Page 1
5
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tanaman Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.)
Merr)
Gambar 2.1 Tanaman Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr
(Anonim, 2018)
Bawang dayak merupakan tanaman khas Kalimantan Tengah. Dalam umbi
bawang dayang terdapat senyawa alkaloid, glikosida, flavonoid, tanin dan steroid.
Masyarakat lokal telah menggunakan bawang dayak secara empiris untuk
mengobati kanker payudara, penurun tekanan darah, diabetes, hiperlipid, obat
bisul, kanker usus, mencegah stroke dan mengurangi rasa sakit setelah
melahirkan. Tanaman ini juga digunakan sebagai pelancar ASI (Galingging.,
2006).
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Secara taksonomi, tanaman bawang dayak memiliki jalur klasifikasi yaitu:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Liliales
Suku : Iridaceae
Marga : Eleutherine
Jenis : Eleutherine palmifolia(L) Merr (Depkes, 2001).
2.1.2 Morfologi Tanaman
Bawang dayak merupakan tumbuhan terna dengan tinggi 26 hingga 50 cm.
Umbi berada dibawah tanah berbentuk bulat telur memanjang dan berwarna
Page 2
6
merah. Bunga berwarna putih, daun tunggal, letak daun berhadapan, warna daun
hijau muda, bentuk daun sangat panjang dan meruncing (acicular), tepi daun
halus tanpa bergerigi (entire), pangkal daun berbentuk runcing (acut) dan ujung
daun meruncing (acuminate) permukaan daun atas dan bawah halus (glabrous),
tulang daun pararel/sejajar (Krismawati dkk, 2004).
2.1.3 Manfaat Bawang Dayak
Bawang dayak adalah tanaman khas Kalimantan Tengah. Secara empiris
bawang dayak sudah digunakan oleh masyarakat lokam untuk pengobatan
kangker payudara, hipertensi, diabetes, hiperlipid, obat bisul, kanker usus,
mencegah stroke dan mengurangi sakit perut selama nifas. Selain itu daun
tanaman ini juga dapat digunakan sebagai pelancar ASI (Galingging, 2006)
2.1.4 Kandungan Kimiawi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)
Sebuah penelitian yang dilakukan Febrinda dkk, (2013) menunjukkan ekstrak
etanol umbi bawang dayak memiliki kandungan fitokimia yaitu triterpenoid,
flavonoid, fenolik, alkaloida dan tanin. Menurut penelitian lain senyawa bioaktif
seperti fenol, flavonoid, tanin, glikosida, steroid, alkaloid terdapat pada bawang
dayak (Mustika, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dkk, (2017) yang
melakukan skrining fitokimia pada ektrak etanol 96% dan fraksi-fraksinya pada
umbi Eleutherine palmifolia (L.) Merr didapatkan pada fraksi etanol adanya
senyawa Flavonoid, Fenolik, Alkaloid dan Saponin.
Hasil penapisan fitokimia pada bagian umbi menunjukkan adanya kandungan
metabolit sekunder antara lain : alkaloid, glikosida, flavanoid, fenolik, kuinon,
steroid, zat tanin dan minyak atsiri. Bagian daun dan akar mengandung flavonoida
dan polifenol (Heyne, 1987). Pada hasil penampisan fitokimia yang meliputi
analisis kualitatif alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan triterpenoid dilakukan
menurut metode standar yang terdapat didalam Materia Medika Indonesia
(Depkes RI, 1995).
Bawang dayak mengandung senyawa-senyawa kimia seperti alkaloid,
glikosid, flavonoid, fenolik, steroid dan tanin yang merupakan sumber potensial
untuk dikembangkan sebagai tanaman obat. Alkaloid memiliki fungsi sebagai
antimikroba. Selain itu, alkaloid, glikosid dan flavonoid juga memiliki fungsi
Page 3
7
sebagai hipoglikemik sedangkan tanin biasa digunakan sebagai obat sakit perut
(Galingging, 2006). Menurut laporan dari B.O.T. Ifesan dkk dalam Journal of
Food Science (2009), umbi bawang dayak memiliki kandungan senyawa aktif
yaitu antrakuinon, bi-eleutherol, dan elecanacin (B.O.T Ifesan,2014).
Antrakuinon yang terkandung dalam umbi bawang dayak merupakan golongan
kuinon yang memiliki efek sebagai antimikroba, antifungal, antiviral, dan
antiparasit (Chansukh dkk, 2014 ; Kuntorini, E. M dkk, 2010).
2.1.5 Mekanisme Aktivitas Antibakteri Bawang Dayak (Eleutherine
palmifolia (L.) Merr)
2.1.5.1 Flavonoid
Mekanisme kerja dari flavonoid sebagai antibakteri yaitu dengan cara
merusak membran sel bakteri dan mengeluarkan senyawa intraseluler bakteri.
Flavonoid akan membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler da terlarut
sehingga dapat masuk kedalam sel (Nuria dkk, 2009). Penelitian lain juga
menjelasakan bahwa flavonoid bekerja sebagai antibakteri dengan cara
menurunkan permeabilitas dari sel dan mengganggu iklatan enzim seperti ATPase
dan phospholipase (Li dkk, 2003). Flavonoid juga mengahambat metabolisme
energi dengan menggunakan oksigen dari bakteri. Flavonoid juga menghambat
sitokrom C reduktase sehingga metabolisme terganggu dan tidak dapat
menghasilkan energi untuk bosintesis (Cushine dan Lamb, 2005).
2.1.5.2 Alkaloid
Mekanisme kerja dari alkaloid sebagai antebakteri yaitu dengan cara
merusak komponen penyususn peptidoglikan pada sel bakteri. Sehingga dinding
sel bakteri tidak terbentuk dan menyebabkan kematian sel (Darsana dkk, 2012).
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa alkaloid diketahui sebagai interkelator
DNA dan menhambat enzim topoisomerase sel bakteri (Karou dkk,2005 ).
2.1.5.3 Fenolik
Mekanisme kerja dari fenolik sebagai antibakteri yaitu dengan cara
mendenaturasi dari sel bakteri. Fenolik yang memiliki senyawa fenol yang jika
berikatan dengan protein akan membentuk ikatan hidrogen yang menyebabkan
skruktur protein menjadi rusak. Ikatan hidrogen akan menyebabkan perubahan
permeabilitas dari dinding sel bakteri dan membran sitoplasma. Perubahan
Page 4
8
permeabilitas ini menyebabkan ketidak seimbangan makromolekul dalam sel dan
akhirnya sel bakteri menjadi lisis (Palczar dan Chan, 1988).
2.1.5.4 Saponin
Mekanisme kerja dari saponin sebagai antibakteri yaitu menyebabkan
kebocoran dari sel bakteri (Madduluri dkk, 2013). Saponin dapat menjadi
antibakteri karena memiliki struktur seperti detergen, sehingga saponin akan
menurunkan tegangan permukaan dinding sel dan merusak permeabilitas
membran sel (Harborne, 2006). Saponin akan masuk kedalam sel bakteri dengan
cara berdifusi dan mengikat membran sitoplasma. Hal ini menyebabkan
terganggunya kestabilan membran sel dan menyebabkan kebocoran sel dan
mengakibatkan kematian sel (Cavalieri dkk, 2005).
2.1.6 Aktifitas Antibakteri Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widayat dkk, (2016) yang meneliti
aktivitas antibakteri ekstrak etanol umbi bawang dayak atau Eleutherine
palmifolia (L.) Merr pada bakteri Salmonella typhi. Memberikan hasil rata-rata
zona hambat dalam berbagai konsentrasi. Pada konsentrasi 0,5% memiliki zona
hambat 10,02 nm, 1% memiliki zona hambat12,35 nm, 2% memiliki zona hambat
13,14 nm, 4% memiliki zona hambat 14,33 nm, 8% memiliki zona hambat 15,00
nm dan 12% memimemiliki zona hambat 17,34 mm. Menurut hasil zona hambat
ini didapatkan adanya aktivitas antibakteri terhadapat bakteri Salmonella typhi,
yang menurut Greenwood, (1995) zona hambat yang didapatkan diklasifikasikan
pada respon sedang.
2.2 Tinjauan Bakteri Salmonella typhi
2.2.1 Klasifikasi
Salmonella memiliki taksonomi yang cukup rumit. Kauffman-White
menggolongkan Salmonella berdasarkan kekhasan antigenik, sedangkan Ewing
menyatakan bahwa terdapat tiga spesies Salmonella, yaitu Salmonella
choleraesuis, Salmonella enteridis dan Salmonella typhi. Melalui pemetaan
genetika, Salmonella disimpulakan termasuk genus Arizona berdasarkan
persamaan struktur gen,filogen dan petunjuk evolusinya (Radji, 2009).
Page 5
9
Klasifikasi salmonella typhi menurut Ugboko, (2014) :
Gambar 2.2 Bakteri Salmonella typhi (Taylor dkk, 2016)
Domain : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella enterica
Subspesies : Salmonella enterica enterica
Serovar : Salmonella enterica serovar Typhi
2.2.2 Morfologi
Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif, tidak berspora, tidak
mempunyai simpai, tanpa fimbria dan mempunyai flagela peritrik. Ukuran 1-3,5
µm x 0,5-0,8µm. Besar koloni dalam media perbenihan rata-rata 2-4 mm.
Salmonella tumbuh pada suasana aerob atau anaerob fakultatif pada suhu 15-41°C
optimum pada suhu 37,5°C dengan pH media 6-8. Salmonella tumbuh dengan
cepat pada pembenihan biasa, tidak memfermentasi laktosa, sukrosa, membentuk
asam dan biasanya membentuk gas yang berasal dari glukosa, manitol, maltosa
dan dekstrin. Dalam pembenihan agar Salmonella-Shigella, agar Endo dan agar
MacConkey koloni bakteri Salmonella berbentuk bulat, kecil, dan tidak berwarna
(Radji, 2009).
Salmonella typhi memiliki antigen pada permukaannya yang cukup
kompleks dan memiliki peran penting dalam melakukan patogenesis dan pada
proses terjadinya respon imun pada individu yang terinfeksi. Antigen terdiri dari
antigen flagel (Antigen H), antigen ini dikode oleh gen flg yang berada di lokus
Page 6
10
fliC. Antigen somatik (Antigen O) atau antigen dinding sel. Antigen O tersusun
dari LPS (LipoPolisakarida) yang memiliki fungsi sebagai endotoksin. Dan
antigen kapsul atau antigen K (Antigen Vi) yaitu antigen yang terdiri dari LPS
dan bersifat asam. Antigen Vi berfungsi sebagai antiopsonik dan antipagositik.
Tidak semua strain Salmonella typhi mengeskpresikan antigen Vi (Darmawati,
2009).
2.2.3 Patogenesis Bakteri Salmonella typhi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan
yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Penyakit ini disebabkan oleh
higiene perorangan dan makanan, lingkukangan yang kumuh serta perilaku
masyarakat yang tidak membudidayakan hidup sehat (Seran, 2015).
Penyakit ini ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
oleh feses atau urin yang oleh penderita demam tifoid atau carrier (Darmawati,
2009). Bakteri akan menembus mukosa epitel usus, berkembangbiak di lamina
propina kemudian masuk kedalam kelenjar getah bening masenterium. Setelah itu
masuk dalam peredaran darah (bakterinemia pertama). Lalu bakteri masuk
kedalam organ dalam tubuh seperti hepar dan sumsum tulang dilanjutkan dengan
pelepasan endotoksin ke peredaran darah (bakterinemia ke dua). Sebagian kuman
akan keluar bersama tinja dan sebagian akan masuk kembali ke dalam usus kecil
dan mengalami infeksi kembali (Cita, 2011).
2.3 Tinjauan Antibakteri
2.3.1 Pengertian Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang membunuh, menekan pertumbuhan atau
reproduksi bakteri. Suatu zat antibakteri yang ideal harus memiliki sifat toksisitas
selektif, artinya bahwa suatu obat berbahaya terhadap parasit tetapi tidak
membahayakan hopses. Antibakteri dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) dan
antibakteri yang dapat membunuh bakteri (bakteriosid) (Talaro, 2008).
Mikroorganisme patogen yang dapat dirusak oleh antibiotik disebut
spectrum of antimrobial actibity. Hal ini dibagi menjadi dua kategori yaitu broad-
spectrum antibiotic dan narrow-soectrum antibiotic. Broad-spectrum antibiotic
Page 7
11
adalah antibiotik yang dapat merusak beberapa tipe bakteri yaitu bakteri gram
negatif dan positif. Narrow-soectrum antibiotic adalah antibiotik yang dapat
merusak bakteri tertentu saja misalnya bakteri gram negatif saja (Betsy dan Jim,
2005).
2.3.2 Mekanisme Kerja Antibakteri
2.3.2.1 Menghambat Metabolisme Sel Bakteri
Agen anti bakteri yang menghambat metabolisme sel disebut sebagai
antimetabolit. Senyawa ini menghambat metabolisme mikroorganisme dan bukan
metabolisme dari host. Proses ini dilakukan dengan menghambat reaksi enzim
katalis yang hadir dalam sel bakteri (Setiabudi, 2013).
2.3.2.2 Menghambat Sintesis Dinding Sel
Penghambatan sintesis dinding sel bakteri menyebabkan lisis bakteri. Agen
ini bekerja dengan cara menghambat dan mengaktivasi enzim yang dapat merusak
dinding sel bakteri. Agen yang beroperasi adalah penisilin dan sefalosporin
(Setiabudi, 2013).
2.3.2.3 Berinteraksi Dengan Membran Plasma
Bekerja dengan cara berinteraksi dengan membran sel bakteri dan
mempengaruhi permeabilitas membran plasme. Agen yang beroperasi dengan cara
ini ialah polimiksin (Setiabudi, 2013).
2.3.2.4 Menghambat Sintesis Protein
Agen yang menganggu sintesis protein diantaranya rifampisin,
aminoglikosida, tetrasiklin dan kloramfenikol. Bekerja mempengaruhi ribosom
bakteri dan enzim yang esensial untuk sintesis protein terhambat (Setiabudi,
2013).
2.3.2.5 Menghambat Sintesis Asam Nukleat
Mengganggu fungsi dari asam nukleat, menghambat enzim yang berperan
dalam sintesis asam nukleat.4 agen yang bekerja denga mekanisme ini adalah
kuinolon (Setiabudi, 2013).
2.4 Tinjauan Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik golongan amfenikol yang bersifat
bakteriosidal dengan memiliki aktifiatas pada spektrum luas terhadap bakteri
Page 8
12
patogen. Kloramfenikol bekerja efektif baik terhadap Gram positif maupun Gram
negatif. Mekanisme kerja kloramfenikol melalui penghambatan terhadap
biosintesis protein pada siklus pemanjangan rantai asam amino, yaitu dengan
menghambat pembentukan ikatan peptida. Antibiotika ini mampu mengikat
subunit ribosom 50-S sel mikroba target secara terpulihkan, akibatnya terjadi
hambatan pembentukan ikatan peptida dan biosintesis protein. Kloramfenikol
umumnya bersifat bakteriostatik, namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat
bakterisid terhadap bakteri-bakteri tertentu (Ganiswarna, 1995).
2.5 Pewarnaan Gram dan Kultur Bakteri
Tindakkan penting yang perlu dilakukan dibidang kesehatan khususnya
menyangkut mikroorganisme ialah melakukan identifikasi terhadap
mikroorganisme yang didapat yang dapat berupa bakteri, jamur dan virus. Dalam
penelitian ini dilakukan identifikasi terhadap bakteri saja. Cara singkat dalam
mengidentifikasi bakteri yaitu dengan cara pewarnaan gram dan kultur bakteri.
2.5.1 Pewarnaan Gram
Untuk mengetahui bakteri apa yang didapat dari hasil swab yang dilakukan
pada media agar tertentu, pertama kali yang harus dilakukan ialah pewarnaan
yang disebut pewarnaan gram. Pewarnaan gram merupakan identifikasi awal
terhadap bakteri, sehingga dapat diketahui apakah bakteri yang didapat termasuk
golongan gram negatif atau positif. Berikut merupakan prosedur dalam melakukan
pewarnaan gram :
1. Spesimen diusapkan dikaca objek lalu dikeringkan diatas api bunsen
selama beberapa detik
2. Disiram kaca objek dengan larutan kristal violet
3. Dibilas dengan air mengalir
4. Dituangkan larutan iodin
5. Dibilas dengan air mengalir
6. Dituangkan larutan aseton (30 ml) dan alkohol (70 ml) selama 10-30
detik
7. Dibilas dengan air mengalir
8. Kaca objek digenangi dengan basic fuchsin (safarin) selama 10-30 detik
Page 9
13
9. Dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan
(Brooks dkk, 2010)
Hasil dari pemeriksaan ini yaitu didapatkan bakteri gram negatif atau gram
positif. Akan tetapi beberapa jenis bakteri pewarnaan gram belum cukup untuk
mengetahui jenis bakteri yang ada dalam media agar. Sehingga perlu dilakukan
pengulturan pada media yang cocok.
2.5.2 Kultur Bakteri
Media kultur ialah tempat menanam bakteri yang akan diidentifikasi. Media
yang digunakan berupa cairan atau jel yang telah ditambahkan nutrient yang
cocok sehingga bakteri dapat tumbuh dan dibuat di cawan petri. Ada beberapa
jenis media kultur yang sering digunakan ialah media agar darah atau yang biasa
disebut media primer. Untuk kultur bakteri usus yang berbentuk batang dan gram
negatif dapat menggunakan media Eosin Methylene Blue (EMB) atau yang biasa
disebyt media skunder (Brooks dkk, 2010).
Prosedur untuk mengkultur bakteri adalah pertama menyediakan peralatan
berupa sengkelit (ose), api bunsen, media kultur dan spisimen yang akan
diperiksa. Selanjutnya dengan cara mensterilkan sengkelit dengan api bunsen.
Kemudian diambil spesimen menggunakan sengkelit dengan cara mengusap. Lalu
dibuat goresan dimedia kultur dan diinkubasi lalu diamati apakah ada
pertumbuhan koloni bakteri yang terjadi (Hogg dan Stuart, 2013). Bakteri
Salmonella typhi jika dibiakkan pada media Salmonella-Shigella Agar (SSA)
terbentuk koloni yang berwarna hitam dan black center dikarenakan bakteri
Salmonella sp menghasilkan H2S. Koloni berbentuk bulat, cembung dan berwarna
hitam (Sari dkk, 2018). Menurut Zaraswati, (2006) bahwa hasil uji SS
memberikan zona kuning diantara koloni hitam dan pertumbuhan bakteri
berwarna merah atau hitam. Bakteri melakukan reduksi tiosulfat menjadi sulfat
sehingga terlihat koloni berwarna hitam. Beberapa Salmonella sp menghasilkan
bulatan hitam ditengah koloni (black center) sebagai hasil dari H2S.
Page 10
14
2.6 Simplisia
2.6.1 Definisi Simplisia
Pengetahuan tentang tanaman yang berkhasiat telah lama diketahui oleh
nenek moyang dan sekarang mulai dibuktikan secara ilmiah. Bagian-bagian
tanaman yang digunakan untuk bahan baku obat disebut simplisia. Simplisia ialah
untuk menyebutkan bahan-bahan obat alam yang masih dalam wujud aslinya atau
belum mengalami perubahan bentuk (Gunawan dan Mulyani, 2010).
Menurut Perka BPOM No. 12 Tahun 2014 simplisia adalah bahan alam
yang telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami
pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan tidak lebih dari 60°C.
Menurut Perka BPOM No. HK 00.05.41.1384 simplisia adlah bahan alam yang
digunakan untuk sediaan herbal yang belum mengalami pengolahan apapun dan
jika tidak dinyatakan lain simplisia adalah bahan yang telah dikeringkan.
2.6.2 Macam-Macam Simplisia
2.6.2.1 Simplisia Nabati
Simplisia nabati adalah simplisia berasal dari tumbuhan utuh atau bagian
dari tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi dari sel
tumbuhan yang secara sempontan keluar dari tumbuhan dengan cara tertentu atau
zat nabati lain yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya (Depkes,
1995).
2.6.2.2 Simplisia Hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang berasal dari hewan untuh atau zat-
zat dari hewan. Contoh minyak ikan dan madu (Gunawan dan Mulyani, 2010).
2.6.2.3 Simplisia Pelikan atau Mineral
Simplisa pelikan atau mineral adalah simplisia yang berasal dari pelikan
atau mineral yang belum diolah atau telah diolah secara sederhana. Contohnya
serbuk seng dan tembaga (Gunawan dan Mulyani, 2010).
2.6.3 Pengelolaan Simplisia
Menurut Gunawan dan Mulyani, (2010) pengolahan simplisa ada berbagai
tahap yang tertera dibawah ini :
Page 11
15
2.6.3.1 Pengumpulan Bahan Baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia tergantung pada bagian
tumbuhan yang digunakan, umur, waktu panan dan lingkungan tempat tumbuh.
Waktu panen ini erat kaitannya dengan pembentukan senyawa akif pada
tumbuhan. Waktu panen yang tepat maka akan didapatkan senyawa aktif yang
yang terbesar. Senyawa aktif terbentuk maksimal pada bagian tertentu dan pada
umur tertentu (Gunawan dan Mulyani, 2010).
1. Biji
Pemanenan biji dapar dilakukan ketika buah telah mengering atau sebelum
pecahnya buah.
2. Buah
Panen buah biasanya dilakukan ketika akan matang, contoh Piper nigrum .
pemanennanya ketika buah benar-benar masak contoh adas atau dengan cara
melihat perubahan warna dari buah contohnya jeruk, pepaya dan mangga)
3. Bunga
Ada berbagai cara pemanennan pada bunga. Contoh pada bungan Jasmin
pemanenan dilakukan saat bunga masih kuncup. Pemanenn juga dapat
dilakukan saat bunga sudah mekar sempurna contohnya Rosa sinensis.
4. Daun atau Herba
Pemanenan pada daun atau herba dilakukan saat fotosintesis berlangsung
secara maksimal yaitu dapat ditandai dengan tanaman tersebut mulai
berbunga atau berbuah yang buahnya telah masak. Pada tanaman yang
diambil pucuk daunnya sebaiknya dipanen saat warna pucuk daun sudah
berubah warna menjadi daun tua.
5. Kulit Batang
Pemanenan pada kulit batang tumbuhan, pengambilannya dilakukan ketika
tumbuhan telah cukup umur saat dipanen. Agar pengambilan kulit batang ini
tidak mengganggu pertumbuhan tanaman sebaiknya dilakukan pemanenan
pada saat menjelang musim kemarau.
Page 12
16
6. Umbi Lapis
Pengambilan umbi dilakukan ketika ukuran umbi sudah mencapai maksimal
dan pertumbuhan pada bagian atas berhenti. Misalnya bawang merah
(Allium cepa).
7. Rimpang
Pemanenan rimpang dilakukan saat musim kering dengan ditandai
mengeringnya bagian atas tumbuhan. Pemanenan ini dilakukan ketika
rimpang telah besar maksimum.
8. Akar
Pemanenan akar dilakukan saat tumbuhan telah cukup umur dan
pertumbuhan telah berhenti. Pemanenan akar akan mematikan tanaman
yang bersangkurtan(Gunawan dan Mulyani, 2010).
2.6.3.2 Sortir Basah
Sortir basah dilakukan saat tanaman masih segar, sortir basah dilakukan
terhadap :
1. Krikil atau tanah
2. Rumput-rumputan
3. Bagian tanaman yang tidak digunakan
4. Bagian tanaman yang rusak (Gunawan dan Mulyani, 2010).
2.6.3.3 Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangka kotoran yang menempel pada
tanaman misalnya bahan dari tanah atau pestisida. Cara sortasi dan pencucian ini
sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba dari awal simplisia. Misalnya jika
pencucian menggunakan air kotor maka dapat menambah jumlah mikroba pada
simplisia dan air tersebut dapat mempercepat pertumbuhan mikroba. Bakteri yang
biasa dalam air ialah pseudomonas, Bacillus, Streptococcus, Enterobacter, dan
Escheriachia(Gunawan dan Mulyani, 2010).
2.6.3.4 Pengubahan Bentuk
Tujuan dari perubahan bentuk ialah untuk memperluas permukaan dari
bahan baku. Semakin luas permukaan maka semakin cepat dalam pengeringan.
Memperluas permukaan dapat dilakukan dengan cara perajangan dengan pisau
Page 13
17
atau dengan alat perajangan sehingga diperoleh irisan yang tipis dengan ukuran
yang diinginkan (Gunawan dan Mulyani, 2010).
2.6.3.5 Pengeringan
Tujuan dari pengeringan ialah :
1. Menurunkan kadar air sehingga tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri
2. Menghilangkan enzim yang dapat merusak zat aktiv
3. Memudahkan dalam hal mengolah proses selanjutnya sehingga mudah
disimpan, tahan lama dan sebagainya (Gunawan dan Mulyani, 2010).
2.6.3.6 Sortasi Kering
Sortasi kering ialah pemilihan bahan ketika selesai dilakukan pengeringan.
Sortasi dilakukan pada bahan yang terlaku gosong atau rusak (Gunawan dan
Mulyani, 2010).
2.6.3.7 Pengepakan dan Penyimpanan
Setelah dilakukan proses diatas maka simplisia di kemas dan ditempatkan
dalam wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara simplisa satu dengan
lainnya (Gunawan dan Mulyani, 2010).
2.7 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan sari yang pekat dari tumbuhan atau hewan dengan
cara memperolehnya melepaskan zak aktif dari masing-masing bahan,
menggunakan menstrum yang cocok, filtrat diupkan semua atau hampir semua
dari pelarutnya dan endapannya dilakukan standarisasi (Ansel, 1989). Menurut
BPOM, (2000) Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh secara ekstraksi
senyawa aktif yang berasal dari simplisia nabati atau hewani menggunakan
pelarut yang sesuai lalu semua atau hampir semua pelarut di uapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku
yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstraksi dilakukan secara perkolasi.
Perkolat nantinya dipekatkan dengan destilasi dengan pengurangan tekanan agar
bahan sesedikit mungkin tekena panas.
Sediaan galenik yang selanjutnya disebut ekstrak ialah sediaan kering,
kental atau cair dibuat dengan cara menyari simplisia nabati atau hewani dengan
cara yang cocok diluar pengaruh cahaya sinar matahari (Perka BPOM, 2014).
Page 14
18
Menurut Voight, (1995) ekstrak dikelompokkan atas sifatnya :
1. Ekstrak encer ialah sediaan yang memiliki konsistensi seperti madu dan
dapat dituang.
2. Ekstrak kental ialah sediaan yang dalam keadaan dingin dan tidak dapat
dituang. Memiliki kandungan air hingga 30%. Kandungan air yang tinggi
dapat menyebabkan mudahnya untuk tercemar bakteri.
3. Ekstrak kering ialah sediaan yang kering dan mudah dituang serta sebaiknya
memiliki kadar air yang kurang dari 5%.
4. Ekstrak cair ialah ekstrak yang dibuat dengan berbandingan satu bagian
simplisia dengan dua bagian ekstrak cair.
2.7.1 Ekstraksi
Salah satu metode yang digunakan untuk penemuan obat tradisional adalah
metode ekstraksi. Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari
campurannya dengan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika
tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan
konsentrasi dalam sel tanaman (Depkes, 1995). Pemilihan metode ekstraksi
tergantung pada sifat bahan dan senyawa yang akan diisolasi. Sebelum memilih
suatu metode, target ekstraksi perlu ditentukan terlebih dahulu. Menurut Sarker
SD dkk, (2006) ada beberapa targey ekstraksi yaitu :
1. Senyawa bioaktif yang tidak diketahui
2. Senyawa yang diketahui ada pada suatu organisme
3. Sekelompok senyawa dalam suatu mikroorganisme yang berhubungan
secara struktural.
Jika bahan yang akan diekstrak ialah dari tumbuhan, maka proses ekstraksi
dapat sebagi berikut :
1. Pengelompokkan bagian tanaman, pengeringan dan penggilingan bagian
tanaman.
2. Pemilihan pelarut yang sesuai
Pelarut polar : air, metanol, etanol dan lain sebagainya
Pelarut semipolar : etil asetat, diklorometan dan lain sebagainya
Pelarut nonpolar : n-heksan, petroleum, kloroform, eter dan lain
sebagainya
Page 15
19
2.7.2 Proses Pembuatan Ekstrak
Menurut BPOM, (2000) proses pembuatan ekstrak terdapat beberapa tahap
sebagai berikut :
2.7.2.1 Pembuatan Serbuk Simplisia dan Klasifikasinya
Proses awal pembuatan ekstrak ialah penyerbukan simplisia. Penyerbukan
simplisia menggunakan alat tertentu sampai dihasilkan derajat kehalusan tertentu.
Proses ini dapat mempengaruhi mutu esktrak dengan dasar sebagi berikut :
1. Semakin halus serbuk simplisia proses ekstraksi semakin efektif, efisien,
namun semakin halus serbuk maka semkin rumit secara teknologi peralatan
untuk filtrasi.
2. Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan yang dapat
menimbulkan panas dapat memperngarui senyawa yang terkandung dalam
tanaman. Hal ini dapat dikompensasi dengan nitrogen cair (BPOM,2000).
2.7.2.2 Cairan Pelarut
Pelarut yang digunakan ialah pelarut yang secara optimal dapat menarik
senyawa yang terkandungan dalam tanaman yang berkhasiat atau yang aktif
sehingga dapat dipisahkan antara senyawa satu dengan senyawa yang lainnya.
Senyawa yang didapat sebagian besar senyawa yang diinginkan. Pelarut yang
dipilih sebaiknya dapat melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang
terkandung dalam tanaman. Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan pada
memilihan cairan penyari adalah sebagi berikut :
1. Selektiv
2. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut
3. Ekonomis
4. Ramah lingkungan
5. Keamanan (BPOM,2000).
Kebijakan pemerintah Indonesia membatasi pelarut yang digunakan
sehingga pelarut apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
Prinsipnya pelarut yang digunakan harus memenuhi syarat kefarmasian yaitu
“phaemaceutical grade”. Pelarut yang boleh digunakan ialah air dan alkohol
(etanol) serta campurannya. Jenis pelarut lain yaitu metanol (turunan alkohol),
heksana (hidrokarbon aliphatik), toluen (hidrokarabon aromatik), kloroform,
Page 16
20
aseton umumnya digunakan dalam tahap separasi dan tahap pemurnian
(fraksinasi). Metanol tidak boleh digunakan karena bersifat toksik akut dan
kronik, boleh digunakan jika dalam uji sisa pelarut metanol menunjukkan negatif
(BPOM,2000).
2.7.2.3 Separasi dan Pemurniaan
Pemurnian bertujuan untuk memisahkan senyawa yang tidak dikendaki
sehingga senyawa yang didapatkan ialah senyawa yang lebih murni. Proses-proses
pada tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan yang tidak
bercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi, adsorbsi dan penukaran ion
(BPOM,2000).
2.7.2.4 Pemekatan atau Penguapan
Pemekatan ialah peningkatan jumlah partikel solute dengan cara penguapan
pelarut tanpa samapai menjadi kering, ekstrak hanya menjadi kental/pekat
(BPOM,2000).
2.7.2.5 Pengeringan Ekstak
Pengeringan ialah menghilangkan pelarut dari bahan sehingga menghasilkan
serbuk. Hasil serbuk yang digunakan tergantung proses dan peralatan yang
digunakan. Ada tahapan-tahapan proses pengeringan ekstrak yaitu :
1. Pengeringan evaporasi
2. Pengeringan vaporasi
3. Pengeringan sublimasi
4. Pengeringan konveksi
5. Pengeringan kontak
6. Pengeringan radiasi
7. Pengeringan dielektrik (BPOM,2000).
2.7.2.6 Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan
jumlah simplisia awal (BPOM,2000).
2.7.3 Metode Ekstraksi
Terdapat beberapa metode ekstraksi yang dapat digunakan, menurut BPOM,
(2000) terdapat beberapa metode yang dapat digunakan sebagai berikut :
Page 17
21
2.7.3.1 Ekstraksi Menggunakan Pelarut
1. Cara Dingin
Maserasi adalah proses pengesktrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukan dengan
suhu kamar. Maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencampaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik
dilakukan pengadukan yang kontinue. Remaserasi dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama dan seterusnya (BPOM,2000).
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yag selalu baru sampai
sempura yang umumnya pada suhu kamar. Tahapan perkolasi dimulai
dari pengembangan bahan, tahapan maserasi antara tahap perkolasi
sebenarnya (penetesan/penampunagn ekstrak), terus menerus
dilakuakn sampai diperoleh perkolat yang 1-5 kali bahan
(BPOM,2000).
2. Cara Panas
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
konstan dengan adanya pendinginan balik. Dilakukan pengulangan
proses pada residu pertam sampai 3-5 kali sehingga dapat dikatakan
proses ekstraksi sempurna (BPOM,2000).
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga ekstrasi lakukan
kontinue dengan jumlah pelarut yang konstan dengan adanya
pendinginan balik (BPOM,2000).
Digesti adalah maserasi kinetik pada suhu yang lebih tinggi dari
temperatur ruangan yaitu umumnya 40-50°C (BPOM,2000).
Infus adalah esktraksi dengan pelarut air pada bejana infus yang
tercelup dalam penangan air mendidih. Suhu yang digunakan dalam
bejana infus ialah 96-98°C selama 15-20 menit (BPOM,2000).
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama berkisar 30 dan
temperatur sampai titik didih air (BPOM,2000).
Page 18
22
2.7.3.2 Destilasi Uap
Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak
atsirih) daro bahan segar atau simplisia dengan uap air. Berdasarkan peristiwa
tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara
kontinue sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran
menjadi destilat air yang bercampur dengan senyawa lain yang memisah pada saat
destilasi. Bahan yang akan diesktraksi tidak benar-benar tercelup ke air yang
mendidih, hanya dilewatkan uap air sehingga senyawa kandungan menguap ikut
terdestilasi (BPOM,2000).
2.7.3.3 Ekstraksi Lainnya
1. Ekstraksi Berkesinambungan
Proses ekstraksi dilakukan berulangkali dengan pelarut yang berbeda dan
prosesnya tersusun berurutan beberapa kali. Proses ini dilakukan untuk
meningkatkan efesiensi dan dirancang untuk bahan dalam jumlah besar
yang terbagi dalam beberapa bejana ekstraksi (BPOM,2000).
2. Superkritikal Karbondioksida
Menggunakan prinsip superkritik untuk ekstraksi serbuk simplisia dan
menggunakan gas karbondioksida. Dengan variabel tekanan dan
temperatur akan diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang sesuai
untuk melarutkan golongan senyawa tertentu. Penguapan cairan pelarut
sangat mudah dilakukan karena karbondioksida menguap dengan mudah,
sehingga hampir langsung diperoleh ekstrak (BPOM,2000).
3. Ekstraksi Ultrasonik
Ekstraksi menggunakan getaran ultrasonik > 20.000 Hz memberikan efek
dengan prinsip meningkatkan permeabilitas dinding sel.Prinsip yang
digunakan yaitu menimbulkan gelembung dan menyebarkan gelombang
dengan tekanan berkecepatan untrasonik (BPOM,2000).
untrasonik.
4. Ekstrasi Energi Listrik
Menggunakan energi listrik yang berbentuk medan listrik, medan magnet
dan electric discharges yang dapat mempercepat proses ekstraksi dan
meningkatkan hasil ekstrak. Prinsip yang digunakan yaitu menimbulkan
Page 19
23
gelembung dan menyebarkan gelombang dengan tekanan berkecepatan
untrasonik (BPOM,2000).
2.8 Fraksinasi
Fraksinasi dikenal dengan nama ekstraksi cair-cair atau partisi adalah proses
untuk memisahkan golongan kandungan senyawa yang satu dengan golongan
lainnya. Pemisahan dengan metode fraksinasi ini berdasarkan perbedaan
kepolaran dari senyawa di dalam ekstrak (Harborne,1987). Teknik ini biasanya
menggunakan corong pisah. Kedua pelarut yang saling tidak bercampur tersebut
dimasukkan kedalam corong pisah, lalu digojok dan didiamkan. Solut atau
senyawa organik akan terdistribusi ke dalam fasenya masing-masing tergantung
tingkat kelarutannya pada fase tersebut. Setelah dilakukan pemisahan akan terlihat
lapisan yang saling tidak bersatu. Lapisan ini dapat dipisah kan dengan membuka
kunci pipa corong pisah (Dey,2012).
Ekstraksi partisi dengan menggunakan peningkatan polaritas pelarut seperti
petrolum eter, n-heksan, kloroform, dietil eter, etilasetat dan etanol. Pemilihan
pelarut menjadi sangat penting, pelarut yang dipilih harus memiliki sifat antara
lain :
1. Solut mempunyai kelarutan yang besar terhadap solven, tetapi solven sedikit
2. Tidak mudah menguap saat diekstraksi
3. Mudah dipisahkan dari solut, sehingga dapat digunakan kembali
4. Tersedia dan tidak mahal
5. Memiliki titik didih rendah (jika digunakan untuk evaporasi)
6. Sebaiknya memiliki densitas yang lebih rendah dari pada air
7. Pelarut harus aman dan tidak merusak lingkungan (Venn, 2008).
Pelarut yang dapat digunakan untuk esktraksi ini yaitu n-heksan, metil
tertier butil eter (MTBE) dan etilasetat. Hasil dariproses partisi dapat diuji
aktivitas biologisnya untuk diidentifikasi keaktifan komponen bioaktif yang
terkandung (Venn, 2008).
Page 20
24
2.9 Kromatografi
2.9.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi adalah teknik analisis dengan solut atau zat-zat terlarut
terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, karena zat-zat ini melewati kolom
kromatografi. Pemisahan solut-solut diatur dan didistribusikan solut dalam fase
gerak dan fase diam. Sekarang KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima
secara luas untuk analisis pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada
jumlah bidang. KCKT adalah metode yang tidak dekstruktof dan dapat digunakan
baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif serta memiliki kecepatan analisis
kuantitatif maupun kualitatif serta memiliki kecepatan analisis dan kepekaan yang
tinggi (Ganjar dan Rohman, 2007).
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) merupakan salah satu metode kimia dan fitokimia.
KCKT termasuk metode baru yaitu teknik kromatografi dengan fase gerak cairan
dan fase diam caiaran atau padat. Ada beberapa kelebihan dari KCKT yaitu :
1. Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran
2. Mudah melaksanakannya
3. Kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi
4. Dapat dihindari terjadinya dekomposisi atau kerusakan bahan yang
dianalisis
5. Resolusi yang baik
6. Dapat digunakan bermacam-macam detektor
7. Kolom dapat digunakan kembali
8. Mudah melakukan sample recovery
(Putra, 2004)
2.9.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi kertas merupakan
“kromatografi planar”. KLT merupakan metode kromatografi paling sederhana
yang banyak digunakan. Peralatan dan bahan yang digunakan untuk melakukan
teknik pemisahan dan analisis sampel cukup sederhana. Alat yang digunakan
cukup sebuah bejana (Chamber) yang berisi pelarut dan lempeng KLT.
Pemisahan yang efisien dan kuantifikasi yang akurat dapat dicapai bila
Page 21
25
menggunakan optimasi metode dan menggunakan instrumen yang ada. KLT dapat
digunakan untuk pemisaha skala preparatif yaitu menggunakan lempeng,
peralatan dan teknik khusus.
KLT adalah suatu metode pemisahan fisikokimia dimana fase diam terdiri
dari butiran-butiran pada penyangga pelat gelas logam atau lapisan yang cocok
(Stahl, 1985). Menurut Sudjadi, (1988) ada beberapa keuntungan sistem KLT
yaitu :
1. Mudah dilakukan
2. Tersedianya reagen yang sensitif dan selektif yang tidak dipengaruhi oleg
fase gerak
3. Peralatan yang digunakan sedikit, murah dan sederhana
4. Waktu analisis cepat dan daya pisah cukup baik
Campuran yang baik akan dipisahkan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai,
lebih baik jika digunakan pelarut yang sama dengan fase gerak atau yang sama
kepolaranya dam ditotolkan berupa bercak pada lapisan. Lempeng KLT kemudian
dimasukkan ke dalam bejana yang telah jenuh dengan fase gerak dan dieluasi.
Pada KLT pemisahan senyawa berdasarkan perbedaan absorbsi atau partisi solut
antara fase gerak dengan fase diam. Senyawa yang terikat kuat dengan fase diam
teeluasi lama dan memiliki Rf (Retardation factor) yang kecil. Sedangkan
senyawa yang tidak terikat kuat dengan fase diam akan memiliki Rf lebih besar.
Bilangan Rf adalah jarak tempuh oleh senyawa dibagi dengan jarak yang
ditempuh oleh garis depan fase pengembang (Stahl, 1985).
Menurut Gritter dkk, (1991) kromatografi lapis tipis terbagi atas dua fase
yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam berupa sebuk halus yang berfungsi
sebagai absorben dan fase gerak yang berupa cairan pelarut pengembang.
2.9.2.1 Fase Diam
Fase diam yang digunakan pada kromatografi lapis tipis terdiri sari bahan
padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang terbuat dari kaca,
polimer atau logam. Lapisan ini dibantu dengan perekat yaitu kalium sulfata atau
amilum. Fase diam yang dipakai secara umum ialah silika gel, alumina, kiselgur
dan selulosa (Gritter dkk, 1991).
Page 22
26
Sifat yang paling penting pada fase diam adalah ukuran partikel dan
homogenitasnya. Ukuran partikel yang digunakan ialah 1-25 mikron. Partikel
yang besar tidak akan memberikan efek yang memuaskan sehingga fase diam
harus memiliki butiran lebih halus. Butiran yang halus akan memberikan aliran
pelarut yang lambah dan resolusi yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985).
2.9.2.2 Fase Gerak
Fase gerak adalah media yang berfungsi untuk mengangkut senyawa yang
terdiri dari beberapa pelarut atau campuran beberapa pelarut, maksimal terdiri atas
3 macam pelarut (Stahl, 1985). Fase gerak selalu menggunakan pelarut campuran
dalam memisahkan senyawa organik. Tujuan dari pembuatan pelarut campuran
adalah untuk memperoleh pemisahan yang baik. Kombinasi pelarut berdasarkan
polaritas masing-masing pelarut sehingga dapat diperoleh fase gerak yang cocok.
Fase gerak yang digunakan ialah n-heksana, kabotetraklorida, benzen, kloroform,
eter, etilasetat, piridian, aseton, etanol, metanol dan air (Gritter dkk, 1991).
2.10 Penentuan Aktivitas Antimikroba
Menurut Jorgensen dan Ferraro, (2009) terdapat beberapa macam cara
yang dapat digunakan untuk menguji sensitivitas bakteri terhadap antibiotik yaitu
broth dilution test, antimicrobial gradient method dan disc diffusion test.
2.10.1 Broth Dilution Test
Gambar 2.3 Media Broth Dilution Test (Jorgensen dan Ferraro, 2009)
Tes ini merupakan tes dilusi cair yang menggunakan tabung reaksi yang
telah diisi dengan larutan antibiotik yang telah diencerkan dua kali dan
Page 23
27
ditambahkan bakteri yang akan diuji. Jumlah koloni yang ditambahkan ialah 1-5 x
105 CFU (colony forming unit)/mL. Setelah itu dicampur dan disimpan dalah suhu
35°C selama satu malam. Setelah itu diamati apakah ada pertumbuhan bakteri
dalam tabung tersebut. Jika terdapat pertumbuhan bakteri dalam konsentrasi
antibiotik terendah, maka dapat sebut konsentrasi hambat minimum (KHM) atau
minimum inhibitory concentration (MIC) (Jorgensen dan Ferraro, 2009).
2.10.2 Antimicrobial Gradient Method
Gambar 2.4 Media Antimicrobial Gradient Method (Acharya, 2017)
Antimicrobial Gradient Method menggunakan strip tes plastik tipis yang
bagian bawahnya diberikan antibiotik yang diuji. Dibagian atas strip tes terdapat
skala konsentrasi. Strip tes ini dapat digunakan beberapa kali penggunaan yaitu 5-
6 strip tes. Setelah itu strip tes ini diletakkan secara radial dan merata di media
agar yang telah ditambahkan bakteri. Cara ini sama dengan difusi cakram
(Jorgensen dan Ferraro, 2009).
2.10.3 Disc Diffusion Test
Gambar 2.5 Media Disc Diffusion Test (Anonim, 2016)
Disc Diffusion Test atau dapat disebut juga Kirby-Bauer disc diffusion test
karena mereka menetapkan standarisasi dalam menentukan sensitivitas antibiotik
terhadap bakteri tertentu. Cara ini telah dilakukam mulai awal tahun 1950-an di
Page 24
28
beberapa laboratorium mikrobiologi di Amerika serikat. Setiap laboratorium
disana melakukan penelitian dengan cara mereka sendiri. Sehingga kebutuhan
media, konsentrasi dan lama inkubasi berbeda-beda sehingga menyebabkan hasil
yang berbeda pula. Hal ini menyebabkan kebingungan dan keraguan akan
hasilnya. Oleh karena itu Kirby dan A.W Bauner menetapkan standar prosedur
yang tetap untuk uji sensitivtas dan disetujui oleh WHO sehingga uji ini disebut
juga Kirby-Bauer disc diffusion test (Hudzicki, 2013).
Uji ini hampir sama dengan uji Antimicrobial Gradient Method. Media yang
digunakan ialah petri yang berisi agar Muller-Hinton (MHA). Pada media agar di
sebarkan bakteri hingga merata di semua sisi media. Lalu diletakkan antibiotik
yang akan diuji di atas media agar MHA. Media agar kemudian diinkubasi pada
suhu 35-37°C selama 18-24 jam. Khusus untuk MRSA tidak diperbolehkan
disimpan pada suhu diatas 35°C (Hudzicki, 2013).
2.11 Pengukuran Zona Hambat
Pengukuran zona hambat dilakukan pada zona bening disekeliling cakram.
Diameter zona yang terbentuk ini diukur dengan menggunakan jangka sorong
(Pratiwi, 2008). Menurut Clinical and Laboratory Standards Institute, (2018)
diameter zona hambat ≥ 20 mm termasuk dalam kategori Suceptible, diameter
zona hambar 15-19 mm termasuk dalam kategori Intermediate, diameter zona
hambat ≤ 14 mm termasuk dalam kategori Resistant.
2.11.1 Standar Mc Farland
Standar McFarland digunakan untuk standarisasi perkiraan jumlah bakteri
dalam cairan suspensi dibandingkan dengan kekeruhan tes standar McFarland.
Standar McFarland adalah solusi kimia dari barium klorida dan asam sulfat, reaksi
antara dua bahan kimia ini menghasilkan endapan halus barium sulfat. Saat
dikocok, kekeruhan sebuah Standar McFarland secara visual sebanding dengan
suspensi uji bakteri dengan konsentrasi tertentu (Dalynn Biologicals, 2014).
Pembuatan standar McFarland 0,5 dengan cara 0,05 ml Barium clorida
(BaCl2) 1% dalam aquades lalu ditambahkan 9,95 ml Asam sulfat (H2SO4) 1%
Krmudian disimpan ditempat yang terhindar dari sinar matahari langsung
(Nurhayati, 2007).
Page 25
29
Tabel II.1 Tabel Standar Kekeruhan Mc Farland (Dalynn Biologicals, 2014)
McFarland
Standard
1% BaCl2
(mL)
1%
H2SO4
(mL)
Approximate Bacterial
Suspension/mL
0,5 0,005 9,95 1,5 x 108
1,0 0,10 9,90 3,0 x 108
2,0 0,20 9,80 6,0 x 108
3,0 0,30 9,70 9,0 x 108
4,0 0,40 9,60 1,2 x 108
5,0 0,50 9,50 1,5 x 109
6,0 0,60 9,40 1,8 x 109
7,0 0,70 9,30 2,1 x 109
8,0 0,80 9,20 2,4 x 109
9,0 0,90 9,10 2,7 x 109
10,0 10,0 9,0 3,0 x 109