8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Representasi 2.1.1 Definisi Representasi Representasi adalah suatu wujud kata, gambar, sekuen, cerita dan sebagainya yang mewakili ide, emosi, fakta, dan sebagainya. Representasi tersebut memiliki ketergantungan pada tanda dan juga citra yang ada dan dipahami secara kultur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), representasi dapat diartikan sebagai perbuatan yang mewakili, ataupun keadaan yang bersifat mewakili disebut representasi. representasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan suatu keadaan yang dapat mewakili symbol, gambar, dan semua hal yang berkaitan dengan yang memiliki makna. Pengambaran yang dimaksud dalam proses ini dapat berupa deskripsi dari adanya perlawanan yang berusaha dijabarkan melalui penelitian dan analisis semiotika. Representasi adalah suatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata – kata bunyi, citra, atau kombinasinya. Secara ringkas representasi adalah produksi makna – makna melalui Bahasa lewat Bahasa (symbol – symbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) tersebut itulah seseorang yang dapat mengungkapkan pikiran, konsep,
44
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Representasi 2.1.1 ... - UMM
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Representasi
2.1.1 Definisi Representasi
Representasi adalah suatu wujud kata, gambar, sekuen, cerita dan
sebagainya yang mewakili ide, emosi, fakta, dan sebagainya. Representasi
tersebut memiliki ketergantungan pada tanda dan juga citra yang ada dan
dipahami secara kultur.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), representasi dapat
diartikan sebagai perbuatan yang mewakili, ataupun keadaan yang bersifat
mewakili disebut representasi. representasi juga dapat diartikan sebagai suatu
proses yang melibatkan suatu keadaan yang dapat mewakili symbol, gambar,
dan semua hal yang berkaitan dengan yang memiliki makna. Pengambaran
yang dimaksud dalam proses ini dapat berupa deskripsi dari adanya perlawanan
yang berusaha dijabarkan melalui penelitian dan analisis semiotika.
Representasi adalah suatu yang merujuk pada proses yang dengannya
realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata – kata bunyi, citra, atau
kombinasinya. Secara ringkas representasi adalah produksi makna – makna
melalui Bahasa lewat Bahasa (symbol – symbol dan tanda tertulis, lisan, atau
gambar) tersebut itulah seseorang yang dapat mengungkapkan pikiran, konsep,
9
dan ide – ide tentang sesuatu Juliastuti, (2000:6). Representasi juga dapat
berarti sebagai suatu tindakan yang menghadirkan atau merepresentasikan
sesuatu lewat yang diluar dirinya biasanya berupa tanda atau symbol (pilang,
2003).
Menurut Stuart Hall (1997:15) representasi adalah sebuah produksi
konsep makna dalam pikiran melalui bahasa. Ini adalah hubungan antara
konsep dan bahasa yang menggambarkan obyek, orang, atau bahkan peristiwa
nyata ke dalam obyek, orang, maupun peristiwa fiksi. Representasi dapat
dikatakan sebagaimana kita menggunakan Bahasa dalam menggunakan atau
menyampaikan sesuatu dangan penuh arti kepada orang lain.
Menurut Stuart Hall (1997:15), makna dikonstruksi oleh sistem
representasi dan maknanya diproduksi melalui sistem bahasa yang
fenomenanya tidak hanya terjadi melalui ungkapan verbal, namun juga visual.
Sistem representasi tidak hanya tersusun bukan seperti konsep individual,
melainkan masuk juga melalui konsep perorganisasian, penyusupan serta
berbagai kompleks hubungan.
Maka representasi dapat dikatakan memiliki dua proses utama, yaitu,
pertama adalah representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada
dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Bentuknya masih berupa
sesuatu yang tidak dapat diberikan pengambaran yang masih berupa sesuatu
yang tidak dapat diberikan pengambaran yang detail, melainkan betuk abstrak,
10
kedua representasi bahasa, proses ini termasuk proses yang sangat penting
karena konsep lanjutan dari adanya peta konseptual yang lahir di masing –
masing diri. Dari abstak yang ada, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
yang sering kita gunakan sehari- hari, maka dari situ lahirlah penggambaran
sesuatu yang dimaksud melalui tanda, symbol, ataupun makna gambar. Jalinan
atau dua penjabaran ini dapat dikatakan sebagaimana bentuk sederhana dari
adanya representasi.
2.1.2 Jenis Pendekatan Representasi
Ada tiga pendekatan untuk menerangkan bagaimana mepresentasikan
makna melalui Bahasa, yaitu reflection, intentional, dan constructive (Hall,
1997:13) . pendekatakan reflection, yaitu pendekatan yang menjelaskan tentang
makna yang dipahami dan makna tersebut dapat digunakan untuk mengelabuhi
objek, seseorang, ide – ide, ataupun kejadian dalam kehidupan nyata. Dalam
pandangan ini dapat dipahami juga sebagai sebuah cermin. Cermin yang dapat
merefleksikan makna dari segalanya dari pantulan yang sederhana. Jadi,
pendekatan ini mengatakan bahwa Bahasa bekerja sebagai refleksi sederhana
tentang kebenaran yanag ada pada kehiduapan normal menurt kehidupan
normative (Hall, 1997:13) dalam pendekatan ini juga reflective dapat berarti
seperti, apakah bahasa telah mampu mendefinisikan sesuatu objek yang
bersangkutan.
11
Pendekatan kedua adalah pendekatan intentional. Pendekatan ini
memberikan definisi tentang bagaimana bahasa dan fenomenanya dapat dipakai
untuk mengatakan maksud dan memiliki pemaknaan tersendiri atas apa yang
tersirat dalam pribadinya. Intentional tidak merefleksikan, tetapi berdiri diatas
pemaknaannya. Kata – kata diartikan sebagai pemilik atas apa yang ia maksud
( Hall, 1997:24), telah mampu mengekspresikan apa yang komunikator
maksudkan.
Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan constructionist. Pendekatan
ini lebih menekankan pada proses konstruksi makna melalui bahasa yang
digunakan. Dalam pendekatan ini, bahasa dan pengunaan bahasa tidak dapat
memberikan makna masing – masing, melainkan harus dihadapkan dengan hal
lain hingga memunculkan suatu interpretasi. Konstruksi sosial dibangun
melalui aktor- aktor sosial yang memakai system konsep kultur bahasa dan
dikombinasikan dengan sistem representasi yang lain( Hall, 1997:35).
Dalam konstruksionis ini, terdapat dua pendekatan menurut Stuart Hall,
yaitu pendekatakan diskursif dan pendekatan simiotika. Dalam pendekatan
diskursif, makna dibentuk tidak melalui bahasa, melainkan wacana. Kedudukan
sebuah wacana, jauh dianggap lebih besar dari pada bahasa, yang biasa disebut
dengan istilah topik, jadi produksi mana yang ada pada suatu kultur dihasilkan
oleh wacana yang diangkat oleh individu - individu yang berinteraksi dalam
masyarakat dan diindentifikasikan atas kultur yang ditentukan oleh wacana -
12
wacana yang diangkat. Sedangkan pada pendekataan simiotik, akan dijabarkan
tentang pembentukan tanda dan makna melalui medium bahasa (Hall, 1997:26).
Representasi budaya dalam konteks media massa berkaitan dengan
industri budaya yang dikonsumsi secara masal oleh penikmat budaya tersebut.
Representasi budaya berkaitan dengan bagaimana seseorang memaknai atau
mengkontruksi budaya yang diproduksi dan dikosumsi secara masal oleh media
massa. Dalam industry budaya, hal – hal yang direpresentasikan adalah artefak-
artefak budaya visual seperti, film, iklan dan video clip.
Dalam hal ini mengenai analisis semiotik iklan, peneliti berusaha
melihat tanda – tanda yang mengambarkan pria metroseksual.
2.1.3 Representasi Konstruksionis dalam Realitas Sosial
Menurut Chris Baker, salah satu pendiri culture studies menyebutkan
bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultre studies. Menurut
Stuart Hall, budaya adalah tentang makna-makna yang dibagi. Bahasa dalam
konsep budaya menjadi penting, karena Bahasa lah budaya menjadi lebih
bermakna (make sense of things). Melalui Bahasa juga, makna dapat
dipertukarkan dari agen masyarakat satu, ke masyarakat lain, Bahasa bersifat
representasional, karena itu mampu mengkonstruksi makna.
Representasi adalah salah satu praktik penting dalam memproduksi
budaya. Konsep kebudayaan bersifat luas, didalamnya juga menyangkut
13
mengenai pengalaman pribadi. Seseorang merasa menjadi bagian dari sebuah
kebudayaan yang sama dengan orang lain. Tidak hanya melalui tempat
tinggalnya yang sama juga. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang
sama jika manusia tersebut yang didalamnya membagi pengalaman yang sama,
kode-kode yang sama berbicara dengan Bahasa yang sama dan saling membagi
konsep yang sama.
Makna menjadi bagian dari konstruksi. Makna yang dikonstruksi
melalui sistem representasi melalui kode. Kode inilah yang menepatkan
manusia dalam kelompok budaya yang sama, menggunakan nama yang sama
dan telah melalui aturan perilaku yang telah ditentukan bersama-sama.
Seseorang memikirkan sebuah “pensil” untuk disampaikan kepada orang lain,
maka akan mengucapkan “pensil” untuk dikomunikasikan kepada lawan
bicaranya. Dalam hal ini “pensil merupakan kode yang telah disepakati bersama
untuk memaknai konsep “pensil” yang ada dipikiran seseorang. Dengan
demikian, kode tersebut telah membangun sistem konseptual yang ada
dipikiran seseorang dengan sistem Bahasa yang bisa digunakan.
2.2 Pria Metroseksual
2.2.1 Definisi Pria Metroseksual
Konsep maskulinitas baru ini pada dasarnya merupakan upaya untuk
meninggalkan budaya patriarki yang dominan dan sekaligus beranjak ke
14
kerangka kerja sosial yang lebih inklusif. Iklan saat ini memposisikan pria
sebagai obyek seksual. Iklan menciptakan standar baru masyarakat untuk pria,
yakni sebagai sosok yang agresif sekaligus sensitive, memadukan antara unsur
kekuatan dan kepekaan sekaligus. Pria macho sudah teregantikan oleh sesosok
pria yang kuat dan tegar di dalam tetapi lembut dipermukaan. Ungkapan ini
untuk karakter pria metroseksual. Konsep maskulin baru yang mendobrak
konsep maskulinitas lama. seperti di citrakan atau di ikon kan pada sepakbola
ganteng seperti David bechkam, yang dimana dirinya mempunyai daya tarik
yang baru dari sesosok pria, dengan kepadaianya bermain bola dilapangan
nampak kekuatan dan kejantanannya pria yang di gabungkan dengan
penampilannnya yang dandy berhias anting, wajah, kuku yang bersih dan rapi
karena perawatan yang rutin. Sosok ini yang menyajikan paduan yang unik
membuka mata dunia atas stereotype imaji maskulin yang selama ini terbentuk.
Secara terminologis, metroseksual terdiri dari dua kata: ”metro” artinya
kota, yakni tempat tren ini terpusat, sedang ”seksual” berkonotasi preferensi
jenis kelamin, maksudnya pria yang asertif menonjolkan sisi feminimnya.
Istilah metroseksual dikemukakan oleh artikel yang ditulis oleh seorang
wartawan Mark Simpson. Artikel ini diterbitkan pada tanggal 15 November
1994, Simpson dalam tulisannya “pria metroseksual adalah pria lajang, belia
dengan pendapatan berlebih, hidup dan bekerja di kawasan perkotaan (karena
disitulah toko-toko terbaik tersedia) mungkin adalah pasar produk konsumen
15
yang paling menjanjikan pada dekade ini. Pada dekade 80-an pria seperti ini
hanya dapat ditemukan di dalam majalah fashion seperti GQ, dalam iklan
televisi Levis, pada dekade 90-an ia ada di mana-mana dan gemar berbelanja”.
Menurut Simpson, ciri khas metroseksual adalah pria muda yang memiliki uang
untuk diberbelanjakan, hidup di metropolis karena disanalah terletak toko,
pusat kebugaran, dan penata rambut terbaik. Ia bisa saja adalah seorang gay,
heteroseksual, atau biseksual. Akan tetapi, ini hanyalah imaterial belaka karena
nyatanya ia lebih mencintai dirinya sebagai objek cinta, kenikmatan, dan
pilihan seksualnya. Profesi tertentu seperti model, pelayan restoran, media,
industry musik, dan olahraga tampaknya menarik bagi kaum ini.
2.2.2 Ciri dan Gaya Hidup Pria Metroseksual
Kertajaya dkk (2004) menguraikan beberapa ciri – ciri pria
metroseksual sebagai berikut :
1. Pada umumnya tinggal di kota besar, dimana hal ini tentu saja
berkaitan dengan kesempatan akses informasi, pergaulan, dan gaya
hidup yang dijalani
2. Berasal dari kalangan berada dan memiliki banyak uang karena
banyaknya materi yang dibutukan sebagai penunjang gaya hidup
yang dijalani.
3. Memilih gaya hidup yang urban dan hedonis.
16
4. Secara intens mengikuti perkembangan fashion di majalah-majalah
mode pria agar dapat mengetahui perkembangan fashion terakhir
yang mudah diikuti
5. Umunya memiliki penampilan yang klimis, dandy dan sangat
memperhatikan penampilan serta perawatan tubuh.
Menurut Jake Brennan seorang lifestyle commentator dalam (Coda, P.
2004, A New Style for Man : metrosexual) dalam Jurnal Prayogo W. Waluyo.
2014 “metroseksual sebagai komunikasi fahsion pria urban” menguraikan ada
6 ciri dari pria – pria metroseksual sebagi berikut :
1. Moderen dan umumnya single yang sangat penduli terhadap diri
sendiri dan juga sisi feminimnya
2. Berdandan sebelum pergi ketempat – tempat hang out atau
menghadiri suatu acara tertentu
3. Mempunyai pendapatan yang cukup untuk selalu tampil up to date,
baik urusan gaya rambut, parfum, sampai trend busana terbaru.
4. Senang menjadi pusat perhatian wanita, sehingga banyak membuat
pria lain cemburu
5. Berusaha memikat perempuan yang menikmati kehadirannya
dengan sejumlah pengetahuan yang dimilikinya, seperti film, musik,
dan bidang seni lainya
17
6. Tinggal di daerah perkotaan sehingga dapat melakukan aktifitas
merawat dirinya dengan mudah.
Dapat ditarik kesimpulan pria metroseksual adalah pria yang hidup di
kota metropolis dengan gaya hidup yang urban, dan menaruh perhatian lebih
pada penampilan, seorang krateristik pria yang unik dan merawat diri melebihi
apa yang dilakukan oleh seorang wanita.
Faktor yang mempengaruhi status metroseksual seorang pria adalah
sebuah perilaku atau gaya hidup yang mengambil bagian paling besar. Gaya
hidup menjadi salah satu factor penentu status metroseksual. Pria metroseksual
memiliki gaya hidup yang mengarah pada Berpergian ketempat mall atau butik
bukan untuk purpose shopping tetapi pleasure shopping, Menghabiskan banyak
waktu dikafe, Memilih untuk melajang sampai usia tertentu.
Ciri dari gaya hidup pria metroseksual adalah mereka sosok yang berani
bereksperimen dengan fashion, misalnya gaya rambut, memakai pemoles kuku,
anting, kalung dan menggunakan berbagai produk kosmetik (Kartajaya,
2014:290). Ada lagi sejumlah karakter lainnya (Kartajaya, 2004:290):
1. Metroseksual lebih menikmati suasana belanja sebagai rekreasi
(pleasure shopping) dari pada belanja karena memang ingin ada yang
dibeli (purpose shopping).
18
2. Metrsoseksual memiliki kemampuan dalam hal komunikasi dan
interpersonal yang baik dengan orang lain.
3. Metroseksual lebih senang ngobrol dari pada rata-rata pria.
4. Metroseksual dikelilingi oleh banyak teman wanita.
5. Metroseksual adalah seseorang yang introspektif, mau dan mampu
“berkomunikasi” dengan dirinya sendiri.
6. Metroseksual memancarkan sosok sensualitas yang lembut, baik
terhadap wanita maupun pria lain.
Dari banyak definisi dan ciri perilaku pria metroseksual terdapat
kesamaan dasar, semuanya membahas penciptaan imaji atas pria baru yang
dimana karakter masklulinnya tak lagi segarang dulu. Mereka lebih lembut dan
trendy. Pemunculan femininitas pada metroseksual lebih diletakkan pada
penampilan fisik yang memperindah penampilan pria.
2.3 Maskulinitas
2.3.1 Gender Dan Maskulinitas
Berbicara tentang maskulin tentu saja tidak bisa lepas pembicaraan
tentang gender. Kata “gender” berasal dari Bahasa inggris. Jika dilihat dari
kamus bahasa inggris, tidak secara jelas dibedakan pergertian antara sex dan
gender. Secara umum gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin
19
adalah konstruksi biologis yang dibawa oleh individu sejak lahir, sedangkan
gender adalah hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia, yang
sifatnya tidak tetap, berubah-ubah, serta dapat diahlihkan dan dipertukarkan
menurut waktu, tempat dan budaya setempat dari satu jenis kelamin dan kepada
jenis kelamin lainya. Gender kerapkali disamakan dengan seks (jenis kelamin),
gender dan seks suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Yang artinya,
membicarakan tentang gender tidak terlepas dari jenis kelamin (seks), namun
antara gender dan seks memiliki perbedaan makna. Kata “gender” dapat
diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggung jawab pada laki
– laki ataupun perempuan sebagai hasil dari bentukan konstruksi sosial budaya
yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke genarasi berikutnya.
Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak
bersifat kodrati. Konstruksi sosial membedakan bagaimana laki- laki dan
perempuan dikonsepsikan/dipersepsikan melalui konsep diri yang bersifat
maskulin dan feminim.
Menurut Kimmell (2005) dalam jurnal Desi Oktafia fribadi yang
berjudul “representasi maskulinitas dalam drama TV korea Youre Beautiful”
maskulinitas adalah sekumpulan makna yang selalu berubah tentang hal – hal
yang berhubungan dengan laki – laki sehingga memiliki definisi yang berbeda
pada setiap individu dan waktu yang berbeda. Menurt Barker, dalam Nasir
(2007 :) maskulin merupakan hasil konstruksi kelaki - lakian. Laki – laki tidak
20
dilahirkan begitu saja dengan sifat maskulinya secara alami, maskulinitas
dibentuk oleh kebudayaan.
Maskulin sering dianggap ditandai dengan sifat rasional, independen,
kuat, pelindung, diikuti dengan peran – peran publik yang harus dijalaninya.
Sedangkan feminim ditandai dengan sifat irasional, emosional, ketergantungan,
butuh perlindungan, serta peran-peran domestik dan pelayanan yang
mengikutinya.
Berikiut adalah karateristik maskulin dan feminim menurut para ahli
dalam jurnal yang dipublikasi oleh Ryani Dhyan Parashakti (2015) “Perbedaan
gaya kepemimpinan dalam perspektif maskulin dan feminim” dalam kajiannya
menjabarkan sebagai berikut :
Tabel Perbedaan Maskulin dan Feminim
Maskulinitas Femininitas
Capra Banyak tuntutan Seimbang
Agresif Responsive
kompetitif Kerjasama
Intuitif
Mempersatukan
Boydell dan
Hammond
Logis Tidak logis
21
Pisah dari sifat alamiah Bagian dari sifat
alamiah
Makanis Sistematis
Otak kiri Otak kanan
Bersifat dominan Bersifat patuh
Pemisah Penyatu
Keras Lunak
Menang-kalah Menang-menang
Berentetan Berjarak
Mengontrol Membebaskan
Marshall Penonjolan diri Saling bergantung
Pemisah Penggabungan
Independent Mendukung
Control Kerjasama
kompetisi Kemauan menerima
Waspada terhadap pola-
pola keseluruhan
Keberadaan
Sumber : Sparrow, J., and Rigg, C., (1993)
Sementara itu, Chafez membagi menjadi tujuh area maskulinitas dalam