11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembuluh Darah dan Aterosklerosis 2.1.1 Pembuluh darah Pembuluh darah merupakan bagian dari system kardiovaskuler yang meliputi arteri, vena dan kapiler. Arteri adalah pembuluh darah yang meninggalkan jantung dan umumnya membawa darah yang kaya oksigen kecuali yang menuju paru-paru sebaliknya vena adalah pembuluh yang menuju jantung dan umumnya membawa darah yang kaya karbondioksida. Kapiler merupakan pertemuan keduanya dan tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida (Price, 2002). Arteri yang keluar dari jantung disebut aorta yang merupakan arteri paling besar kemudian bercabang menjadi arteri dan bercabang lagi menjadi yang lebih kecil yang dikenal dengan arteriol. Kapiler merupakan akhir dari arteriol dan awal dari venula yaitu vena kecil-kecil yang kemudian menuangkan darah ke vena yang lebih besar dan dilanjutkan ke vena cava yang akan berakhir di jantung (Price, 2002). Dinding pembuluh darah terdiri dari terdiri dari 3 (tiga) lapisan, dari luar ke dalam yaitu: tunika adventisia, tunika media dan tunika intima. Tunika adventisia memberikan kekuatan utama pada pembuluh darah dan terdiri atas berkas fibril kolagen, serabut elastis, fibroblast dan beberapa sel otot polos. Tunika media terdiri dari sel-sel otot polos, jaringan elastin, proteoglikan, glikoprotein dan jaringan kolagen. Tunika intima terdiri dari selapis sel endotel
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembuluh Darah dan Aterosklerosis
2.1.1 Pembuluh darah
Pembuluh darah merupakan bagian dari system kardiovaskuler yang meliputi
arteri, vena dan kapiler. Arteri adalah pembuluh darah yang meninggalkan
jantung dan umumnya membawa darah yang kaya oksigen kecuali yang menuju
paru-paru sebaliknya vena adalah pembuluh yang menuju jantung dan umumnya
membawa darah yang kaya karbondioksida. Kapiler merupakan pertemuan
keduanya dan tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida (Price,
2002).
Arteri yang keluar dari jantung disebut aorta yang merupakan arteri paling
besar kemudian bercabang menjadi arteri dan bercabang lagi menjadi yang lebih
kecil yang dikenal dengan arteriol. Kapiler merupakan akhir dari arteriol dan
awal dari venula yaitu vena kecil-kecil yang kemudian menuangkan darah ke vena
yang lebih besar dan dilanjutkan ke vena cava yang akan berakhir di jantung
(Price, 2002).
Dinding pembuluh darah terdiri dari terdiri dari 3 (tiga) lapisan, dari luar ke
dalam yaitu: tunika adventisia, tunika media dan tunika intima. Tunika
adventisia memberikan kekuatan utama pada pembuluh darah dan terdiri atas
berkas fibril kolagen, serabut elastis, fibroblast dan beberapa sel otot polos.
Tunika media terdiri dari sel-sel otot polos, jaringan elastin, proteoglikan,
glikoprotein dan jaringan kolagen. Tunika intima terdiri dari selapis sel endotel
12
yang bersentuhan langsung dengan darah yang mengalir dalam lumen, dan selapis
jaringan elastin yang berpori-pori yang disebut membran basalis. Dinding
pembuluh darah arteri lebih tebal dibandingkan dengan vena walaupun keduanya
memiliki tiga lapisan tersebut sementara dinding kapiler hanya terdiri dari satu
lapis yaitu sel endotel (Price, 2002).
Sel endotel dulu dianggap sebagai sel inert yang memungkinkan pergerakan
zat ke dalam dan keluar dinding sel. Pengertian terbaru adalah bahwa sel endotel
agak dinamis dan memiliki berbagai fungsi dan fungsi sel endotel akan berubah
bila terjadi cedera endotel (Price, 2002).
2.1.2 Aterosklerosis
Arteriosklerosis meliputi setiap keadaan pembuluh arteri yang mengakibatkan
penebalan atau pengerasan dindingnya. Bila keadaan tersebut melibatkan arteri
yang lebih besar seperti aorta, cabang-cabangnya yang besar dan arteri berukuran
sedang seperti yang menyuplai untuk daerah ekstremitas, otak, jantung dan organ
utama dikenal dengan aterosklerosis. Lesi unit atau ateroma (bercak
aterosklerosis) terdiri dari masa bahan lemak dengan jaringan ikat fibrous
(McPhee dan Ganong, 2006; Omoigui, 2007). Pemikiran bahwa adanya
hubungan antara metabolisme lemak dan aterosklerosis dominan berlaku sampai
tahun 1980an. Lima belas tahun selanjutnya berkembang pemahaman tentang
adanya peranan inflamasi dalam patogenesis aterosklerosis. Aterosklerosis
merupakan penyakit yang dimediasi peradangan karena adanya interaksi yang
kompleks antara leukosit, trombosit dan sel-sel dari dinding pembuluh darah
(Omoigui, 2007).
13
Aterosklerosis dipandang sebagai penyakit sistemik dimana inflamasi ringan
pada arteri dapat berkembang menjadi lebih berat (Dessi, et al., 2013). Salah satu
teori terjadinya aterosklerosis adalah hipotesis respon terhadap cedera, dengan
beberapa bentuk cedera tunika intima yang mengawali inflamasi kronis dinding
arteri dan menyebabkan timbulnya ateroma (Price, 2002). Dalam kehidupan
sehari-hari, dinding pembuluh darah terpapar bermacam iritan yang dapat
mengakibatkan cedera diantaranya faktor-faktor hemodinamik seperti hipertensi
dan hiperkolesterolemia ( LDL teroksidasi).
LDL
LDL teroksidasi
Bercak lemak
Plak Halus
Trombosis dan sindrom koroner akut
Ruptur plak
Disfungsi
endotel
Inflamasi
Gambar 2.1
Peranan LDL dalam aterosklerosis
( sumber Rackley dalam Price, 2002)
14
Hipotesis respon terhadap cedera memperkirakan bahwa langkah awal dari
aterogenesis adalah cedera yang kemudian menyebabkan disfungsi endotel
dengan meningkatkan permeabilitas terhadap monosit dan lipid darah.
Hiperkolesterolemia akan diikuti oleh peningkatan produksi radikal bebas
oksigen yang mengakibatkan terganggunya fungsi endotel. Radikal bebas
menonaktikan oksida nitrat yang merupakan faktor endothelial relaxing yang
utama, sehingga aterosklerosis ada keterkaitan dengan defisiensi pelepasan oksida
nitrat (NO) dan gangguan vasodilatasi. Dalam hal ini LDL teroksidasi berperan
menghambat produksi NO (McPhee dan Ganong, 2006). Terhambatnya produksi
NO ini berhubungan dengan penurunan ketersediaan asam amino L-arginin akibat
LDL teroksidasi (Wang, et al., 2011).
Gangguan pembentukan NO akan mengganggu tonus, struktur pembuluh
darah, dan menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Disfungsi endotel ditandai
dengan penurunan bioavaibilitas dari produksi Nitric Oxide Synthase (NOS). NO
terbentuk dari asam amino arginin melalui Nitric Oxide Synthase (NOS). Ada
tiga bentuk NOS; neuronal NOS (nNOS atau NOS1), endothelial NOS (eNOS
atau NOS2), dan inducible NOS (iNOS atau NOS3). Dengan adanya disfungsi
endotel akan menyebabkan peningkatan vasokonstritor dan atau panurunan
vasodilatasi.
Apabila terjadi hiperkolesterolemia kronis, lipoprotein tertimbun dalam
lapisan intima di tempat meningkatnya permeabilitas endotel. Pemajanan
terhadap radikal bebas dalam sel endotel dinding arteri menyebabkan terjadinya
oksidasi LDL, yang berperan dan mempercepat terjadinya plak ateromatosa.
Hiperkolesterolemia memacu adhesi monosit, migrasi sel otot polos sub endotel,
15
dan penimbunan lipid dalam makrofag dan sel-sel otot polos. Apabila terpajan
dengan LDL yang teroksidasi, makrofag menjadi sel busa (foam cell), yang
beragregasi dalam lapisan intima, yang terlihat secara makroskopis sebagai bercak
lemak (fatty streak) (Price, 2002; McPhee dan Ganong, 2006).
Menurut Anwar (2004), faktor yang bertanggung jawab atas penumpukan
lipid pada dinding pembuluh darah adalah:
1. Adanya defek pada fungsi reseptor LDL di membran sel
2. Gangguan transport lipoprotein transeluler (endositotoktik)
3. Gangguan oleh lisosom lipoprotein
4. Perubahan permeabilitas endotel
Tahap awal yang penting pada aterogenesis adalah adanya partikel LDL yang ada
dalam sirkulasi terjebak di dalam intima. LDL ini mengalami oksidasi atau
perubahan lain dan kemudian dipindahkan oleh reseptor "Scavenger" khusus pada
makrofag.
Sel T sistem imun serta makrofag akan tertarik ke dalam lesi aterosklerotik
seiring dengan semakin bertambahnya usia lesi. Secara keseluruhan, lesi tersebut
telah terbukti memiliki banyak karakteristik infeksi ringan. Sel otot polos dan sel
endotel juga menghasilkan faktor pertumbuhan dan sitokin yang terlibat dalam
migrasi dan proliferasi sel, dan terdapat bukti adanya shear stress response
elements di DNA yang mengapit gen-gen relevan di sel endotel (McPhee dan
Ganong, 2006).
16
2.2 Kolesterol
Kolesterol adalah lipid amfipatik dan merupakan komponen struktural
esensial pada membran dan lapisan luar lipoprotein plasma. Senyawa ini disintesis
di banyak jaringan dari asetil-KoA dan merupakan precursor asam empedu dan
hormon steroid di dalam tubuh (NCEP, 2002 ; Botham dan Mayes, 2006).
Transpor kolesterol dalam darah terjadi dalam bentuk lipoprotein yaitu
partikel yang mengandung lipid dan protein. Tiga kelas utama lipoprotein yang
ditemukan dalam serum adalah low density lipoproteins (LDL), high density
lipoproteins (HDL), dan very low density lipoproteins (VLDL) (NCEP, 2002).
Lipoprotein berdensitas rendah (LDL) plasma adalah kendaraan untuk membawa
kolesterol dan ester kolesterol ke jaringan. Lipoprotein berdensitas tinggi (HDL)
mengambil kolesterol dari sel perifer dan memindahkannya ke hati tempat zat ini
dieliminasi (McPhee dan Ganong, 2006).
Kolesterol LDL merupakan bagian paling besar dalam kolesterol serum total
yaitu sebanyak 60-70 % dan memiliki satu apolipoprotein yaitu apo B-100 (apo
B). LDL adalah lipoprotein yang berperanan besar dalam proses terjadinya
aterosklerosis sehingga telah menjadi target utama dalam upaya penurunan
kolesterol. HDL yang terkandung dalam kolesterol serum total adalah sebanyak
20-30 %. Apolipoprotein yang utama dalam HDL apo A-I and apo A-II. Kadar
kolesterol HDL berhubungan terbalik dengan risiko penyakit jantung kororner
dan menjaga pembuluh darah dari proses aterosklerosis. VLDL adalah lipoprotein
yang kaya akan trigliserida dan terkandung sebanyak 10-15 % dari kolesterol
serum total. Apolipoprotein utama dalam VLDL adalah apo B-100, apo Cs (C-
17
I, C-II, and C-III), and apo E. VLDL diproduksi di hati dan merupakan precursor
dari LDL (NCEP, 2002).
2.3 Hiperkolesterolemia
2.3.1 Hiperkolesterolemia pada manusia
Hiperkolesterolemia menyatakan adanya peningkatan kadar kolesterol dan
atau trigliserida serum di atas batas normal (Prince, 2002). Kadar kolesterol
serum normal adalah di bawah 200 mg /dl, sedangkan kadar 200-239 mg/dl
perbatasan yang mengarah tinggi (borderline high), lebih atau sama dengan 240
mg/dl dikategorikan tinggi. Salah satu konsekuensi hiperkolesterolemia adalah
terjadinya peningkatan kadar LDL yang merupakan faktor predisposisi terjadinya
ateroma. Kadar optimal LDL serum adalah di bawah 100 mg/dl, mendekati
optimal 100-129 mg/dl, 130-159 mg/dl perbatasan, 160-189 mg/dl tinggi dan
lebih besar atau sama dengan 160 mg / dl kategori sangat tinggi (NCEP, 2002).
Peningkatan kolesterol serum berhubungan dengan peningkatan maturitas
dan keparahan aterosklerosis. Aterogenesis telah terjadi ketika kadar LDL serum
mencapai perbatasan (130-159 mg/dl) dan bertambah cepat bila kadarnya tinggi
(160-189 mg/dl) dan kadar sangat tinggi (≥190 mg/dl) (NCEP, 2002). Jumlah
reseptor LDL dan oksidasi LDL berperan penting dalam aterogenesis.
2.3.2 Hiperkolesterolemia pada tikus
Hiperkolesterolemia pada hewan terjadi jika kadar kolesterol total dalam
darah melebihi normal. Tikus memiliki kadar kolesterol total normal dengan nilai
10-54mg/dl (Harini, 2009). Hiperkolesterolemia juga disertai penurunan kadar
18
HDL dalam darah sehingga dikenal dengan dislipidemia. Kadar kolesterol HDL
plasma darah tikus yang normal yaitu ≥35 mg/dL (Schaerfer, et al. dalam
Hartoyo, dkk., 2008), ambang batas normal LDL pada tikus adalah 7-27,2 mg/dl.
Binatang tidak mengalami perkembangan yang mengarah kepada aterosklerosis
bila memiliki kadar LDL kolesterol serum dibawah 80 mg/dl (NCEP, 2002).
2.4 Oksidasi Lipid
Radikal bebas (Bahasa Latin: radicalis) adalah molekul yang mempunyai
sekelompok atom dengan elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas adalah
bentuk radikal yang sangat reaktif dan mempunyai waktu paruh yang sangat
pendek. Jika radikal bebas tidak diinaktivasi, reaktivitasnya dapat merusak
seluruh tipe makromolekul seluler, termasuk karbohidrat, protein, lipid dan asam
nukleat. Radikal bebas yang telah dikenal diantaranya adalah Reactive Oxygen
Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS).
Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan anion superoksida dibentuk oleh
pengurangan univalen triplet molekul oksigen (3O2). Proses ini dimediasi oleh
enzim seperti NAD (P) H oksidase dan xantin oksidase atau non enzimatik oleh
senyawa reaksi redoks seperti senyawa semi-ubiquinone dari rantai transpor
elektron mitokondria. SODs mengkonversi superoksida menjadi hidrogen
peroksida. Dalam jaringan biologis superoksida juga dapat dikonversi secara
nonenzimatik menjadi non radikal spesies hidrogen peroksida dan oksigen singlet.
Pada keadaan berkurangnya transisi ion logam dalam tubuh (misalnya, ion besi
atau tembaga), hidrogen peroksida dapat dikonversi ke dalam radikal hidroksil
19
yang sangat reaktif (OH •). Atau, hidrogen peroksida dapat diubah menjadi air
dengan enzim katalase atau glutation peroksidase (Valko, et al., 2007).
NO radikal (NO •) diproduksi dalam organisme melalui oksidasi satu atom
nitrogen guanido-terminal dari L-arginin. Proses ini dikatalisis oleh enzim NOS.
Tergantung pada lingkungan mikro, NO dapat dikonversi ke berbagai macam
spesies nitrogen reaktif (RNS) seperti nitrosonium kation (NO +), nitroxyl anion
(NO-) atau peroxynitrite (ONOO-). Beberapa efek fisiologis dapat dimediasi
melalui formasi intermediat dari S-nitroso-sistein atau S-nitroso-glutathione.