BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Bank Bank merupakan lembaga keuangan intermediasi yaitu lembaga perantara yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat yang kemudian disalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit (Sari, 2010:38). Para ahli dalam bidang perbankan memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai bank, berikut ini beberapa definisi bank menurut para ahli diantaranya : Menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan Bank adalah: “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk- bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Menurut Dendawijaya (2009:14) bank merupakan suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries) yang menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana (idle fund surplus unit) kepada pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) pada waktu yang ditentukan. Menurut Mishkin dalam bukunya Ekonomi Uang, Perbankan dan Pasar Keuangan (2010:9), mengatakan Bank adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan dan membuat pinjaman.
37
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 ... · mengenai bank, berikut ini beberapa definisi bank menurut para ahli diantaranya : Menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Bank
Bank merupakan lembaga keuangan intermediasi yaitu lembaga perantara
yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat yang
kemudian disalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit (Sari, 2010:38).
Para ahli dalam bidang perbankan memberikan definisi yang berbeda-beda
mengenai bank, berikut ini beberapa definisi bank menurut para ahli diantaranya :
Menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 tahun
1998 Tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan
Bank adalah:
“Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Menurut Dendawijaya (2009:14) bank merupakan suatu badan usaha yang
tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries)
yang menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana (idle fund surplus unit)
kepada pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) pada waktu yang ditentukan.
Menurut Mishkin dalam bukunya Ekonomi Uang, Perbankan dan Pasar Keuangan
(2010:9), mengatakan Bank adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan
dan membuat pinjaman.
10
Berdasarkan dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa bank adalah suatu badan usaha yang kegiatannya menghimpun dana dari
pihak yang memiliki kelebihan dana dalam bentuk simpanan kepada pihak yang
kekurangan dana dalam bentuk pinjaman.
2.1.1.1 Fungsi Bank
Fungsi bank yang dijelaskan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998
berbunyi : “Fungsi utama perbankan indonesia adalah sebagai menghimpun dana
dan menyalurkan dana ke masyarakat”. Di dalam penjelasan yang tercantum
dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tersebut mempunyai dua fungsi,
diantaranya:
a. Penghimpun Dana Masyarakat
Penghimpunan dana masyarakat bisa berbentuk simpanan (deposito berjangka),
giro, tabungan dan lain-lain yang dipersamakan dengan itu.
b. Menyalurkan Dana Masyarakat
Menyalurkan dana masyarakat bisa berbentuk kredit atau yang dipersamakan
dengan itu.
Secara spesifik menurut Santoso dan Triandaru (2006), fungsi bank terdiri
dari :
a. Agent of trust
Menurut Santoso dan Triandaru (2006) dasar utama dalam kegiatan perbankan
adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal penghimpunan dana maupun
penyaluran dana. Masyrakat akan berminat menitipkan dananya di bank apabila
dilandasi oleh unsur kepercayan.
11
b. Agent of development
Menurut Santoso dan Triandaru (2006) sektor dalam kegiatan perekonomian
masyarakat yaitu sektor moneter dan sektor riil, tidak dapat dipisahkan. Sektor
riil tidak akan dapat bekerja dengan baik apabila sektor moneter tidak bekerja
dengan baik. Kedua sektor tersebut berinteraksi saling mempengaruhi satu
dengan yang lain. Jadi bank disini memiliki fungsi untuk membangun
perekenomian di sektor riil.
c. Agent of services
Menurut Santoso dan Triandaru (2006) disamping melakukan kegiatan
penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa-
jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa-jasa yang ditawarkan bank
ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum,
antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, jasa penitipan barang berharga,
jasa pemberian jaminan bank, dan jasa penyelesaian tagihan.
2.1.2 Teori Agensi (Agency Theory)
Dalam mencapai tujuan dan kinerja bank tidak terlepas dari pengaruh
kinerja manajemen itu sendiri yaitu dari kinerja para pengurus bank atau para
manajemen. Pada praktik perekonomian yang modern ini, manajemen dan
pengendalian perusahaan semakin dipisahkan dengan kepemilikan sehingga
dalam posisi ini pemilik bank menunjuk orang yang bertanggung jawab dalam
melaksanakan proses tata kelola perusahaan atau untuk bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan operasional perbankan. Tujuan dari sistem pemisahan ini
12
adalah untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas dengsn mempekerjakan agen
profesional dalam mengelola perusahaan.
Kaitannya terhadap hal ini, hubungan antara pihak manajemen terhadap
pemilik bank akan dituangkan dalam suatu kontrak (performance contract)
(Dewayanto, 2010:107). Hubungan kontrak antara pemilik dan manajemen ini
sejalan dengan teori agensi (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Dewayanto,
2010:107). Pada prakteknya ada masalah dalam pemisahan manajemen perusahaan
dengan pemilik perusahaan. Manajer mungkin akan memaksimalkan usaha untuk
menjaga kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan kepentingan para
pemegang saham. Selanjutnya pada sistem pemisahan ini akan menimbulkan
kurangnya transparasi dalam penggunaan dana perusahaan dan dalam
keseimbangan dari kepentingan antara pemegang saham dan manajer serta
pengendalian dan pemegang saham minoritas.
Ada tiga asumsi yang melandasi teori keagenan menurut Darmawati dkk
(2005) dalam Sari (2010:12), yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi
keorganisasian dan asumsi informasi.
1. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia mempunyai sifat
mementingkan diri sendiri, memiliki keterbatasan rasional dan tidak menyukai
risiko.
2. Asumsi keorganisasian menekankan tentang adanya konflik antar anggota
organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitias, dan adanya asimetri informasi
antara principal dan agent.
13
3. Asumsi informasi mengemukakan bahwa informasi dianggap sebagai komoditi
yang dapat dijualbelikan.
Berkaitan dengan masalah teori keagenan ini, good corporate governance
merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan diharapkan dapat
berfungsi sebagai konsep yang memberikan keyakinan terhadap para investor
tentang return atas dana yang telah mereka investasikan ke dalam perusahaan,
Che Haat, et al (2008) dalam Purno dan Khafid (2013 :4194) berpendapat bahwa
untuk mengatasi konflik keagenan dibutuhkan pedoman yang lebih baik yaitu
dengan adanya good corporate governance sehingga diharapakan konflik
keagenan yang terjadi dapat dikurangi.
2.1.3 Good Corporate Governance
Good Corporate Governance merupakan seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus perusahaan, pihak
kreditur, pemerintah, karyawan serta pemegang kepentingan intern dan ekstern
lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata
lain suatu system yang mengatur dan mengendalikan perusahaan (FCGI, 2001:
20). Good corporate governance muncul untuk mengurangi konflik keagenan
yang terjadi didalam suatu organisasi. Ada berbagai pengertian Good Corporate
Governance yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Menurut Dalwai, Basirudin dan Abdul (2015:4) menyatakan bahwa good
corporate governance merupakan peraturan yang ditegakkan melalui lembaga
internal dan eksternal yang berbeda untuk menyelesaikan konflik keagenan dan
14
melindungi kepentingan pemegang saham organisasi dimana berguna untuk
memastikan bahwa perusahaan dijalankan secara bertanggung jawab dan
akuntabel yang meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Sedangkan dalam
Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 menjelaskan bahwa Good Corporate
Governance adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip
(responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).
Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa good corporate
governance, merupakan suatu sistem tata kelola perusahaan yang mengatur pola
hubungan antara para pemangku kepentingan perusahaan dan melindungi
kepentingan para pemegang saham serta dirancang untuk meningkatkan kinerja
perusahaan.
2.1.3.1 Prinsip Good Corporate Governance
Menurut Menteri BUMN No:Kep.117/M-MBU/2002, prinsip Good
Corporate Governance (GCG) merupakan kaidah, norma ataupun pedoman
korporasi yang diperlukan dalam sistem pengelolaan BUMN yang sehat.
Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 bagian penjelasan umum
memberikan definisi prinsip-prinsip GCG sebagai berikut:
“Pertama transparansi (transparency) diartikan sebagai keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang materil dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pertangungjawaban bank sehingga pengelolaannya berjalan efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Kelima, kewajaran (fairness) yaitu
15
keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia (2012:3)
yang dikeluarkan Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG)
mempaparkan mengenai arti dari kelima prinsip tersebut, yaitu prinsip
keterbukaan (transparency), memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank
berdasarkan ukuran-ukuran yang konsisten dengan corporate value, sasaran usaha
dan strategi bank sebagai pencerminan akuntabilitas bank (accountability),
berpegang pada prudential banking practices dan menjamin dilaksanakannya
ketentuan yang berlaku sebagai wujud tanggung jawab bank (responsibility),
objektif dan bebas dari tekanan pihak manapun dalam pengambilan keputusan
(independency), serta senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders
berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (fainess).
Pedoman tersebut merinci konsepsi dari kelima prinsip GCG (2012:4-5),
yakni:
1. Transparansi (Transparency)
Transparansi mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan
informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat
diperbandingkan serta mudah diakses. Transparansi diperlukan agar bank
menjalankan bisnis secara objektif, profesional, dan melindungi kepentingan
konsumen.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi serta
bagaimana cara mempertanggungjawabkannya. Bank sebagai lembaga dan
16
pejabat yang memiliki kewenangan harus dapat mempertanggungjawabkan
kinerjanya secara transparan dan akuntabel. Untuk itu bank harus dikelola
secara sehat, terukur dan professional dengan memperhatikan kepentingan
pemegang saham, nasabah, dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas
merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang
berkesinambungan.
3. Tanggung Jawab (Responsibility)
Tanggung jawab mengandung unsur kepatuhan peraturan perundang-
undangan dan ketentuan internal bank serta tanggung jawab bank terhadap
masyarakat dan lingkungan. Responsibilitas diperlukan agar dapat menjamin
terpeliharanya kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat
pengakuan sebagai warga korporasi yang baik atau dikenal dengan good
corporate citizen.
4. Independensi (Independency)
Independensi mengandung unsur kemandirian serta objektifitas dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya. Dalam hubungan dengan asas
independensi (independency), Bank harus dikelola secara independen agar
masing‐ masing organ Perusahaan beserta seluruh jajaran dibawahnya tidak
saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun yang
dapat mempengaruhi obyektivitas dan profesionalisme dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya.
17
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fainess)
Kewajaran dan kesetaraan mengandung unsur perlakuan yang adil dan
kesempatan yang sama sesuai dengan proporsinya. Dalam melaksanakan
kegiatannya, bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang
saham, konsumen dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan dari masing‐masing pihak yang bersangkutan.
2.1.3.2 Manfaat dan Tujuan Good Corporate Governance
Good corporate governance diterbitkan agar perusahaan memiliki acuan
dalam menjalankan operasional serta melaksanakan pengawasan agar perusahaan
dapat dikelola dan berjalan dengan baik dan efektif sehingga dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan.
Penerapan corporate governance yang baik merupakan kunci utama dalam
membangun kepercayaan pasar serta mendorong operasional perusahaan berjalan
dengan efektif. Menurut Bassel Committee on Banking Supervison dalam
Oktapiyani (2009:28), tujuan dan manfaat good corporate governance antara lain
sebagai berikut :
1. Mengurangi biaya agensi yang timbul karena penyalahgunaan wewenang atau
biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah timbulnya suatu masalah.
2. Mengurangi biaya modal yang timbul dari manajemen yang baik untuk
meminimalisir resiko.
3. Memaksimalkan nilai saham perusahaan.
18
4. Mendorong pengelolaan perbankan secara professional, transparan, efisien
serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian dewan komisaris.
Direksi dan RUPS.
5. Mendorong dewan komisaris, anggota direksi, pemegang saham dalam
membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi moral yang tinggi dan
kepatuhan terhadap perundang-undangan yang berlaku.
6. Menjaga Going Concern perusahaan.
Sependapat dengan hal itu, Forum for Corporate Governance in Indonesia
(FCGI) mengungkapkan bahwa setidaknya ada beberapa manfaat yang dapat
diperoleh dari penerapan good corporate governance yang baik, antara lain :
1. Dapat meningkatkan kinerja perusahaan dengan adanya proses pengambilan
keputusan yang lebih baik dan meningkatkan efisiensi operasional perusahaan.
2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga
akan meningkatkan corporate value.
3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk kembali menanamkan modalnya
di Indonesia.
4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena
sekaligus akan meningkatkan shareholders’s value dan deviden.
2.1.3.3 Mekanisme Good Corporate Governance
Mekanisme corporate governance merupakan suatu cara kerja secara
tersistem antara pihak yang mengambil keputusan dengan baik yang melakukan
kontrol atau pengawasan terhadap keputusan tertentu untuk memenuhi
persyaratan tertentu. Menurut Caprio, et al. (2003) dalam Totok Dewayanto
19
(2010:107) mekanisme corporate governance akan mampu mengurangi
perampasan sumber daya bank dan mempromosikan efisiensi bank. Selain itu
mekanisme corporate governance untuk meminimalkan konflik kepentigan antara
prrincipal dan agent akibat adanya pemisahan pengelolaan perusahaan. Ini adalah
salah satu fakta mengenai pentingnya corporate governance dalam perbankan.
Mekanisme dalam pengawasan corporate governance menjadi salah satu
praktek strategi khusus untuk melakukan tata kelola perusahaan. Menurut
Iskandar dan Chamlao (2000) dalam Lastanti (2004) menjelaskan bahwa
mekanisme dalam pengawasan good corporate governance dibagi dalam dua
kelompok yaitu internal dan external mechanism. Internal mechanism adalah cara
untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses
internal seperti komposisi dewan direksi, komposisi komisaris independen dan
komposisi komite audit. Sedangkan external mechanism adalah cara
mempengaruhi perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal,
seperti pengendalian perusahaan dan mekanisme pasar.
Dalam penelitian Hartono dan Nugrahanti (2014) mengkaji mengenai
mekanisme tata kelola perusahaan dalam mengukur kinerja perusahaan perbankan
melalui Mekanisme Pemantauan Kepemilikan (Ownership), Mekanisme
Pemantauan Pengendalian Internal, dan Mekanisme Pemantauan Pengungkapan.
Dalam penelitian ini lebih banyak mengkaji secara mendalam mekanisme
good corporate governance mengenai Mekanisme Pemantauan Kepemilikan
meliputi Kepemilikan Institusional dan Kepemilikan Manajerial. Mekanisme
Pemantauan Pengendalian Internal meliputi Ukuran Dewan Direksi dan Komisaris
20
Independen. Mekanisme Pemantauan Pengungkapan meliputi pengungkapan yang
dilakukan oleh Komite Audit dan penggunaan KAP Big Four.
2.1.3.3.1 Mekanisme Pemantauan Kepemilikan
Dalam penelitian ini menggunakan struktur kepemilikan modal sebagai
mekanisme pemantauan kepemilikan. Struktur kepemilikan terdiri dari struktur
kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial.
a. Kepemilikan Pemegang Saham Institusional
Terdapat beberapa pengertian kepemilikan institusional yang diuraikan
beberapa penelitian, yaitu menurut Purno (2013:32) menyatakan bahwa
kepemilikan institusional merupakan saham yang dimiliki oleh investor yang
berasal dari pihak institusi perusahaan. Tarjo (2008) dalam Hisamuddin dan Tirta
(2012:120) menyatakan bahwa konsentrasi kepemilikan institusional merupakan
saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan
asuransi, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain. Menurut
Rimardhani, Hidayat, dan Dwiatmanto (2016:3) menurut kepemilikan adalah
saham yang dimiliki pemerintah, institusi berbadan hukum, dana perwakilan,
institusi asing, dan lain sebagainya yang dapat memonitor manajemen dalam
pengelolaan perusahaan.
Dari beberapa definisi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
kepemilikan institusional merupakan saham yang dimiliki oleh institusi
perusahaan maupun pemerintah. Proporsi kepemilikan saham institusional dapat
diukur melalui perbandingan jumlah saham yang dimiliki investor institusi dengan
total modal saham perusahaan yang beredar.
21
Kepemilikan institusional di dalam suatu perusahaan memiliki peranan
penting dalam meminimalkan konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan
pemegang saham serta mampu dalam memonitor manajemen dalam mengelola
perusahaan. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi maka akan
mengakibatkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor
institusional sehingga dapat menghalangi perilaku oportunistik yang dilakukan
oleh manajer. Dengan semakin tinggi tingkat kepemilikan institusional maka
semakin besar suara dan dorongan institusi untuk melakukan pengawasan.
b. Kepemilikan Pemegang Saham Manajerial
Terdapat beberapa pengertian kepemilikan manajerial yang diuraikan dari
beberapa peneliti, yaitu menurut Wahidati (2002) dalam Purno (2013:49)
menyatakan bahwa kepemilikan manajerial adalah pemegang saham dari pihak
manajemen (direktur dan komisaris) yang secara aktif ikut dalam pengambilan
keputusan. Susiana dan Herawaty (2007:7) menjelaskan bahwa kepemilikan
manajerial merupakan presentase saham yang dimiliki oleh manajemen termasuk
didalamnya presentase saham yang dimiliki oleh manajemen secara pribadi
maupun oleh anak cabang perusahaan bersangkutan beserta afiliasinya. Sujoko
(2009) dalam Tertius dan Christiawan (2015:3) menjelaskan bahwa kepemilikan
manajerial merupakan jumlah kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemilik,
dewan eksekutif dan manajemen dalam suatu perusahaan.
Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan yang dimiliki dari pihak
manajemen perusahaan. Kepemilikan manajerial dapat diukur dengan cara
22
membandingkan jumlah kepemilikan pemegang saham manajerial dengan total
saham yang beredar. Kepemilikan manajerial diterapkan pada perusahaan untuk
memotivasi kinerja para manajer. Kebijakan ini dimasudkan untuk memberikan
kesempatan kepada para manajer untuk terlibat dalam kepemilikan saham
sehingga asimetri informasi di dalam suatu perusahaan dapat diminimalisasi. Hal
ini sejalan dengan teori keagenan dimana diharapkan keterlibatan manajer pada
kepemilikan saham dapat efektif meningkatkan kinerja para manajer.