BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1.1 Definisi Pembangunan Ekonomi Pembangunan adalah sebuah proses mencakup berbagai perubahan atas stuktur sosial. Pada hakekatnya pembangunan mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar masyarakatnya untuk bergerak maju menuju suatu suatu kondisi kehidupan yang lebih baik, secara material maupun spiritual, adapun tujuan dari pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengertian dari pembangunan menurut para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, negara satu dengan negara lain. Namun, secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Bratakusumah, 2005). Sedangkan Kartasasmita (1997) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upa ya yang dilakukan secara terencana”. Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya. Menurut Tikson (2005), bahwa pembangunan dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan
66
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Ekonomi
2.1.1 Definisi Pembangunan Ekonomi
Pembangunan adalah sebuah proses mencakup berbagai perubahan atas
stuktur sosial. Pada hakekatnya pembangunan mencerminkan perubahan total suatu
masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan
keragaman kebutuhan dasar masyarakatnya untuk bergerak maju menuju suatu
suatu kondisi kehidupan yang lebih baik, secara material maupun spiritual, adapun
tujuan dari pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengertian dari pembangunan menurut para ahli memberikan definisi yang
bermacam-macam. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang
dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, negara satu dengan
negara lain. Namun, secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan
merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Bratakusumah, 2005).
Sedangkan Kartasasmita (1997) memberikan pengertian yang lebih sederhana,
yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang
dilakukan secara terencana”. Pembangunan (development) adalah proses perubahan
yang mencakup seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur,
pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya.
Menurut Tikson (2005), bahwa pembangunan dapat pula diartikan sebagai
transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan
strategi menuju arah yang diinginkan. Sedangkan dalam pengertian ekonomi murni,
pembangunan adalah suatu usaha proses yang menyebabkan pendapatan perkapita
masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 1995). Dengan demikian,
proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi,
sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro.
Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress),
pertumbuhan dan diversifikasi. Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di
atas, pembangunan adalah semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-
upaya secara sadar dan terencana (Riyadi dan Bratakusumah, 2005).
Pembangunan ekonomi merupakan sebuah proses kenaikan pendapatan
secara total dan maksimal, pendapatan perkapita penduduk dengan
memperhitungkan bertambahnya penduduk serta adanya perubahan yang
fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi
penduduk dalam jangka panjang. Secara ringkas, pembangunan ekonomi juga dapat
diartikan sebagai proses yang menyebabkan pendapatan perkapita suatu penduduk
dalam sebuah negara meningkat dalam jangka panjang.
Menurut Suryana (2000), pembangunan ekonomi sebagai proses multi
dimensional yang mencakup segala aspek dan kebijaksanaan yang komprehensif
baik ekonomi maupun non ekonomi. Selanjutnya Suryana menyatakan ada empat
model pembangunan, yaitu model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada
pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan model
pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Menurut
Tarigan (2005), orientasi pembangunan ekonomi Indonesia lebih menekankan pada
pertumbuhan (growth) dan mengurangi ketimpangan antara desa dan kota.
Ekonomi pedesaan tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional
akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran dari arus
komoditas primer dari pedesaan, sehingga sering terjadi kebocoran wilayah yang
merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.
2.1.2 Teori Transformasi Struktural
Struktur perekonomian suatu negara dapat dibagi dalam tiga sektor, yaitu 1)
Sektor pertainan atau sektor primer; 2) Sektor industri atau sekunder; dan 3) Sektor
jasa atau tersier. Berdasarkan pengalaman sejarah di negara-negara maju, terlihat
bahwa tahap awal pembangunan ekonomi di negara tersebut kontribusi sektor
pertanian sangat dominan, namun akan terus mengalami penurunan sampai pada
tahap tertentu. Peran dominan sektor pertanian ini akan digantikan oleh sektor
industri atau jasa. Fenomena perubahan seperti ini disebut sebagai proses
transformasi struktural (Todaro dan Smith, 2011). Selanjutnya transformasi
struktural menurut Todaro dan Smith mengatakan proses perubahan struktural
dimana peranan kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional lebih
rendah dibandingkan dengan kontribusi sektor manufaktur/industri atau dengan
kata lain terjadi pergeseran peran sektor pertanian ke sektor industri. Teori
perubahan struktural (structural change theory) memusatkan perhatian pada
transformasi struktur ekonomi dari pola pertanian yang tradisional ke struktur yang
lebih modern serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektor jasa-jasa yang
tangguh. Aliran pendekatan struktural ini didukung oleh W. Arthur Lewis yang
terkenal dengan model teoritisnya tentang “surplus tenaga kerja dua sektor” (two
sector surplus labor) dan Chenery yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya
tentang “pola-pola pembangunan” (patterns of development).
Teori pola pembangunan Chenery memfokuskan terhadap perubahan
struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi
dari perkonomian negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi dari
pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai roda penggerak ekonomi.
Penelitian yang dilakukan Chenery tentang transformasi struktur produksi
menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita,
perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor
pertanian menuju ke sektor industri (Todaro dan Smith, 2011).
Salah satu karakteristik dalam pembangunan ekonomi adalah pergeseran
jangka panjang populasi dan produksi dari sektor pertanian menjadi sektor industri
dan sektor jasa. Menurut Lewis, dalam perekonomian yang terbelakang ada 2 (dua)
sektor, yaitu sektor pertanian dan sektor industri manufaktur. Sektor pertanian
adalah sektor tradisional dengan marjinal produktivitas tenaga kerjanya nol.
Dengan kata lain, apabila tenaga kerjanya dikurangi tidak akan mengurangi output
dari sektor pertanian. Sektor industri modern adalah sektor modern dan output dari
sektor ini akan bertambah bila tenaga kerja dari sektor pertanian berpindah ke sektor
modern ini. Dalam hal ini terjadi pengalihan tenaga kerja, peningkatan output dan
perluasan kesempatan kerja. Masuknya tenaga kerja ke sektor modern akan
meningkatkan produktivitas dan meningkatkan output.
Teori struktural sendiri mengacu pada teori pembangunan yang
disampaikan oleh Arthur Lewis, pembahasannya lebih pada proses pembangunan
antara daerah kota dan desa, diikuti proses urbanisasi antara kedua tempat tersebut.
Selain itu, teori ini juga mengulas model investasi dan sistem penetapan upah pada
sistem modern yang juga berpengaruh pada arus urbanisasi yang ada. Lewis
mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi
dua, yaitu sebagai berikut.
1) Perekonomian tradisional, Lewis berasumsi bahwa daerah pedesaan dengan
perekonomian tradisional mengalami surplus tenaga kerja. Surplus tersebut erat
kaitannya dengan basis utama perekonomian tradisional. Kondisi masyarakat
berada pada kondisi subsiten akibat perekonomian yang subsisten pula yang
ditandai nilai produk marginal dari tenaga kerja yang bernilai nol. Kondisi ini
menunjukkan bahwa penambahan tenaga kerja justru akan mengurangi total
produksi yang ada, sebaliknya dengan mengurangi tenaga kerja justru tidak
mengurangi total produksi yang ada. Dengan demikian, nilai upah riil
ditentukan oleh nilai rata-rata produk marginal, dan bukan produk marginal dari
tenaga kerja itu sendiri; dan
2) Perekonomian industri, Sektor industri berperan penting dalam sektor ini dan
letaknya pula di perkotaan. Pada sektor ini menunjukkan bahwa tingkat
produktivitas sangat tinggi termasuk input dan tenaga kerja yang digunakan.
Nilai marginal terutama tenaga kerja, bernilai positif dengan demikian daerah
perkotaan merupakan tempat tujuan bagi para pencari kerja dari daerah
pedesaan. Jika ini terjadi maka penambahan tenaga kerja pada sektor-sektor
industri akan diikuti pula oleh peningkatan output yang diproduksi. Dengan
demikian, industri perkotaan masih menyediakan lapangan pekerjaan bagi
penduduk desa. Selain lapangan kerja yang tersedia tidak kalah menarik tingkat
upah di kota dan ini kemudian menjadi ketertarikan bagi penduduk desa dalam
melakukan urbanisasi.
Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan atas sektor modern dan
perluasan kesempatan kerja, diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua
surplus tenaga kerja pedesaan diserap habis oleh sektor industri. Selanjutnya,
tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian
dengan biaya yang lebih tinggi karena hal tersebut pasti akan mengakibatkn
merosotnya produksi pangan. Hanya penurunan rasio tenaga kerja terhadap tanah
secara drastis sajalah yang akan mampu membuat produk marjinal tenaga kerja desa
menjadi tidak sama dengan nol. Dengan demikian, tingkatr upah serta kesempatan
kerja disektor modern terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva
penawaran tenaga kerja bernilai positif. Transformasi struktural perekonomian
itupun pada akhirnya pasti beralih dari perekonomian pertanian tradisional yang
berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri modern yang
berorientasikan kopada pola kehidupan perkotaan.
Proses transformasi struktural tersebut ditandai dengan perubahan struktur
ekonomi yang dicerminkan oleh perubahan kontribusi sektoral (shift-share) di
dalam pendapatan nasional. Proses transformasi struktural itu sendiri dapat
dikelompokkan dalam empat proses utama, yaitu (1) proses akumulasi, (2) proses
alokasi, (3) proses distribusi, dan (4) proses demografis (Stimson et al., 2006).
Perubahan struktur perekonomian dapat dilihat dari besarnya sumbangan masing-
masing sektor terhadap pendapatan nasional. Dari sumbangan masing-masing
sektor tersebut, perekonomian dapat dibagi menjadi tiga komponen, perekonomian
dengan struktur primer atau agraris, perekonomian dengan struktur sekunder atau
industri, dan perekonomian dengan struktur tersier atau jasa (Hidayat, 2004).
Pembangunan harus dapat menghasilkan perubahan struktural yang
seimbang yang tidak menimbulkan ketimpangan antar sektor perekonomian dan
membentuk perekonomian yang sehat yaitu perekonomian yang mampu menjaga
kesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Gie, 2002).
Pembangunan harus dapat menghasilkan perubahan struktural yang seimbang,
sehingga perubahan pada sektor yang satu akan digantikan oleh sektor yang lainnya
yang dapat memberikan keuntungan. Apabila perubahan struktural terus terjadi
pada perekonomian, akan tetapi perubahan yang terjadi menghasilkan adanya
ketimpangan antarsektor yang kemudian. Menumbuhkan struktur ekonomi yang
rapuh, struktur ekonomi yang dapat dengan mudah dipengaruhi perubahan-
perubahan yang terjadi di suatu sektor tanpa dapat digantikan oleh sektor lainnya.
Perubahan struktural melibatkan pergeseran utama antara sektor yang
membuat sisi output pada persamaan fungsi produksi. Salah satu pola yang jelas
dalam perubahan struktur perekonomian adalah sejalan dengan meningkatnya
pendapatan perkapita, kontribusi (share) sektor industri terhadap pembentukan
produk domestik bruto juga meningkat (Gillis et al., 1987). Syrquin (1988),
menyebutkan struktur yang sering digunakan dalam pembangunan dan sejarah
ekonomi mengacu pada pentingnya sektor-sektor perekonomian dalam hal produksi
dan faktor-faktor yang digunakan. Industrialisasi disebut sebagai pusat proses dari
perubahan struktural.
Dalam hal ini (struktur sebagai komposisi dari agregat) perubahan struktur
juga diterapkan pada agregat lainnya yang telah membawa proses industrialisasi
seperti permintaan (demand) dan perdagangan. Proses yang saling berhubungan
dari perubahan struktur yang menemani pembangunan ekonomi sering disebut
transformasi struktural (structural transformation), seperti apa yang dikatakan
Hollis Chenery (Annaf, 2011) yang menyarankan adanya perubahan struktur
produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi barang
industri pada saat pendapatan per kapita meningkat. Model ini menyatakan bahwa
peningkatan tabungan dan investasi perlu tetapi tidak harus cukup (necessary but
not sufficient condition) untuk memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Pola ini juga menyaratkan bahwa selain akumulasi modal fisik dan manusia,
diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan dalam struktur
perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem ekonomi
tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh
fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi
permintaan konsumen, perdagangan internasional serta perubahan-perubahan
sosial-ekonomi seperti urbanisasi, pertumbuhan dan distribusi penduduk.
2.1.3 Pembangunan Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi
Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan
sosial, implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan
kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk
mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik,
budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan, pertumbuhan dan perubahan
(Iqbal dan Sudaryanto, 2008).
Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher dalam
Bustanul (2005), yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan tentang
syarat pokok dan syarat dalam mempelancar pembangunan pertanian. Adapun
syarat pokok pembangunan pertanian, meliputi sebagai berikut.
1) Adanya pasar untuk hasil-hasil usaha tani. Pembangunan pertanian akan
meningkatkan produksi hasil-hasil usahanya tentu diperlukan pasar untuk
diperjualbelikan, tentu harapan dari petani adalah harga yang cukup tinggi
untuk menutupi biaya-biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh para petani
sewaktu memproduksinya. Dalam memasarkan hasil-hasil produk pertanian
tersebut diperlukan adanya permintaan (demand) akan hasil-hasil pertanian,
sistem pemasaran, dan kepercayaan para petani pada sistem pemasaran.
Keadaan ini dapat tercapai dengan adanya daya beli dari konsumen terhadap
hasil pertanian, serta kebijakan pemerintah (perdagangan) yang mendukung.
Khususnya kebijakan perdagangan internasional seperti ekspor dan impor,
kedua kebijakan ini akan mempengaruhi struktur, komposisi dan arah transaksi
serta kelancaran usaha untuk peningkatan devisa negara dari hasil pertanian;
2) Teknologi yang senantiasa berkembang. Teknologi pertanian adalah tata cara
petani bertani. Di dalamnya termasuk cara-cara bagaimana para petani
menyebarkan benih, memelihara tanaman, dan mengolah hasil pertanian serta
memeliharanya, termasuk pula di dalamnya membeli benih, pupuk, obat-
obatan, alat-alat yang digunakan dalam mengolah lahan pertanian dan sumber-
sumber tenaga. Pengembangan teknologi juga dapat mendukung diversifikasi
pertanian sebagai suatu usaha yang komplek dan luas untuk meningkatkan
perekonomian pertanian melalui penganekaragaman komoditas barang
pertanian pada produksi yang subsistem, konsumsi dan distribusi pada tingkat
usaha tani regional maupun nasional;
3) Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal.
Pembangunan pertanian memerlukan tersedianya bahan-bahan dan alat-alat
produksi di berbagai tempat dalam jumlah yang cukup banyak untuk memenuhi
keperluan tiap petani untuk mengolah lahan pertaniannya dengan
mendayagunakan alat-alat produksi lokal dan adanya akses yang mudah
produksi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien;
4) Adanya perangsang produksi bagi petani. Faktor perangsang utama yang
membuat petani bergairah untuk meningkatkan produksinya adalah yang
bersifat ekonomis. Faktor tersebut antara lain adalah harga hasil produksi
pertanian yang menguntungkan, pembagian hasil yang wajar, serta tersedianya
barang-barang dan jasa yang ingin dibeli oleh para petani untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya;
5) Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Tanpa pengangkutan
yang efisien dan murah, keempat syarat mutlak lainnya tidak dapat berjalan
secara efektif, karena produksi pertanian harus tersebar luas. Oleh karena itu
diperlukan suatu jaringan pengangkutan yang bercabang luas untuk membawa
bahan-bahan perlengkapan produksi ke tiap usaha tani dan membawa hasil
usaha tani ke konsumen di kota-kota besar dan kecil untuk didistribusikan. Bagi
hasil pertanian, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pasar, ifrastruktur jalan
yang memadai, serta jaminan keamanaan produk pertanian selama proses
distribusi sangat menentukan kesegaran dan kondisi produk pertanian.
Menurut Mosher (1991), ada lima syarat lagi yang meskipun tidak mutlak
adanya, namun akan sangat memperlancar pembangunan pertanian. syarat-syarat
atau sarana pelancar tersebut, adalah sebagai berikut.
1) Pendidikan Pembangunan di sini di titik beratkan pada pendidikan non formal
yaitu beruapa kursus-kursus, latihan-latihan, dan penyuluhan-penyuluhan.
Pendidikan pembangunan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produkivitas
petani;
2) Kredit Produksi, petani dalam mengolah lahan pertanian diperlukan biaya,
karena itu lembaga-lembaga prekreditan yang memberikan kredit produksi
kepada para petani merupakan suatu faktor pelancar yang penting bagi
pembangunan pertanian;
3) Kegiatan gotong royong petani digunakan secara berkelompok dan bersifat
informal, hal ini didapatkan dari rasa kebersamaan dan rasa memiliki;
4) Perbaikan dan perluasan tanah pertanian. Ada dua cara tambahan untuk
mempercepat pembangunan pertanian yaitu pertama, memperbaiki mutu tanah
yang telah menjadi usaha tani, misalnya dengan pupuk, irigasi, dan pengaturan
pola tanam. Kedua, mengusahakan tanah baru, misalnya pembukaan petak-
petak sawah baru; dan
5) Perencanaan nasional pembangunan pertanian merupakan proses memutuskan
apa yang hendak dilakukan Pemerintah mengenai tiap kebijaksanaan dan
kegiatan yang mempengaruhi pembangunan pertanian selama jangka waktu
tertentu.
Pembangunan pertanian dapat dilakukan dengan baik jika unsur-unsur yang
ada pada pembangunan pertanian dilakukan berkesinambungan. Menurut Algamari
(2011), unsur pertama pembangunan pertanian adalah proses produksi, yaitu suatu
kegiatan yang dilakukan untuk mengubah output menjadi input dengan tujuan
menambah nilai guna dari produk tersebut. Unsur kedua adalah petani atau
pengusaha, sebagai manusia yang berusaha mengatur dan mengusahakan
pertumbuhan tanaman serta lingkungan agar dapat memenuhi kebutuhan manusia.
Peran petani adalah sebagai penggarap dan manajer yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman sehingga pertumbuhan tersebut menjadi lebih sesuai dengan
kemauan dan kebutuhan manusia. Unsur ketiga adalah usaha tani, yaitu pengolahan
suatu tanaman atau membudidayakan tanaman yang memanfaatkan sumberdaya
alam sebagai inputnya yang bertujuan untuk menghasilkan suatu hasil yang
menguntungkan secara efektif dan efisien. Pembangunan pertanian menurut Lynn
(2003), adalah bagian utuh dari pembangunan. Industri harus menyediakan barang
untuk petani. Lapangan kerja non pertanian perlu untuk mempertahankan keluarga
di daerah pedesaan. Produksi pangan harus konsisten dengan selera konsumen.
2.1.4 Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya sejak sudah lama menjadi
perhatian para ahli. Namun istilah keberlanjutan (sustainability) sendiri baru
muncul beberapa dekade yang lalu, walaupun perhatian terhadap keberlanjutan
sudah dimulai sejak Malthus pada tahun 1798 yang mengkhawatirkan ketersedian
lahan di Inggris akibat ledakan penduduk yang pesat. Satu setengah abad kemudian,
perhatian terhadap keberlanjutan ini semakin mengental setelah Meadow dan
kawan-kawan pada tahun 1972 menerbitkan publikasi yang berjudul The Limit to
Growth (Fauzi, 2006) dalam kesimpulannya, bahwa pertumbuhan ekonomi akan
sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam. Dengan ketersediaan sumber
daya alam yang terbatas, arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya
alam tidak akan selalu bisa dilakukan secara terus menerus (on sustainable basis).
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi
dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor
pertanian. Konsep pembangunan berkelanjutan mulai dirumuskan pada akhir tahun
1980an sebagai respon terhadap strategi pembangunan sebelumnya yang terfokus
pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi yang terbukti telah menimbulkan
degradasi kapasitas produksi maupun kualitas lingkungan hidup. Konsep pertama
dirumuskan dalam Bruntland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia
Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa:
“Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan
saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan
kebutuhan mereka” (WCED, 1987).
Berdasarkan definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, Organisasi
Pangan Dunia mendefinisikan pertanian berkelanjutan, sebagai berikut.
“…manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan
teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya
kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian
berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun
hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis,
dan diterima secara sosial (FAO, 1989).
Pezzy (1992), mencatat ada 27 definisi konsep berkelanjutan dan
pembangunan bekelanjutan, dan tentunya masih ada banyak lagi yang luput dari
catatan tersebut, walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan,
termasuk pertanian berkelanjutan, yang diterima secara luas bertumpu pada tiga
pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinahe, 1993; Sanim, 2006). Dengan
perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi
keberlanjutan, yaitu keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan
sosial manusia (people), keberlanjutan ekologi alam (planet), atau sering disebut
dengan pilar Triple-P.
Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan
yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan aset produktif yang
menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama dimensi
ekonomi ini ialah tingkat efisiensi, dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai
tambah (termasuk laba), dan stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan
aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi (material) manusia baik untuk generasi
sekarang maupun generasi mendatang.
Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan
akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis
(termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modal
sosial budaya. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan
berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial-budaya
merupakan indikator-indikator penting yang perlu dalam pelaksanaan
pembangunan.
Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitas ekosistem
alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Termasuk dalam
hal ini ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur biologis (sumberdaya
genetik), sumberdaya tanah, air dan agroklimat, serta kesehatan dan kenyamanan
lingkungan. Penekanan dilakukan pada preservasi daya lentur (resilience) dan
dinamika ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan, bukan pada konservasi
suatu kondisi ideal statis.
Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus
diperhatikan secara berimbang. Sistem sosial yang stabil dan sehat serta
sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi,
sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk terpeliharanya
stabilitas sosial-budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Sistem sosial yang tidak stabil (misalnya terjadinya konflik sosial dan
prevalensi kemiskinan) akan cenderung menimbulkan tindakan yang merusak
kelestarian sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan, sementara
ancaman kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (misalnya kelangkaan tanah
dan air) dapat mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial.
Secara operasional, Turner et al. (1993) mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan sebagai upaya memaksimalkan manfaat bersih pembangunan
ekonomi dengan syarat dapat mempertahankan dan meningkatkan jasa, kualitas dan
kuantitas sumber daya alam sepanjang waktu. Selanjutnya The Agricultural
Research Service (USDA) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai
pertanian yang pada waktu mendatang dapat bersaing, produktif, menguntungkan,
mengkonservasi sumber daya alam, melindungi lingkungan, serta meningkatkan
kesehatan, kualitas pangan, dan keselamatan. Pertanian berkelanjutan merupakan
pengelolaan sumber daya alam serta perubahan teknologi dan kelembagaan
sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia
secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (Food and Agriculture
Organization, 1989).
2.1.5 Peranan Sektor Pertanian dalam MDGs dan SDGs
Pertanian berkelanjutan merupakan gerakan pertanian menggunakan prinsip
ekologi, studi hubungan antara organisme dan lingkungannya (Rural Science
Graduates Association, 2002). Peranan pembangunan sektor pertanian terhadap
tercapainya target pembangunan MDGs sangatlah besar, di negara-negara yang
sedang berkembang termasuk Indonesia. Sektor pertanian adalah penghasil pangan.
Sementara itu aktor utama pertanian adalah petani serta buruh tani yang sebagian
besar tinggal di perdesaan yang jumlahnya sangat besar dan secara umum tingkat
kesejahteraan mereka (petani) tertinggal dari kelompok masyarakat lainnya,
meskipun kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto
Definisi Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,merata, dan terjangkau **)
Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup ditingkat rumah tangga baik dalam jumlah, mutu,keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal ***).
Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dapat menentukan kebijakan pangannya, yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi masyarakatnya untuk menentukan system pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal***).
Indikator Ketersediaan pangan
Kecukupan jumlah (kuantitas) Kecukupan mutu Kecukupan gizi Keamanan
Kecukupan jumlah (kuantitas) Kecukupan mutu Kecukupan gizi Keamanan
Kecukupan jumlah (kuantitas) Kecukupan mutu Kecukupan gizi Keamanan
Indikator Keterjangkauan pangan
Keterjangkauan fisik, ekonomi, dan sosial, Kesesuaian dengan preferensi
Keterjangkauan fisik,ekonomi, dan sosial, Kesesuaian dengan preferensi Kesesuaian kebiasaan, dan budaya Kesesuaian dengan kepercayaan
Keterjangkauan fisik,ekonomi, dan sosial, Kesesuaian dengan preferensi Kesesuaian kebiasaan, dan budaya Kesesuaian dengan kepercayaan
Indikator Konsumsi pangan
Kecukupan asupan (intake), Kualitas pengolahan pangan, Kualitas sanitasi dan hygiene, Kualitas air Kualitas pengasuhan anak
Kecukupan asupan (intake), Kualitas pengolahan pangan, Kualitas sanitasi dan hygiene, Kualitas air Kualitas pengasuhan anak
Kecukupan asupan (intake), Kualitas pengolahan pangan, Kualitas sanitasi dan hygiene, Kualitas air Kualitas pengasuhan anak
Indikator Kemandirian
Tingkat ketergantungan impor pangan Tingkat ketergantungan impor sarana produksi pangan (benih, pupuk, ingredient, pengemas, mesinmesin, dan lain-lain)
Tingkat ketergantungan impor pangan Tingkat ketergantungan impor sarana produksi pangan (benih, pupuk,ingredient, pengemas, mesinmesin,dan lain-lain)
Indikator Kedaulatan
Tingkat keaneka-ragaman sumberdaya pangan lokal
Tingkat partisipasi masyarakat dalam sistem pangan
Tingkat degradasi mutu lingkungan
Tingkat kesejahteraan masyarakat petani, nelayan dan peternak
Sumber: Purwiyatno Hariyadi
*) Disarikan dari berbagai sumber (Hariyadi, 2007; 2009; 2010a
**) UU No 7,1996 tentang Pangan, Bab I, Pasal 1.
***) UU No 41, 2009, tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Bab I, Pasal 1.
Upaya peningkatan kedaulatan pangan perlu secara sadar, sistematis, dan
terstruktur diupayakan, baik oleh pemerintah maupun oleh masayarakat. Secara
umum, kondisi kedaulatan pangan bisa dievaluasi dan dimonitor melalui capaian
indikator-indikator yang telah ditetapkan seperti pada Tabel 2.1. Dengan
memperhatikan indikator-indikator tersebut, maka bisa dilihat bahwa riset dan
teknologi mempunyai peranan sangat penting untuk meningkatkan kedaulatan
pangan melalui peranannya dalam meningkatkan dan menjamin ketersediaan,
keterjangkauan, konsumsi, kemandirian, maupun kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan tumbuh dalam menanggapi ilusi yang diberikan oleh
prinsip ketahanan pangan kebijakan penyediaan pangan yang dominan secara
global. Kebijakan ketahanan pangan menekankan akses pangan bernutrisi yang
mencukupi untuk semua, yang dapat disediakan melalui produksi dari dalam negeri
maupun dari impor. Dengan mengatasnamakan efisiensi dan produktivitas, di
berbagai negara justru berkembang rezim korporasi pangan di mana perusahaan
besar mendominasi produksi dan perdagangan pangan sementara petani kecil
terlantarkan (Philip, 2009). Fokus ketahanan pangan pada rezim korporasi pangan
demi produktivias dan efisiensi telah menyebabkan berbagai masalah yang terus
meluas secara global, seperti hilangnya pangsa pasar bagi produsen kecil dan
berbagai dampak lingkungan dari pertanian.
Ketika harga beras melonjak pada tahun 2008, banyak masyarakat yang
tidak mampu membelinya, sedangkan produksi pangan dalam negeri sudah
terlanjur turun, sehingga suplai pangan tidak mencukupi dan banyak yang memakan
makanan yang tidak layak (Annie, 2010). Untuk mengetahui perbedaan ketahanan
pangan dan kedaulatan pangan dapat dilihat dalam Tabel 2.2 berikut.