-
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Bayi
2.1.1 Definisi Bayi
Masa bayi dimulai dari usia 0-12 bulan yang merupakan masa
dimana pada
bulan pertama merupakan kehidupan kritis, karena pada masa itu
bayi mulai
mengalami adaptasi dengan lingkungan. Masa bayi juga merupakkan
satu periode
yang memiliki perubahan fisik dan perkembangan yang sangat
drastis (Potter &
Perry, 2010).
Tahapan pertumbuhan pada masa bayi dibagi menjadi dua yaitu
masa
neonatal dengan usia 0-28 hari dan masa pasca neonatal 29 hari –
12 bulan
(Nursalam, Susilaningrum & Utami, 2008). Masa neonatal
sendiri merupakan masa
transisi antara kehidupan dari dalam kandungan ke kehidupan luar
kandungan. Masa
ini bayi banyak menghadapi berbagai macam pengaruh
lingkungan
biofisikpsikososial. Masa neonatal dibagi menjadi dua yaitu masa
eonatal dini (0-7
hari) dimana merupakan masa rawan dalam proses tumbah kembang
anak, khususnya
tumbuh kembang otak. Bayi pada masa ini melewati masa transisi
dari sistem yang
teratur dan bergantung pada ibu ke sistem yang bergantung pada
kemampuan genetik
dan mekanisme homeostatik bayi sendiri. Selanjutnya pada masa
neonatal lanjut (8-28
hari) bayi rentang terhadap pengaruh lingkungan
biofisikpsikososial, dalam masa ini
peran ibu dalam ekologi anak sangat besar. Ibu berperan sebagai
“faktor paragenetik”
pengaruh biologis terhadap pertumbuhan janin dan pengaruh
psikobiologis terhadap
pertumbuhan pasca lahir dan perkembangan kepribadian
(Soetjiningsih, 2013).
-
12
2.1.2 Definisi Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan (growth) merupakan perubahan fisik yang terjadi
sejak masa
prenatal sampai usia dewasa akhir, pertumbuhan mencakup
perubahan jumlah,
ukuran atau dimensi sel organ, maupun individu yang bisa diukur
dengan berat badan
(gram, kilogram, pon) ukuran panjang (sentimeter, meter) umur
tulang, dan
keseimbangan metabolik. Anak-anak akan mengalami fase
pertumbuhan lebih cepat
dari pada dewasa (Adriana, 2013). Pertumbuhan ialah bertambahnya
ukuran dan
jumlah sel serta jaringan interceluler, yang berarti
bertambahnya ukuran fisik dan
struktur tubuh dalam arti sebagian atau keseluruhan (Narendra,
2010). Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan adalah
pertambahnya
ukuran dan jumlah sel atau organ yang bersifat kuantitatif.
Perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh
yang
dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan proses belajar
(Hidayat, 2009).
Perkembangan merupakan pola-pola perubahan yang berawal dari
pembuahan dan
berlangsung seumur hidup (Santrock, 2011). Perkembangan
(development) merupakan
perubahan yang bersifat kualitatif adalah bertambahnya kemampuan
(skill) struktur
dan fungsi tubuh yang lebih kompleks, dalam pola yang teratur
dan dapat diramalkan
sebagai hasil dari proses pematang/maturasi (Soetjiningsih,
2013). Jadi dapat
disimpulkan bahwa perkembangan adalah suatu proses penyempurnaan
fungsi tubuh
manusia sehingga dapat berkembangnya kognitif, bahasa, emosi,
motorik dan
perilaku seseorang seiring dengan proses pembelajaran yang
diterima.
2.1.3 Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Bayi
Menurut Hidayat, 2009 masa bayi dari usia 0-12 bulan dalam
pertumbuhan
dan perkembangan dibagi menjadi tiga tahapan yaitu, tahap
pertama dimulai dari usia
0-4 bulan, tahap kedua dari 4-8 bulan, tahap ketiga 8-12
bulan.
-
13
1. Umur 0-4 bulan
1) Pertumbuhan
Perubahan pertumbuhan pada usia ini diawali dengan perubahan
berat badan, bila bayi mendapat gizi yang baik maka perkiraan
berat
badannya akan mencapai 700-1000gram/bulannya, sedangkan
pertumbuhan tinggi badan cenderung stabil tidak mengalami
kecepetan
dalam pertumbuhan tinggi badan (Hidayat, 2009).
2) Perkembangan
Pada usia 3 bulan pertama bayi akan tersenyum untuk
memberikan
respon dan bukan sekedar reflek bayi juga mulai mengenali
perbedaan
antar indivudi yang ada disekitarnya karena peningkatan
kemampuan
sensorik dan kognitif. Pada masa ini pola tubuh bayi menjadi
stabil yang
dapat dilihat dari pola tidur, buang air dan jadwal makan, bayi
juga
mampu menghubungkan stimulasi visual dan auditorik (Santrock,
2011).
2. Umur 4-8 bulan
1) Pertumbuhan
Pada umur ini pertumbuhan berat badan dapat bertambah 2 kali
lipat dengan berat badan saat lahir dan rata-rata kenaikan
500-600
gram/bulan apabila mendapatkan gizi yang baik. Sedangkan pada
tinggi
badan tidak mengalami kecepatan dalam pertumbuhan dan
terjadi
kestabilan berdasarkan pertambahan umur (Wong, 2009).
2) Perkembangan
Pada trimester II bayi mampu mengangkat kepala dan menoleh
kiri
kanan saat telungkup. Setelah usia 5 bulan bayi mampu
membalikkan
badan dari posisi telentang ke tengkurap atau sebaliknya, dan
berubah
-
14
meraih benda-benda disekitarnya untuk dimasukkan kemulut. Bayi
pada
tertawa lepas saat dia berada dikondisi yang tidak nyaman
(Nursalam,
Susilaningrum & Utami, 2008).
3. Umur 8-12 bulan
1) Pertumbuhan
Pada usia ini pertumbuhan berat badan dapat mencapai 3 kali
berat
saat lahir apabila mencapai usia 1 tahun dan pertambahan berat
badan
perbulannya sekitar 350-450 gram pada usia 7-9 bulan dan
250-350
gram/bulan pada usia 10-12 bulan apabila terpenuhinya gizi
seimbang.
Pertumbuhan tinggi badan masih stabil dan diperkirakan akan
mencapai
75cm (Hidayat, 2009).
2) Perkembangan
Pada usia 8 bulan bayi dapat membedakan orang asing dengan
individu yang telah dikenalnya, sehingga memberikan respon
berbeda.
Pada usia 9 bulan bayi mulai bergerak merayap atau merangkak
dan
mampu duduk sendiri tanpa bantuan. Bila anak berdiri anak
akan
mencari bantuan atau pegangan sambil melangkah (Potter &
Perry,
2010).
2.2 Konsep Nyeri
2.2.1 Definisi Nyeri
Nyeri adalah suatu hal yang bersifat subjektif, saat mengalami
nyeri setiap
individu pasti mempunyai cara yang berbeda dalam
mendeskripsikannya, dan tidak
ada dua kejadian menyakitkan yang mengakibatkan respon atau
perasaan yang sama
pada individu (Potter & Perry, 2010).
-
15
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan,
bersifat
subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal
skala ataupun
tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan
atau mengevaluasi
rasa nyeri yang dialaminya (Tetty, 2015). Menurut International
Association for the Study
of Pain (IASP) dalam Zakiah, 2015 mengartikan nyeri adalah
pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan
aktual atau potensial, atau digambarkan dalam ragam yang
menyangkut kerusakan
atau suatu yang digambarkan dengan terjadinya kerusakan.
2.2.2 Fisiologi Nyeri
1. Reseptor Nyeri
Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor yang berfungsi merangsang
atau
mengingatkan kita terhadap rangsangan yang berpotensi merusak
kulit
dengan mendeketsi suhu, tekanan ekstrem dan bahan kimia terkait
dengan
cedera, kemudian mentraduksi rangsangan menjadi sinyal listrik
jangka
panjang yang dikirimkan ke pusat otak. Berdasarkan letaknya
nosiseptor
dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu kulit
(kutaneus), somatik
dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral (Garland,
2012).
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi menjadi dua komponen
yaitu :
1) Serabut Delta A
Merupakan serabut saraf aferan yang peka terhadap rangsangan
nyeri tajam dan panas disebut juga first pain/ fast pain
(andarmoyo, 2013).
Serabut delta A memiliki kecepatan transmisi 6-30 m/detik
yang
menimbulkan nyeri tajam dan akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri
dihilangkan.
-
16
2) Serabut Delta C
Merupakan serabut aferan lambat dengan kecepatan 0,5-2
m/detik
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya lebih
tumpul
dan sulit dialokasikan (Zakiyah, 2013). Serabut delta C peka
terhadap
nyeri tumpul dan lama yang disebut second pain/slow pain
(Andarmoyo,2013).
Tabel 2.1 Perbedaan serabut delta A dan serabut delta C
Serabut Delta A Serabut Delta C
Bermielinasi
Diameter 2-5 mikrometer
Kecepatan hantar 12-30 m/detik
Menyalurkan implus nyeri yang
tajam, menusuk, terlokalisasi
dan jelas.
Tidak bermielinasi
Diameter 0,4-12,2 mikrometer
Kecepatan hantar 0,5-2 m/detik
Menyelurkan implus nyeri yang
bersifat tidak terlokaslisasi
dan terus-menerus
2. Neuroregulator
Neuroregulator merupakan substansi yang mempengaruhi
transmisi
stimulus saraf, subtansi ini ditemukkan pada lokasi nosiseptor
dan diujung
saraf pada lokasi kornu dorsalis medula spinalis. Neuroregulator
dibagi
menjadi dua, yaitu neurotransmitter dan neuromodulator.
1) Neurotransmitter
Neurotransmitter bertugas mengirim impuls listrik melewati
celah
sinaps serabut saraf. Neurotransmitter terdiri dari (1) Subtansi
P
ditemukkan pada neuron nyeri di kornu dorsalis (peptida
ektisator),
diperlukan untuk menstramitter impuls nyeri dari perifer ke otak
dan
menyebabkan vasodilatasi dan edema, (2) Serotonin dilepaskan
dibatang
otak dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi nyeri,
(3)
Prostaglandin dibangkitkan dari pemecahan pospolipid dimembran
sel
-
17
dan dipercaya dapat meningatkan sensitivitas terhadap sel
(Tamsuri,
2012).
2) Neuromodulator
Neuromodulator bertugas memodifikasi aktifitas neuron dan
menyesuaikan atau memvariasikan trasmisi stimulus nyeri.
Neuromodulator tidak bekerja secara langsung tetapi dapat
meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmitter tertentu.
Neuromodulator terdiri dari :
a. Endorfin
Endorfin disebut juga enkefalin yang berarti didalam kepala
merupakan suplai alamiah tubuh berupa suptansi seperti
morpin.
Endorfin diaktifkan ileh stress dan nyeri, yang dilokalisasikan
dalam
otak, medula spinalis, dan saluran pencernaan. Endorfin
memberikan efek analgesik apabila agen ini menyatu dengan
reseptor opioid di otak. Cara kerja endokrin adalah pada saat
neuron
nyeri perifer mengirimkan impuls ke sinap, maka terjadi
sinapsis
antara neuron nyeri perifer dan neuron yang menuju ke otak,
tempat
seharusnya subtansi P akan menghantarkan impuls (sebagai
neurotransmitter). Pada saat tersebut endorfin akan
memblokir
pelepasan subtansi P dari neurosensorik (Zakiyah, 2015).
b. Bradikinin
Bradikinin dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar
pembuluh darah pada daerah yang mengalami cedera. Bekerja
pada
reseptor saraf perifer, menyebabkan peningkatan stimulus
nyeri.
-
18
Bekerja pada sel, menyebabkan reaksi berantai sehingga
terjadi
pelepasan prostaglandin (Tamsuri, 2012).
2.2.3 Mekanisme Nyeri
Proses atau mekanisme ini akan melewati beberapa tahapan, yaitu
yang
diawali dengan stimulasi, transduksi, transmisi, persepsi, dan
modulasi (Andarmoyo,
2013)
1. Stimulasi
Reseptor nyeri (serabut delta A dan C) dalam tubuh terdapat
beberapa
reseptor sensori didalamnya, diantaranya yaitu (Guyton &
Hall, 2008) :
1) Faktor Mekanis
Berespon jika rasa nyeri terjadi akibat ujung saraf bebas
mengalami
kesurakan akibat terjadinya trauma, misalnya karena benturan
atau
gesekan, sebagai deteksi jika ada perubahan bentuk sel karena
ada
kelainan sehingga reseptornya disebut sebagai
“mekanosensitif”.
2) Faktor Termis
Sebagai pendeteksi suhu tubuh yang akan berespon terhadap
suhu
ekstrem, baik karena panas yang berlebihan atau suhu dingin
yang
berlebihan, sinyal suhu dibawa oleh reseptor diteruskan menuju
otak
melalui jaras spinotalakimus, sehingga reseptor ini disebut
“termoreseptor/termosensitif”.
3) Faktor Kimia
Zat kimia yang merangsang reseptor ini adalah bradikinin,
histamin,
ion K, dan asetilkolin, selain itu dapat mendeteksi pengecapan
di dalam
mulut, bau didalam hidung, kadar O2 didalam darah arteri,
osmolaritas
cairan tubuh. Reseptor ini disebut sebagai “komoreseptor atau
polimodal”.
-
19
4) Listrik
Timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai
reseptor
rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar
(porth,
2004 dalam Zakiyah, 2015).
Apabila salah satu dari faktor stimulasi diatas terangsang, maka
stimulasi
akan diubah menjadi impuls saraf aferan primer. Selanjutnya
akan
ditransmisikan sepanjang saraf eferen dan spinal cord
(Andarmoyo, 2013).
2. Transduksi
Transduksi merupakan proses dari stimulus nyeri yang diubah
menjadi
aktifitas listrik yang dapat diakses oleh otak melalui
ujung-ujung saraf (Taylor,
2011). Selama fase transduksi, stimulus berbahaya (cedera jari
tanga) memicu
pelepasan mediator biokimia (Kozier, 2010). Dalam proses ini
terjadi
perubahan patofisiologi karena mediator-mediator kimia seperti
prostaglandin
dari sel rusak bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,
serotonin dari
trombosit dan subtansi P dari ujung saraf nyeri memengaruhi juga
nosiseptor
diluar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri meluas (Andarmoyo,
2013).
3. Transmisi
Transmisi (transmission) merupakan proses penerusan impuls nyeri
dari
nosiceptor saraf perifer melewati cornu dorsalis dari medulla
spinalis menuju
korteks serebri (Andarmoyo, 2013). Atau fase dimana stimulus
dipindahkan
dari saraf perifer medula spinalis (spinal cord) menuju otak
(Zakiyah, 2015).
-
20
Sumber: Carlo & Taylor, 2011 dalam Zakiyah, 2015
Gambar 2.1 Proses Transmisi Nyeri
4. Persepsi
Persepsi merupakan hasil dari rekonstruksi susunan safar pusat
tentang
impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil dari
interaksi
sistem saraf sensori, informasi kognitif (korteks serebri) dan
pengalaman
emosional (hipokampus dan amigdala). Persepsi menentukan berat
ringannya
nyeri yang dirasakan seseorang. Setelah sampai ke otak, nyeri
dirasakan secara
sadar dan menimbulkan respon berupa perilaku dan ucapan yang
merespon
adanya nyeri (Andarmoyo, 2013).
5. Modulasi
Modulasi merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen
(endorfin,
noradrenalin, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu
posterior.
Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat delta A dan C ke
sel-sel neuron
-
21
nosiseptor di kornu dorsalis medulla spinalis tidak semuanya
diteruskan ke
sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi
interaksi antara
impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi
endogen
maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih
dominan. Bila
impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan
sensibel
nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat maka
penderita
tidak akan merasakan sensibel nyeri (Rosenquist, 2013).
2.2.4 Klasifikasi Nyeri
1. Berdasarkan klasifikasi durasi nyeri dibedakan menjadi dua
:
1) Nyeri Akut
Nyeri akut dapat dideskripsikan sebagai nyeri yang terjadi
setelah
cedera akut, penyakit atau intervensi bedah, dan memiliki
frekuensi yang
cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan dan berat)
serta
berlangsung singkat (kurang dari enam bulan) dan menghilang
dengan
atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang
rusak. Nyeri
akut biasanya berlangsung singkat. Klien yang mengalami nyeri
akut
biasanya menunjukkan gejala respirasi meningkat, denyut jantung
dan
tekanan darah meningkat serta pallor (Mubarak et all, 2015).
2) Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang
menetap
sepanjang suatu periode waktu, berlangsung lama (lebih dari
enam
bulan), dan intensitasnya bervariasi. Nyeri kronik dibedakan
menjadi dua,
antara lain nyeri kronik malignan atau nyeri kanker yaitu nyeri
yang dapat
diidentifikasi, terjadi akibat adanya perubahan pada saraf, dan
nyeri
kronik nonmaligna yaitu nyeri yang timbul akibat cedera jaringan
yang
-
22
tidak progresif atau menyembuhkan dan bisa timbul tanpa
penyebab
yang jelas (Vinall, et all, 2016).
2. Berdasarkan klasifikasi asalnya nyeri dibedakan menjadi dua
:
1) Nyeri Nosiseptif (Nociceptive Pain)
Merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau
sensitasi
nosiseptor perifer yang merupakan reseptor khusus yang
mengantarkan
stimulus noxious. Nyeri nosiseptif perifer dapat terjadi karena
adanya
stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan
ikat, dan lain-
lain (Andarmoyo, 2013). Nyeri nosiseprif juga bisa diakibatkan
oleh
patologi jinak, seperti tumor dan kanker yang berada dalam
tubuh
(Konopka et all, 2012).
2) Nyeri neuropatik
Merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang
didapatkan
pada struktur saraf perifer maupun sentral. Berbeda dengan
nyeri
nosiseptor, nyeri neuropatik bertahan lebih lama dan merupakan
proses
input saraf sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer
(Andarmoyo, 2013).
3. Berdasarkan klasifikasi lokasi nyeri dibedakan menjadi :
1) Superficial atau Kutaneus
Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap
kulit
seperti pada laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Nyeri jenis
ini
mempunyai waktu penyembuhan yang pendek, terlokalisasi, dan
memiliki
sensasi yang tajam (Tamsuri, 2012).
-
23
2) Viseral Dalam
Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh organ interna.
Nyeri
yang timbul bersifat difusi dan durasinya cukup lama. Sensasi
yang
timbul biasanya tumpul (Tamsuri, 2012). Penyebab nyeri viseral
adalah
semua rangsangan yang dapat menstimulasi ujung saraf nyeri
didaerah
viseral. Rangsangan tersebut dapat berupa iskemia jaringan
viseral,
spasme suatu vicera berongga, rangsangan kimia dan distensi
suatu organ
viseral. Contoh dari nyeri viseral yaitu apendiksitis,
cholecystitis, penyakit
kardiovaskuler, renal, konik uretra dan lain-lain (Prasetyo,
2010).
3) Nyeri Alih (Referred Pain)
Merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karena banyak
organ tidak memiliki reseptor nyeri. Jalan masuk neuron sensorik
dari
organ yang terkena kedalam segmen medulla spinalis sebagai
neuron dari
tempat asal nyeri yang dirasakan, persepsi pada daerah yang
tidak
terkena. Karakteristik nyeri dapat terasa dibagian tubuh yang
terpisah
dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai
karakteristik
(Andarmoyo, 2013).
2.2.5 Teori Gerbang Kendali Nyeri
Menurut Melzack dan Wall pada tahun 1959 dalam Zakiyah, 2015
menjelaskan bahwa teori gerbang kendali nyeri menyatakan bahwa
terdapat semacam
“pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat
transmisi sinyal nyeri.
Melzack dan Wall juga menerima bahwa ada sentuhan dan nosiseptor
(fibers nyeri),
fibers-fibers ini kan bersatu didorsal horn medula spinalis yang
kemudian akan dibagi
menjadi dua di subtansia gelation dan sel transmisi (Moayedi
& Davis, 2019).
Dijelaskan juga dalam teori ini impuls nyeri dapat diatur atau
dihambat oleh
-
24
mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat (Moayedi
& Davis, 2019).
Dalam teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan pada
saat sebuah
pertahanan ditutup. Upaya untuk menutup pertahanan tersebut
merupakan teori
menghilangkan nyeri (Andarmoyo, 2013).
Secara umum dapat dijelaskan bahwa di dalam tubuh manusia
terdapat dua
jenis transmitter impuls nyeri, yaitu reseptor berdiamet kecil
(serabut delta A dan C)
dan reseptor berdiamer besar (serabut beta A), dimana serabut
beta A tersebut
memiliki reseptor yang terdapat pada permukaan tubuh dan
berfungsi sebagai
inhibitor, yaitu menstransmisikan sensasi lain seperti getaran,
sentuhan, sensasi
hangat dan dingin, serta terhadap tekanan halus (Joyle &
Hawks, 2009).
Pada saat terdapat rangsangan, kedua serabut tersebut akan
membawa
rangsangan ke dalam kornu dorsalis yang terdapat pada medula
spinalis posterior,
dimedula spinalis inilah terjadi interaksi antara dua serabut
berdiameter besar dan
kecil di suatu area khusus yang disebut “subtansia Gelatinosa
(SG)”. Pada saat SG
terjadi perubahan dan modifikasi yang mempengaruhi apakah
sensasi nyeri yang
diterima medula spinalis akan diteruskan ke otak atau dihambat.
Sebelum impuls
nyeri diteruskan ke otak, serabut besar dan kecil akan
berinteraksi diarea SG yang
apabila tidak dihambat stimulus atau impuls yang adekuat dari
serabut besar, maka
impuls nyeri dari serabut kecil akan dihantar ke sel T (sel
pemicu/ tigger cell) untuk
kemudian dibawah ke otak yang akhirnya menimbulkan sensasi nyeri
yang dirasakan
oleh tubuh. Keadaan impuls yang diteruskan oleh otak inilah yang
disebut dengan
“pintu gerbang terbuka”. Sebaliknya, apabila ada impuls yang
ditransmisikan oleh
serabut berdiameter besar karena adanya stimulasi kulit,
sentuhan, getaran, sensasi
hangat atau dingin, serta sentuhan halus, maka impuls akan
menghambat serabut
kecil, sehingga sensasi yang dibawah serabut kecil akan
berkurang atau bahkan tidak
-
25
terhantarkan ke otak oleh substansia gelatinosa sehingga tubuh
tidak akan merasa
sensasi nyeri. Kondisi ini disebut sebagai “pintu gerbang
tertutup” (Zakiyah, 2015).
Sumber: (Zakiyah, 2015)
Gambar 2.2 Teori Gerbang Kendali Nyeri
2.2.6 Respon Nyeri
Reaksi tubuh terhadap nyeri terdiri atas dua respon yaitu respon
fisiologis dan
respon perilakuyang terjadi setelah seseorang merasakan nyeri,
adalah sebagai berikut:
1. Respons Fisiologi
Respons fisiologis dianggapsebagai indikator nyeri yang lebih
akurat
dibandingakn laporan verbal pasien. Respons fisiologi terhadap
nyeri dapat
sangat membahayakan individu. Saat impuls nyeri naik ke medulla
spinalis
menuju ke batang otak dan hipotalamus, sistem saraf otonom
menjadi
terstimulasi sebagai bagian dari respons stress. Stimulasi
cabang simpatis
pada sistem saraf otonom menghasilkan respons fisiologi. Apabila
nyeri
berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan melibatkan
organ-organ dalam
-
26
atau viseral maka sistem saraf simpatis akan menghasilkan suatu
aksi
(Andarmoyo, 2013).
Tabel 2.2 Respons Fisiologis Terhadap Nyeri
Respons Fisiologis Penyebab atau efek
Stimulasi simpatik (nyeri dengan intensitas ringan sampai
moderat dan nyeri
superfisial)
Dilatasi saluran bronkheolus dan
peningkatan frekuensi pernapasan
Peningkatan frekuensi denyut
jantung
Vasokontriksi perifer (pucat,
peningkatan takanan darah)
Peningkatan kadar gula
Diaphoresis
Peningkatan ketegangan otot
Dilatasi pupil
Penurunan motilitas saluran cerna
Menyebabkan peningkatan asupan
oksigen
Menyebabkan peningkatan transpor
oksigen
Meningkatkan tekanan darah disertai
perpindahan suplai darah dari perifer
dan viseral ke otot-otot skeletal dan
otak
Menghasilkan tenaga tambahan
Mengontrol temperatur tubuh
selama stress
Mempersiapkan otot untuk
melakukan aksi
Memungkinkan penglihatan yang
lebih baik
Membebaskan energi untuk
melakukan aktifitas yang lebih cepat
Stimulasi Parasimpatik (nyeri yang berat dan dalam)
Pucat
Ketegangan otot
Penurunan denyut jantung dan
tekanan darah
Pernapasan cepat dan tidak teratur
Mual dan muntah
Kelemaham dan kelelahan
Menyebabkan suplai darah
berpindah dari perifer
Akibat keletihan
Akibat stimulasi vagal
Menyebabkan pertahanan tubuh
gagal akibat stress nyeri yang terlalu
lama
Mengembangkan fungsi saluran
cerna
Akibat pengeluaran energi fisik
Sumber : Potter & Perry, 2006 dalam Andarmoyo, 2013
-
27
2. Respons Perilaku
Respons perilaku yang ditunjukan oleh klien sangat beragam.
Meskipun
respons perilaku klien dapat menjadi indikasi pertama bahwa ada
sesuatu
yang tidak beres, respons perilaku seharusnya tidak boleh
digunakan sebagai
pengganti untuk mengukur nyeri kecuali dalam situasi yang tidak
lazim
dimana pengukuran tidak memungkinkan (misal orang tersebut
menderita
retardasi mental yang berat dan tidak sadar) (Andarmoyo,
2013).
Tabel 2.3 Respons Perilaku Nyeri
Respons perilaku nyeri
Vokalisasi Mengaduh, menangis, sesak napas, mendengkur
Ekspresi Wajah Merintih, menggeletukkan gigi, mengernyitkan
dari, menutup mata atau mulut dengan rapat atau membuka mulut atau
mata dengan lebar, menggigit bibir
Gerakan Tubuh Gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari dan tangan, aktifitas melangkah yang tanggal ketika
berjalan atau berlari, gerakan ritme atau gerakan menggosok,
gerakan melindungi bagian tubuh
Interaksi Sosial Menghilangkan percakapan, fokus hanya pada
aktifitas untuk menghilangkan nyeri, menghidari kontak sosial,
penuruhan rentang perhatian.
Sumber: Potter & Perry, 2006 dalam Andarmoyo, 2013.
2.2.7 Respon Nyeri pada Bayi
Nyeri merupakan suau yang paling mendesak dan menuntuk bagi
semua
indera, variabilitas individu dalam menyikapi respon nyeri
sangat beragam hal ini
membuat sulit diukur dan diobati. Karena itu akan menjadi
masalah khusus bagi bayi
yang tidak dapat mengungkapkan rasa nyeri yang dirasakan dan
bayi juga belum
memiliki kematangan dalam sistem saraf pusat (SSP), termasuk
jalur dan jaringan
yang terlibat dalam somatosensori dan emosionalnya (Fitzgerald,
2015). Bayi baru
lahir memiliki kepekaan yang sensitif dan lebih reaktive
terhadap nyeri jika
-
28
dibandingkan dengan anak-anak, dan orang dewasa yang lebih tua,
serta rentang
terhadap efek nyeri dalam jangka panjang (Noghabi, Farahi,
Yousefi & sadeghi,
2014). Respon nyeri sangat bervariasi tergantung pada usia dan
tingkat tumbuh
kembang seseorang, beberapa respons ini dapat dilihat mulai dari
perkembangan bayi
hingga remaja (Hidayat, 2009). Respons nyeri yang ditunjukkan
bayi dapat berupa
respons fisiologis dan respons perilaku, dimana respons tersebut
dapat digunakan
untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keparahan nyeri (Walker,
2014).
Nyeri dapat menyebabkan respons fisiologis pada bayi terganggu,
seperti
adanya peningkatan denyut jantung dan pernapasan, berkeringat,
kemerahan pada
kulit, penurunan saturasi oksigen, pupil melebar, gelisah, dan
tekanan darah yang
meningkat, sehingga jika tidak dikendalikan akan memiliki banyak
efek pada sistem
fisiologis tubuh dan kehidupan bayi, seperti pada sistem
kardiovaskular, masalah
paru/ pernapasan, gastrointestinal, dan sistem kekebalan tubuh,
atau menyebabkan
kegelisahan, menurunkan napsu makan, inkontensia, insomnia,
masalah gizi,
hipoksia, perubahan metabolik, panik pada malam hari, penundaan
pemulihan pada
saat rawat inap, memburuknya penyakit atau bahkan kematian.
Selain itu juga dapat
menyebabkan gangguan psikologis seperti gangguan belajar dan
memori, hal ini dapat
menjadi trauma dimasa depan (Pasha, Gholami, & Roshan,
2016). Sedangakan
respons perilaku yangditunjukkan bayi terhadap nyeri diantara
lain kekakuan tubuh
(seperti melengkung) ekspresi wajah (alis diturunkan dan
dinaikkan bersamaan,
tonjolan antara alis dan alur vertikal pada dahi, mata tertutup
rapat, pipi terangkat,
hidung melebar, dan menonjol, lipatan nasolabial yang didalam,
mulut terbuka dan
squarish), menangis dengan intens/nyaring, menarik lutut ke arah
atau mendekati
dada, menunjukkan hipersensitivitas atau mudah tersinggung,
memiliki asupan oral
yang buruk dna tidak bisa tidur (Mazur, Winnick, &
Szczepanski, 2013).
-
29
Sumber: (Arnstein, 2010)
Gambar 2.3 Ekspresi Nyeri pada Bayi
2.3 Konsep Atraumatic Care
Atraumatic care merupakkan bentuk perawatan yang tidak
menimbulkan
adanya trauma pada anak dan keluarga. Perawatan yang dilakukan
berfokus dalam
pencegahan terhadap trauma anak yang merupakan bagian dari
keperawatan anak.
Perhatian khusus pada anak sebagai individu yang masih dalam
usia tumbuh
kembang sangat penting karena pada masa ini anak akan menuju
proses kematangan.
Atraumatic care merupakan bentuk tindakan terapeutik yang
diberikan pada anak dan
keluarga untuk mengurangi dampak psikologis dari tindakan
keperawatan yang
diberikan (Hidayat, 2009).
2.3.1 Pengembangan Asuhan Atraumatik pada Bayi Saat
Diimunisasi
Banyak cara yang dikembangkan oleh perawat dalam mencapai
tujuan
perawatan atraumatik dengan menggunakan prinsip atraumatic care
diantaranya, yaitu:
1. Aktifitas Bermain
Bermain tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak, meskipun
sakit
bermaian dapat dilakukan oleh anak di rumah sakit. Bermain
sebagai terapi
untuk menghilangkan perasaan yang tidak menyenangkan seperti
marah,
takut, cemas, sedih dengan cara yang aman diamana anak dapat
mengalihkan
Forehead Bulge between brows, vertical furrows
Brows Lowered, drawn together
Mouth Open, squarish
Eyes Tighlty closed
Nose Broadened, bulging
-
30
rasa sakitnya pada permainan dan kesenangan yang diperoleh
berdampak
sebagai relaksasi bagi anak (Hidayat, 2009).
2. Meningkatkan hubungan anak dan orang tua
Anak ketika mengalami prosedur sakit memerlukan dukungan
orang
terdekat terutama orang tuanya. Penelitian menunjukan adanya
hubungan
yang signifikan antara perilaku orang tua seperti mengalihkan
perhatian lewat
teknik distraksi, humor, kata-kata penguatan dengan penurunan
distress anak
saat menerima prosedur yang menyebabkan nyeri (Taddio et al.,
2015).
Pengembangan hubungan anak dan orang tua pada bayi dapat
dilakukan
dengan metode skin to skin contact, melibatkan orang tua saat
prosedur
dilakukan seperti memegang anak, dan memberikan distraksi
dengan
mengajak bercerita humor.
3. Mengendalikan rasa sakit saat prosedur
Teknik yang dikembangkan seperti posisi anak pada saat
diimunisasi
yaitu sitting up (Lacey et al., 2008) membuktikan adanya
penurunan lama
menagis dan nyeri dengan strategi nonfarmakologi. Selain itu
pengendalian
rasa sakit saat prosedur dilakukan seperti sentuhan,
breastfeeding, sweet solution,
ditraksi dan teknik relaksasi nafas (Taddio et al., 2015).
Meminimalkan reaksi
lokal dari vaksin Meminimalkan reaksi lokal dari vaksin dengan
pemilihan
jarum dan area suntikan. Standar jarum suntik pada bayi ukuran
23 dengan
panjang jarum adalah 25 mm. Pada bayi-bayi yang lahir prematur
atau yang
usia dua bulan menggunakan ukuran jarum 26 dengan panjang 16 mm
(IDAI,
2011). Sedangkan injeksi dilakukan pada area paha anterolateral
pada vastus
lateralis otot ventrogluteal kecuali BCG harus disuntikan pada
kulit diatas
insersi otot deltoid.
-
31
2.4 Konsep Imunisasi
Imunisasi merupakan suatu usaha dalam memberikan kekebalan tubuh
pada
bayi dan anak dengan cara memasukkan vaksin kedalam tubuh bayi
dan anak
tersebut, yang nantinya tubuh akan membuat zat antibodi untuk
mencegah penyakit
tertentu, sehingga berdampak dalam menurunkan angka morbiditas
(kematian) dan
mortalitas (kesakitan) serta dapat mengurangi kecacatan akibat
penyakit tertentu
(Hidayat, 2009). Vaksin terbuat dari kuman (bakteri maupun
virus), komponen
kuman atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan,
atau dibuat dari
tiruan kuman tersebut (Achmadi, 2006). Cara pemberian imunisasi
dapat dilakukan
dengan berbagai cara yaitu melalui oral, disuntikkan melalui
subcutan (dibawah kulit),
intracutan (didalam kulit) dan melalui intramuskular (didalam
otot).
2.4.1 Jenis Imunisasi dan Cara Pemberian
1. Imunisasi Hepatitis B
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit hepatitis, dengan mengandung HbsAg dalam bentuk cair.
Frekuensi
pemberian imunisasi hepatitis B adalah sebanyak 3 kali dengan
waktu
pemberian pada usai 0-11 bulan, dan dapat diberikan dengan cara
disuntikkan
melalui intramuskular (Hidayat, 2009).
2. Imunisasi BCG (Bacillus calmette Guerin)
Merupakn jenis imunisasi yang digunakan untuk mencegah
terjadinya
penyakit TBC yang berat, seperti TBC pada selaput otak, TBC
milier (pada
seluruh lapang paru) atau TBC tulang. Vaksin ini mengandung
kuman TBC
yang telah dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah
1 kali
pada usia 0-11 bulan, akan tetapi pada umumnya diberikan pada
usia 2 atau 3
bulan dan cara pemberianya disuntukkan melalui intracutan
(Hidayat, 2009).
-
32
3. Imunisasi Polio
Merupakkan imunisasi yang digunakan untuk mencegah
terjadinya
penyakit polimyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada
anak.
Vaksin ini mengandung virus polimylitis yang telah dilemahkan.
Frekuensi
pemberian imunisasi polio adalah sebanyak 4 kali dengan waktu
pemberian 0-
11 bulan dengan interval pemberian 4 minggu, dan dapat diberikan
melalui
oral (Hidayat, 2009).
4. Imunisasi DPT (Dephteri, Pertusis, dan Tetanus)
Merupakan imunisasi yang diguanaka untuk mencegah terjadinya
penyakit diphteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin ini mengandung
racun kuman
difteri yang dihilangkan racunnya akan tetapi masih dapat
merangsang
pembentukkan zat anti toksid. Frekuensi pemberian imunisasi
sebanyak 3 kali
pada usia 2-11 bulan dengan interval 4 minggu dan cara
pemberian
disuntikkan melalui intramuskular (Hidayat, 2009).
5. Imunisasi Campak
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah penyakit
campak,
dengan mengandung virus campak yang telah dilemahkan.
Frekuensi
pemberian adalah 1 kali pada rentang usia antara 9-11 bulan, dan
dapat
diberikkan melalui subcutan (Hidayat, 2009).
-
33
Tabel 2.4 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap
Usai Jenis Imunisasi yang diberikan
< 7 hari Hepatitis B
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB1, Polio 2
3 bulan DPT-HB2, Polio 3
4 bulan DPT-HB3, Polio 4
9 bulan Campak
Sumber: (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015)
2.5 Konsep Swaddling dan Side-Stomach Position
Swaddling atau membedong adalah kegiatan membungkus bayi dengan
selimut
tipis, teknik membedong ini merupakan cara tradisional atau
sudah diterapkan dari
jaman dahulu yang diguanakan untuk menenangkan bayi dan
memudahkan bayi saat
digendong. Swaddling juga digunakan sebagai teknik distraksi,
dimana teknik distraksi
adalah salah satu cara untuk membantu bayi dalam mengatasi
prosedur menyakitkan
(Merlinsuji & Prasad, 2018). Secara umum membedong bayi
dapat membantu
memposisikan bayi, memberikan ketenangan, membantu agar bayi
cepat tidur, dan
menenangkan bayi saat menangis (Shu, Lee, Hayter, & Wang,
2014).
Side/ Stomach Position merupakn pemberian posisi miring ke
kanan/ kiri pada
bayi dengan tujuan untuk memberikan sensasi nyaman pada bayi
karena dapat
mengingatkan saat didalam rahim ibu (Martiningsih &
Setijaningsih, 2015). Dalam
posisi miring bayi akan merasa aman dan dapat menonaktifkan
refleks moro pada
bayi. Saat bayi menangis kemudian diposisikan terlentang maka
bayi akan merasa
tidak nyaman, karena posisi terlentang membuat bayi merasa
seperti jatuh, dengan
demikian dapat memicu refleks moro. Sehingga saat bayi rewel
atau menangis
sebaiknya diposisikan miring agar bayi dapat tenang dan nyaman,
akan tetapi posisi
-
34
ini sangat tidak dianjurkan pada bayi yang sedang tidur, karena
dapat menyebabkan
resiko kesulitan bernapas (Karp, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Martiningsih dan Setijahningsih,
2015
dijelaskan bahwa pemberian intervensi fisik 5S’s yang didalamnya
meliputi beberapa
tahap intervensi beberapa diantaranya Swaddling dan Side/
Stomach Position dapat
menurunkan respon nyeri dan durasi tangis bayi pada saat
dilakukan imunisasi.
Pemberian tindakan tersebut merangsang rasa nyaman sehingga
mengaktifkan
stimulus serabut beta A (non-neciceptor) yang mengakibatkan
tertutupnya kontrol
gerbang nyeri, sehingga rasa nyeri akan terhambat atau tidak
ada. Hal ini sama dengan
mekanisme Gate Control Theory.
Sumber : (Karp, 2004)
Gambar 2.4 Cara Melakukan Swaddling
-
35
Sumber: Sakina.web.id
Gambar 2.5 Posisi Swaddling
Sumber: (Karp, 2004)
Gambar 2.6 Posisi Side atau Stomach Position
-
36
2.6 Skala Nyeri pada Bayi
Indikator respon fisiologi dan perilaku yang ditunjukan oleh
bayi dapat
digunakan untuk menilai tinggakt keparahan nyeri yang dirasakan.
Ukuran ekspresi
wajah atau respon perilaku yang ditunjukan oleh bayi tampak
paling berguna dan
spesifik untuk menilai respon nyeri yang di rasakannya (Mazur et
al., 2013).
Skala nyeri NIPS (Neonatal infant pain scale) telah divalidasi
pada 190 bayi
baru lahir dari usia kehamilan 25 hingga 47 minggu dengan
korelasi intraclass yang
sangat baik. Skala nyeri NIPS banyak digunakan pada bayi dibawah
1 tahun, karena
pada usia ini bayi tidak dapat mengungkapkan nyeri yang
dirasakan (Beltramini, et all,
2017).
Skala nyeri NIPS menilai lima faktor perilaku (ekspresi wajah,
tangisan,
lengan, kaki, dan keadaan gairah) dan satu faktor fisiologis
(pola pernapasan), yang
masing-masing berisi dua item yang ditandai dengan skor 0 atau 1
( kecuali untuk
faktor menangis, yang terdiri dari tiga item dan diberi skor
pada skala 0 sampai 2).
Skala ini menghasilkan skor total mulai dari 0 hingga 7, di mana
skor lebih dari 4
mengindikasikan rasa sakit. Indikator skala nyeri NIPS meliputi
: a). Ekspresi wajah
dikatakan 0 jika wajah tenang, ekspresi alami, dan 1 jika otot
wajah tegang; alis
berkerut, dagu dan rahang tegang (ekspresi wajah negatif-hidung,
mulut, alis). b).
Menangis dikatakan 0 jika tenang dan tidak menangis, 1 jika
merengek ringan,
kadang-kadang, dan 2 jika berteriak kencang, menarik, melengking
terus-menerus.
Catatan: menangis lirih mungkin dinilai jika bayi diintubasi
yang dibuktikan melalui
gerakan mulut dan wajah yang jelas. c). Pola pernapasan
dikatakan 0 jika pola
pernapasan bayi normal, dan 1 jika tidak teratur, lebih cepat
dari biasanya, tersedak,
napas tertahan. d). Lengan dan Kaki dikatakan 0 jika tidak ada
kekuatan otot, gerakan
tangan acak sekali-sekali, dan 1 jika lengan tegang, lengan
lurus, kaku, dan atau
-
37
ekstensi, cepat ekstensi, fleksi. e). Kesadaran dikatakan 0 jika
tenang, tidur damai atau
gerakan kaki acak yang terjaga dan 1 jika terjaga, gelisah, dan
meronta-ronta.
Interprestasi skala nyeri NIPS (Neonatal infant pain scale)
adalah dimana dalam
setiap kategori mempunyai rentang skor 0-2: tidak nyeri- nyeri
ringan, 3-4: nyeri
ringan- nyeri sedang, >4: nyeri hebat (Nursalam, 2017). Skala
nyeri NIPS mudah
dipahami dan diterapkan dan merupakan alat yang berguna bagi
para profesional
kesehatan yang memiliki neonatus yang terpapar rangsangan yang
menyakitkan
(Motta, et all, 2015).