4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Babi Babi adalah ternak monogastrik dan bersifat prolifik (banyak anak tiap kelahiran), pertumbuhannya cepat dan dalam umur enam bulan sudah dapat dipasarkan. Selain itu ternak babi efisien dalam mengkonversi berbagai sisa pertanian dan restoran menjadi daging (Ensminger, 1991). Menurut Sihombing (1997), semua babi memiliki karakteristik yang sama kedudukannya dalam sistematika hewan, yaitu : Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata (bertulang belakang) Marga : Gnatosmata (mempunyai rahang) Kelas : Mamalia (menyusui) Ordo : Artiodactyla (berjari/berkuku genap) Genus : Sus Species : Sus scrofa, Sus vittatus/Sus strozzli, Sus cristatus, Sus leucomtstax, Sus celebensi, Sus verrucosus, Sus barbatus Secara umum dapat dikenal tiga tipe babi yaitu babi lemak “lard type”, tipe sedang “bacon type”, dan tipe daging “meat type” (Mangisah, 2003). Babi memiliki sifat-sifat fisik yang tampak, diantaranya warna tubuh, besar dan gemuk serta cepat dewasa. Sifat fisik berdasarkan warna bulu digolongkan menjadi 5, yakni: putih, hitam, coklat atau kemerah-merahan, berselempang (belted) dan bercak-bercak (spotted). Sifat fisik yang tampak pada babi berdasarkan besar dan kegemukan dapat dibagi menjadi 2, yakni: tipe babi besar yaitu bila babi besar dan lambat dewasa (cold blood atau tipe rainbow), dan babi kecil yaitu bila babi kecil dan cepat dewasa digolongkan dalam babi berdarah panas (Tanaka et al., 1980). Babi merupakan penghasil sumber daging dan untuk pemenuhan gizi yang sangat efisien di antara ternak-ternak yang lain karena babi memiliki konversi terhadap pakan yang cukup tinggi, semua bahan pakan bisa diubah menjadi
13
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - sinta.unud.ac.id II.pdf · 6 Gambar 2.1. babi American Landrace (Kitsteiner, 2014) 2.2. Eceng Gondok Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan salah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Babi
Babi adalah ternak monogastrik dan bersifat prolifik (banyak anak tiap
kelahiran), pertumbuhannya cepat dan dalam umur enam bulan sudah dapat
dipasarkan. Selain itu ternak babi efisien dalam mengkonversi berbagai sisa
pertanian dan restoran menjadi daging (Ensminger, 1991).
Menurut Sihombing (1997), semua babi memiliki karakteristik yang sama
kedudukannya dalam sistematika hewan, yaitu :
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata (bertulang belakang)
Marga : Gnatosmata (mempunyai rahang)
Kelas : Mamalia (menyusui)
Ordo : Artiodactyla (berjari/berkuku genap)
Genus : Sus
Species : Sus scrofa, Sus vittatus/Sus strozzli, Sus cristatus, Sus leucomtstax,
Sus celebensi, Sus verrucosus, Sus barbatus
Secara umum dapat dikenal tiga tipe babi yaitu babi lemak “lard type”, tipe
sedang “bacon type”, dan tipe daging “meat type” (Mangisah, 2003). Babi
memiliki sifat-sifat fisik yang tampak, diantaranya warna tubuh, besar dan gemuk
serta cepat dewasa. Sifat fisik berdasarkan warna bulu digolongkan menjadi 5,
yakni: putih, hitam, coklat atau kemerah-merahan, berselempang (belted) dan
bercak-bercak (spotted). Sifat fisik yang tampak pada babi berdasarkan besar dan
kegemukan dapat dibagi menjadi 2, yakni: tipe babi besar yaitu bila babi besar
dan lambat dewasa (cold blood atau tipe rainbow), dan babi kecil yaitu bila babi
kecil dan cepat dewasa digolongkan dalam babi berdarah panas (Tanaka et al.,
1980).
Babi merupakan penghasil sumber daging dan untuk pemenuhan gizi yang
sangat efisien di antara ternak-ternak yang lain karena babi memiliki konversi
terhadap pakan yang cukup tinggi, semua bahan pakan bisa diubah menjadi
5
daging dan lemak dengan sangat efisien. Ternak babi membutuhkan ransum yang
imbangan nutrisinya baik atau sempurna, untuk memperoleh reproduksi dan
produksi daging yang optimal. Ternak babi membutuhkan energi, protein,
mineral, vitamin dan air. Setiap zat mempunyai fungsi dan keterkaitan yang
spesifik di dalam tubuh. Kekurangan atau ketidakseimbangan zat-zat makanan
dapat memperlambat pertumbuhan dan berdampak pada performans. Faktor-
faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum yaitu cara pemberian pakan, aroma
pakan, kondisi lingkungan atau suhu kandang, ketersedian air minum, jumlah
ternak dan kesehatan ternak (Sihombing, 1997).
Babi Landrace merupakan salah satu babi yang umum dipelihara. Babi
Landrace merupakan babi yang berasal dari Denmark, termasuk jenis babi bacon
yang berkualitas tingi. Babi Landrace sangat populer sehingga dikembangkan juga
di Amerika Serikat, Australia, dan Indonesia. Babi Landrace berasal dari
persilangan antara pejantan babi Large white dengan babi lokal Denmark. Babi
Landrace juga banyak digunakan untuk program persilangan babi-babi di daerah
tropik, terutama di Asia Tenggara (Reksohadiprodjo, 1995).
Babi Landrace berwarna putih, terkenal babi bertubuh panjang seperti busur,
besar, lebar, bulu halus, dan juga kakinya panjang. Babi ini terkenal sangat
prolifik hingga kini babi ini juga yang terbukti paling banyak per kelahiran, serta
presentase dagingnya tinggi. Tulang rusuknya 16-17 pasang dan sampai kini
puting susu babi inilah yang terbanyak diantara bangsa babi unggul. Babi jantan
dewasa berbobot sekitar 320-410 kg dan induk berbobot 250-340 kg. Kelemahan
babi ini adalah kaki belakang yang lemah terutama saat induk bunting, dan warna
daging yang pucat (Sihombing, 2006).
6
Gambar 2.1. babi American Landrace (Kitsteiner, 2014)
2.2. Eceng Gondok
Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan salah satu tumbuhan yang
sering ditemukan di rawa-rawa, waduk, dan sungai. Enceng gondok adalah gulma
air yang sangat cepat pertumbuhannya dan sangat susah pengendaliannya. Tetapi
enceng gondok mampu menyerap berbagai zat yang berbahaya yang mencemari
perairan, contohnya yaitu logam beracun, cemaran organik, buangan industri,
buangan pertanian dan buangan rumah tangga (Rahmawati, et al., 2003).
Enceng gondok di Indonesia pada mulanya diperkenalkan oleh Kebun Raya
Bogor pada tahun 1894 yang akhirnya berkembang di Sungai Ciliwung sebagai
tanaman pengganggu. Namun, dewasa ini banyak dimanfaatkan sebagai filter air
dari polusi logam-logam berat. Bahkan sudah dimanfaatkan sebagai bahan
kerajinan dan pakan ternak (Don, et al., 2010). Kecepatan pertumbuhan eceng
gondok tergantung dari berbagai faktor lingkungan, seperti kandungan hara
perairan, kedalaman air, salinitas, pH dan intesitas cahaya. Suhu air yang paling
cocok untuk pertumbuhan eceng gondok adalah 28-30oC dan pH 7 (Fuskhah,
2000).
Menurut Fahmi (2009) klasifikasi dari tanaman eceng gondok, sebagai
berikut :
Kingdom : Embryophytasi phonogama
Filum : magnoliophyta
Class : Liliopsida
7
Ordo : Liliales
Famili : Pontederiaciae
Genus : Eichornia
Spesies : Eichornia crassipes
Gambar 2.2. Eceng gondok (Eichornia crassipes) (Surya Mina Farm, 2014)
2.2.1. Morfologi Eceng Gondok
Eceng gondok merupakan tumbuhan yang hidup di perairan terbuka,
mengapung di air. Tingginya sekitar 0,4 – 0,8 meter, batangnya berbuku pendek,
mempunyai diameter 1-2,5 cm dan panjang batang mencapai 30 cm (Barton,
1951). Daun eceng gondok mempunyai garis tengah sampai 15 cm berbentuk telur
agak bulat, berwarna hijau terang dan berkilau di bawah sinar matahari. Kelopak
bunga berwarna ungu muda atau agak kebiruan. Setiap bunga mempunyai kepala
putik yang dapat menghasilkan 500 bakal biji setiap tangkai (Soedarmadji, 1991).
2.2.2. Kandungan Eceng Gondok
Eceng gondok bisa menjadi salah satu alternetif bahan ransum ternak,
karena eceng gondok memiliki nilai nutrisi yang cukup baik, yaitu energi
metabolis 2029 kkal/kg, kandungan protein kasar 13% dan kandungan serat kasar
21,3% (Radjiman et al., 1999). Menurut analisis yang dilakukan oleh
Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Diponogoro Semarang tahun 2005, melaporkan
8
bahwa eceng gondok mengandung protein kasar (PK) 11,2% dan bahan ekstrak
tiada nitrogen (BETN) sekitar 20% berdasarkan bahan kering (100% BK).
2.3 Logam Timbal (Pb)
Logam berasal dari bumi yang bisa berupa bahan organik dan bahan
anorganik. Diantara sekian banyak logam, ada yang keberadaannya di dalam
tubuh mahluk hidup baik pada tanaman, hewan atau ternak dan manusia
merugikan bahkan bersifat beracun. Logam yang dimaksud umumnya
digolongkan pada logam berat. Menurut Saeni (1989) yang dimaksud dengan
logam berat adalah unsur yang mempunyai bobot jenis lebih dari 5 g/cm3 yang
biasanya terletak di bagian kanan bawah sistem periodik unsur-unsur kimia.
Contoh logam berat yang dinyatakan oleh Saeni (1989) diantaranya: Fe, Pb,
Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn dan As. Dari logam-logam berat tersebut, menurut
Anggorodi (1979) Fe, Cr, Zn, Cu dan Mn termasuk dalam kelompok logam berat
dan merupakan mineral yang esensial dan tergolong mineral mikro bagi ternak,
maka logam berat yang tergolong nonesensial dan bersifat racun bagi ternak
adalah kelompok logam: Pb, Cd, Hg, dan As.
Timbal (Pb) memiliki titik lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat
kimia yang aktif, sehingga bisa digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul
perkaratan. Pb adalah logam lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat serat
mudah dimurnikan dari pertambangan. Timbal meleleh pada suhu 328° C titik
didih 1740° C dan memiliki gravitasi 11,34 dengan berat atom 207,20 (Widowati
et al., 2008).
Salah satu logam berat yang banyak mencemari air sungai adalah timbal
(Pb). Tercemarnya air sungai oleh limbah pabrik yang mengandung Pb
menyebabkan tanaman konsumsi yang tumbuh di daerah sungai menjadi tercemar
oleh Pb (Kohar et al. 2004). Timbal (Pb) merupakan salah satu pencemar yang
dipermasalahkan karena bersifat sangat toksik dan tergolong sebagai bahan
buangan beracun dan berbahaya (Purnomo dan Muchyiddin, 2007).
Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk
dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya
9
terhadap tubuh semakin meningkat (Lu, 1995 dan Kusnoputranto, 2006). Menurut
Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat
akumulatif dan akumulasinya tergantung levelnya. Hal itu menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh pada ternak jika terdapat pada jumlah di atas batas ambang.
Konsentrasi logam berat yang dikonsumsi oleh hewan bervariasi. Badan
penelitian nasional Kanada (National Researh Council, NRC) menentukan jumlah
maksimum kandungan logam yang diperbolehkan untuk konsumsi hewan disebut
Maximum Tolerable Level (MTL). Adapun MTL merupakan kandungan logam
yang aman bagi hewan dan manusia yang mengkonsumsi produk hewan tersebut.
Batas toleransi logam berat Pb dalam pakan menurut NRC untuk sapi adalah
100mg/kg. Underwood dan Suttle (1999) mencantumkan batas ambang untuk
ternak unggas dalam pakannya, yaitu: batas ambang normal sebesar 1 – 10 ppm,
batas ambang tinggi sebesar 20 – 200 ppm dan batas ambang toksik sebesar lebih
dari 0,02%. Disisi lain Darmono (1995) mencantumkan dosis keracunan Pb pada
beberapa ternak, seperti terlihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Dosis Keracunan Timbal pada Beberapa Ternak
Jenis Ternak Toksik dalam Pakan (mg/kg)
Babi 1.000
Pedet 200 – 400
Domba ` 200 – 400
Sumber: Darmono (1995)
2.3.1. Reaksi Timbal (Pb) terhadap Eritrosit dan Hemoglobin
Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat
menyebabkan anemia, paling sedikit 3 enzim yang terlibat dalam biosintesis heme
akan dihambat oleh Pb di dalam mitokondria dan sitoplasma sel eritroid. Ketiga
enzim tersebut adalah 5-aminolevulinat dehidratase, feroselatase (FERRO-C) dan
koproporfirinogen oksidase (KOPRO-O). Enzim d-ALAD merupakan enzim yang
berperan dalam sintesis heme yang paling sensitif terhadap Pb.
10
Pb juga menghambat enzim feroselatase (hemesintetase) dengan mengikat
pada ikatan sulfidril (-SH) sehingga akan muncul sel eritrosit muda yang masih
berinti di dalam sirkulasi perifer. Gangguan sistem enzim ini akan menurunkan
kemampuan tubuh untuk mensintesis Hb sebagai pembawa oksigen yang
diperlukan dalam proses respirasi. Anemia pada keracunan Pb terjadi akibat
gangguan sintesis heme.
Keracunan Pb juga diperkirakan menghambat enzim pirimidin-5’
nukleotidase sehingga masa hidup eritrosit lebih singkat, suatu kondisi yang
memicu terjadinya anemia hemolitika akibat destruksi eritrosit. Terhambatnya
jalur sintesis heme ini tidak hanya mempengaruhi sintesis eritrosit atau sel darah
yang lain, tetapi juga sistem sitokrom dan respirasi seluler. Efek Pb juga dapat
menghambat pompa Na+/K+-ATP dan menempel pada membrane eritrosit
sehingga melisiskannya (Budiman et al., 2010).
2.4.Sel Darah pada Babi
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah
dan sel darah. Sedangkan sel darah itu sendiri terdiri atas tiga jenis yaitu eritrosit,
leukosit dan trombosit. Volume darah secara keseluruhan adalah 8. 33% , 55%
plasma darah dan 45% terdiri atas sel darah (Pearce, 2006). Menurut Colville dan
Bassert (2002), darah memiliki tiga fungsi yang sangat penting yaitu : sebagai
sistem transportasi, sistem regulasi, dan sistem pertahanan.
2.4.1. Eritrosit
Sel darah merah atau yang disebut juga dengan nama eritrosit berasal dari
bahasa Yunani, yaitu erythro yang berarti merah dan cyte yang berarti sel.
Eritrosit memiliki diameter rerata 7,5 mm dan merupakan jenis sel yang paling
umum dan berfungsi untuk pengangkutan oksigen (Dharmawan, 2002).
Eritrosit merupakan sel darah yang tidak memiliki inti, tidak mempunyai
organel seperti sel-sel lain, serta tidak dapat bergerak. Sel ini tidak dapat
melakukan mitosis dan pembentukan protein. Eritrosit bisa dianggap seolah-olah
11
merupakan kantong dari hemoglobin (Kirana, 2012). Sekitar 60% volume eritrosit
terdiri atas air dan 40% terdiri atas konjugasi protein yang berbentuk globin dan
hem (heme) (Dharmawan, 2002). Pada hewan dewasa pembentukan eritrosit
terjadi di sum - sum tulang belakang, sedangkan pada waktu masih janin
dihasilkan oleh limpa, hati dan nodus limfatikus (Frandson, 1992).
2.4.2. Total Eritrosit
Total eritrosit pada setiap hewan berbeda-beda, hal ini tidak hanya
dipengaruhi oleh jenis hewannya, tetapi perbedaan bangsa, kondisi nutrisi,
aktivitas fisik, dan umur hewan juga dapat mempengaruhi jumlah eritrosit.
Erithropoiesis merupakan suatu proses yang berlanjut dan sebanding dengan
tingkat pengrusakan sel darah merah. Erithropoiesis diatur oleh mekanisme
umpan balik dimana prosesnya dihambat oleh peningkatan level sel darah merah
yang bersirkulasi dan dirangsang oleh anemia (Yusuf, 2011). Total eritrosit
normal babi adalah 5,0-8,0x106/mm3 (Dharmawan, 2002).
2.4.3. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin (Hb) merupakan substansi protein yang terdapat pada sel darah
merah yang kaya akan zat besi, yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari
paru-paru ke jaringan. Hemoglobin juga berfungsi sebagai pigmen respiratoris
darah dan sebagai bagian dari sistem buffer intrinsik darah. Oksigen tersedia dan
dibebaskan secara mudah oleh kandungan atom Fe dalam molekul hemoglobin
sambil darah melintasi kapiler paru-paru (Yusuf, 2011).
Produksi hemoglobin dipengaruhi oleh kadar besi (Fe) dalam tubuh karena
besi merupakan komponen penting dalam pembentukan molekul heme. Molekul
hemoglobin tersusun atas dua cincin haem dan globin yang disintesis sendiri-
sendiri. Rantai haem mengandung besi dan merupakan tempat pengikatan
oksigen. Molekul ini mempunyai kemampuan untuk mengambil dan
menggantikan oksigen dengan tekanan yang relatif tipis (Guyton,1997). Kadar
hemoglobin normal babi adalah 10,0-16,0 gr/100 ml (Dharmawan, 2002).
12
2.4.4. Hematokrit
Hematokrit merupakan presentase volume eritrosit dalam darah yang
dimampatkan (Packed Cell Volume) dengan cara diputar pada kecepatan tertentu
dan dalam waktu tertentu. Nilai hematokrit ini sangat berhubungan dengan sel
darah merah, nilai dapat berubah-ubah tergantung dengan faktor yang
mempengaruhi yaitu ras, jenis kelamin, nutrisi dan umur. Uji hematokrit
dilakukan untuk mengetahui konsentrasi eritrosit dalam darah (Kumala, 2010).
Menurut Indrawati (2011) nilai PCV merupakan petunjuk yang sangat baik dalam
menentukan volume total eritrosit dalam sirkulasi darah. Presentase hematokrit
babi secara normal adalah 32-50% (Dharmawan, 2002).
2.4.5. Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin eritrosit.
Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks korpuskuler. Indeks eritrosit terdiri
atas: isi/voulume atau ukuran eritrosit (MCV: mean corpuscular volume atau
volume eritrosit rerata), berat (MCH: mean corpuscular hemoglobin atau
hemoglobin eritrosit rerata), konsentrasi (MCHC: mean corpuscular hemoglobin
atau kadar hemoglobin eritrosit rerata) (Riswanto, 2009). Volume satu sel darah
merah (MCV) pada babi secara normal berkisar 50-68fl, berat hemoglobin dalam
tiap selnya (MCH) adalah 17,0-21pg, dan konsentrasi hemoglobin dalam tiap
selnya (MCHC) adalah 30,0-34,0% (Dharmawan, 2002).
2.5.Anemia
Menurut Dharmawan (2002) anemia bukanlah suatu penyakit melainkan
suatu gejala sebagai akibat adanya suatu proses penyakit. Anemia adalah
penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin, atau kedua-duanya dalam sirkulasi darah.
Tanda-tanda klinik dapat sama sekali tidak ada. Tubuh dapat menyesuaikan diri
terhadap merosotnya daya angkut oksigen dari darah sedemikian efisiennya
sehingga tidak timbul symptom meskipun anemianya cukup berat. Umumnya
gejala yang menyertai anemia adalah pucatnya membrane mukosa konjungtiva
maupun mulut, sesak nafas (dyspnea), dan denyut nadi yang cepat (tachycardia).
13
2.5.1. Klasifikasi Anemia
Anemia berdasarkan etiologinya digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Anemia regeneratif
Anemia regeneratif terjadi disebabkan karena perdarahan yang
berlebihan atau karena destruksi darah (anemia hemolitika). Bahaya
perdarahan yang berlebihan tergantung dari: jumlah darah yang keluar,
lokasi perdarahan, dan tipe perdarahan tersebut (Dharmawan, 2002).
2. Anemia non-regeneratif
Anemia non-regeneratif terjadi disebabkan karena penurunan
produksi eritrosit. Anemia ini bisa timbul akibat beberapa sebab, seperti
nutrisi, penyakit ginjal kronis, infeksi, dan kegagalan atau depresi sumsum
tulang. Biasanya anemia non-regeneratif berlangsung dalam tahap sedang
atau ringan sehingga sulit untuk segera diketahui. Kasus anemia seperti ini
sering merupakan akibat sekunder dari adanya penyakit lain (Dharmawan,
2002).
Anemia menurut morfologi, mikro dan makronya menunjukkan ukuran dari
sel darah merah, sedangkan menurut kromiknya menunjukkan warna dari sel
darah merah. Sudah dikenal tiga klasifikasi besar, yaitu :
1. Anemia normositik normokromik
Kondisi sel darah merah memiliki ukuran dan bentuk-bentuk sel
yang normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal
tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia ini adalah kehilangan
darah akut, hemolysis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan
endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakit-penyakit
infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
2. Anemia makrositik normokromik
Dimana sel darah merah memiliki ukuran sel yang lebih besar dari
normal tetapi konsentrasi hemoglobinnya normal. Penyebab anemia ini
14
diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sitesis asam nukleat DNA
antara lain yang ditemukan pada defisiensi Vitamin B12, asam folat, dan
cobalt (ruminansia), mielosis eritremik (kucing), dan makrositosis
(anjing).
3. Anemia makrositik hipokromik
Dimana sel darah merah memiliki ukuran yang lebih besar dari
normal dan mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari
normal. Penyebab anemia ini adalah perdarahan luka atau adanya
gangguan koagulasi darah, destruksi eritrosit secara masif karena infeksi.
4. Anemia mikrositik hipokromik
Dimana sel darah merah ini memiliki ukuran yang lebih kecil dari
normal dan memiliki konsentrasi yang kurang dari normal. Penyebab
anemia ini adalah defisiensi Fe bisa karena kurangnya asupan Fe pada
makanan atau karena perdarahan kronis, defisiensi Cu dan B6, serta
keracunan molybdenum (Dharmawan, 2002).
Pada klasifikasi Anemia akibat gangguan Eritropoiesis dibagi menjadi
empat, yaitu :
1. Anemia defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia mikrositik hipokromik yang
terjadi akibat defisiensi besi dalam gizi, atau hilangnya darah secara
lambat dan kronik. Anemia defisiensi besi disebabkan oleh karena
rendahnya asupan besi, gangguan absobrsi, serta kehilangan besi akibat
perdarahan menahun yaitu kehilangan besi sebagai akibat dari perdarahan
menahun yang dapat berasal dari saluran cerna. Kehilangan besi juga dapat
disebabkan oleh faktor nutrisi. Perdarahan menyebabkan kehilangan besi
sehingga cadangan besi makin menurun. Apabila kekurangan besi
berlanjut terus, maka cadangan besi menjadi kosong. Penyediaan besi
untuk eritropoiesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada
bentuk eritrosit, tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Apabila jumlah
besi menurun terus maka eritropoiesis semakin terganggu sehingga kadar
15
hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia
hipokromikmikrositer. Anemia defisiensi Fe dicegah dengan memelihara
keseimbangan antara asupan Fe.
2. Anemia megaloblastik
Defisiensi folat atau vitamin B12 mengakibatkan gangguan pada
sintesis timidin dan defek pada replikasi DNA, efek yang timbul adalah
pembesaran precursor sel darah (megaloblas) di sumsum tulang,
hematopoiesis yang tidak efektif, dan pansitopenia.
3. Anemia aplastik
Sumsum tulang gagal memproduksi sel darah akibat hiposelularitis,
hiposelularitis ini dapat terjadi akibat paparan racun, radiasi, reaksi
terhadap obat atau virus, dan defek pada perbaikan DNA serta gen.
4. Anemia mieloptisik
Anemia yang terjadi akibat penggantian sumsum tulang oleh
infiltrate sel-sel tumor, kelianan granuloma, yang menyebabkan pelepasan
eritroid pada tahap awal (Ifan, 2010).
16
2.6. Kerangka Konsep
2.7 Hipotesis
Hipotesis yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah pemberian eceng gondok
yang berasal dari perairan tercemar Pb dapat menurunkan total eritrosit, kadar