Top Banner
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 Pengertian Terapi Intravena (Infus) Terapi Intravena (IV) adalah menempatkan cairan steril melalui jarum, langsung ke vena pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium, kalsium, kalium), nutrient (biasanya glukosa), vitamin atau obat (Brunner & Sudarth, 2002). Terapi intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh (Darmadi,2010). Terapi intravena (IV) digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk memberikan garam yang dirperlukan untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme dan memberikan medikasi (Perry & Potter, 2006). 2.1.2 Tujuan Pemberian Terapi Intravena (Infus) Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,vitamin, protein, lemak, dan kalori, yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat melalui oral, memperbaiki keseimbangan asam- basa, memperbaiki volume komponen-komponen darah, memberikan jalan
25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

Jan 26, 2017

Download

Documents

doanthien
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terapi

Intravena (Infus)

2.1.1 Pengertian Terapi Intravena (Infus)

Terapi Intravena (IV) adalah menempatkan cairan steril melalui jarum, langsung

ke vena pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium, kalsium,

kalium), nutrient (biasanya glukosa), vitamin atau obat (Brunner & Sudarth,

2002).

Terapi intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui

sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan

kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh (Darmadi,2010).

Terapi intravena (IV) digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien tidak

dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk memberikan garam yang

dirperlukan untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang

diperlukan untuk metabolisme dan memberikan medikasi (Perry & Potter, 2006).

2.1.2 Tujuan Pemberian Terapi Intravena (Infus)

Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air,

elektrolit,vitamin, protein, lemak, dan kalori, yang tidak dapat dipertahankan

secara adekuat melalui oral, memperbaiki keseimbangan asam-

basa, memperbaiki volume komponen-komponen darah, memberikan jalan

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

14

masuk untuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh, memonitor tekanan vena

sentral (CVP), memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan mengalami

gangguan (Perry & Potter, 2006).

2.1.3 Vena Tempat Pemasangan Infus

Menurut Perry & Potter (2006) vena-vena tempat pemasangan infus: Vena

Metakarpal, vena sefalika, vena basilica, vena sefalika mediana, vena basilika

mediana, vena antebrakial mediana.

2.1.4 Cara Pemilihan Daerah Insersi Pemasangan Infus

Menurut Perry&Potter (2006) banyak tempat bisa digunakan untuk terapi

intravena, tetapi kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di antara tempat-

tempat ini. Pertimbangan perawat dalam memilih vena adalah sebagai berikut:

Usia klien (usia dewasa biasanya menggunakan vena di lengan, sedangkan infant

biasanya menggunakan vena di kepala dan kaki), lamanya pemasangan infus

(terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk memelihara vena),

type larutan yang akan diberikan, kondisi vena klien, kontraindikasi vena-vena

tertentu yang tidak boleh dipungsi, aktivitas pasien (misal bergerak, tidak

bergerak, perubahan tingkat kesadaran, gelisah), terapi IV sebelumnya (flebitis

sebelumnya membuat vena menjadi tidak baik untuk digunakan), tempat

insersi/pungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan lengan. Namun

vena-vena superfisial di kaki dapat digunakan jika klien dalam kondisi tidak

memungkinkan dipasang di daerah tangan. Apabila memungkinkan, semua klien

sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak dominan.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

15

2.1.5 Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Terapi Intravena

Menurut Perry & Potter (2006) indikasi pada pemberian terapi intravena: pada

seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung

masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam

peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan

memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika

intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan

antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa

melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di rumah sakit dengan infeksi

bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan

dari segi kemudahan administrasi rumah sakit, biaya perawatan, dan lamanya

perawatan.

Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika

dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan

intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida

yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat

diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam

darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.

Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan

obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu

dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di

bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

16

Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedakobat masuk ke

pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.

Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui

injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat

konsentrasi obat dalam darah tercapai, misalnya pada orang yang mengalami

hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus.

Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui

infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki

bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah

untuk membunuh bakteri.

Menurut Darmadi (2008) kontraindikasi pada pemberian terapi intravena:

Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.

Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan

untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis

(cuci darah). Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil

yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).

2.1.6 Tipe-tipe Cairan Intravena

Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi

ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan

menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah

keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah

keosmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan

pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

17

(dialysis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah

tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah

perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan

kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada

beberapa orang.Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum

(bagiancair dari komponen darah), sehingga terus berada di osmolaritas (tingkat

kepekatan) cairannya mendekati serum (bagiancair dari komponen darah),

sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang

mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus

menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada

penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-

Laktat (RL), dan normalsaline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga

“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.

Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan

mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan

Hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-

Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin. (Perry &

Potter, 2006)

Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:

a. Cairan Kristaloid : bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah

volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

18

yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera.

Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.

b. Cairan Koloid : ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga

tidak akan keluar dari membrane kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh

darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh

darah. Contohnya adalah albumin dan steroid (Perry & Potter, 2006).

2.1.7 Komposisi Cairan Terapi Intravena

Larutan Nacl (berisi air dan elektrolit (Na+, cl-), Larutan dextrose (berisi air atau

garam dan kalori), Ringer laktat, berisi air (Na+, K

+, cl

-, ca

++, laktat), Balans

isotonic berisi (air, elektrolit, kalori ( Na+, K

+, Mg

++, cl

-, HCO, glukonat), Whole

blood (darah lengkap) dan komponen darah, Plasma expanders (berisi albumin,

dextran, fraksi protein plasma 5%, hespan yang dapat meningkatkan tekanan

osmotic, menarik cairan dari intertisiall, kedalam sirkulasi dan meningkatkan

volume darah sementara), Hiperelimentasi parenteral (berisi cairan, elektrolit,

asam amino, dan kalori) (Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.8 Menentukan kecepatan cairan Intravena (Infus)

Pertama atur kecepatan tetesan pada tabung IV. Tabung makrodrip dapat

meneteskan 10 atau 15 tetes per 1 ml. Tabung mikrodrip meneteskan 60 tetes per

1 ml. Jumlah tetesan yang diperlukan untuk 1 ml disebut faktor tetes.

Atur jumlah mililiter cairan yang akan diberikan dengan jumlah total cairan yang

akan diberikan dengan jumlah jam infus yang berlangsung. Kemudian kalikan

hasil tersebut dengan faktor tetes. Untuk menentukan berapa banyak tetesan yang

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

19

akan diberikan permenit, bagi dengan 60. Hitung jumlah tetesan permenit yang

akan diinfuskan. Jika kecepatan alirannya tidak tepat, sesuaikan dengan kecepatan

tetesan (Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.9 Hal-hal yang harus diperhatikan terhadap Tipe-tipe Infus

Dextrose 5% in water (D 5 W) digunakan untuk menggantikan air (cairan

hipotonik) yang hilang, memberikan suplai kalori, juga dapat dibarengi dengan

pemberian obat-obatan atau berfungsi untuk mempertahankan vena dalam

keadaan terbuka dengan infus tersebut. Hati-hati terhadap terjadinya intoksikasi

cairan (hiponatremia, sindroma pelepasan hormon antidiuretik yang tidak

semestinya). Jangan digunakan dalam waktu yang bersamaan dengan pemberian

transfusi (darah atau komponen darah).

Natrium Clorida (Nacl) 0,9% digunakan untuk menggantikan garam (cairan

isotonik) yang hilang, diberikan dengan komponen darah, atau untuk pasien dalam

kondisi syok hemodinamik. Hati-hati terhadap kelebihan volume isotonik

(misalnya: gagal jantung dan gagal ginjal).

Ringer laktat digunakan untuk menggantikan cairan isotonik yang hilang,

elektrolit tertentu, dan untuk mengatasi asidosis metabolik tingkat sedang. (Perry

& Potter, 2006).

2.1.10 Tipe-tipe Pemberian Terapi Intravena (Infus)

Intravena (IV) push (IV bolus), adalah memberikan obat dari jarum suntik secara

langsung kedalam saluran/jalan infus.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

20

Indikasi: pada keadaan emergency resusitasi jantung paru, memungkinkan

pemberian obat langsung kedalam intravena, Untuk mendapat respon yang cepat

terhadap pemberian obat (furosemid dan digoksin), Untuk memasukkan dosis

obat dalam jumlah besar secara terus menerus melalui infus (lidocain, xilocain),

Untuk menurunkan ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi kebutuhan akan

injeksi, Untuk mencegah masalah yang mungkin timbul apabila beberapa obat

yang dicampur.

Continous Infusion (infus berlanjut) dapat diberikan secara tradisional melalui

cairan yang digantung, dengan atau tanpa pengatur kecepatan aliran. Infus melalui

intravena, intra arteri, dan intra thecal (spinal) dapat dilengkapi dengan

menggunakan pompa khusus yang ditanam maupun eksternal. Hal yang perlu

dipertimbangkan yatu:

Keuntungan: mampu untuk mengimpus cairan dalam jumlah besar dan kecil

dengan akurat, adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara

di selang infus atau adanya penyumbatan, mengurangi waktu perawatan untuk

memastikan kecepatan aliran infus. Kerugian: memerlukan selang yang khusus

dan biaya lebih mahal

Intermitten Infusion (Infus Sementara) dapat diberikan melalui heparin lock,

“piggy bag” untuk infus yang kontiniu, atau untuk terapi jangka panjang melalui

perangkat infus. (Perry & Potter, 2006)

2.1.11 Komplikasi Terapi Intravena (Infus)

Menurut Darmadi (2010) beberapa komplikasi yang dapat terjadi

dalam pemasangan infus: hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

21

tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat

penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang

pada pembuluh darah. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan

sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati

pembuluh darah. Plebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi

akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar Emboli udara,

yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara

yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah, rasa perih/sakit dan reaksi

alergi.

2.2 Plebitis

2.2.1 Pengertian Plebitis

Plebitis didefinisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi

kimia, mekanik maupun oleh bakteri. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya

daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah penusukan atau sepanjang

vena, pembengkakan, nyeri atau rasa keras disekitar daerah penusukan atau

sepanjang vena dan bisa keluar cairan/pus. Insiden plebitis meningkat sesuai

dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komplikasi cairan atau obat yang

diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula

dimasukkan, pemasangan jalur intravena yang tidak sesuai dan masuknya

mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth,2002).

Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) plebitis merupakan peradangan

pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai

komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme iritasi

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

22

yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada

area tersebut.

2.2.2 Faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis

Menurut Perry & Potter 2005 faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis,

diantaranya adalah faktor internal dan eksternal. Yang termasuk faktor internal

adalah:

a. Usia: pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada pasien

neonatus sangat rentan terhadap infeksi. Menurut WHO (2009) sebagian

besar infeksi neonatus lanjut di dapat di rumah sakit melalui pemberian cairan

intravena, kurangnya tindakan aseptik untuk semua prosedur dan tindakan

menyuntik yang kurang bersih. Pada neonatus keadaan banyak bergerak dapat

mengakibatkan vena kateter bergeser dan hal ini yang bisa menyebabkan

plebitis.

b. Status nutrisi: pada pasien dengan gizi buruk mempunyai vena yang tipis

sehingga mudah rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya kurang

sehingga jika terjadi luka mudah terkena infeksi.

c. Stress: tubuh berespon terhadap stress dan emosi atau fisik melalui adaptasi

imun. Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak-

anak,konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak-anak

yang mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan

merasa lebih takut terhadap nyeri dan cenderung menghindari perawatan

medis, dengan menghindari pelaksanaan pemasangan infus/berontak saat

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

23

dipasang bisa mengakibatkan plebitis karena pemasangan yang berulang dan

respon imun yang menurun.

d. Keadaan vena: kondisi vena yang kecil dan vena yang sering terpasang infus

mudah mengalami plebitis.

e. Faktor penyakit: penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi

terjadinya plebitis, misalnya pada pasien Diabetes Militus (DM) yang

mengalami aterosklerosisakan mengakibatkan aliran darah ke perifer

berkurang sehingga jika terdapat luka mudah mengalami infeksi

Menurut INS (2006) faktor eksternal yang dapat menyebabkan plebitis adalah:

kimia, mekanik, dan bacterial.

a. Chemical Phlebitis (Plebitis kimia)

Kejadian plebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika

intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi

peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan

material kateter yang digunakan. PH darah normal terletak antara 7,35 –7,45 dan

cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang

berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih

asam untuk mencegah terjadinya kristalisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi

autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa

digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik. Osmolalitas

diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah partikel yang larut dalam

suatu larutan.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

24

Pada orang sehat, konsentrasi plasma manusia adalah 285 ±10 mOsm/kgH2O

(Sylvia,2008). Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik

atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitastotal larutan tersebut dibanding dengan

osmolalitas plasma.Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas

total sebesar 280-310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu

disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas

suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga

berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan

mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang mempunyai

osmolalitas lebih dari 600mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian dengan

tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isototonik akan menjadi

lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS,

2006). Vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan sampai dengan 900

mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah terjadi

kerusakan pada dinding vena perifer seperti phlebitis, trombophebitis, dan

tromboemboli. Pada pemberian jangka lama harus diberikan melalui vena sentral,

karena larutan yang bersifat hipertonis dengan osmolalitas >900 mOsm/L, melalui

venasentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak dinding.

Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab utama

kejadian plebitis. Pada pemberian dengan kecepatan rendah mengurangi irritasi

pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material katheter juga berperan pada

kejadian plebitis. Bahan kateter yang terbuat dari polivinilklorida atau polietelin

(teflon) mempunyai resiko terjadi plebitis lebih besar dibanding bahan yang

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

25

terbuat dari silikon atau poliuretan (INS,2006). Partikel materi yang terbentuk dari

cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa menyebabkan

resiko terjadinya plebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5

mikron pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko plebitis akibat

partikel materi yang terbentuk tersebut (Darmawan,2008).

b. Mechanical Phlebitis (Plebitis Mekanik)

Plebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan

katheter intravena. Penempatan katheter pada area fleksi lebih sering

menimbulkan kejadian plebitis oleh karena pada saat ekstremitas digerakkan

katheter yang terpasang ikut bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding

vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga dapat

mengiritasi dinding vena.sehingga mudah terjadi plebitis (Darmawan,2008).

c. Backterial Phlebitis(Plebitis Bakteri)

Plebitis bakterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan adanya

kolonisasi bakteri yang disebabkan karena tehnik aseptik/perawatan infus yang

tidak baik.Aseptik dressing/perawatan infus adalah perawatan pada tempat

pemasangan infus terhadap pasien yang terpasang infus untuk mencegah

terjadinya infeksi (Darmawan,2008). Aseptik dressing yang pernah dilakukan

berdasarkan laporan dari The Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

tahun 2002 dalam artikel intravaskuler catheter-related infection in adult and

pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus adalah

stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi denganepidemic HIV / AIDS

infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat. Vena katheter pada area fleksi

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

26

lebih sering menimbulkan kejadian plebitis, oleh karena jamur dilaporkan

meningkat.

Tabel 2.1 Kuman Pathogen yang Sering Ditemukan di Aliran Darah Pathogen

Tabel 2.1 Kuman pathogen yang sering ditemukan di

aliran darah Pathogen 1986 - 1989 1992 - 1999

Coagulase-negatif Staphylococcus 27 37

S Aureus 16 13

Enterococcus 8 13

Gram-negatif rods 19 14

E coli 6 2

Enterobacter 5 5

P aeruginosa 4 4

K pneumoniae 4 3

Candida species 8 8

2.2.3 Pencegahan Plebitis

Menurut Dougherty (2008) kejadian plebitis merupakan salah satu komplikasi

yang terjadi pada pemberian terapi cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian

obat melalui intravena maupun pemberian nutrisi parenteral.Oleh karena itu

sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor-faktor yang berperan dalam

kejadian plebitis serta pemantauan yang ketat untuk mencegah dan mengatasi

kejadian plebitis. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya plebitis antara lain:

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

27

a. Mencegah plebitis bakterial

Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan tangan,

tehnik aseptik, perawatan daerah infus, antisepsis kulit serta observasi dan

pemantauan yang ketat untuk mencegah dan mengatasi kejadian plebitis..

b. Selalu waspada dan tindakan aseptic.

Selalu berprinsip aseptik setiap tindakan yang memberikan manipulasi pada

daerah infus. Studi melaporkan Stopcock (yang digunakan sebagai jalan

pemberian obat, pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah )

merupakan jalan masuk kuman.

c. Rotasi catheter

Untuk pemindahan lokasi pemasangan harus dilakukan sebelum terjadi

plebitis.INS (2006) merekomendasikan bahwa kanula perifer harus diganti setiap

72 jam dan segera mungkin jika diduga terkontaminasi, adanya komplikasi, atau

ketika telah dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa waktu terjadinya plebitis

dapat terjadi sebelum 72 jam.Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk

pemindahan lokasi pemasangan yang tepat sehingga angka kejadian plebitis dapat

dikurangi. Penggantian kanul infus sebelum 72 jam dilakukankarena dalam proses

penyembuhan luka yaitu pada fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu

menggalakkan hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah infeksi

oleh bakteri patogen terutama bakteria. Inflamasi merupakan reaksi tubuh

terhadap luka yang dimulai setelah beberapa menit dan berlangsung selama

sekitar 3 hari setelah cedera. Proses perbaikan terdiri dari mengontrol perdarahan

(hemostatis), mengirim darah dan sel ke area yang mengalami cedera, dan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

28

membentuk selsel epitel pada tempat cedera (epitelialisasi). Sel epitel pada tempat

cedera (epitelialisasi). Selama proses hemostatis, pembuluh darah yang cedera

akan mengalami konstriksi dan trombosit berkumpul untuk menghentikan

perdarahan. Bekuan-bekuan darah membentuk matriks fibrin yang nantinya akan

menjadi kerangka untuk perbaikan sel. Apabila fase ini berlangsung lebih dari 3

hari maka proses iflamasi akan berlanjut.

d. Aseptic dressing

INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang transparan sehingga

mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus memanipulasinya Penggunaan

balutan konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24

jam.

e. Kecepatan pemberian

Makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko plebitis.

Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan

osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya

beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu

kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan

pemberian tinggi (150–330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter

yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang

diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila terlihat tanda dini

nyeri atau kemerahan.Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus

sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

29

2.2.4 Karakteristik Kejadian Plebitis Pada Neonatus

Menurut Putra (2012) neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim

sampai dengan usia 28 hari. Terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan

di dalam rahim menjadi di luar rahim. Pada masa ini akan terjadi pematangan

organ hampir pada semua system organ bayi. Neonatus mengalami masa

perubahan dari kehidupan di dalam rahim yang serba tergantung pada ibu menjadi

kehidupan di luar rahim yang serba mandiri. Masa perubahan yang paling besar

terjadi selama 24-72 jam pertama. Oleh karena itu sangatlah diperlukan penataan

dan persiapan yang matang untuk melakukan tindakan invasif terhadap neonatus.

Neonatus sangat rentan terhadap infeksi dikarenakan system kekebalan tubuhnya

belum cukup matang untuk melawan infeksi. Infeksi pada neonatus umumnya

disebabkan oleh bakteri yang masuk ke dalam tubuh karena mereka mendapatkan

perawatan invasif seperti pemasangan infus, kateter dan selang pernafasan

(ventilator). Oleh karena itu neonatus yang terpasang infus sangat rentan terjadi

plebitis, dengan tehnik aseptik, pengawasan dan observasi yang ketat angka

kejadian plebitis pada neonatus dapat dicegah.

2.3 Angka Kejadian Plebitis

Angka kejadian plebitis termasuk infeksi nosokomial yang merupakan salah satu

indikator mutu dalam standar pelayanan rumah sakit dimana angka standar yang

menjadi acuan adalah ≤1.5%. Angka kejadian plebitis adalah perbandingan

jumlah kejadian plebitis dengan jumlah pasien yang mendapat terapi infus

(Dep.Kes RI,2008).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

30

2.4 Instrumen Monitoring dan Evaluasi Kejadian Plebitis

2.4.1 VIP Score

Terapi infus termasuk ke dalam salah satu tindakan infasive, oleh karena itu

perawat harus terampil saat melakukan pemasangan infus. Ketika seorang perawat

diberi tugas untuk memberikan terapi infus, kemampuan yang diperlukan perawat

adalah melakukan pemasangan infus dengan benar dan terampil. Perawat juga

harus memiliki komitmen untuk memberikan terapi infus yang aman, efektif

dalam pembiayaan, serta melakukan perawatan infus yang berkualitas sehingga

dapat mencegah terjadinya plebitis (Alexander,etal, 2010).

Salah satu cara untuk mencegah dan mengatasi plebitis yaitu dengan mendeteksi

dan menilai terjadinya plebitis selama pemasangan infus. Menurut RCN (2010),

adapun cara yang dapat digunakan adalah dengan menerapkan VIP score. Dinas

Kesehatan di Inggris tahun 2010, dan INS di Inggris tahun 2011 dan RCN di

Amerika Serikat tahun 2010 merekomendasikan VIP score sebagai alat atau

indikator yang valid, reliabilitas dan secara klinis layak digunakan untuk

menentukan indikasi dini plebitis dan menentukan skor yang tepat untuk plebitis.

VIP score sudah diterima sebagai standar internasional, sudah digunakan di

banyak negara dan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.

VIP score memiliki kelebihan yaitu terdapat pengelompokan skor yang jelas

mengenai pembagian plebitis mulai dari skor nol sampai skor empat, sehingga

perawat akan dapat nenentukan kriteria dan skor phlebitis dengan tepat.

VIP score sudah dikembangkan oleh Andrew Jackson, konsultan perawat terapi

intravena dan perawatan Rumah Sakit Umum Rotherharm, NHS Trust di Inggris.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

31

Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk deteksi dini kejadian

plebitis dan penetapan skor yang tepat sehingga plebitis dapat dinilai dan dapat

dicegah sedini mungkin melalui pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat.

Dengan penerapan VIP score akan memberdayakan perawat dalam mendeteksi

dini terjadinya plebitis dan penentuan yang tepat untuk skor plebitis, sehingga

intravena kateter dapat dicabut dan dipindahkan ketempat penusukan yang lain

pada indikasi resiko terjadinya plebitis. (INS,2011).

Menurut Ermira Tartari Bonnici (2012) VIP Score dapat digunakan sebagai

standar untuk mendeksi dini kejadian plebitis. Hal ini sudah dibuktikan dengan

penelitian mengenai VIP Score yang dilakukan oleh Ermira Tartari Bonnici tahun

2012 pada Infection Control Unit di Rumah Sakit Dei Mater Imsida Malta, dari

hasil penelitiannya tingkat plebitis turun dari 22,7% pada pre intervensi menjadi

6,5% pada post intervensi penerapan VIP Score.

VIP Score dapat digunakan untuk mendeteksi dini terjadinya plebitis dan

penentuan yang tepat untuk skor plebitis, melalui pengamatan visual yang

dilakukan oleh perawat. Ada beberapa jenis VIP Score yang digunakan untuk

mendeteksi dini dan menentukan skor plebitis dengan tepat yaitu:

a.Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk kejadian plebitis,

yaitu :

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

32

Tabel 2.2 Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score Oleh Andrew Jackson

VISUAL INFUSION PHLEBITIS (VIP) SCORE

OBSERVASI SKOR PENANGANAN

IV line tampak sehat 0 Tidak ada tanda plebitis

* Observasi dan dokumentasikan pada

setiap sift

Salah satu tanda-tanda berikut jelas: 1

Kemungkinan tanda-tanda awal

plebitis

* Sedikit nyeri dekat IV line atau

* Observasi dan dokumentasikan pada

setiap sift

* Sedikit kemerahan dekat IV line

Dua dari tanda berikut jelas: 2 Stadium dini plebitis

*Nyeri pada IV line

* Pindahkan dan ganti kanula ke area

penusukan yang lain

* Kemerahan

* Pembengkakan

Tiga Atau lebih dari tanda berikut jelas: 3 Plebitis

* Nyeri di sepanjang kanula

* Pindahkan dan ganti kanula ke area

penusukan yang lain

* Kemerahan * Kirim pus swab ke lab.

* Pembengkakan * Rawat luka di area insersi

* Pireksia (suhu tubuh >37,8 )

* Keluar cairan/pus

Semua tanda-tanda berikut jelas: 4 Stadium lanjut plebitis

* Nyeri di sepanjang kanula

* Pindahkan dan ganti kanula ke area

penusukan yamg lain

* Kemerahan

* Jika suhu > 37,8 mengambil kultur

darah

* Pembengkakan * Kirim pusswab ke lab.

*Pireksia (su tubuh>37,8 ) * Beri informasi kepada dokter

*Keluar cairan/pus * Rawat luka di area insersi

* Vena teraba keras

PENGGANTIAN KANULA INFUS TIDAK LEBIH DARI 72 JAM

VIP SCORE HARUS DICATAT DAN DIDOKUMENTASIKAN SETIAP SHIFT

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

33

b. Skala Plebitis Menurut Dougherty, dkk (2010), skala plebitis dibagi menjadi enam Visual Infusion Phlebitis score

Sumber : Dougherty, dkk(2010) )

Tabel 2.3 Visual Infusion Phlebitis ( VIP) Score

OBSERVASI

SKOR STADIM PLEBITIS PENANGANAN

Tempat suntikan tampak sehat 0 tidak ada tanda plebitis observasi kanul

Salah satu dari berikut jelas: 1 Mungkin tanda dini phlebitis observasi kanul

* Nyeri pada tempat suntikan

* Eritema pada tempat suntikan

Dua dari berikut jelas: 2 Stadium dini phlebitis Ganti tempat kanul

* Nyeri pada tempat suntikan

* Eritema pada tempat suntikan

* Pembengkakan

Semua dari berikut jelas: 3 Stadium moderat plebitis Ganti tempat kanul

* Nyeri sepanjang kanul

Pikirkan terapi

* Eritema pada tempat suntikan

* Pembengkakan

Semua dari berikut jelas: 4

Stadium lanjut atau awal

tromboplebitis Ganti tempat kanul

* Nyeri sepanjang kanul Pikirkan terapi

* Eritema pada tempat suntikan

* Pembengkakan

* Venous cord teraba

Semua dari berikut jelas: 5 Stadium lanjut tromboplebitis Ganti tempat kanul

* Nyeri sepanjang kanul Pikirkan terapi

* Eritema pada tempat suntikan

* Pembengkakan

* Venous cord teraba

* Demam

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

34

c.Skala Plebitis yang direkomendasikan oleh Infusion Nursing Standard Of Practice

(2006) yaitu sesuai dengan tabel di bawah ini:

Tabel 2.4 Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score

Skala Kriteria Klinis

0 Tidak ditemukan gejala

1 Eritema pada daerah insersi

2 Nyeri pada daerah insersimdisertai dengan eritema dan/ atau edema

3 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema,

pembentukan lapisan, dan/ataupengerasan sepanjang vena

4 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema,

pembentukan lapisan, pengerasan sepanjang vena >1 inc dan/atau

keluaran purulent

2.4.2 Lembar Pengumpulan Data INOS

Merupakan instrumen yang digunakan di RSUP Sanglah untuk melakukan

observasi dan evaluasi terhadap infeksi kanula plebitis , kateter dan tube. ada

pemantauan plebitis tercantum tanda-tanda plebitis meliputi bengkak, merah,

temperature ,5 , menggigil, diganti, dan distop.

Pada lembar pengumpulan data INOS memiliki kelemahan yaitu: tidak tercantum

skor plebitis sehingga dalam menentukan dan melaporkan plebitis perawat masih

mengalami kesulitan.

2.5 Infeksi Nosokomial

2.5.1 Definisi

Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang

disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi Nosokomial adalah

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

35

suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh pasien selama dia dirawat di rumah

sakit dan menunjukan gejala infeksi baru setelah 72 jam pasien berada dirumah

sakit serta infeksi itu tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien masuk ke

rumah sakit (Darmadi,2008).

2.5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Infeksi Nosokomial

a. Faktor endogen ( umur, sex, penyakit penyerta, daya tahan tubuh, dan kondisi-

kondisi lokal)

b. Faktor eksogen (Lama penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis,

serta lingkungan )

2.5.3 . Faktor Penyebab Infeksi Nosokomial

Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia rawat di rumah

sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu

menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan

terjadinya infeksi nosokomial.

Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat

menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh

mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan

oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan

infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal,

yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau

bahan-bahan yang tidak steril.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

36

Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh

mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak

atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal. Ada tiga jenis

mikroorganisme yang bisa menyebabkan infeksi nosokomial yaitu: bakteri dapat

ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat. Keberadaan

bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri

patogen.

Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut

mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme, contoh bakteri

Anaerobik Gram-positif, Clostridium, Bakteri gram-positif : Staphylococcus

aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung dapat menyebabkan terjadinya

gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi pembuluh darah serta seringkali

telah resisten terhadap antibiotika. Bakteri gram 36 negative: Enterobacteriacae,

contohnya Escherichia coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas

sering sekali ditemukan di air dan penampungan air yang menyebabkan infeksi di

saluran pencernaan dan pasien yang dirawat., Serratia marcescens, dapat

menyebabkan infeksi serius pada luka bekas jahitan, paru, dan

peritoneum.2) Virus, banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh

berbagai macam virus, termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan

dari transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi. Respiratory syncytial virus (RSV),

rotavirus, dan enteroviruses yang ditularkan dari kontak tangan ke mulut atau

melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan melalui pemakaian jarum

suntik, dan transfusi darah. Rute penularan untuk virus sama seperti

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Intravena (Infus) 2.1.1 ...

37

mikroorganisme lainnya. Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius,

penyakit kulit dan dari darah (Darmadi,2008).

2.5.4 Pencegahan Terjadinya Infeksi Nosokomial

Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencana yang

terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk : membatasi transmisi

organisme dari atau antara pasien dengan cara mencuci tangan dan penggunaan

sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan,. mengontrol

resiko penularan dari lingkungan, melindungi pasien dengan penggunaan

antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi. Membatasi resiko

infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif,pengawasan infeksi,

identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya. Terdapat berbagai

pencegahan yang perlu dilakukan untuk mencegah infeksi nosokomial. Antaranya

adalah dikontaminasi tangan dimana transmisi penyakit melalui tangan dapat

diminimalisasi dengan menjaga hiegene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya,

hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti kurangnya

peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai

pentingnya hal ini, dan waktu mencuci tangan yang lama. Penggunaan sarung

tangan sangat dianjurkan apabila melakukan tindakan atau pemeriksaan pada

pasien yang dirawat di rumah sakit (Darmadi,2008).