BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) adalah salah satu produk samping dari pabrik minyak kelapa sawit yang berasal dari kondensat dari proses sterilisasi, air dari proses klarifikasi, air hydrocyclone (claybath), dan air pencucian pabrik. LCPKS mengandung berbagai senyawa terlarut termasuk, serat-serat pendek, hemiselulosa dan turunannya, protein, asam organik bebas dan campuran mineral-mineral. Tabel 2.1 menyajikan sifat dan komponen LCPKS secara umum. Tabel 2.1. Sifat dan Komponen LCPKS Parameter Rata-rata pH Minyak BOD COD Total Solid Suspended Solid Total Volatile Solid Total Nitrogen 4,7 4000 25000 50000 40500 18000 34000 750 Mineral Rata-rata Kalium Magnesium Kalsium Besi Tembaga 2270 615 439 46,5 0,89 Semua dalam mg/l, kecuali pH (Ngan, 2000). Limbah cair dari pabrik minyak kelapa sawit ini umumnya bersuhu tinggi 70- 80 o C, berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa Universitas Sumatera Utara
24
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawitrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32964/4/Chapter II.pdf · Dalam teknologi pengolahan air limbah,simbiosis dapat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) adalah salah satu produk samping
dari pabrik minyak kelapa sawit yang berasal dari kondensat dari proses sterilisasi, air
dari proses klarifikasi, air hydrocyclone (claybath), dan air pencucian pabrik. LCPKS
mengandung berbagai senyawa terlarut termasuk, serat-serat pendek, hemiselulosa
dan turunannya, protein, asam organik bebas dan campuran mineral-mineral. Tabel
2.1 menyajikan sifat dan komponen LCPKS secara umum.
Tabel 2.1. Sifat dan Komponen LCPKS
Parameter Rata-rata pH Minyak BOD COD Total Solid Suspended Solid Total Volatile Solid Total Nitrogen
4,7 4000
25000 50000 40500 18000 34000 750
Mineral Rata-rata Kalium Magnesium Kalsium Besi Tembaga
2270 615 439 46,5 0,89
Semua dalam mg/l, kecuali pH (Ngan, 2000).
Limbah cair dari pabrik minyak kelapa sawit ini umumnya bersuhu tinggi 70-
80oC, berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa
Universitas Sumatera Utara
koloid dan residu minyak dengan BOD (biological oxygen demand) dan COD
(chemical oxygen demand) yang tinggi. Apabila limbah cair ini langsung dibuang ke
perairan dapat mencemari lingkungan. Jika limbah tersebut langsung dibuang ke
perairan, maka sebagian akan mengendap, terurai secara perlahan, mengkonsumsi
oksigen terlarut, menimbulkan kekeruhan, mengeluarkan bau yang tajam dan dapat
merusak ekosistem perairan. Sebelum limbah cair ini dapat dibuang ke lingkungan
terlebih dahulu harus diolah agar sesuai dengan baku mutu limbah yang telah di
tetapkan. Tabel 2.2. berikut ini adalah baku mutu untuk limbah cair industri minyak
kelapa sawit berdasarkan Keputusam Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995.
Tabel 2.2. Baku Mutu Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit
Parameter Kadar Maksimum (mg/l)
Beban Pencemaran Maksimum (Kg/ton)
BODCOD
5
TSS Minyak dan lemak Nitrogen total (sebagai N)
100 350 250 25
50,0
0,25 0,88 0,63
0,063 0,125
Nikel (Ni) Kobal (Co) pH Debit limbah maksimum
0,5 mg/l 0,6 mg/ L 6,0 – 9,0
2,5 m3 per ton produk minyak sawit (CPO) (Kep Men LH No.51, 1995)
Limbah cair kelapa sawit merupakan nutrien yang kaya akan senyawa
organik dan karbon, dekomposisi dari senyawa-senyawa organik oleh bakteri anaerob
dapat menghasilkan biogas (Deublein dan Steinhauster, 2008). Jika gas-gas tersebut
tidak dikelola dan dibiarkan lepas ke udara bebas maka dapat menjadi salah satu
penyebab pemanasan global karena gas metan dan karbon dioksida yang dilepaskan
Universitas Sumatera Utara
adalah termasuk gas rumah kaca yang disebut-sebut sebagai sumber pemanasan
global saat ini. Emisi gas metan 21 kali lebih berbahaya dari CO2
dan metan
merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar (Sumirat dan Solehudin,
2009).
2.2. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit yang umum dilakukan adalah
dengan menggunakan unit pengumpul (fat pit) yang kemudian dialirkan ke deoiling
ponds (kolam pengutipan minyak) untuk diambil kembali minyaknya serta
menurunkan suhunya, kemudian dialirkan ke kolam anaerobik atau aerobik dengan
memanfaatkan mikroba sebagai perombak BOD dan menetralisir keasaman limbah.
Teknik pengolahan ini dilakukan karena cukup sederhana dan dianggap murah.
Namun teknik ini dirasakan tidak efektif karena memerlukan lahan pengolahan
limbah yang luas dan selain itu emisi metan yang dihasilkan dari kolam-kolam
tersebut merupakan masalah yang saat ini harus ditangani.
Saat ini telah banyak dikembangkan penelitian dalam pengolahan LCPKS,
seperti yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit dengan menggunakan
reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT). Prosesnya diawali dengan pemisahan
lumpur atau padatan yang tersuspensi, kemudian limbah cair dipompakan ke dalam
reaktor anaerobik untuk perombakan bahan organik menjadi biogas. Kemudian untuk
memenuhi baku mutu lingkungan, limbah diolah lebih lanjut secara aerobik
(activated sludge system) hingga memenuhi baku mutu lingkungan untuk dibuang ke
Universitas Sumatera Utara
sungai (Departemen Pertanian, 2006). Selain itu ada juga pengolahan LCPKS yang
dikembangkan oleh Novaviro Tech Sdn Bhd, prosesnya adalah dengan
mengendapkan limbah cair pada kolam pengendapan selama 2 hari lalu dimasukkan
ke dalam tangki anaerobik berpengaduk untuk diolah dengan waktu retensi 18 hari
(Novaviro, 2008).
Proses anaerobik merupakan proses yang dapat terjadi secara alami yang
melibatkan beberapa jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses tersebut.
Proses yang terjadi pada pengolahan secara anaerobik ini adalah hidrolisis,
asidogenik dan metanogenesis. Beberapa jenis bakteri bersama-sama secara bertahap
mendegradasi bahan-bahan organik dari limbah cair (Deublein dan Steinhauster,
2008).
Pada pengolahan secara anaerobik ini bakteri yang berperan adalah bakteri
fermentasi, bakteri asetogenik dan bakteri metanogenik yang memiliki peranan
masing-masing dalam mendegradasi senyawa organik menjadi produk akhir berupa
gas metan. Tiap fase dari proses fermentasi metan melibatkan mikroorganisme yang
spesifik dan memerlukan kondisi hidup yang berbeda-beda. Bakteri pembentuk gas
metan merupakan bakteri yang tidak memerlukan oksigen bebas dalam
metabolismenya, bahkan adanya oksigen bebas dapat menjadi racun atau
mempengaruhi metabolisme bakteri tersebut (Deublein dan Steinhauster, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.3.Proses Pengolahan Limbah Secara Anaerobik
Proses anerobik melibatkan penguraian senyawa organik dan anorganik oleh
mikroorganisme tanpa adanya molekul oksigen bebas. Tahapan yang terjadi dalam
proses perombakan senyawa organik menjadi gas metan ditunjukkan pada Gambar
2.1.
(Jiang, 2006)
Gambar 2.1. Konversi Bahan Organik Menjadi Metan Secara Anaerobik
Total solid (TS) adalah jumlah padatan yang terdapat dalam substrat baik
padatan yang terlarut maupun yang tidak terlarut. Sedangkan volatile solid (VS)
adalah padatan-padatan organik yang terdapat dalam substrat. Dari TS dan VS inilah
dapat diketahui berapa banyak produksi gas yang akan dihasilkan (U.S
Environmental Protection, 2001).
Universitas Sumatera Utara
e. Makro dan Mikronutrien
Mikro-nutrien (trace elements) seperti besi, nikel, kobal, selenium,
molibdenum atau tungsten sama pentingnya dengan makro-nutrients seperti karbon,
nitrogen, fosfor, dan belerang untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
mikroorganisme anaerobik. Rasio optimal makro-nutrien untuk karbon, nitrogen,
fosfor, dan belerang (C: N: P: S) kurang lebih 600:15:5:1.
Kurangnya penyediaan nutrisi dan trace elements serta kecepatan fermentasi yang
terlalu tinggi dari substrat dapat menghambat dan mengganggu proses anaerobik
(Seadi et al, 2008).
f. Hydraulic Retention Time (HRT)
HRT atau waktu tinggal merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh
limbah cair untuk tinggal di dalam fermentor. Nilai HRT merupakan perbandingan
antara volume reaktor dengan laju alir umpan yang masuk (Speece 1996). HRT
berhubungan dengan volume digester dan volume substrat yang masuk per satuan
waktu, meningkatnya organic loading rate akan mengurangi HRT, waktu retensi
harus cukup lama untuk memastikan bahwa jumlah mikroorganisme yang keluar
bersama dengan efluen tidak lebih tinggi dari jumlah mikroorganisme yang
direproduksi.
HRT yang singkat memberikan laju aliran substrat yang baik, namun hasil gas
yang diperoleh akan lebih rendah. Dengan mengetahui HRT yang ditargetkan,
Universitas Sumatera Utara
jumlah input substrat dan laju dekomposisi substrat maka dapat dibuat perhitungan
untuk volume tangki digesternya (Seadi et al, 2008).
2.6. Trace Metal Sebagai Nutrisi Esensial Pada Mikroorganisme
Logam tertentu memainkan peranan penting dalam pertumbuhan dan
metabolisme mikroba, tetapi logam-logam tersebut dapat juga menjadi racun bila
berada pada konsentrasi yang tinggi. Kebutuhan akan trace metal tersebut tergantung
pada kinerjanya dalam enzim sebagai kofaktor tertentu dalam metabolism mikroba.
Tabel 2.7. menunjukkan trace metal yang umum dan dibutuhkan pada pertumbuhan
methanogenic arcaea.
Tabel 2.7. Unsur Yang Berperan Dalam Metabolisme Methanogenic Archaea
Enzim Logam Reaksi
Methyltransferase
Methyl-CoM
reductase
Formylmethanofuran
dehydrogenase
Carbon Monoxide
dehydrogenase
Hydrogenase
Co
Ni
W,(Se, Fe)
Mo,(Se, Fe)
Ni, Fe
Fe
Fe, Ni, Se
MeOH + CoM CH3
CH
-CoM
3-CoM + 2 H CH4
+ CoM
CO2 + MFR CHO-MFR + H2
O
CO + H2O CO2 + 2e- + 2H
+
H2 2e- + 2H+
(Jiang, 2006)
Diantara logam-logam tersebut seperti cobalt, nikel, tungsten dan
molybdenum merupakan logam yang berperan penting dalam metabolisme
Universitas Sumatera Utara
metanogenik dan homoasetogenik. Logam-logam tersebut berperan sebagai co-faktor
dalam enzim, misalnya seperti kobal dalam corronoid, nikel dalam F430, hidrogenase
dan dehidrogenase karbon monoksida. Kedua logam ini tidak dapat diganti dengan
logam lain (Jiang, 2006).
Trace metal diperlukan bagi hampir semua mikroorganisme, tetapi
ketersediaannya secara alami bagi proses anaerobik tidak mencukupi sehingga perlu
dilakukan penambahan agar proses fermentasi dapat berlangsung secara optimum.
Kurangnya konsentrasi trace metal dalam proses anaerobik menyebabkan
berkurangnya konversi propionate dan senyawa volatile fatty acid (VFA) lainnya
menjadi metan sehingga menghambat proses anaerobik karena menumpuknya VFA
dalam sistem (Osuna et al, 2003). Metan diproduksi oleh berbagai macam bakteri
metanogen yang masing-masing membutuhkan trace metal dan kondisi yang
berbeda-beda. Kurangnya konsentrasi salah satu trace metal dalam proses anaerobik
dapat menghambat keseluruhan proses. Walaupun trace metal bukan merupakan
kebutuhan pokok pada proses anerobik tetapi keberadaannya dapat meningkatkan
produksi metan (Speece, 1996). Kebutuhan akan trace metal tersebut tergantung pada
kinerja dalam enzim sebagai kofaktor tertentu dalam metabolisme mikroba. Kofaktor
430 dan koenzim-M merupakan senyawa yang dibutuhkan dalam proses
pembentukan metana, dan kedua senyawa tersebut perlu asupan trace metal dalam
reaksinya. Gambar 2.3 merupakan siklus pembentukan metan yang dikatalisis oleh
kofaktor F430 dan koenzim-M.
Universitas Sumatera Utara
(Jones et al, 1985)
Gambar 2.3. Jalur Pembentukan Metan
Gambar 2.3 memperlihatkan jalur pembentukan metan di mana metanogen
tumbuh pada substrat metanogenik yang berbeda dari jalur metanogenik. Jalurnya
berbeda karena memiliki beberapa koenzim yang unik seperti koenzim-M (HS-CoM),
faktor F420 dan F430, methanofuran, tetrahydromethanofuran and 7-
mercaptoheptanonylthreonine phosphate, yang tidak terdapat pada kelompok
mikroorganisme lain. Aktifasi methanol pada jalur ini dilakukan oleh dua corrinoid
yang mengandung methyltransferases, menghasilkan methylated coenzyme-M.
pembentukan metan dari methyl-CoM dikatalisa oleh methyl CoM reductase, yaitu
enzim yang mengandung F430 (Jiang, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.7. Berbagai Penelitian Tentang Penggunaan Trace Metal Pada Pengolahan Limbah Secara Anaerobik
Pengolahan limbah secara anarobik adalah salah satu metode yang digunakan
untuk mengolah limbah organik dan dapat menurunkan nilai COD yang tinggi dari
limbah tertentu. Pengolahan limbah secara anorganik ini menghasilkan gas metan
sebagai produk akhir reaksi. Proses anarobik dapat berlangsung secara alami di alam,
tetapi gas metan yang dihasilkan dari proses ini merupakan salah satu gas rumah kaca
yang cukup berbahaya bagi lingkungan. Maka saat ini banyak dilakukan pemanfaatan
gas metan dari proses pengolahan limbah secara anarobik. Selain dapat megurangi
dampaknya terhadap lingkungan, metan yang diperolah juga dapat dimanfaatkan
sebagai sumber energi yang cukup ramah lingkungan.
Oleh karena itu banyak penelitian yang dilakukan untuk mengoptimumkan
pengolahan limbah secara anaorganik, beberapa diantaranya adalah dengan
menambahkan sejumlah mikronutrien seperti trace metal. Berbagai penelitian
tentang kebutuhan trace metal oleh metanogen telah banyak dilakukan, di antaranya
oleh Zitomer dengan hasil penelitian bahwa penambahan trace metal meningkatkan
biogas dari 14% menjadi 50%. Selain itu penggunaan trace metal juga dapat
meningkatkan penurunan COD seperti hasil penelitian oleh Oleszkiewicz yang
ditampilkan pada Tabel 2.8.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.8. Penelitan Yang Menggunakan Trace Metal dalam Proses Anaerobik
Peneliti Bahan Baku Hasil Penelitian
Streicher. C dan. Milande. B Oleszkiewicz. J.A Kida, Ikbal dan Sonods Espinosa Takashima Zitomer Irvan dan Lembaga Penelitan USU Penulis
Whey Limbah industri makanan beku Limbah industri bir Molase Glukosa Sampah kota LCPKS LCPKS
Laju penurunan COD meningkat dari 6 kg/m3d menjadi 40 kg/m3
d dengan penambahan Fe, Co dan Ni
Penurunan COD meningkat hingga 95% dengan menambahkan Co, Fe dan Ni VFA meningkat ketika penambahan Ni dan Co dihantikan, dan jumlah biogas menurun Penurunan COD meningkat dari 44% menjadi 58%, dan biogas meningkat dengan penambahan trace metal Konsentrasi minimum untuk Ni 0,40 mg/l dan Co 0,45 mg/l Penambahan trace metal menigkatkan produksi biogas dari 14% menjadi 50% Diperoleh biogas sebanyak 8,7 Liter/ hari dari fermentasi LCPKS secara anaerobik termofilik dengan menggunakan trace metal sebagai mikronutrien Pengurangan trace metal berpengaruh pada produksi biogas, tetapi pada konsentrasi Ni 0,08 mg/l dan Co 0,07 mg/l masih dapat diperoleh biogas yang optimum
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan pengembangan dari
penelitian yang telah dilakukan oleh Irvan dan LP3M USU, di mana trace metal yang
ditambahkan pada penelitian yang dilakukan oleh Irvan tersebut adalah sebanyak Ni
0,49 mg/l dan Co 0,42 mg/l dan pada penelitian ini penulis mengurangi konsentrasi
trace metal hingga 90% dan 97% dari penelitian terdahulu.