BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pola Pengasuhan 2.1.1. Defenisi Pola Pengasuhan Pola pengasuhan (parenting) atau perawatan anak sangat bergantung pada nilai - nilai yang dimiliki keluarga ( Supartini, 2002 dalam Septiani, 2012). Pola asuh merupakan proses dari tindakan yang mempunyai tujuan untuk dicapai sedang masa tersebut dimulai dari masa kehamilan (Wong, 2003 dalam Teviana, 2012). Menurut kamus Bahasa Indonesia asuh adalah menjaga dan memelihara anak sakit (Chaniago, 1995 dalam Septiani, 2012). Pada dasarnya tujuan utama pengasuhan orang tua adalah untuk memepertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya. Kemampuan orang tua atau keluarga menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari secara formal melainkan berdasarkan pengalaman dalam menjalankan peran tersebut secara trial dan error atau mempengaruhi orang tua/ keluarga lain terdahulu (Supartini, 2002 Septiani, 2012) 2.1.2. Bentuk Pola Pengasuhan Menurut Strewart dan Koch ( 1983 ) dalam Tarmudji ( 2011 ) ada tiga bentuk pola asuh orang tua, yaitu : 1 Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah - perintah orang tua. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri - ciri bersifat kaku, tegas, suka menghukum dan kurang kasih sayang.Orang tua memaksa anak - anak untuk patuh terhadap nilai - nilai dan peraturan mereka. Dalam
23
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pola Pengasuhan …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pola Pengasuhan
2.1.1. Defenisi Pola Pengasuhan
Pola pengasuhan (parenting) atau perawatan anak sangat bergantung pada nilai - nilai
yang dimiliki keluarga ( Supartini, 2002 dalam Septiani, 2012). Pola asuh merupakan proses dari
tindakan yang mempunyai tujuan untuk dicapai sedang masa tersebut dimulai dari masa
kehamilan (Wong, 2003 dalam Teviana, 2012). Menurut kamus Bahasa Indonesia asuh adalah
menjaga dan memelihara anak sakit (Chaniago, 1995 dalam Septiani, 2012).
Pada dasarnya tujuan utama pengasuhan orang tua adalah untuk memepertahankan
kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk
mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya dan mendorong
peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya.
Kemampuan orang tua atau keluarga menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari secara
formal melainkan berdasarkan pengalaman dalam menjalankan peran tersebut secara trial dan
error atau mempengaruhi orang tua/ keluarga lain terdahulu (Supartini, 2002 Septiani, 2012)
2.1.2. Bentuk Pola Pengasuhan
Menurut Strewart dan Koch ( 1983 ) dalam Tarmudji ( 2011 ) ada tiga bentuk pola asuh
orang tua, yaitu :
1 Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk
mengikuti perintah - perintah orang tua. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter
mempunyai ciri - ciri bersifat kaku, tegas, suka menghukum dan kurang kasih sayang.Orang
tua memaksa anak - anak untuk patuh terhadap nilai - nilai dan peraturan mereka. Dalam
memberikan peraturan itu tidak ada usaha untuk menjelaskan kepada anak mengapa ia harus
patuh pada peraturan itu ( Hurlock, 1999 dalam Septiani, 2012). Anak dari orang tua yang
otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya
sendiri merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri
pada awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan
anak - anak lain. Adapun dampak dari perkembangan motorik terhadap pola asuh otoriter
adalah anak cenderung agresif, impulsive, pemurung dan kurang mampu konsentrasi.
2 Pola asuh demokratis
Pola asuh demokratis adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan
ekstra ketat terhadap tingkah laku anak - anak, tetapi mereka juga bersikap responsif
(Desmita, 2005 dalam Septiani, 2012). Menurut Stewart dan Koch (1983) dalam Tarmudji
(2011) bahwa orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara anak
dan orang tua. Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak - anaknya
terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka dewasa. Lebih lanjut Suherman
( 2000 ) dalam Septiani,( 2012 ) menyatakan bahwa orang tua yang demokratis
memperlakukan anak sesuai dengan tingkat - tingkat perkembangan motorik anak dan dapat
memperhatikan serta mempertimbangkan keinginan anak. Dampak perkembangan motorik
terhadap pola asuh demokratis yaitu rasa harga diri yang tinggi, memiliki moral yang standar,
kematangan psikologisosial, kemandirian dan mampu bergaul dengan teman sebayanya.
3 Pola asuh permisif
Menurut Stewart dan Koch (1983) dalam Tarmudji (2011) menyatakan bahwa pola asuh
permisif anak dituntut sedikit sekali tanggung jawab tetapi mempunyai hak yang sama seperti
orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak
8
banyak mengatur anaknya. Dalam pola asuh ini diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan
pengendalian diri anak karena orang tua yang cenderung membiarkan anak mereka
melakukan apa saja yang mereka inginkan dan akibatnya anak selalu mengharap semua
keinginannya dituruti (Desmita, 2005 dalam Septiani, (2012 ). Lebih lanjut menurut
Hurlock (1976) dalam Tarmudji (2011) bahwa dalam pola asuh permisif bimbingan terhadap
anak kurang dan semua keputusan lebih banyak dibuat oleh anak daripada orang
tuanya.Dalam pola asuh ini sikap acceptance orang tua tinggi namun tingkat kontrolnya
rendah (Yusuf, 2001 dalam Teviana, 2012).Dampak dari perkembangan motorik terhadap
pola asuh permisif yaitu kurang percaya diri, pengendalian diri yang buruk dan rasa harga
diri yang rendah. Pola asuh dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, kebiasaan dan
kepercayaan serta kepribadian orang tua.Selain itu dipengaruhi pola asuh yang dirasakan
orang tua saat kecil (Markum, 1998 dalam Teviana, 2012). Erikson menyebutkan bahwa pola
pengasuhan diawal kehidupan seseorang akan melandasi kepribadian yang akan terus
berkembang pada fase - fase berikutnya. Proses pengasuhan dimasa bayi, akan mendasari
kepibadian dimasa remaja, dan seterusnya. Proses tersebut akan berlanjut seumur hidupnya.
Dengan demikian tampaklah bahwa kepribadian seseorang tidak dapat lepas begitu saja dari
proses pengasuhan pada fase - fase sebelumnya (Yusuf, 2004 dalam Teviana, 2012).
Menurut Soetjiningsih (1995) dalam Septiani (2012), kebutuhan dasar anak untuk
tumbuh dan berkembang secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar yaitu :
1 Kebutuhan fisik-biomedis (ASUH), meliputi :
a Pangan/ gizi merupakan kebutuhan terpenting
b Papan/ tempat tinggal
c Sandang/ pakaian yang memadai
2 Kebutuhan emosi/ kasih sayang (ASIH)
Merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik,
mental, psikologi.
3 Kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH)
Adalah mengembangkan perkembangan moral etika, kepribadian, perilaku.
2.1.3. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Menurut Supartini (2002) dalam Septiani (2012), faktor - faktor yang mempengaruhi pola
asuh :
1 Usia orang tua
Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu
muda atau tua mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena
diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.
2 Keterlibatan orang tua
Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak walaupun secara
kodrati akan ada perbedaan. Di dalam rumah tangga ayah dapat melibatkan dirinya
melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak saja bertanggung jawab
dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan ibu dalam melakuan
perawatan anak seperi menggantikan popok ketika anak mengompol atau mengajaknya
bermain bersama sebagai salah satu upaya dalam melakukan interaksi.
3 Pendidikan orang tua
Wong et (2001) dalam Teviana (2012) mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk lebih siap menjalankan peran pengasuhan diantaranya adalah pendidikan.
4 Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
Orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih
siap menjalankan pengasuhan dan lebih relaks.
5 Stres orang tua
Stres yang dialami orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan
peran pengasuhannya terutama dalam kaitannya dengan strategi koping yang dimiliki oleh
anak.
6 Hubungan suami istri
Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan berdampak pada kemampuan dalam
menjalankan perannya ssebagai orang tua dan merawat serta mengasuh anak dengan penuh
rasa bahagia karena satu sama lain dapat saling memberi dukungan dan menghadapi segala
masalah dengan koping yang positif.
2.1.4. Hubungan Pola Asuh dengan Kemampuan Motorik
Pola asuh bertujuan untuk mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan
kesehatannya memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan
perkembangan dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama
dan budaya yang diyakininya.
Menurut Anwar ( 2002 ) dalam Listroyorini (2016) agar keluarga atau orang tua mampu
melakukan fungsinya dengan baik maka orang tua perlu memahami tingkat perkembangan anak,
menilai pertumbuhan dan perkembangan anak serta mempunyai motivasi yang kuat untuk
memajukan tumbuh kembang anaknya dengan cara memberi pola pengasuhan yang baik
terhadap anak.
Gerakan motorik terdiri dari tiga komponen besar yaitu reseptor sensorik, otak dan alat
gerak.Tiap rangsangan yang diterima oleh reseptor diteruskan ke otak melalui saraf sensorik
setelah itu otak mengambil suatu keputusan untuk melakukan tindakan melalui saraf motorik
(Tandyo, 2002 dalam Listroyorini, 2016).
Kesempatan untuk menggerakkan semua bagian tubuh, rangsangan dan dorongan kepada
anak mempercepat tercapainya kemampuan motorik.Perkembangan motorik yang abnormal
dapat disebabkan karena kurangnya kesempatan untuk berlatih menggunakan anggota tubuhnya,
adanya perlindungan yang berlebihan (Hurlock, 1999 dalam Teviana, 2012). Adapun pola asuh
yang ideal atau pola asuh yang baik adalah pola asuh demokratis dimana anak mempunyai hak
untuk mengetahui mengapa peraturan - peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan
mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Setiap
orang tua mencoba menghargai kemampuan anak secara langsung pada waktu anak bertingkah
laku (Djiwardono, 2002 dalam Teviana, 2012 ).
Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kemampuan motorik adalah :
1 Stimulasi
Pemberian stimulasi pada tiga tahun pertama kehidupan anak merupakan hal yang sangat
penting bagi kehidupan anak karena tiga tahun pertama otak merupakan organ yang sangat
pesat pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Soetjiningsih (1995) dalam Teviana (2012 ),
stimulasi merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan anak, karena anak yang
mendapatkan stimulasi yang terarah akan berkembang lebih cepat dan baik dibanding dengan
anak yang kurang atau sama sekali tidak mendapatkan stimulasi. Stimulasi juga dapat
berfungsi sebagai penguat yang brmanfaat bagi perkembangan anak, termasuk perhatian dan
kasih sayang dari orang tua.Peran orang tua mempengaruhi perkembangan motorik
anak.Orang tua yang memberikan stimulasi dini maka kemampuan motorik anak
berkembang dengan baik.Sedangkan orang tua yang sibuk bekerja mempunyai waktu yang
sedikit untuk menstimulasi anak berkembang secara optimal.
Menurut Anwar (2002) dalam Teviana (2012) peran keluarga atau orang tua dalam
mengasuh anak berpengaruh terhadap perkembangan anak seperti keluarga yang berantakan
atau orang tua yang bercerai, pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi
terhambat.Orang tua disini adalah orang tua kandung maupun pengasuh pengganti orang tua,
yakni orang - orang yang mendapat tugas untuk menggantikan orang tua kandung, dalam
perannya mengasuh anak diwaktu mereka sedang sibuk.
2. Gizi
Tandyo, J (2002) dalam Listroyorini (2016) menyatakan bahwa gizi sangat penting untuk
anak terutama pada usia 3 - 4 tahun. Pada masa ini pertumbuhan berlangsung sangat cepat
sehingga memerlukan konsumsi protein dan zat pengatur seperti vitamin dan
mineral.Perkembangan mental juga memerlukan lebih banyak protein, terutama untuk
pertumbuhan sel otaknya. Pertumbuhan sel otak sangat cepat dan akan berhenti atau
mencapai taraf sempurna pada usia 4 - 5 tahun. Makanan memegang peranan penting
dalam tumbuh kembang anak, karena anak sedang tumbuh sehingga kebutuhannya
berbeda dengan orang dewasa, kekurangan makanan yang bergizi akan menyababkan
retardasi pertumbuhan anak.
2 Kecerdasan
Kecerdasan dimiliki anak sejak dilahirkan, anak yang kecerdasannya tinggi menunjukkan
perkembangan yang lebih cepat dibanding anak yang kecerdasannya normal atau dibawah
normal (Hurlock,1999 dalam Listroyorini, 2016).
2 Kemampuan Sosialisasi Anak Usia Prasekolah
2.2.1 Pengertiaan sosialisasi
Sosialisasi menurut Child ( dalam Sylva dan Lunt, 1998 dalam Teviana, 2012 ) adalah
keseluruhan proses yang menuntun seseorang dilahirkan dengan perilaku aktual yang jauh
lebih sempit jangkauan – jangkauan mengenai yang biasa dan diterima menurut norma
kelompoknya. Sosialisasi adalah “ proses yang digunakan anak untuk mempelajari standar,
nilai, perilaku yang diharapkan kebudayaan, atau lingkungan masyarakat mereka” ( Musen
dkk, 1994 ) dalam Chaplin ( 2002 ) dalam Teviana, 2012 mengemukakan bahwa sosialisasi
adalah proses mempelajari kebiasaan, cara hidup adat istiadat masyarakat tertentu.
Perkembangan soaial anak dipengaruhi oleh keluarga, teman bermain dan sekolah.
Lingkungan pertama serta utama yang dikenal sejak saat lahir yaitu keluarga. Ayah, ibu dan
anggota keluarga lainnya merupakan lingkungan sosial yang berasal dari keluarga, besar
perannya bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian individu. Kebiasaan yang
ditanamkan keluarga baik itu positif maupun negatif secara tidak langsung akan terbentuk
dalam kepribadian anak.
Kemampuan sosialisasi menjadi aspek penting dalam perkembangan anak, karena
masa anak prasekolah merupakan masa peralihan dari lingkungan keluarga kedalam
lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Didalam lingkungan sekolah anak tidak
hanya memasuki dunia sosialisasi yang lebih luas melainkan anak juga menemukan suasana
lingkungan yang berbeda, teman, guru, atau aturan – aturan yang berbeda dengan lingkungan
keluarga ( Chaplin, 2002 dalam Teviana, 2012).
Melalui dari defenisi – defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan sosialisasi adalah proses dimana anak – anak belajar mengenai standar, nilai dan
sikap yang diharapkan kebudayaan atau lingkungan masyarakat mereka.
2.2.2. Proses Sosialisasi
Proses sosial pada hakekatnya adalah proses belajar sosial mengenai tingkah laku yang
diharapkan oleh masyarakatnya. Proses sosialisasi berawal dari keluarga, memlalui keluargalah
anak belajar beradaptasi di tengah kehidupan bermasyarakat ( Satiadarma, 2001 ).Hurlock ( 1997
)dalam Teviana (2012), proses sosialisasi diperoleh dari kemampuan berperilaku yang sesuai
dengan tuntutan sosial. Sosialisasi ini memerlukan beberapa proses, yaitu :
1 Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosialSetiap kelompok sosial mempunyai standar bagi anggotanya untuk dapat diterima, dan harus
mampu menyesuaikan perilaku dengan patokan yang dapat diterima pula.2 Memaikan peran sosial yang dapat diterima
Setiap kelompok mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan para anggotanya dan
dituntut untuk dipenuhi.3 Perkembangan sikap sosial
Untuk bermasyarakat dan bergaul dengan baik diperlukan minat untuk melihat anak yang
lain dan berusaha mengadakan kontak dengan mereka, mencoba untuk bergabung dan
bekerjasama dengan mereka dalam bermain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa proses sosialisasi ialah proses belajar sosial untuk mempelajari tingkah laku yang
diharapkan masyarakat.
3 Tahap – Tahap Sosialisasi
Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar bersosialisasi. “ Melalui
keluargalah anak belajar merespon terhadap masayarakat dan beradaptasi di tengah kehidupan
masyarakatnya yang lebih luas nantinya. Melalui proses sosialisasi didalam keluarga, seorang
anak secara bertahap belajar menegmbangkan kemampuan nalar serta iamajinasinya “
( Satiadarma, 2011 ). Perhatian terhadap hal – hal disekelilingnya banyak dipengaruhi oleh nilai
– nilai yang mereka anut, keluargalah yang menanamkan nilai – nilai tersebut.
Setelah anak belajar bersosialisasi dalam keluarga, kemudian anak akan belajar
bersosialisasi di luar rumah yang diperoleh dari teman sebaya, sekolah, guru, dan lingkungan di
luar yang lebih luas ( Mussen dkk, 1994 dalam Listroyorini, 2016). Yusuf ( 2008 )
mengemukakan bahwa tahap perkembangan sosial pada usia prasekolah yaitu, anak mulai
mengetahui aturan – aturan baik didalam lingkungan keluarga maupun didalam lingkungan
bermain, sedikit demi sedikit anak mulai tunduk pada aturan, anak mulai menyadari hak dan
kewajiban orang lain, anak mulai bermain bersama dengan anak – anak yang lain atau teman
sebayanya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahap – tahap sosialisasi berawal
dari lingkungan didalam keluarga dan selanjutnya anak akan belajar bersosialisasi di luar
lingkungan keluarga seperti sekolah maupun masyarakat