Page 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan teori dibagi menjadi tiga kelompok yakni grand theory,
supporting theory dan middle range theory. Grand theory dalam studi ini adalah
knowledge based view (KBV) dengan teori pendukung yakni sosial exchange
theory sedangkan middle range theory terdiri dari kepemimpinan transformasional,
kepuasan kerja, komitmen organisasi, knowledge sharing dan kinerja karyawan.
Knowledge based view theory digunakan untuk memetakan dan
menjelaskan mengenai pentingnya sumber daya manusia sebagai intangible asset
dalam organisasi khususnya sebagai intellectual capital. Sedangkan social
exchange theory digunakan untuk menjelaskan bagaimana memperhatikan prilaku
individu maupun kelompok dalam organisasi. Kajian lain yang juga mendukung
penelitian ini adalah kajian empiris tentang kepemimpinan transformasional,
kepuasan kerja, komitmen organisasi, knowledge sharing dan kinerja karyawan.
Semua kajian tersebut selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.1 Grand Theory dan Supporting Theory
1.1.1 Knowledge Based View (KBV)
Dalam istilah integrasi perspektif manajemen, gagasan holistik karya
Penrose (1959) mengenai teori pertumbuhan perusahaan (the growth theory of
the firm/GTF) menyatakan bahwa perusahaan merupakan kumpulan dari sumber
daya produktif. Lebih lanjut disebutkan bahwa sumber daya perusahaan terdiri
Page 2
2
dari sumber daya manusia (SDM) dan non manusia. Teori ini kemudian menjadi
rujukan dasar bagi perkembangan teori perspektif berbasis sumber daya
(resource based view) seperti yang telah dikemukakan oleh Barney (1991).
Dalam pandangan RBV, kinerja merupakan hasil kerja seluruh sumber
daya dalam perusahaan, kapabilitas organisasi dan unik yang dimiliki oleh
perusahaan atau kinerja semua sumber daya internal dan mengisi peluang
tantangan dari eksternal perusahaan (Barney, 1991; Menguc et al., 2010).
Pandangan ini merupakan pengakuan atas cakupan teori strategi yang berbasis
pada RBV yang mengklaim bahwa perusahaan tersusun atas berbagai sumber
daya (Penrose, 1959; Barney, 1991; Rauch et al., 2005).
Sumber daya perusahaan adalah semua aset yang dimiliki oleh
perusahaan (Barney, 1991) baik yang berwujud maupun tidak berwujud
(Penrose, 1959). Sumber daya yang tidak berwujud bisa dimasukkan dalam
kategori sumber daya insani yakni manajer dan karyawan (Rauch, 2005),
sehingga kolaborasi kedua sumber daya ini menghasilkan keunggulan bersaing
yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage). Seiring meningkatnya
pemahaman mengenai keberadaan karyawan sebagai aset penting organisasi
maka terciptalah pandangan berbasis pengetahuan perusahaan.
Knowledge based view (KBV) adalah ekstensi baru dari pandangan
berbasis sumber daya perusahaan/ resources based theory (RBT) yang
memberikan pemahaman teoritis yang kuat dalam mendukung intellectual
capital. KBV berasal dari RBV dan menunjukkan bahwa pengetahuan dalam
berbagai bentuknya adalah kepentingan sumber daya (Grant, 1991). Asumsi
Page 3
3
dasar teori berbasis pengetahuan perusahaan merupakan derivasi dari teori
pandangan berbasis sumber daya perusahaan. Gambar 2.1 menjelaskan
terminologi lahirnya KBV.
Gambar 2.1
Derivasi Terminologi Knowledge Based View
Sumber: Kompilasi Literatur, 2016-2017
Gambar 2.1 menunjukkan derivasi teori sehingga muncul teori berbasis
pengetahuan dalam perusahaan yang diawali dari growth theory of the firm
(Penrose, 1959) yang kemudian oleh Barney (1991) diderivasi menjadi resource
based view sampai akhirnya oleh Teece et al. (1997) dikembangkan menjadi
knowledge based view. Peran knowledge based view adalah membangun
keterlibatan modal manusia sehingga memungkinkan perusahaan untuk
beradaptasi dengan berbagai permasalahan dengan lebih efektif dan efisien (Chen
et al., 2010). Hal tersebut menjadikan pengembangan sumber daya manusia
Growth Theory of the Firm (GTF)
(Penrose, 1959)
Resource Based View (RBV)
(Barney, 1991)
Knowledge Based View (KBV)
(Teece et al., 1997)
(Eisenhardt dan Martin, 2000)
Page 4
4
menjadi lebih dominan dan terstruktur. Sebagaimana Penrose (1959) berpendapat
bahwa perusahaan merupakan integrasi dari sumber daya manusia dan non
manusia dimana sumber daya manusia berperan penting dalam mengelola yaitu
merencanakan, mengorganisir, mengkoordinir, dan mengevaluasi serta
mengorkestrasi sumber daya lainnya. Dalam pandangan berbasis pengetahuan,
perusahaan mengembangkan pengetahuan baru yang penting untuk membangun
competitive advantage dari kombinasi unik yang ada pada pengetahuan (Nelson
dan Winter, 1982) karena kembali mengingat bahwa peran teori resource based
view bahwa perusahaan harus unik sehingga sulit untuk disaingi dan ditiru.
Dewasa ini perusahaan bersaing dengan mengembangkan pengetahuan
baru yang lebih cepat daripada kompetitor (Katic et al., 2012). Hal tersebut
melibatkan peran sumber daya manusia (human capital) dalam organisasi untuk
mengembangkan pengetahuan khususnya modal intelektual untuk menghasilkan
sesuatu yang unik sebagai ciri khas organisasi yang sulit ditiru pesaing. Dari
penjelasan tersebut, menurut resource based view dan knowledge based view,
intellectual capital memenuhi kriteria-kriteria sebagai sumber daya yang unik
untuk menciptakan value added. Nilai tambah ini berupa adanya kinerja
karyawan yang semakin baik di perusahaan. Lebih lanjut menurut Teece et al.
(1997) teori berbasis pengetahuan perusahaan menguraikan karakteristik khas
sebagai berikut;
a. Pengetahuan memegang makna yang paling strategis di perusahaan.
b. Kegiatan dan proses produksi di perusahaan melibatkan penerapan
pengetahuan.
Page 5
5
c. Individu-individu dalam organisasi tersebut yang bertanggung jawab untuk
membuat, memegang, dan berbagi pengetahuan.
1.1.2 Sosial Exchange Theory (SET)
Teori pertukaran sosial adalah salah satu paradigma konseptual yang paling
berpengaruh untuk memahami perilaku kerja karyawan dalam sebuah organisasi.
Studi empiris mengenai teori pertukaran sosial dapat ditelusuri periode tahun 1920-
an (Malinowski, 1922; Mauss, 1925), teori ini juga berkembang dan berkontribusi
menjembatani disiplin ilmu seperti antropologi (Firth, 1967; Sahlins, 1972),
psikologi sosial (Gouldner, 1960; Homans, 1958; Thibault & Kelley, 1959) dan
sosiologi (Blau, 1964).
Meskipun pandangan yang berbeda dari pertukaran sosial telah muncul,
tetapi teori pertukaran sosial ini sepakat bahwa pertukaran sosial melibatkan
serangkaian interaksi yang menghasilkan kewajiban (Emerson, 1976) atau teori
yang menjelaskan hubungan antara komitmen sosial dan persepsi keadilan.
Selanjutnya, Blau (1964) menyatakan bahwa pertukaran sosial sebagai rasa yang
menyebabkan persamaan persepsi tujuan di masa depan. Dalam pandangan teori ini
pegawai akan termotivasi dan komit pada pekerjaan dan organisasi jika merasa
diperlakukan adil dan seimbang. Lebih lanjut Bass (1990) mengatakan bahwa teori
ini ditujukan untuk memahami hubungan pemimpin dengan bawahannya dan
memahami faktor-faktor yang berkaitan dengan komitmen (Mowday et al., 1982).
Pertukaran positif maupun negatif dengan individu maupun organisasi (pemimpin
Page 6
6
dan organisasi) berpengaruh pada prilaku karyawan dan perasaan sebagai
komitmen dalam pencapaian tujuan (Brown, 1996).
Dalam social exchange theory, interaksi biasanya dilihat sebagai saling
tergantung dan bergantung pada tindakan orang lain sehingga pemahaman yang
didapat adalah adanya saling mempengaruhi antar individu dalam organisasi (Blau,
1964). Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain
adalah psikolog Thibaut dan Kelley (1959), Homans (1961), Emerson (1962) dan
Blau (1964). Dalam peranannya dewasa ini, social exchange theory menjadi dasar
bagaimana pemimpin dalam perusahaan memahami prilaku kerja karyawannya
karena di dalam prilaku kerja tersebut terdapat motif-motif tertentu yang menjadi
penyebab suatu prilaku.
1.2 Middle Range Theory
1.2.1 Kepemimpinan Transformational
Bangunan ide kepemimpinan transformasional diawali oleh Weber pada
tahun 1947 yang kemudian berkembang menjadi kepemimpinan karismatik dan
lebih lanjut bertumbuh menjadi kepemimpinan yang berlandaskan keprilakuan
(behaviourally leadership). Salah satu gaya kepemimpinan yang berkembang dan
menguasai keadaan pada saat itu adalah gaya kepemimpinan transformasional.
Transformational leadership merupakan gaya kepemimpinan yang pada awalnya
diciptakan oleh Burns (1978) dalam memetakan pola kepemimpinan pada situasi
politik saat itu yang kemudian secara spesifik dikembangkan oleh Bass et al. (1985)
sampai pada dicapainya temuan penting mengenai teori kepemimpinan ini oleh
Page 7
7
Avolio dan Yammarino (2002). Menurut Bass (1985) kepemimpinan
transformasional adalah tipe pemimpin yang memotivasi bawahan melalui
inspirasi. Para karyawan ditantang untuk mengembangkan kepribadian, konsentrasi
pada kualitas tidak terlihat (intangible value) seperti membagi ide/gagasan, nilai
dan visi dalam usaha membangun hubungan yang baik dalam organisasi.
Lebih lanjut CacioPpe (2000) mengatakan bahwa tipe kepemimpinan ini
menggerakkan organisasi menuju perspektif ideal melalui koordinasi antar pegawai
dan mengintegrasikan semua komponen dalam organisasi. Kepemimpinan
transformasional juga membantu pegawai untuk melihat masalah lama dari cara
pandang yang baru dan merangsang pegawai untuk mencoba berusaha lebih dari
kemampuan rata-rata pegawai karena kepemimpinan transformasional akan
menginspirasi untuk berpikir lebih dari tujuan karyawan dan fokus pada pencapaian
tim dan organisasi, bangsa dan perspektif global.
Menurut Sahgal & Pathak (2007), kepemimpinan transformasional ada
diantara pemimpin dan karyawan, secara bersama-sama membagi visi organisasi,
membantu karyawan untuk mengembangkan diri dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Artinya kepemimpinan transformasional menggunakan karyawan
sebagai fokus kerja pimpinan, memberikan penghargaan (reward) dan
memberdayakan karyawan melalui pengembangan serta membangun motivasi dan
kepercayaan karyawan (Boehnke et al., 2003). Berdasarkan studi empirik yang
dilakukan oleh Arachchi (2012) dijelaskan bahwa pemimpin transformasional
memiliki keberanian, mengambil risiko, percaya dengan kemampuan karyawan,
memiliki nilai-nilai yang jelas, dan memiliki kemampuan memobilisasi energi
Page 8
8
untuk melakukan perubahan. Artinya penting untuk menginspirasi dan
menstimulasi karyawan untuk mengeluarkan kemampuan terbaik untuk mencapai
tujuan organisasi (Riaz & Haider, 2010).
Studi yang dilakukan oleh Han et al. (2016) menyatakan peran penting
kepemimpinan transformasional adalah dalam meningkatkan motivasi para
karyawan untuk terlibat lebih dalam pada pekerjaan, komitmen terhadap organisasi,
dan mengembangkan kemampuan demi kemajuan organisasi. Kepemimpinan
transformasional akan mengantarkan karyawan untuk mengenal lebih dalam
keadaan karyawan terutama karena menghargai kebutuhan yang berbeda-beda dari
setiap karyawan untuk meningkatkan potensi pribadi, sehingga karyawan
cenderung akan memiliki rasa tanggungjawab pada pekerjaan dan tujuan utama.
2.2.1.1 Dimensi dan Indikator Kepemimpinan Transformasional
Sejak diciptakan oleh Burns pada era 1978 kemudian dikembangkan oleh
Bass (1985), Bass dan Avolio (1990) serta peneliti-peneliti lainnya, seperti Shibru
& Darsan, (2011), Arifin et al. (2014), Long et al. (2014) kepemimpinan
transformasional memiliki empat karakteristik (dimensi) utama. Kemudian
keempat (4) dimensi tersebut dipilih terkait dengan variabel eksogen dan endogen
dalam penelitian disertasi ini, seperti pada Gambar 2.2.
Kepemimpinan Transformasional
Burns, (1978); Bass (1985); Moghali (2002); Shibru & Darsan (2011);
Mohammad et al. (2011); Long et al. (2014); Arifin et al. (2014); Kamali (2014)
Page 9
9
Gambar 2.2
Dimensi dan Indikator Variabel Penelitian
Sumber: Kompilasi Literatur, 2016-2017
Pada Gambar 2.2 terlihat bahwa para peneliti terdahulu yakni Burns, (1978);
Bass (1985); Moghali (2002); Shibru & Darsan (2011); Mohammad et al. (2011);
Long et al. (2014); Arifin et al. (2014); Kamali (2014) mengungkapkan
kepemimpinan transformasional terdiri dari empat dimensi. Dari dimensi-dimensi
tersebut diturunkan menjadi beberapa indikator. Sehingga keempat (4) dimensi dan
indikator tersebut dapat dikompilasi sebagai berikut.
a) Idealized influence adalah dimensi yang menunjukkan perspektif karyawan
yang memandang bahwa pemimpin memiliki kekuatan, kepercayaan diri,
keyakinan, konsistensi dan ide/gagasan yang mempengaruhi karyawan,
sehingga karyawan mampu mengeluarkan kinerja terbaik dan memiliki rasa
hormat, mampu menjadi teladan dan tetap mempertahankan standar tinggi
Idealized influence
Inspirational
motivation Intellectual
stimulation
Individualized
consideration
- Keyakinan
- Hadir di situasi
sulit
- Bernilai
- Menumbuhkan
kebanggan
- Mengutamakan
visi misi
- Menjadi
teladan
- Menginspirasi
- Menyelaraskan
tujuan
- Membangkitka
n semangat
- Visi
menggairahkan
- Pemikiran yang
visioner
- Logis
- Inovasi
- Improvisasi
- Identifikasi
kebutuhan
- Kesempatan
belajar
- Mengembangk
an karyawan
- Menangani
keluhan
karyawan
Page 10
10
(Mohammad et al., 2011). Adapun indikator-indikator dalam dimensi ini
adalah sebagai berikut.
(1) Keyakinan yakni karakter yang kuat terhadap pencapaian kesuksesan
individu dan organisasi
(2) Hadir di situasi sulit yakni bahwa pemimpin/manajer senantiasa hadir
terutama pada saat dibutuhkan
(3) Bernilai mengandung pengertian bahwa proses kepemimpinan
mengandung makna bagi kesuksesan organisasi
(4) Menumbuhkan kebanggan yakni pimpinan senantiasa memiliki kewajiban
membangun kebanggan kepada setiap elemen organisasi
(5) Mengutamakan visi misi yakni karakter untuk senantiasa berjuang demi
tercapainya tujuan organisasi
(6) Menjadi teladan yakni pemimpin mampu menunjukkan sikap dan sifat
yang layak ditiru
b) Inspirational motivation adalah dimensi yang menunjukkan bahwa seorang
pemimpin mampu memahami karyawan dengan sikap pengertian melalui
inspirasi, persuading dan memotivasi (Arifin et al., 2014). Adapun indikator-
indikator dalam dimensi ini menurut Moghali (2002) adalah sebagai berikut.
(1) Menginspirasi yakni pemimpin berbicara optimis tentang masa depan
(2) Menyelaraskan tujuan yakni mengekspresikan cara pandang yang mampu
meraih masa depan
(3) Membangkitkan semangat yakni berbicara antusias mengenai apa yang
harus dilakukan
Page 11
11
(4) Visi menggairahkan yakni menggambarkan masa depan yang menantang
dan hal-hal yang mesti dipertimbangkan
c) Intellectual stimulation adalah dimensi yang menunjuk pada kemampuan
pemimpin dalam menjawab pertanyaan karyawan, pemecahan masalah, dan
kemampuan berfikir mengenai pekerjaan secara detail dan tanggungjawab
secara keseluruhan (Shibru & Darsan, 2011). Lebih lanjut dimensi ini
mengatakan bahwa memimpin dengan pendekatan terbaik, mampu
menghadapi tantangan yang berhubungan dengan keyakinan dan kepercayaan,
dan membantu karyawan dalam meningkatkan kapabilitas kepemimpinan
masing-masing dan organisasi (Long et al., 2014). Adapun indikator dimensi
ini adalah sebagai berikut.
(1) Pemikiran yang visioner yakni bahwa pemimpin memiliki orientasi ke
depan
(2) Logis yakni memiliki cara pandang yang rasional, mampu menghadapi
tantangan yang berhubungan dengan keyakinan dan kepercayaan,
(3) Asumsi berinovasi yakni membantu karyawan dalam meningkatkan
kapabilitas kepemimpinan masing-masing dan organisasi
(4) Improvisasi yakni memiliki karakter untuk kreatif
d) Individualized consideration adalah dimensi yang merujuk pada kemampuan
pemimpin dalam memahami karyawan yang berbeda, menghubungkan
motivasi pribadi dan upaya-upaya meningkatkan motivasi karyawan, serta
mampu mentransfer tanggung jawab pada karyawan sebagai sebuah tujuan
utama (Kamali, 2014). Di sisi lain, menurut Bass (1985) mengungkapkan
Page 12
12
bahwa dimensi ini ditunjukkan oleh sikap berani dan mendukung karyawan.
Adapun indikator-indikator dalam dimensi ini adalah sebagai berikut.
(1) Identifikasi kebutuhan karyawan yakni memahami apa yang dibutuhkan
karyawan
(2) Kesempatan belajar yakni sikap berani dan mendukung karyawan
(3) Mengembangkan karyawan menghubungkan motivasi pribadi dan upaya-
upaya meningkatkan motivasi karyawan
(4) Menangani keluhan karyawan yakni memahami pemikiran karyawan yang
berbeda dan mampu menangani permasalahan yang ada.
Signifikansi pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap prilaku dan
sikap kerja karyawan telah diteliti oleh Bartram dan Casimir (2007), kemudian
ditambahkan oleh DeGroot et al. (2000) dan Lowe et al. (1996) melalui studi meta
data analisis yang menunjukkan hubungan positif antara kepemimpinan
transformasional dan outcomes karyawan. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh
pada nilai-nilai dasar (values), keyakinan (belief), dan prilaku karyawan (Podsakoff
et al., 1990).
Walaupun secara umum kepemimpinan transformasional memiliki kerangka
konsep yang sangat baik seperti yang dihasilkan dari studi empiris yang dilakukan
oleh McDowelle (2009) serta peneliti-peneliti lainnya tetapi hasil studi (evaluation
of transformational concept and implementations) yang dilakukan oleh Yukl (1999)
dan selanjutnya dipertajam oleh studi yang dikembangkan oleh Odumeru & Ifeanyi
(2013) yang menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional tidak sepenuhnya
merupakan kepemimpinan yang benar-benar baik. Kepemimpinan
Page 13
13
transformasional juga memiliki kelemahan terutama dalam dimensional practices-
nya baik terhadap karyawan maupun terhadap organisasi. Adapun tujuh (7)
kelemahan tersebut yakni;
a) Ketidakjelasan mengenai pengaruh dan proses sejak teori kepemimpinan
transformasional diciptakan. Seharusnya teori ini lebih kuat jika mampu
mengindentifikasi pengaruh dari proses secara fundamental serta dapat
dipakai menjelaskan bagaimana masing-masing tipe prilaku berpengaruh
pada masing-masing tipe hasil,
b) Fokus lebih pada pengaruh individual (karyawan) dan bukan pada pengaruh
kelompok atau proses dalam suatu organisasi,
c) Tidak ada penjelasan yang komprehensif mengenai apa yang pemimpin
katakan atau lakukan untuk mengajak atau mempengaruhi sisi kognitif atau
prilaku karyawan. Artinya bahwa untuk menjalankan keempat dimensi
tersebut tidak ada kalimat-kalimat yang pasti untuk mengajak maupun
mempengaruhi karyawan,
d) Adanya perbedaan hasil antara prilaku transformasional dengan teori asli
yang menunjukkan hal yang penting seperti inspirasi, mengembangkan dan
memberdayakan karyawan,
e) Spesifikasi yang lemah dari variabel-variabel situasional dalam
kepemimpinan transformasional. Artinya bahwa kepemimpinan
transformasional tidak bisa menjustifikasi suatu hasil dalam hubungan
variabel tetapi ada variabel-variabel situasional lain yang juga berkontribusi
terhadap variabel tersebut,
Page 14
14
f) Teori mengenai kepemimpinan transformasional ini tidak secara jelas
mendeskripsikan pada saat kondisi bagaiamana kepemimpinan dengan tipe
ini tidak layak dijalankan, dan
g) Teori ini mengasumsikan tipe pemimpin yang heroik (heroic sterotype
leader), padahal dilihat dari hasil yang diinterpretasikan menyatakan bahwa
pengaruh lebih kecil dari kinerja dan adanya keinginan yang kecil yang
menjelaskan hubungan pengaruh proses dan kepemimpinan.
Penelitian disertasi ini menggunakan empat dimensi yakni a) idealized
influence, b) inspirational motivation, c) intellectual stimulation dan d)
individualized consideration yang dipilih sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Burns (1978); Bass (1985); Moghali (2002); Shibru & Darsan (2011);
Mohammad et al. (2011); Long et al. (2014); Arifin et al. (2014); Kamali (2014).
Peneliti-peneliti tersebut menguji dan membuktikan bahwa keempat dimensi di atas
terbukti memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel
internal dalam organisasi. Keempat dimensi yang dipilih tersebut diharapkan
memberikan kontribusi positif dalam upaya membangun kepuasan kerja karyawan,
memelihara komitmen organisasional karyawan serta menciptakan praktek berbagi
pengetahuan dalam upaya meningkatkan kinerja karyawan.
2.2.1.2 Penelitian Sebelumnya Terkait Kepemimpinan Transformasional
Berbagai studi empiris telah dilakukan oleh para peneliti berkaitan dengan
kepemimpinan transformasional. Dari awal terbentuknya, kepemimpinan
transformasional dibangun pertama kali fondasinya oleh Weber (1947) yang
Page 15
15
kemudian menjadi dasar terbentuknya kepemimpinan keprilakuan (behaviourally
leadership).
Lebih lanjut menurut Burns (1978) kepemimpinan transformasional dapat
dilihat ketika para pemimpin dan pengikut membuat kesepakatan satu sama lain
untuk meningkatkan moral dan motivasi melalui kekuatan visi dan kepribadian
mereka, pemimpin transformasional mampu menginspirasi pengikutnya untuk
mengubah harapan, persepsi dan motivasi untuk bekerja menuju tujuan bersama.
Lebih lanjut, Bass (1985) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional
bertujuan untuk membangun kesadaran para bawahannya mengenai pentingnya
nilai kerja dan tugas mereka. Dan
Kepemimpinan transformasional juga menjelaskan bagaimana seorang
pemimpin untuk berusaha memperluas dan meningkatkan kebutuhan melebihi
minat pribadi serta mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama
terutama bagaimana pemimpin lebih mengutamakan kepentingan organisasi.
Dalam Tabel 2.1 disajikan hasil studi empiris mengenai kepemimpinan
transformasional.
Tabel 2.1
Seminal work dan hasil studi empiris yang terkait dengan
variabel kepemimpinan transformasional
Peneliti Temuan Penting
Weber (1947) Membangun fondasi kepemimpinan karismatik
sekaligus menjadi dasar kepemimpinan keprilakuan
(behaviorally leadership) yang nantinya menjadi dasar
oleh Burns menciptakan kepemimpinan
transformasional/karismatik
Burns (1978) Kepemimpinan transformasional dapat dilihat ketika
para pemimpin dan pengikut membuat kesepakatan satu
sama lain untuk meningkatkan moral dan motivasi
melalui kekuatan visi dan kepribadian mereka,
Page 16
16
pemimpin transformasional mampu menginspirasi
pengikutnya untuk mengubah harapan, persepsi dan
motivasi untuk bekerja menuju tujuan bersama
Bass (1985) Kepemimpinan transformasional membangun kesadaran
para bawahannya mengenai pentingnya nilai kerja dan
tugas mereka. Pemimpin berusaha memperluas dan
meningkatkan kebutuhan melebihi minat pribadi serta
mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan
bersama termasuk kepentingan organisasi
Bass dan Avolio
(2002)
Kepemimpinan dilaksanakan ketika seseorang
memobilisasi sumber daya intitusional, politis,
psikologis dan sumber lain untuk membangkitkan,
melibatkan dan memotivasi pengikutnya
Arachchi (2012) Kepemimpinan transformasional memiliki keberanian,
pengambil risiko, yakin dan percaya dengan bawahan,
memiliki nilai-nilai yang jelas dan memiliki kemampuan
memobilisasi energy yang diperlukan untuk melakukan
perubahan
Odumeru & Ifeanyi,
(2013)
Walaupun kepemimpinan transformasional dikatakan
memiliki struktur dimensi yang sangat baik tetapi secara
praktis kepemimpinan transformasional memiliki 7
kelemahan dalam implementasi keempat dimensinya
Sumber: Sintesa peneliti, 2016-2017
1.2.2 Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan sebuah konsep yang dapat didefinisikan dari
sudut pandang yang beragam. Locke (1976) mengemukakan bahwa kepuasan kerja
adalah sebuah sikap senang atau kondisi emosi yang positif sebagai hasil dari
penilaian pekerjaan maupun pengalaman terhadap pekerjaan. Lebih lanjut, Judge
dan Klinger (2003) mengemukakan pengertian kepuasan kerja dari sudut pandang
psikologi adalah kepuasan yang berhubungan dengan tipe kepemimpinan,
menyangkut respon multidimensi untuk sebuah pekerjaan, dan masing-massing
respon memiliki ranah kognitif (evaluasi), afektif (emosional) dan komponen
prilaku (psikomotorik).
Page 17
17
Selanjutnya Weiss (2002) menyebutkan bahwa kepuasan kerja adalah
prilaku dengan penekanan penting bahwa tujuan evaluasi kognitif adalah afektif,
keyakinan dan prilaku yang jelas. Artinya bahwa kepuasan kerja mengacu pada
kepuasan dalam perasaan, keyakinan dan prilaku. Dari perspektif organisasi,
kepuasan kerja menyangkut aplikasi praktis dalam mengembangkan kehidupan
karyawan dalam efektifitas organisasi.
Kesuksesan organisasi sangat tergantung dari komitmen dan kerja keras
para karyawan, karena itu kepuasan kerja dipakai sebagai alat untuk menarik dan
mempertahankan karyawan terbaik dalam organisasi. Sedangkan Luthans (2011)
mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah hasil persepsi tentang seberapa bagus
sebuah pekerjaan yang dibuktikan lewat pekerjaan itu sendiri. Dan Olorusola
(2012) memandang bahwa kepuasan kerja adalah konsep dualisme yang
berhubungan dengan dimensi intrinsik dan ekstrinsik karyawan.
Page 18
18
2.2.2.1 Dimensi dan Indikator Kepuasan Kerja
Beberapa penelitian tentang kepuasan kerja mengungkapkan bahwa kepuasan kerja adalah kepuasan yang menyangkut respon
multidimensi untuk sebuah pekerjaan, ranah kognitif (evaluasi), afektif (emosional) dan komponen prilaku (psikomotorik).
Gambar 2.3
Dimensi dan Indikator Variabel Penelitian
Sumber: Kompilasi Literatur, 2016-2017
Kepuasan Kerja
Fu et al, (2011); Neubert (2015); Shibru & Darsan, (2011); Luthans (2011); SushamaKhanna, 2011
Payment system
Promotion Supervision
Work it self
- Gaji sesuai
tanggungjawab
- Gaji sesuai
jabatan
- Ada peluang naik
jabatan
- System promosi yang
menantang
- Atasan memberikan
bantuan
- Aatasan memberi
waktu berdiskusi
- Karyawan menikmati
pekerjaan
- Kesempatan
mengembangkan diri
- Peluang menerima
tanggungjawab
Work condition
- Kondisi kerja yang
aman - Lingkungan kerja
mendukung
Page 19
19
Dalam Gambar 2.3 terlihat bahwa para peneliti seperti Fu et al. (2011); Neubert
(2015); Shibru & Darsan (2011); Luthans (2011); SushamaKhanna (2011)
mengungkapkan kepuasan kerja memiliki lima dimensi yang kemudian diturunkan
menjadi beberapa indikator sehingga dapat dikompilasi sebagai berikut.
a) Payment system yaitu sistem kompensasi yang diterima yang berhubungan
dengan tanggungjawab dan jabatan yang didapat (Fu et al., 2011); Luthans
(2011). Adapun indikatornya adalah sebagai berikut.
(1) gaji sesuai dengan tanggungjawab yakni kompensasi yang diterima sesuai
dengan beban/tanggungjawab yang diemban
(2) gaji sesuai dengan jabatan adalah bahwa kompensasi sesuai dengan
posisi/level hirarki dalam organisasi
b) Promotion yaitu system peningkatan level/jenjang karir dalam organisasi
Luthans (2011); (Neubert, 2015). Adapun indikatornya adalah;
(1) peluang mendapatkan promosi jabatan yang lebih tinggi adalah setiap
karyawan memiliki peluang untuk pengembangan karir
(2) system promosi yang menantang yakni adanya system operating
procedure yang jelas terkait promosi
c) Supervision yaitu kemampuan yang dimiliki oleh atasan dalam membantu
penyelesaian pekerjaan (Luthans, 2011); (SushamaKhanna, 2011); Long et al.
(2014). Adapun indikatornya adalah sebagai berikut;
(1) pemberian bantuan adalah karakter pemimpin yang mau dan bersedia
memberikan bantuan baik moril maupun materiil terkait penyelesaian
pekerjaan
Page 20
20
(2) waktu berdiskusi yakni pemimpin memberikan kesempatan untuk
berdiskusi dan brainstorming
d) Work it self adalah perasaan karyawan terhadap pekerjaan, kesempatan belajar,
dan peluang menerima tanggungjawab (Luthans, 2011); SushamaKhanna
(2011); Shibru & Darsan (2011). Adapun indikatornya adalah;
(1) menikmati pekerjaan yakni perasaan bahwa karyawan menikmati tugas
dan tanggungjawabnya
(2) pengembangan diri yakni karyawan memiliki kesempatan untuk
berkembang dan belajar
(3) peluang tanggungjawab adalah karyawan berkesempatan menerima
wewenang yang lebih tinggi
e) Work condition adalah kondisi dan lingkungan kerja yang mendukung
(SushamaKhanna, 2011); Long et al. (2014). Adapun indikatornya adalah;
(1) keamanan kerja adalah sistem yang mendukung keamanan kerja karyawan
(2) lingkungan kerja yakni lingkungan pekerjaan tempat dilakukan kegiatan
rutin organisasi.
2.2.2.2 Penelitian Terdahulu terkait Kepuasan Kerja
Berbagai penelitian empiris telah dilakukan oleh para ahli berkaitan dengan
kepuasan kerja. Banyak ahli memiliki penilaian tersendiri dalam mengukur
kepuasan kerja melalui dimensi dan indikator yang bervariasi. Studi yang dilakukan
oleh Locke (1976) mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan faktor krusial dari
fungsi organisasi dalam menerapkan budaya dan kepemimpinan. Kepuasan kerja
Page 21
21
merupakan perasaan positif mengenai kondisi emosional, yang merupakan hasil
dari penghargaan karyawan terhadap pekerjaannya. Selanjutnya adalah penelitian
yang dilakukan oleh Spector (1985) dengan mengembangkan dimensi untuk
mengukur kepuasan kerja karyawan yang disebut dengan istilah JSS (Job
Satisfaction Survey). Dimensi tersebut adalah a) pay, b) promotion c) supervision
d) fringe benefits e) contingents rewards, f) operating conditions g) coworkers h)
nature of works dan i) communication. Dalam Tabel 2.2 disajikan penelitian
mengenai kepuasan kerja dan temuan penting di dalamnya.
Tabel 2.2
Seminal work dan hasil studi empiris yang terkait dengan
variabel Kepuasan Kerja
Peneliti Temuan Penting
Locke (1976) Kepuasan kerja merupakan faktor krusial dari fungsi organisasi
dalam menerapkan budaya dan kepemimpinan. Kepuasan kerja
merupakan perasaan positif mengenai kondisi emosional, yang
merupakan hasil dari penghargaan karyawan terhadap pekerjaannya
Spector (1985) Mengembangkan dimensi untuk mengukur kepuasan kerja
karyawan yang disebut dengan istilah JSS (Job Satisfaction Survey).
Dimensi tersebut adalah a) pay, b) promotion c) supervision d)
fringe benefits e) contingents rewards, f) operating conditions g)
coworkers h) nature of works dan i) communication
Kennerly (1989) Menemukan faktor-faktor yang menjadi prediksi kepuasan kerja
karyawan yaitu perilaku organisasi seperti sikap hangat antar
karyawan, saling percaya, hormat antar karyawan dan pimpinan
Billingsey dan Cross
(1992)
Menemukan faktor yang menyebabkan karyawan puas terhadap
pekerjaannya. Faktor tersebut adalah dukungan pimpinan,
keterlibatan karyawan, level konflik yang rendah
Daud et al. (2014) Kepuasan kerja merupakan derajat kesukaan karyawan terhadap
pekerjaan mereka atau dengan kata lain perasaan senang sebagai
hasil dari pekerjaan yang telah dilakukan.
Sumber: Sintesa peneliti, 2016-2017
Jadi kepuasan kerja merupakan perasaan karyawan terhadap pekerjaannya
yang disebabkan oleh faktor-faktor dalam organisasi. Dimensi-dimensi yang
dipakai oleh peneliti sangat bervariasi yang ditentukan oleh internal organisasi itu
sendiri. Dalam studi disertasi ini, kepuasan kerja diukur dengan 5 indikator yakni
payment system, promotion, supervision, work it self dan work condition (Fu et al,
Page 22
22
2011); Neubert (2015); Shibru & Darsan (2011); Luthans (2011); SushamaKhanna
(2011) yang disesuaikan dengan subjek penelitian itu sendiri yakni karyawan UKM
ekspor di Provinsi Bali. Dimensi-dimensi yang dipakai dalam studi disertasi ini
merupakan dimensi-dimensi terbaik yang sudah teruji baik parsial maupun kolektif
dalam berbagai studi empiris. Dimensi disesuaikan dengan subjek penelitian
sehingga dimensi maupun indikator tidak perlu penyesuaian yang tinggi
(adaptable).
1.2.3 Komitmen Organisasional Karyawan
Komitmen organisasional karyawan merupakan ukuran seorang karyawan
terhadap organisasi tempat bernaung. Menurut Kanter (1968) komitmen organisasi
didefinisikan sebagai komitmen melekat sebagai bentuk perasaan individual
karyawan dan perasaan emosinya pada organisasi. Sementara itu Buchanan (1974)
mendefinisikan komitmen sebagai sebuah partisan, perasaan individual dalam
mencapai tujuan dan nilai-nilai organisasi yang berada dalam suatu hubungan
organisasi. Selanjutnya Porter et al. (1974) mendefinisikan komitmen organisasi
sebagai identifikasi kekuatan individu dengan keterlibatan dalam setiap organisasi.
Masing-masing komitmen dapat digeneralisir menjadi tiga faktor yaitu; a) kekuatan
terhadap keyakinan dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, b)
perasaan untuk mengeluarkan kemampuan terbaik untuk organisasi, dan c) hasrat
dalam memelihara perasaan sebagai anggota organisasi.
Peneliti selanjutnya, O’Reilly dan Chatman (1986) mengatakan bahwa
komitmen organisasi sebagai perasaan psikologis yang dirasakan oleh seseorang
Page 23
23
untuk organisasinya, direfleksikan oleh derajat dimana karyawan mampu
mengadopsi karakter dan perspektif organisasi. Selanjutnya Matthieu & Zajac
(1990) mengemukakan bahwa definisi komitmen organisasi adalah sebagai garis
hubungan antara karyawan dengan organisasi.
2.2.3.1 Dimensi dan Indikator Komitmen Organisasional Karyawan
Dimensionalitas konsep komitmen organisasional, yang dirumuskan oleh
Porter, Steers, Modway dan and Boulian pada tahun 1974 dan kemudian oleh Cook
dan Wall pada tahun 1980, digunakan untuk menjelajahi seputar pekerja-pekerja
industri di Israel dengan menggunakan skala-metrik dan non metrik. Konsep
komitmen organisasional, seperti yang diukur oleh Organizational Commitment
Questionnaire (OCQ) yang terkenal dari Porter et al. (1974) dan oleh suatu versi
yang lebih pendek oleh Cook dan Wall (1980) ditandai oleh tiga dimensi yang
saling berhubungan yaitu ; penerimaan dari nilai-nilai organisasi itu, kesediaan
untuk menggunakan usaha atas nama organisasi, dan keinginan untuk tinggal
bersama karyawan dalam satu organisasi. Luthans (2006) memandang komitmen
sebagai sebuah sikap yang memiliki beberapa definisi dan pengukuran. Komitmen
secara spesifik didefiniskan sebagai 1) hasrat yang kuat untuk bertahan sebagai
anggota organisasi, 2) hasrat untuk mencapai tujuan organisasi dan 3) kepastian
keyakinan dan penerimaan dari nilai dan tujuan organisasi. Dalam Gambar 2.4
disajikan dimensi dan indikator komitmen organisasional yang sesuai dengan
variabel dalam penelitian ini.
Komitmen Organisasional Karyawan
Page 24
24
Gambar 2.4
Dimensi dan Indikator Variabel Penelitian
Sumber; Kompilasi Literatur, 2016-2017
Pada Gambar 2.4 terlihat bahwa para peneliti mengungkapkan komitmen
organisasional karyawan memiliki tiga dimensi utama yakni affective, continounce
dan normative (Porter et al., 1974); Allen & Meyer (1996) dan Luthans (2006).
Dimensi dan indikator dikompilasi sebagai berikut;
a) affective adalah dimensi yang merujuk pada keadaan emosional karyawan,
identifikasi dan keterlibatan dalam organisasi, adapun indikatornya adalah;
(1) ikatan emosional dengan perusahaan yakni perasaan terhadap organisasi
(2) bangga menjadi bagian organisasi yakni sikap yang menunjukkan persaan
bahagia dan bangga terhadap organisasi
Porter et al. (1974); Luthans (2006); Meyer dan Allen (1996)
Afective
Continounce Normative
- Terikat emosional
dengan perusahaan
- Bangga menjadi
bagian perusahaan
- Menjadi bagian
perusahaan dalam
waktu lama
- Merasa butuh bekerja
dalam perusahaan
- Merasa berkorban jika
meninggalkan
perusahaan
- Ingin bertahan karena
memiliki tanggungjawab
- Merasa bangga pada
pekerjaan
Page 25
25
(3) menjadi bagian dalam waktu lama yakni keyakinan karyawan untuk terus
tumbuh bersama organisasi dalam waktu yang lama.
b) continounce adalah dimensi yang merujuk pada kepekaan terhadap biaya yang
ditimbulkan jika meninggalkan organisasi. Adapun indikatornya adalah;
(1) butuh bekerja dalam organisasi yakni sikap yang ditunjukkan dengan
perasaan bahwa butuh untuk bekerja dalam organisasi dan merasa penting
menjadi bagian organisasi
(2) berkorban jika meninggalkan perusahaan adalah sikap dimana merasa
bahwa jika pergi karyawan merasa kehilangan
c) normative adalah dimensi yang merujuk pada refleksi perasaan sebagai
karyawan. Adapun indikatornya adalah;
(1) bertahan adalah sikap karyawan untuk tetap menjadi bagian organisasi
karena merasa adanya tanggungjawab
(2) bangga pada pekerjaan yakni perasaan karyawan terhadap pekerjaan yang
dimiliki dalam perusahaan.
2.2.3.2 Penelitian Terdahulu Terkait Komitmen Organisasional Karyawan
Berbagai penelitian empiris telah dilakukan para peneliti berkaitan dengan
komitmen organisasional. Dimulai dari Kanter (1968) yang mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai komitmen melekat sebagai bentuk perasaan
individual karyawan dan perasaan emosinya pada organisasi. Leih lanjut, penelitian
Allen dan Meyer (1996) menemukan tiga dimensi untuk mengukur komitmen
organisasional yakni a) normative, b) continuance dan c) affective commitment.
Page 26
26
Lebih lanjut, dikatakan bahwa komitmen organisasi membangun loyalitas
karyawan pada organisasi dan mempertahankan prilaku positif melalui pekerjaan
(Karim, 2012) serta nilai-nilai etis pemimpin dan persepsi keadilan (Fu dan
Deshpande, 2013). Dalam Tabel 2.3 disajikan hasil studi empiris dan temuan
penting di dalamnya.
Tabel 2.3.
Seminal work dan hasil studi empiris yang terkait dengan
variabel Komitmen Organisasional Karyawan
Peneliti Temuan Penting
Kanter (1968) Komitmen organisasi didefinisikan sebagai komitmen
melekat sebagai bentuk perasaan individual karyawan
dan perasaan emosinya pada organisasi.
Porter et al. (1974) Komitmen organisasi merupakan identifikasi kekuatan
individu dengan keterlibatan dalam setiap organisasi
Allen dan Meyer
(1996)
Menemukan tiga dimensi untuk mengukur komitmen
organisasi yakni a) normative, b) continuance dan c)
affective commitment
Karim (2012) Komitmen organisasi membangun loyalitas karyawan
pada organisasi dan mempertahankan prilaku positif
melalui pekerjaan
Fu dan Deshpande
(2013)
Komitmen organisasi karyawan dapat dipengaruhi oleh
nilai-nilai etis pemimpin/manajer dan persepsi keadilan
yang diberikan oleh organisasi pada karyawannya
Sumber: Sintesa peneliti, 2016-2017
Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan komitmen organisasional
telah dimulai oleh Kanter (1968) sampai sekarang. Dalam kurun waktu tersebut
telah terjadi transformasi dimensional yang merefleksikan variabel komitmen
organisasional merupakan variabel yang cenderung bersifat subjektif sampai
akhirnya ditentukan hampir jenuhnya dimensi tersebut menjadi 3 yakni komitmen
afektif, berkelanjutan dan normatif. Artinya karya Allen dan Meyer (1996) sampai
sekarang merupakan gagasan yang paling banyak dipakai dalam mengukur
komitmen organisasional karyawan. Dalam studi disertasi ini ketiga dimensi
Page 27
27
tersebut juga akan digunakan untuk mengukur komitmen organisasional karyawan
UKM ekspor di Provinsi Bali dan diharapkan mampu menjadi proxy variabel
komitmen organisasional karyawan UKM ekspor di Provinsi Bali.
1.2.4 Knowledge Sharing
Pengetahuan adalah hal yang sangat fundamental dalam organisasi karena
pengetahuan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan kesuksesan organisasi
(Nonaka & Takeuchi, 1995). Knowledge sharing adalah proses pemindahan
keterampilan dan kemampuan antar karyawan (Lin, 2007). Hasil studi yang
dilakukan oleh Jordan & Jones (1997) mengatakan bahwa proses knowledge
sharing berpengaruh pada kesuksesan dan keuntungan organisasi terutama dalam
kepemilikan dan peningkatan modal intelektual dan kesuksesan organisasi.
Sementara itu, Pugna dan Boldeanu (2014) menyarankan bertukar modal
pengetahuan di antara orang-orang dalam rangka meningkatkan kinerja karyawan
dan meningkatkan manfaat dan kinerja organisasi. Hal ini mengandung makna
bahwa knowledge sharing merupakan sumber daya terbesar bagi organisasi untuk
meningkatkan kinerja dan mendapatkan keunggulan kompetitif berkelanjutan
(Ndlela &Toit, 2001; Lin, 2007; Wang, 2009).
2.2.4.1 Dimensi dan Indikator Knowledge Sharing
Penelitian yang berhubungan dengan knowledge sharing dimulai oleh
Polanyi (1966) yang mengemukakan bahwa konsep knowledge sharing sebagai
Page 28
28
pertukaran berbagai pengetahuan dalam organisasi. Kemudian diikuti oleh
beberapa ahli seperti Nonaka dan Takeuchi (1995) dan Lin (2007). Penelitian-
penelitian mengenai pengetahuan mulai dilakukan karena pengetahuan merupakan
hal yang sangat penting sebagai salah satu sumber daya kunci dalam menghadapi
tantangan (Obeidat et al., 2014); Masa’deh et al. (2016).
Pengetahuan didefinisikan sebagai campuran pengalaman, nilai,
kontekstual informasi, dan wawasan ahli yang memberikan kerangka untuk
mengevaluasi dan menggabungkan pengalaman baru dan informasi. Dalam
organisasi, pengetahuan terletak tidak saja pada tatanan dokumen atau repositori
tetapi juga dalam rutinitas organisasi, proses, praktek, dan norma (Ma et al., 2008).
Dalam Gambar 2.4 disajikan dimensi dan indikator variabel knowledge sharing.
Page 29
29
Gambar; 2.5
Dimensi dan Indikator Variabel Penelitian
Sumber; Kompilasi Literatur, 2016-2017
Knowledge Sharing
Nonaka dan Takeuchi (1995)
Socialization
Externalization Combination
Internalization
- Karyawan
mau berbagi
pengetahuan
- Ada
kesempatan
memberikan
model
keterampilan
- Karyawan
mau berbagi
ide/gagasan
- Proses
berbagi
pengetahuan
- Menggabung
kan
pengetahuan
- Pertukaran
pengetahuan
dg tim
- Mengubah ide
menjadi
model
- Penyerapan
pengetahuan
Individual Technology Organizational
- Bersedia
membantu
proses KS
- Media
informasi
- Teknologi
informasi
- Dukungan
organisasi
- reward
Lin (2007)
Page 30
30
Gambar 2.5 menunjukkan, berdasarkan kajian empiris dapat dikatakan
bahwa knowledge sharing memiliki 7 (tujuh) dimensi utama. Nonaka dan Takeuchi
(1995) dalam studinya menjelaskan bagaimana organisasi membuat dan
menyebarluaskan pengetahuan melalui mode-mode umum yang terdiri dari
pengetahuan terpendam (tacit) maupun pengetahuan eksplisit. Ada empat dimensi
dalam proses knowledge sharing yang kemudian dikenal sebagai SECI model dan
Lin (2007) dengan IOT Model selanjutnya dapat dikompilasi sebagai berikut.
a) Socialisation adalah proses berbagi pengetahuan antara satu orang dengan
orang lain dalam organisasi, melalui penciptaan model keterampilan. Adapun
indikatornya adalah;
(1) Berbagi pengetahuan yakni sikap karyawan yang rela untuk berbagi
pengetahuan yang dimiliki
(2) Kesempatan menjadi model adalah adanya kesempatan untuk memberikan
model keterampilan
b) Externalisation adalah bagaimana mengubah pengetahuan yang terpendam
menjadi pengetahuan yang bisa dilihat dalam organisasi. Dalam hal ini dimensi
ini merujuk pada bagaimana proses individu dalam kelompoknya (Nezafati et
al., 2009). Adapun indikatornya adalah;
(1) Berbagi ide/gagasan yakni karyawan mau untuk berbagi ide/gagasan untuk
peningkatan kinerja
(2) Proses berbagi yakni proses dalam berbagi pengetahuan antar karyawan
c) Combination adalah proses pembentukan bentuk baru dari pengetahuan dengan
mengkombinasikan dua sumber pengetahuan yang ada. Lebih lanjut menurut
Page 31
31
Lemon dan Sahota (2004) combination adalah proses pertukaran pengetahuan
oleh grup pada organisasi. Adapun indikatornya adalah;
(1) Penggabungan pengetahuan yakni proses akulturasi pengetahuan satu
dengan yang lain
(2) Pertukaran dengan tim yakni proses pertukaran pengetahuan antara
individu dengan tim dalam organisasi
d) Internalisation adalah proses mengubah pengetahuan yang terlihat (eksplisit)
menjadi pengetahuan yang tidak terlihat (tacit). Dalam proses ini pengetahuan
diserap oleh individu lain dalam organisasi. Lebih lanjut menurut Nonaka dan
Takeuchi (1995), pengetahuan tak terlihat dilakukan oleh pemilik perusahaan.
Adapun indikatornya adalah;
(1) Transformasi ide yakni proses mengubah ide/gagasan menjadi model
pengetahuan
(2) Penyerapan adalah proses penyerapan pengetahuan dalam organisasi
e) Individual factors yaitu suatu sikap karyawan yang bersedia membantu
karyawan lain dan karyawan yang memiliki knowledge self efficacy. Adapun
indikatornya adalah kesediaan membantu yakni sikap antar karyawan untuk
saling membantu suksesnya proses berbagi pengetahuan.
f) Organizational factors yaitu adanya dukungan manajemen (organisasi) dalam
proses berbagi dan transfer pengetahuan dan penghargaan dari organisasi bagi
karyawan yang melakukan praktek berbagi pengetahuan. Adapun indikatornya
adalah;
Page 32
32
(1) dukungan organisasi yakni peran serta organisasi dalam memberikan
dukungan selama proses berbagi pengetahuan
(2) reward yakni upaya-upaya organisasi dalam memberikan pengahrgaan
pada karyawan yang mau berbagi pengetahuan
g) Technology factors yaitu informasi dan teknologi komunikasi yang digunakan.
Adapun indikatornya adalah;
(1) media adalah alat atau wahana untuk berbagi informasi
(2) teknologi informasi adalah seperangkat teknologi yang dipakai untuk
menyebarkan informasi.
2.2.4.2 Penelitian Terdahulu Terkait Knowledge Sharing
Kontribusi penting praktek knowledge sharing dalam organisasi adalah
dalam kepemilikan dan peningkatan modal intelektual (intellectual capital) dan
kesuksesan organisasi. Sehingga, Pugna dan Boldeanu (2014) menyarankan
berbagi modal pengetahuan (sharing of knowledge capital) di antara orang-orang
dalam rangka meningkatkan kinerja karyawan dan meningkatkan manfaat dan
kinerja organisasi.
Knowledge sharing berperan mengubah pengetahuan organisasi menjadi
pengetahuan individu atau kelompok melalui internalisasi dan sosialisasi namun
mengubah pengetahuan individu dan kelompok menjadi pengetahuan organisasi
melalui eksternalisasi dan kombinasi. Kontribusi penting lain mengenai peran
knowledge sharing juga diungkapkan oleh O'Dell dan Hubert (2011) yang
mengatakan bahwa pemenang di pasar biasanya memiliki budaya knowledge
Page 33
33
sharing yang terus menerus dan mampu menghargai aset intelektual organisasi.
Karena dalam organisasi yang menganut budaya knowledge sharing, individu
membuat, berbagi, dan menggunakan informasi dan pengetahuan dalam lingkungan
kolaboratif dalam mencapai tujuan pekerjaan (job performance) menuju tujuan
bersama (organisasi) dan sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan lebih cepat
dan sistematis. Wang dan Noe (2010) menyarankan knowledge sharing sebagai
pusat kegiatan dan pengetahuan dasar di mana karyawan bisa saling bertukar
pengetahuan dan berkontribusi ke aplikasi pengetahuan dan akhirnya menciptakan
keunggulan kompetitif organisasi.
Studi lain yang dilakukan oleh Yang et al. (2007) mengatakan bahwa
knowledge sharing memainkan peran penting untuk hasil yang efisien bagi
operasional organisasi, sehingga dengan menggunakan pengetahuan karyawan dan
mengelola knowledge sharing melalui cara yang efisien dan produktif, organisasi
memiliki keuntungan jangka panjang, hal ini sejalan dengan hasil studi yang
dilakukan oleh Kalseth dan Cummings (2001), Silvi dan Cuganesan (2006).
Marques dan Simon (2006). Hal ini mengandung pengertian bahwa peran karyawan
sangat penting dalam melakukan praktek knowledge sharing yang produktif dalam
organisasi.
Bukti empiris dari Hoof dan Weenan (2004) menunjukkan bahwa
knowledge sharing memainkan peran yang sangat penting dalam membawa inovasi,
keunggulan kompetitif, dan perlakuan terhadap modal intelektual. Dalam Tabel 2.4
disajikan hasil studi empiris mengenai knowledge sharing dan temuan penting di
dalamnya.
Page 34
34
Tabel 2.4.
Seminal work dan hasil studi empiris yang terkait dengan
variabel Knowledge Sharing
Peneliti Temuan Penting
Polanyi (1966) Mengemukakan konsep knowledge sharing sebagai
pertukaran berbagai pengetahuan dalam organisasi
Nonaka dan Takeuchi
(1995)
Menemukan dan mengembangkan dimensi knowledge
sharing dengan istilah SECI model (Socialization,
Externatization, Combination dan Internalization)
sekaligus menjelaskan karakteristik jenis pengetahuan
yakni implisit dan eksplisit dalam rangka proses
penciptaan pengetahuan dalam suatu organisasi
Wang dan Noe
(2010)
Knowledge sharing merupakan pusat aktivitas
pengetahuan yang fundamental dimana karyawan bisa
melakukan pertukaran yang saling menguntungkan dan
berkontribusi pada aplikasi pengetahuan dan
meningkatkan kinerja organisasi
Horvat et al. (2015) Menemukan hubungan sekaligus meningkatkan sistem
knowledge sharing dan manajemen kinerja,
meningkatkan budaya berbagi pengetahuan dan dampak
dari motivasi dalam knowledge management
Ozlen (2015) Knowledge sharing practices meningkatkan kinerja
karyawan dan kinerja organisasi
Masa’deh et al.
(2015)
Menemukan rantai penghubung antara knowledge
sharing dan knowledge sharing capability.
Sumber: Sintesa peneliti, 2016-2017
Setelah knowledge sharing practices melalui dimensi SECI model gagasan
Nonaka dan Takeuchi (1995) tumbuh dan berkembang menjadi variabel penting
dalam tatanan penelitian khususnya sebagai variabel yang berkontribusi pada
peningkatan kinerja karyawan dan kinerja organisasi. Studi empirik yang dilakukan
oleh Lin (2007) menggali dimensi-dimensi praktek knowledge sharing menjadi IOT
model yakni a) individual factors yaitu suatu sikap karyawan yang bersedia
membantu karyawan lain dan karyawan yang memiliki knowledge self efficacy, b)
organizational factors yaitu adanya dukungan manajemen (organisasi) dalam
proses berbagi dan transfer pengetahuan dan penghargaan dari organisasi bagi
Page 35
35
karyawan yang melakukan praktek berbagi pengetahuan dan c) technology factors
yaitu informasi dan teknologi komunikasi yang digunakan).
Hasil penelitian tersebut secara tidak langsung melengkapi dimensi-dimensi
hasil studi yang dilakukan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) dengan dimensi SECI
nya. Model ini walaupun lebih banyak diadopsi oleh peneliti lain dalam mengukur
knowledge sharing, tetapi gagasan Lin (2007) memberikan cara pandang baru
bahwa praktek knowledge sharing hanya akan muncul jika ada keinginan dari
dalam diri karyawan, kemudian memerlukan dukungan organisasi secara
komprehensif dan berkelanjutan serta perlunya adaptasi terhadap perkembangan
teknologi dewasa ini. Sehingga kedua model diatas jika digabungkan akan memiliki
tingkat pengukuran yang lebih holistik.
Studi disertasi ini, menjelaskan antesden knowledge sharing yakni
kepemimpinan transformasional, kepuasan kerja dan komitmen organisasional
yang memiliki konsekuensi terhadap kinerja karyawan. Untuk mengukur variabel
knowledge sharing akan dilakukan penggabungan dimensi dari konsep yang
dikemukakan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) dengan SECI model dan
dikombinasikan dengan konsep dari gagasan Lin (2007) dengan IOT model karena
berdasarkan berbagai kajian empiric yang tersedia disebutkan bahwa kedua konsep
tersebut memiliki berbagai kelemahan dan juga memiliki keunggulan. Sehingga
penggabungan kedua model (dimensi) ini diharapkan mampu memberikan
penjelasan yang lebih komprehensif mengenai peran knowledge sharing dalam
meningkatkan kinerja karyawan UKM ekspor di Provinsi Bali.
Page 36
36
1.2.5 Kinerja Karyawan
Kinerja karyawan telah dipelajari dalam psikologi industri maupun
organisasi terutama yang berhubungan dengan tempat kerja (Abdullah et al., 2015).
Bagi organisasi yang mampu mengelola sumber daya manusia dan mampu
mengoptimalkan kemampuan SDM akan menghasilkan karyawan yang memiliki
kinerja tinggi sehingga berimplikasi pada pencapaian tujuan organisasi. Kinerja
karyawan adalah hasil dari performa karyawan yang merupakan pencapaian level
pribadi karyawan (Campbell, 1990) atau sesuatu yang telah dikerjakan. Kinerja
karyawan juga dapat diartikan sebagai hasil dari aktivitas pekerjaan yang
diharapkan oleh karyawan dan bagaimana aktivitas tersebut diselesaikan (Dharma,
1991).
1.2.5.1 Dimensi dan Indikator Kinerja Karyawan
Studi empirik yang tersedia menyebutkan bahwa terdapat beberapa dimensi
dan indikator untuk mengukur variabel kinerja karyawan. Dimensi dan indikator
dari berbagai peneliti bervariasi tetapi secara umum ada dua hal penting di
dalamnya yakni kualitas yang merujuk pada mutu hasil pekerjaan karyawan dan
kuantitas yang merujuk pada jumlah hasil kerja dalam satu periode tertentu. Dari
penelusuran literatur yang ada maka dimensi dan indikator kinerja karyawan
disajikan dalam Gambar 2.6
.
Page 37
37
Gambar; 2.6
Dimensi dan Indikator Variabel Penelitian
Sumber; Kompilasi Literatur, 2016-2017
Kinerja Karyawan
Day dan Silverman (1989); Dharma (1991); Sundi (2013); Folorunso et al. (2014); Akhtar (2015)
Quantity
Quality Timeliness
Job
Knowledge
- Jumlah hasil
kerja
- Kualitas
- Sesuai
spesifikasi
- Tepat waktu - Product
knowledge
- Job
knowledge
Cooperative Initiatives&
Creativeness
Personal
qualities
- Bekerja sama
- Membantu
karyawan
- Semangat
- Gagasan
- Inisiatif
- Pribadi
- integritas
Page 38
38
Dalam gambar 2.6 terlihat bahwa beberapa peneliti menggunakan dimensi dan
indikator kinerja karyawan dan dikompilasi sebagai berikut.
a) Quantity of work adalah kuantitas barang yang dihasilkan merupakan kesesuaian dengan
target yang telah ditentukan (Day dan Silverman, 1989); Dharma (1991). Indikatornya
adalah jumlah hasil kerja yakni jumlah/kuantitas barang yang dihasilkan selama periode
tertentu
b) Quality of work adalah kualitas barang sesuai standar mutu yang berlaku (Day dan
Silverman, 1989); Dharma (1991). Adapun indikatornya adalah;
(1) Kualitas adalah dimensi mutu yang terkandung dari produk yang dihasilkan
(2) Spesifikasi adalah kesesuaian produk dengan syarat-syarat yang sudah distandarkan
c) Timeliness adalah bahwa produk yang dipesan mampu diselesaikan dan dikirim tepat
waktu (Sundi, 2013); Folorunso et al. (2014). Indikatornya adalah tepat waktu yaitu waktu
penyelesaian produk yang sesuai dengan persyaratan
d) Job knowledge merupakan pemahaman dan pengetahuan karyawan mengenai produk yang
dibuat baik dari segi bahan, manfaat, nilai tambah, kekhususan dan perbedaan dengan
kompetitor (Sundi, 2013); Folorunso et al. (2014). Adapun indikatornya adalah:
(1) Product knowledge adalah pengetahuan karyawan mengenai produk yang dibuat
seperti material dan bahan
(2) Job knowledge adalah pengetahuan karyawan tentang pekerjaan yang dilakukannya
e) Cooperative adalah karakter karyawan yang mampu bekerjasama dalam tim serta
membangun komunikasi yang baik selama proses pengerjaan barang (Sundi, 2013);
(Akhtar, 2015). Adapun indikatornya adalah:
(1) Bekerja sama adalah sikap untuk saling mendukung satu sama lain dalam organisasi
(2) Membantu karyawan lain adalah sikap untuk rela membantu karyawan lain di luar
tanggungjawab utama
Page 39
39
f) Personal qualities adalah nilai-nilai kepribadian, integritas karyawan, dan keramahan
yang dimiliki oleh karyawan (Akhtar, 2015). Adapun indikatornya adalah:
(1) Pribadi adalah sikap pribadi yang mewakili individu dalam organisasi
(2) Integritas adalah karakter yang menunjukkan menyatu dengan filosopi organisasi
g) Initiative dan creativeness adalah gairah melaksanakan tugas yang baru, gagasan dan
tindakan menyelesaikan masalah yang timbul sebagai bagian dari proses (Folorunso et al.,
2014). Adapun indikatornya adalah sebagai berikut:
(1) Semangat adalah karakter karyawan untuk terus berjuang menunjukkan kualitas
terbaik
(2) Gagasan adalah buah pikiran yang dapat membantu peningkatan kualitas
(3) Inisiatif adalah karakter untuk mengeluarkan ragam ide dalam penyelesaian pekerjaan
1.2.5.2 Penelitian Terdahulu terkait Kinerja Karyawan
Beberapa peneliti telah mengkaji kinerja karyawan dan berbagai variabel yang
berpengaruh di dalamnya. Dimulai dari studi yang dilakukan oleh Campbell (1990) yang
mengemukakan bahwa kinerja karyawan adalah hasil dari performa karyawan yang merupakan
pencapaian level pribadi karyawan atau sesuatu yang telah dikerjakan. Kinerja karyawan juga
dapat diartikan sebagai hasil dari aktivitas pekerjaan yang diharapkan oleh karyawan dan
bagaimana aktivitas tersebut diselesaikan. Studi yang dilakukan oleh Dharma (1991)
menemukan indikator untuk mengukur kinerja karyawan. Hasilnya adalah terdapat tiga
komponen utama dalam mengukur variabel kinerja karyawan yakni a) kuantitas, b) kualitas
dan c) timeliness.
Hasil studi empiric lainnya dilakukan oleh Sonnentag dan Frese (2001) yang
menemukan bahwa kinerja karyawan merupakan perbandingan antara aspek prilaku dan aspek
luaran (output). Kinerja karyawan di bagi menjadi tiga perspectif yakni a) individual differents
Page 40
40
perspective yakni cara pandang karyawan terhadap kinerjanya, b) situational perspectives
yakni cara pandang situasional yang berkaitan dengan kinerja dan c) performance regulation
perspectives yakni cara organisasi dalam melakukan penilaian kinerja terhadap karyawan.
Dalam Tabel 2.5 disajikan hasil studi empiris mengenai kinerja karyawan da temuan penting
di dalamnya.
Tabel 2.5.
Seminal work dan hasil studi empiris yang terkait dengan
variabel Kinerja Karyawan
Peneliti Temuan Penting
Campbell, (1990) Kinerja karyawan adalah hasil dari performa karyawan
yang merupakan pencapaian level pribadi karyawan atau
sesuatu yang telah dikerjakan. Kinerja karyawan juga
dapat diartikan sebagai hasil dari aktivitas pekerjaan yang
diharapkan oleh karyawan dan bagaimana aktivitas
tersebut diselesaikan
Dharma (1991) Melakukan benchmark terhadap indikator pengukuran
kinerja karyawan. Hasilnya adalah terdapat tiga komponen
yakni a) kuantitas, b) kualitas dan c) timeliness
Sonnentag dan Frese
(2001)
Kinerja karyawan merupakan perbandingan antara aspek
prilaku dan aspek luaran. Kinerja karyawan di bagi
menjadi tiga perspectif yakni a) individual differents
perspective, b) situational perspectives dan c)
performance regulation perspectives
Viswesvaran dan
Ones (2000)
Kinerja karyawan merupakan hubungan antara task
performance, contextual performance, organizational
citizen behaviour, counterproductive work behaviour dan
penyimpangan organisasi
Husain et al. (2012) Kinerja karyawan ditunjukkan oleh beberapa faktor dan
masing-masing kinerja karyawan berbeda yang ditentukan
oleh lingkungan kerja itu sendiri
Sumber; Sintesa peneliti, 2016-2017
Walaupun pengukuran kineja karyawan melibatkan dimensi-dimensi yang beragam
tetapi pada dasarnya memiliki dua unsur yang utama yakni kualitas dan kuantitas pekerjaan.
Para peneliti mengembangkan pengukuran kinerja berdasarkan pada subjek penelitian
sehingga hampir semua penelitian dengan variabel kinerja karyawan memiliki perbedaan
pengukuran. Perbedaan pengukuran tersebut dalam arti luas tetap memiliki kekuatan untuk
Page 41
41
merefleksikan variabel yang dijelaskan. Dalam disertasi ini akan diakomodasi beberapa hasil
penelitian sekaligus disesuaikan dengan subjek penelitian.