuat sebagai antisipasi terhadap kemungkinan angin kencang; (3) Biaya

pembangunan harus cukup murah dan tata letaknya mempertimbangkan

kemungkinan perluasan area rumah tanaman.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perancangan rumah tanaman adalah

kemiringan atap (Suhardiyanto 2009) dan tinggi dinding (Bot 1983). Hal ini

merupakan faktor penting yang menentukan kondisi termal di dalam rumah

tanaman. Rekomendasi lain dinyatakan oleh Kumar et al.(2009), bahwa luasan

ventilasi alami yang optimum pada rumah tanaman di daerah tropis yang berkasa

20-40 mesh adalah sebesar 15-30% dari luasan dinding kasanya.

2.2 Modifikasi Rumah Tanaman Tipe Standard Peak

Rumah tanaman bentuk modified standard peak merupakan modifikasi dari

span roof, dimana bentuk gable tidak lagi segitiga, melainkan dimodifikasi

menjadi atap bersusun dua bagian dengan bukaan ventilasi diantara dua bubungan

atap tersebut dan tertutupi screen (Suhardiyanto 2009). Bentuk atap dengan

bukaan ventilasi seperti ini memungkinkan terjadinya ventilasi alamiah walaupun

tidak ada angin yang bertiup. Aliran udara yang keluar melalui bukaan ventilasi

dibagian bubungan terjadi akibat adanya perbedaan kerapatan udara. Agar

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

6

perbedaan kerapatan udara tersebut lebih besar maka rumah tanaman dibuat lebih

tinggi dari rata-rata tinggi rumah tanaman tipe standard peak. Hal ini berarti

bahwa tipe standard peak sangat cocok dengan tanaman yang tinggi seperti tomat,

paprika, dan melon. Bentuk rumah tanaman tipe standard peak dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1 Rumah tanaman tipe standard peak tampak depan.

2.3 Faktor Lingkungan Fisik Tanaman

Faktor lingkungan fisik tanaman antara lain adalah cahaya, suhu udara,

kelembaban relatif (RH) udara, kadar CO2 dalam udara, kecepatan angin, polutan

dan lingkungan akar. Cahaya yang paling penting bagi tanaman merupakan

cahaya tampak yang mempunyai panjang gelombang 390 – 700 nm. Aspek

penting dari cahaya adalah intensitas, durasi, dan distribusi spektral cahaya. Suhu

udara di sekitar tanaman dipengaruhi oleh radiasi matahari, pindah panas

konveksi, laju evaporasi, intensitas cahaya, kecepatan dan arah angin serta suhu

lingkungan secara umum. Perubahan suhu udara akan berpengaruh pada proses

fisiologi dalam tanaman. Secara praktik, bagi tanaman dalam greenhouse

disarankan perbedaan suhu antara siang dan malam berkisar antara 5 – 10 °C.

Aspek penting dalam pergerakan udara dalam budidaya tanaman adalah

kecepatannya, bukan arahnya. Angin berpengaruh pada laju transpirasi, laju

evaporasi, serta ketersediaan CO2 dalam udara. Menurut ASAE (American Society

of Agricultural Engineering) kecepatan udara melewati tanaman sebaiknya tidak

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

7

lebih dari 1,0 ms-1

(Yuwono et al. 2008). Kecepatan udara dan pengaruhnya

terhadap tanaman disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kecepatan udara dan pengaruhnya terhadap tanaman

Kecepatan Udara

[ms-1

]

Pengaruh

0.1 – 0.25 Memudahkan pengambilan CO2

0.5 Pengambilan CO2 oleh tanaman menurun

1.0 Menghalangi pengambilan CO2 atau pertumbuhan tanaman

Lebih dari 4.5 Kerusakan fisik tanaman

Sumber: (Yuwono et al., 2008)

2.4 Konsep Pindah Panas pada Rumah Tanaman

Pemahaman mengenai interaksi stuktur rumah tanaman dengan kondisi

cuaca di lingkungan luar rumah tanaman akan menginisiasi untuk melakukan

pengendalian terhadap parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap

pertumbuhan tanaman. Suhardiyanto et al. (2007) telah melakukan analisis

perpindahan panas yang terjadi pada keempat elemen dalam sistem pindah panas

untuk rumah tanaman tipe standard peak dengan persamaan kesetimbangan panas

pada setiap elemen per satuan luas (Gambar 2).

Gambar 2 Konsep perpindahan panas pada rumah tanaman tipe standard

peak (Suhardiyanto et al., 2007).

Sumber panas pada rumah tanaman di daerah tropis didominasi oleh

konsumsi radiasi. Sifat radiatif material penutup rumah tanaman menyebabkan

pengurangan radiasi gelombang pendek yang masuk. Interaksi material struktur

rumah tanaman dengan sifat radiatifnya merubah radiasi gelombang pendek

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

8

tersebut menjadi gelombang panjang, sehingga berpengaruh terhadap

kesetimbangan energi di dalam rumah tanaman yang berakibat pada

meningkatnya suhu udara.

Selain itu, fluida di sekitar penutup rumah tanaman yang bersifat radiatif

akan menyerap panas akibat dari pantulan radiasi termal. Kemudian bergerak ke

tempat lain dan bercampur dengan bagian fluida yang lebih dingin serta

memberikan panasnya. Hal ini disebut sebagai fenomena konveksi (Cengel dan

Boles, 2003). Kemudian Cengel (2003) mengemukakan bahwa perpindahan panas

konveksi berdasarkan cara menggerakkan alirannya diklasifikasikan menjadi dua

cara yaitu, konveksi bebas (alami) dan konveksi paksa. Konveksi bebas terjadi

karena adanya perbedaan massa jenis yang disebabkan oleh perbedaan suhu,

sedangkan konveksi paksa terjadi karena adanya gerak dari luar misalnya dari

pompa atau kipas.

Laju ventilasi alamiah dipengaruhi oleh karakteristik kasa (screenhouse)

yang digunakan. Penggunaan screenhouse lebih ditujukan untuk menekan

serangan hama serangga pada tanaman, sehingga sering disebut sebagai insect-

screen. Namun hal ini berisiko pada penurunan laju ventilasi sehingga pertukaran

udara menjadi berkurang dan dinamika udara yang ada di dalam rumah tanaman

menjadi stagnan. Oleh karena itu, suhu udara di dalam akan meningkat.

Proses konduksi terjadi akibat adanya gradien suhu pada suatu medium

sehingga menimbulkan perpindahan energi atau panas dari suhu tinggi ke suhu

rendah (Holman, 1997). Menurut Kreith (1994) konduksi merupakan proses

perpindahan panas dari daerah dengan suhu tinggi ke suhu rendah di dalam suatu

medium atau antara medium-medium yang berlainan yang bersinggungan secara

langsung dan memiliki gradien suhu.

2.5 Sistem Ventilasi pada Rumah Tanaman

Sistem ventilasi dapat dikelompokkan berdasarkan tenaga penggerak udara

yang bekerja, yaitu dibedakan menjadi ventilasi alami dan sistem ventilasi

mekanis (Norton et al., 2007). Sistem ventilasi berfungsi sebagai sarana

pengendali atau kontrol parameter fisik tanaman yang ada di dalam rumah

tanaman, sehingga tanaman yang dibudidayakan dapat dikondisikan dan

direkayasa pada lingkungan yang optimum. Ventilasi mekanis bekerja dengan

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

9

tenaga elektrik berupa kipas (fan) atau blower untuk menggerakkan aliran udara

melewati bangunan rumah tanaman. Sedangkan ventilasi alamiah hanya bekerja

berdasarkan pergerakan mekanis fluida yang diakibatkan oleh adanya perbedaan

suhu dan perbedaan tekanan. Konstruksi yang sederhana, biaya awal yang murah

dan biaya energi yang rendah merupakan alasan utama penerapan ventilasi alami,

terutama di daerah tropis seperti Indonesia.

2.5.1 Ventilasi Alamiah

Ventilasi alamiah adalah pertukaran udara di dalam suatu bangunan

dengan udara di luarnya tanpa menggunakan kipas atau peralatan mekanik

lainnya (Suhardiyanto, 2009), juga sering disebut sebagai pengendalian atau

kontrol pasif, dengan kata lain tanpa adanya perlakuan mekanis. Menurut

Norton et al. (2007), ventilasi alamiah terjadi akibat adanya dua faktor

pemicu mekanisme pergerakan fluida. Faktor pemicu pertama disebabkan

oleh panas apung (thermal buoyancy) yang sering disebut sebagai efek

cerobong asap (stack effect), dimana perbedaan suhu yang terjadi pada

fluida di dalam rumah tanaman berasal dari proses konveksi panas, fluks

radiasi matahari dan metabolisme organisme yang ada di dalam rumah

tanaman. Udara yang terpanaskan akan menurunkan massa jenisnya

sehingga massa udara semakin ringan dan dengan pengaruh gravitasi dapat

menyebabkan parsel udara yang semakin ringan cenderung bergerak ke atas

atau mengapung. Faktor pemicu kedua, adanya angin yang menyebabkan

perbedaan tekanan pada bagian dinding dan penutup bangunan rumah

tanaman karena adanya tekanan yang hilang (pressure drop) sehingga

memaksa udara yang ada di dalam rumah tanaman bergerak melalui celah

bukaan ventilasi.

Faktor termal berperan dominan pada saat kecepatan udara rendah,

sehingga terjadi pergerakan udara akibat perbedaan suhu dan kerapatan

udara di dalam dan di luar rumah tanaman. Selanjutnya Kamaruddin (1999)

menyatakan bahwa batas kecepatan angin dimana faktor termal masih dapat

berperan dominan adalah sebesar 1 ms-1

, sedangkan menurut Papadakis et

al. (1996) sebesar 1.67 ms-1

. Disamping itu, Papadakis et al. (1996)

menyatakan bahwa pada saat kecepatan angin lebih dari 1.8 ms-1

efek termal

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

10

terhadap laju ventilasi dapat diabaikan. Jika kecepatan angin di luar rumah

tanaman cukup tinggi dan perbedaan suhu udara di dalam dan di luar rumah

tanaman kecil maka faktor angin dominan dan pengaruh faktor termal dapat

diabaikan.

Dalam hal desain ventilasi alamiah, Connellan, (2000);Kumar et al.,

(2009) mengemukakan bahwa luas bukaan ventilasi minimalnya 20% dari

luas lantai rumah tanaman sehingga suhu di dalam rumah tanaman dapat

mendekati suhu ambien di luar rumah tanaman. Hal serupa dilaporkan oleh

Kamaruddin et al., (2000) bahwa luas bukaan ventilasi lebih dari 40% dari

luas lantai rumah tanaman dapat memberikan laju ventilasi alamiah yang

cukup baik dan dapat menghindari peningkatan suhu yang ekstrim di dalam

rumah tanaman beriklim tropis. Sementara itu, Campen (2004) telah

mendesain rumah tanaman berbasis CFD untuk kondisi iklim di Indonesia

dan melakukan simulasi penentuan luas bukaan ventilasi. Hasil simulasi

dilaporkan bahwa luas bukaan ventilasi sebesar 40.4% dari luas permukaan

konstruksi rumah tanaman cukup optimum untuk pertumbuhan tanaman di

Indonesia. Selanjutnya, Hermanto et al., (2006) telah melakukan optimasi

luasan ventilasi alamiah yang dirancang pada bubungan rumah tanaman

untuk produksi tomat di daerah iklim tropis basah. Hasil optimasi

melaporkan bahwa luas ventilasi 60% dari luas lantai rumah tanaman dapat

memberikan kondisi lingkungan yang baik sepanjang tahun.

2.5.2 Ventilasi Mekanis

Ventilasi mekanis pada rumah tanaman di daerah iklim tropis basah

umumnya menggunakan fan atau blower. Hal ini mengingat bahwa kedua

alat tersebut hanya memicu pergerakan udara untuk melewati bangunan

rumah tanaman yang bersifat terselubung (envelope), dimana udara dapat

terperangkap didalamnya. Terperangkapnya udara di dalam rumah tanaman

dapat menimbulkan panas yang berlebih di dalam bangunan rumah tanaman

dibandingkan dengan udara di luar. Hal ini dipengaruhi oleh radiasi

matahari dan gelombang panjang yang terperangkap di dalam rumah

tanaman yang lebih dikenal dengan greenhouse effect. Dengan demikian,

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

11

kondisi lingkungan (iklim mikro) di dalam rumah tanaman menjadi ektrim

bagi tanaman.

Fungsi utama dari fan dan blower yang berupa exhaust fan adalah

menggerakkan udara yang terperangkap di dalam rumah tanaman keluar

sehingga terjadi perbedaan tekanan antara udara di dalam dengan udara di

luar. Adanya perbedaan tekanan dapat memicu pergerakan udara dari

tekanan tinggi ke rendah, sehingga udara terdistribusi dengan sendirinya dan

ruang rumah tanaman mendapat suplai udara dari luar. Berdasarkan hasil

penelitian Norton et al.(2007) dilaporkan bahwa pengontrolan udara dengan

menggunakan ventilasi mekanis dapat mengendalikan udara lebih presisi

dibandingkan dengan ventilasi alamiah. Selain itu, pengendalian tidak

tergantung pada kondisi iklim lingkungan (iklim makro), sehingga

pengendalian dapat dilakukan kapan saja sesuai dengan rancangan strategi

pengontrolan iklim mikro.

2.6 Karakteristik Kasa pada Rumah Tanaman (Screenhouse)

Penggunaan screen sebagai penutup pada bukaan ventilasi membantu

menekan jumlah serangan hama pengganggu ke dalam rumah tanaman, akan

tetapi penggunaannya akan menurunkan laju ventilasi dan menaikkan suhu udara

dalam rumah tanaman. Aliran udara yang melewati screen ditentukan oleh jumlah

dan bentuk strukturnya yang direpresentasikan dengan satuan mesh atau porositas.

Ukuran mesh menggambarkan banyaknya lubang per inchi panjang screen.

Sedangkan porositas menunjukkan rasio jumlah luas permukaan lubang screen

yang dapat dilalui oleh udara terhadap permukaan screen per satuan luas.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi ukuran mesh

screen yang sesuai untuk mencegah berbagai macam serangga masuk ke dalam

rumah tanaman. Harmanto et al., 2006 telah melakukan penelitian tentang iklim

mikro menggunakan model matematika (metode energy balance) pada rumah

tanaman modified arch dengan bukaan ventilasi atap dan dinding yang ditutup

screen di daerah tropika. Ukuran screen yang digunakan adalah 78, 52 dan 40-

mesh. Dibandingkan dengan screen ukuran 40 mesh, screen dengan ukuran 52

dan 78 mesh dapat menurunkan laju pertukaran udara sebesar 35% dan 78% dan

meningkatkan suhu udara di dalam rumah tanaman sebesar 1 – 3 °C. Akan tetapi

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

12

screen 40 mesh kurang efektif dalam mencegah hama masuk, sehingga ukuran net

52-mesh lebih dianjurkan untuk digunakan dalam mencegah kenaikan suhu udara

dan menurunnya laju ventilasi secara nyata.

Untuk daerah subtropika, Fatnassi et al. (2006) telah menguji screen anti-

Bemisia (52 mesh) dan anti-Thrips (132 mesh) yang dipasang pada bukaan

ventilasi di atap dan dinding rumah tanaman multi-span dan menunjukkan bahwa

suhu dan kelembaban absolut udara di dalam rumah tanaman yang dipasang

screen meningkat sebesar 2.7 °C dan 0.7 g/kg untuk screen anti-Bemisia (52

mesh) dan meningkat sebesar 4.7 °C dan 1.3 g/kg untuk screen anti-Thrips (132

mesh) dibandingkan dengan rumah tanaman yang tidak dipasangi screen pada

bukaan ventilasinya.

Pola aliran udara yang melewati screen didekati dengan poros medium dan

menghitung nilai kehilangan tekanan yang terjadi (Teitel, 2010). Perhitungan

kehilangan tekanan pada kondisi incompressible dan aliran udara tunak (steady

state) dapat diprediksi dengan persamaan Forcheimer:

(

)

(

) | | (1)

dimana P merupakan tekanan udara yang hilang (Pa), x adalah ketebalan

poros media (m), u merupakan kecepatan udara (ms-1

), ρ adalah massa jenis udara

(kg m-3

), dan µ adalah viskositas dinamik (kg m-1

s-1

). Sedangkan K merupakan

permeabilitas screen (m2) dan Y adalah faktor inersia (non-dimensional). Nilai

permeabilitas screen atau poros media dan nilai faktor inersia biasanya digunakan

sebagai parameter acuan dalam menganalisa karakteristik bahan poros terhadap

aliran udaranya. Miguel (1998) dalam Teitel (2010), telah menguji beberapa jenis

bahan poros dengan wind tunnel, hasilnya menunjukkan bahwa korelasi terbaik

antara permeabilitas screen K dan faktor inersia Y terhadap porositas bahan α

dapat direpresentasikan dengan pers 2.

dan (2)

dimana α adalah nilai porositas bahan yang ditentukan dari nilai panjang l

dan lebar w dari mesh bahan poros serta d merupakan diameter bahan/benang

struktur screen. Rumus untuk menghitung nilai porositas disajikan pada Pers 3

(Miguel, 1998 dalam Majdoubi et al., 2009).

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

13

( )( ) (3)

dimana l merupakan panjang lubang void (poros) dalam m dan w adalah

lebar lubang void dalam m, sedangkan d adalah diameter bahan material kasa yang

berbentuk benang, dalam m.

2.7 Karakteristik Fan

Berdasarkan karakteristik alur dan pola aliran udara melewati fan, secara

garis besar fan dapat dibedakan menjadi dua tipe; yaitu sentrifugal dan aksial

(Anonimous, 1989). Kipas sentrifugal menggunakan perputaran impeller untuk

meningkatkan kecepatan aliran udara. Pergerakkan udara dari pusat impeller ke

ujung baling-baling menghasilkan energi kinetik. Energi kinetik ini akan

menaikkan tekanan statik berupa aliran udara yang pelan sebelum dilepaskan.

Kipas sentrifugal dapat menghasilkan tekanan relatif tinggi yang biasa

digunakan pada aliran “kotor” (mengalirkan bahan-bahan khusus yang

memerlukan penanganan dan kelembaban tinggi) dan pada sistem yang

membutuhkan suhu tinggi (Anonimous, 1989). Oleh karenanya, kipas jenis ini

paling umum digunakan oleh industri. Selain dapat menghasilkan tekanan tinggi,

efisiensinya juga tinggi dan dapat dioperasikan lebih jauh untuk berbagai kondisi

dengan tujuan tertentu.

Sedangkan kipas axial, sesuai namanya, menggerakkan aliran udara melalui

sumbu kipas. Udara akan tertekan karena adanya gaya angkat aerodinamik yang

dihasilkan dari baling-baling kipas seperti pada propeller dan sayap pesawat

terbang. Walaupun dapat juga diganti dengan kipas sentrifugal, tetapi pada “udara

bersih”, tekanan rendah, aplikasi untuk volume tinggi, lebih umum digunakan

kipas axial. Keuntungan dari kipas axial adalah aliran yang dihasilkan lebih

seragam, biaya rendah, dan ringan (Anonimous, 1989).

Pengaruh sistem yaitu perubahan pada performa kipas yang dihasilkan dari

interaksi komponen-komponen pada kipas, seperti saluran, penyaring, belokan,

pemanggang, jumlah sudu (blade) pada kipas, dan sudut kemiringan sudu.

Performa kipas atau fan dapat dilihat dari hubungan antara laju aliran udara yang

terlewatkan terhadap tekanan statis yang ditimbulkannya. Hal ini dideskripsikan

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

14

oleh Gambar 3 yang menunjukan performa kipas yang dipengaruhi oleh interaksi

komponen sistem pada kipas.

Gambar 3. Perubahan performa kipas akibat interaksi komponen sistem

pada kipas (Anonimous, 1989).

2.8 Sistem Pendinginan Evaporasi (Evaporative Cooling)

Pendinginan evaporasi merupakan metode yang dianggap paling efektif

dalam menurunkan suhu dan mengontrol kelembaban udara di dalam rumah

tanaman (Kumar et al. 2009). Namun bagi daerah beriklim tropis basah,

pengendalian kelembaban udara di dalam rumah tanaman telah menjadi suatu hal

yang tidak mudah dilakukan. Terdapat tiga jenis evaporative cooling yang sering

digunakan dalam industri pertanian adalah: 1) sistem baling-baling kipas (fan-pad

system) seperti exhaust fan atau blower, 2) sistem pengabutan air (fog/mist

system), dan 3) roof evaporative cooling yaitu pendinginan atap dengan cara

mengalirkan atau menaburkan partikel air yang lembut terhadap atap rumah

tanaman sebagai sumber masuknya panas dari sinar radiasi matahari yang

dominan.

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

15

2.8.1 Fan-pad System

Candra et al., (1989) telah melakukan penelitian tentang efektifitas

penggunaan sistem pendingin fan pada rumah tanaman berbahan atap

plastik seluas 24 m2. Dengan menggunakan fan, suhu udara di dalam rumah

tanaman dapat diturunkan sekitar 4-5 °C dari kondisi suhu lingkungan luar.

Hal serupa telah dilaporkan oleh Jain and Tiwari (2002) bahwa penerapan

cooling pad pada rumah tanaman seluas 24 m2 sangat sensitif terhadap

parameter panjang dan ketinggian dimensi rumah tanaman. Hal ini

memungkinkan untuk dilakukannya analisa optimalisasi penerapan cooling

pad pada rumah tanaman terhadap dimensi rumah tanamannya, sehingga

dapat membantu rekomendasi dalam perancangan dan pengembangan

rumah tanaman. Di sisi lain, Jamal (1994), menyatakan bahwa laju

pertukaran volume udara sebesar 20 m3/jam merupakan kondisi terbaik bagi

rumah tanaman yang berada di daerah tropis. Penelitian tersebut dilakukan

pada saat musim kering dengan memanfaatkan cooling pad.

2.8.2 Sistem Pengabutan

Sistem pengabutan (fog system) merupakan sistem dimana air

disemprotkan dengan tekanan tinggi pada nozzle sehingga bentuk air

menjadi sangat kecil seperti kabut yang biasa disebut droplet, dengan

diameter droplet sekitar 2-60µm (Kumar et al.2009). Kecilnya ukuran

diameter droplet sangat memungkinkan air terbawa oleh udara, sehingga

suhu udara di dalam rumah tanaman dapat menurun dengan signifikan

namun kelembaban udaranya menjadi meningkat.

Montero et al. (1994) telah menggunakan sistem pengabutan air pada

rumah tanaman yang memiliki mesh screen sebesar 45%, melaporkan

bahwa suhu maksimum yang dapat direduksi dengan sistem pengabutan

sepanjang siang hari dalam rumah tanaman adalah sebesar 5°C. Sementara

itu, Arbel et al.(1999),telah menguji efisiensi sistem pengabutan yang

memiliki kemampuan ukuran droplet sebesar 2-60 µm pada rumah tanaman

seluas 16 m x 24 m di daerah Israel, dibandingkan dengan sistem fan-pad.

Hasil uji tersebut telah menunjukkan bahwa performansi sistem pengabut

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka

16

lebih baik dari pada sistem fan atau pad, dimana suhu dan kelembaban

udara yang dapat direduksi dengan sistem fan dan pad < 5 dan 20%.

2.8.3 Roof Evaporative Cooling

Proses roof evaporative cooling dilakukan dengan memercikkan air ke

permukaan atap rumah tanaman sehingga menghasilkan lapisan air tipis

yang dapat meningkatkan laju evaporasi pada permukaan atap tersebut agar

suhu udara di sekitar atap dan di dalam rumah tanaman akan menurun

(Kumar et al. 2009). Sutar and Tiwari (1995), telah mempelajari efek aliran

air yang tipis (water film) dipermukaan atap rumah tanaman terhadap suhu

udara di dalamnya. Material atap yang digunakan adalah material plastik

untuk rumah tanaman yang relatif murah. Percobaan tersebut dilakukan

pada kondisi iklim di Delhi India. Hasil dari percobaan menyatakan bahwa

suhu udara di dalam rumah tanaman dapat menurun antara 4-5°C dari

kondisi kontrol. Namun, ketika aliran tipis air dialirkan pada lapisan kain

atau kasa yang tipis di atap rumah tanaman, maka suhu udara yang dapat

direduksi dapat mencapai 10°C.

2.9 Pemodelan pada Rumah Tanaman

Pendekatan model pada rumah tanaman, khususnya pemodelan parameter

fisik yang mempengaruhi iklim mikro (seperti suhu, kecepatan udara dan

kelembaban udara pada rumah tanaman), secara garis besar dibedakan menjadi

dua kriteria, yaitu model fenomena logis dan model perilaku (Krauss et al., 1997;

Boulard et al., 2002). Kedua pendekatan model tersebut digunakan untuk

memprediksi perubahan, pola serta distribusi iklim mikro seperti perpindahan

panas dan transport massa yang terjadi pada bangunan rumah tanaman. Model

perilaku (behavioural models), seperti komputasi sistem pakar (Artificial Neural

Networks, Fuzzy logic dan Genetic Algorithm) sangat bermanfaat untuk

menentukan strategi pengendalian iklim mikro pada rumah tanaman. Namun

masih tergantung pada akurasi penentuan nilai dinamika atau laju perubahan

parameter. Hasil prediksi model tersebut harus dibandingkan dengan data faktual

hasil pengukuran atau dengan hasil prediksi dari model fenomena logis. Secara

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka

17

sederhana pendekatan model pada rumah tanaman dideskripsikan dengan diagram

pengklasifikasian model simulasi yang disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram klasifikasi model simulasi pada rumah tanaman

(diadopsi dari Krauss et al., 1997dalam Boulard et al., 2002).

Pemodelan fenomena logis terdiri dari dua jenis proses, yaitu tahap analisis

dan tahap diskritisasi. Tahap analisis pemodelan biasanya dilakukan

penyederhanaan model berupa pembatasan wilayah (limited zones) analisis dari

ruang model simulasi yang kompleks. Wilayah yang dianalisis lebih difokuskan

pada wilayah-wilayah tertentu dalam ruang simulasi yang memiliki kriteria

perubahan parameter secara signifikan, seperti wilayah permukaan atau dinding

solid dengan fluida yang sering disebut dengan boundary layers, wilayah jet yaitu

wilayah yang memiliki hembusan kecepatan fluida sangat tinggi (wilayah nozel

dari humidity fire atau foging) dan wilayah-wilayah yang berpotensi terjadi olakan

fluida (wakes) serta vortex. Sementara itu, tahapan diskritisasi adalah proses

penyederhanaan persamaan model dinamika fluida yang kompleks menjadi

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka

18

persamaan-persamaan matematis yang diskrit agar dapat dieksekusi oleh

komputer untuk dikomputasi. Hal ini merupakan bagian dari analisis numerik

pada tahapan simulasi dengan menggunakan CFD (Computational Fluid

Dynamics). Metode diskritisasi dalam CFD terdiri dari 2 jenis pendekatan, yaitu

metode volume hingga (finite volume method) dan metode elemen hingga (finite

element method). Model CFD akan lebih akurat apabila digunakan untuk simulasi

pada zona atau wilayah model yang mikro, namun tidak menutup kemungkinan

dapat juga digunakan untuk mensimulasikan zona wilayah makro seperti

visualisasi perubahana parameter iklim mikro pada satu ruang rumah tanaman

(single zone) berbentuk 3D atau beberapa ruang rumah tanaman (multi zones).

Multi zone rumah tanaman biasanya terdapat pada agroindustri yang memiliki

beberapa rumah tanaman untuk proses produkdi budidaya.

2.10 Metode Komputasi Dinamika Fluida

Computational fluid dynamics (CFD) bisa berarti suatu teknologi komputasi

yang digunakan untuk mempelajari dan sebagai alat untuk menganalisa fenomena

dinamika fluida seperti aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, perubahan

phasa, interaksi fluida dan solid (Norton et al., 2007). Menurut Tuakia (2008),

CFD adalah ilmu yang mempelajari cara memprediksi aliran fluida, perpindahan

panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan-

persamaan matematika (model matematika). Secara istilah CFD bisa berarti suatu

teknologi komputasi yang memungkinkan untuk mempelajari dinamika dari

benda-benda atau zat-zat yang mengalir.

Menurut Zhang (2005), pada dasarnya persamaan-persamaan dalam

mempredisksi fenomena dinamika fluida seperti CFD dapat dibangun dan

dianalisis berdasarkan persamaan-persamaan diferensial parsial (PDE = Partial

Differential Equation) yang merepresentasikan hukum-hukum konservasi massa,

momentum, dan energi. Penyelesaian persamaan diferensial yang cukup kompleks

tidak dapat dieksekusi langsung oleh komputer. Oleh karena itu, persamaan

aljabar tersebut ditransformasikan terlebih dahulu menjadi persamaan aljabar

diskrit yang lebih sederhana, sehingga komputer dapat mengeksekusinya dengan

ringan. Metode penyederhanaan ini disebut sebagai metode diskritisasi (Versteeg

and Malalasekera, 1995).

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka

19

2.11 Prinsip Diskritisasi

Secara umum, diskritisasi dapat dianalogikan sebagai upaya untuk membagi

sistem dari problem yang akan diselesaikan (obyek) menjadi bagian bagian yang

lebih kecil, atau dengan kata lain membagi bentuk objek yang kontinum menjadi

diskrit. Diskritisasi ini muncul karena adanya kesulitan untuk mempelajari sistem

secara keseluruhan. Secara tidak langsung, diskritisasi juga berarti pendekatan

untuk sesuatu (problem) yang riil dan kontinu. Metode diskritisasi yang biasa

digunakan dalam analisa CFD adalah metode elemen hingga (finite element

method) dan metode volume hingga (finite volume method).

Menurut Molina-Aiz et al.,(2010) dalam kedua metode diskritisasi tersebut

komputasi numerik dibangun berdasarkan dua tahapan proses. Tahap pertama

adalah memformulasikan persamaan kesetimbangan dan metode pendekatan

berdasarkan kondisi batasan tertentu. Sedangkan tahap kedua adalah pemisahan

elemen variabel ke dalam bentuk matriks dan pencarian solusi algoritma secara

sekuensial.

2.11.1 Finite Element Method (FEM)

Prinsip FEM adalah membagi rangkaian kesatuan area ke dalam

sejumlah bentuk area sederhana yang lebih kecil yang disebut elemen

(Molina-Aiz et al., 2010), pada kasus ini digunakan elemen triangular atau

quadrilateral (Gambar 5a). Finite Element banyak digunakan untuk

menyelesaikan problem kompleks seperti rekayasa struktur, steady state dan

time dependent heat transfer, fluid flow, dan electrical potential problem

(Zienkiewicz et al.,2005). Konsep dasar dari FEM diantaranya adalah

membuat elemen-elemen diskrit untuk memperoleh simpangan-simpangan

dan gaya-gaya dari suatu struktur. Selain itu, FEM menggunakan elemen-

elemen kontinum untuk memperoleh solusi pendekatan (approximate

solution) terhadap permasalahan-permasalahan perpindahan panas,

mekanika fluida maupun mekanika solid.

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka

20

Gambar 5. Ilustrasi diskritisasi dengan menggunakan: (a) metode elemen

hingga, (b) metode volume hingga (Molina-Aiz et al., 2010).

Pada metode diskrit ini, variabel φ dari setiap elemen diinterpolasi

menggunakan polynomial Nj(xi).

∑ (4)

Dimana Nj merupakan fungsi bentuk polynomial pada titik j, dan n

adalah jumlah titik pada masing-masing elemen (3 untuk elemen triangular,

dan 4 untuk elemen quadrilateral).

2.11.2 Finite Volume Method (FVM)

Menurut Apsley (2005) metode volume hingga (FVM) cocok

diterapkan pada masalah aliran fluida dan aerodinamika. Selain itu, Molina-

Aiz et al.(2010) mengungkapkan bahwa konsep kinerja FVM adalah setiap

titik perhitungan dilingkupi oleh sebuah volume terkendali (control volume)

atau volume atur. Domain komputasi dibagi menjadi volume atur yang

berupa grid-grid dan tidak saling tumpang tindih (overlapping), sehingga

proses komputasi pada FVM lebih didekatkan terhadap kontrol suatu

volume terbatas, bukan komputasi pada suatu node dari masing-masing

grid.

Perangkat lunak seperti ANSYS/FLUENT menyatakan pendekatan

FVM dengan sebutan grid-centered finite volume approach, dimana

perhitungan komputasi yang dikembangkan program tersebut dilakukan

secara langsung pada area tengah grid (grid centers) dengan

menginterpolasikan nilai variabel φ pada pusat elemen node yang

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka

21

berdekatan pada suatu permukaan volume atur φf. Nilai masing-masing

variabel φ yang merepresentasikan nilai rata-rata keseluruhan dari sebuah

grid, diwakili dengan nilai titik pusat grid (P, N, S, E dan W ;Gambar 5.b).

Metode penghitungan dalam komputasi atau diskritisasi berdasarkan

pada perbedaan nilai atau gradien dari masing-masing grid. Nilai perubahan

variabel tertentu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (5).

( )

(5)

dimana Nfaces merupakan batasan permukaan pada elemen volume, dan

adalah nilai rata-rata hitung pada pusat grid terdekat (contohnya

permukaan P dan permukaan E pada Gambar 5.b).

2.12 Perbandingan Teknik Diskritisasi FVM dan FEM

Dua metode diskritisasi (FVM dan FEM) telah diuji dan dibandingkan oleh

Nakajima and Kallinderis (1994); Molina-Aiz et al.,(2010) pada grid yang tidak

seragam untuk melihat sensitifitas dan akurasi dari hasil solving. Proses solving

dilakukan pada aliran incompressible yang unsteady state 2 dimensi dengan

menggunakan persamaan Navier-Stokes. Hasilnya disimpulkan bahwa kedua

metode dikritisasi tersebut stabil dan memiliki akurasi yang sama pada grid yang

seragam. Namun, pada grid yang tidak seragam metode FEM menjadi kurang

sensitif. Meskipun pendekatan metode FEM dan FVM membutuhkan waktu

komputasi per grid dan step yang sama, FEM memerlukan kapasitas memori

penyimpanan dua kali lebih besar dibandingkan FVM. Selanjutnya, Haindl et al.,

(1999); dalam Molina-Aiz et al.,(2010) membandingkan FVM dan FEM untuk

mendiskritisasi model difusi 3D menggunakan software AMIGOS. Hasil

diskritisasi dilaporkan bahwa FVM lebih stabil dibandingkan FEM.

Hal lain dilakukan oleh O’Callaghan et al. (2003) yang melakukan

kajian teori untuk memprediksi aliran darah melewati arteri femoralis ideal.

Hasilnya menunjukkan bahwa secara kualitatif kedua metoda tersebut

memiliki kesamaan, namun berbeda dalam hal kuantitatif. Hasil prediksi

dengan menggunakan FVM lebih baik dari pada FEM, sehingga

menyatakan bahwa FVM merupakan teori prediksi yang lebih handal.

Sementara itu, Molina-Aiz et al.,(2010) membandingkan FEM dan FVM

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka

22

untuk mensimulasikan fenomena ventilasi alamiah pada rumah tanaman. Hasil

simulasi dilaporkan bahwa kedua metode tersebut sangat baik atau akurat ketika

digunakan untuk memprediksi parameter suhu dari pada memprediksi parameter

kecepatan udara. Selain itu, gambaran aliran udara pada setiap kasus yang

dianalisa memiliki kesamaan kualitatif. Namun pada rumah tanaman tipe multi

span, FVM mampu mensimulasikan aliran laju ventilasi udara yang lebih rendah

dibandingkan FEM, meskipun nilai suhu hasil prediksi dengan FVM lebih rendah

dari nilai faktualnya.

Perbedaan antara FEM dan FVM terlihat juga pada proses pembuatan grid

(meshing), dimana untuk geometri yang lebih kompleks proses meshing dengan

menggunakan FEM jauh lebih mudah dibanding FVM (Molina-Aiz et al., 2010).

Namun dalam hal komputasi, rata-rata FEM membutuhkan waktu komputasi per

grid dan per tahap dua kali lebih banyak dibandingkan FVM, bahkan untuk proses

penyimpanan database hasil komputasi FEM menghabiskan waktu 10 kali lebih

besar.