-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kecemasan
2.1.1 Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah gangguan alam sadar (effectife) yang ditandai
dengan
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan
berkelanjutan, tidak
mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing
Ability/RTA), masi
baik, kepribadian masih tetap utuh(tidak mengalami keretakan
kepribadian/
splitting of personality), perilaku dapat terganggu tapi masih
dalam batas normal
(Hawari,2006).
Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai
ketegangan
mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari
ketidakmampuan
mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan
yang tidak
menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya
akan
menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis
(Kozier, Barbara.
2008).Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Ghufron M. Nur Dan Wati
S,
Rini.2012) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu
yang mengancam,
dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan,
perubahan,
pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam
menemukan
identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang
dapat dialami
siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah
menjadi gangguan
akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.
6
-
7
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas
bahwa
kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu
yang sangat
mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena adanya
ketidakpastian
dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi.
2.1.2 Tingkat Kecemasan
Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu,
Peplau
mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan yaitu:
1. Kecemasan Ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Kecemasan
dapat memotivasi belajar menghasilkan pertumbuhan serta
kreatifitas. Tanda dan
gejala antara lain: persepsi dan perhatian meningkat, waspada,
sadar akan
stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara
efektif serta
terjadi kemampuan belajar. Perubahan fisiologi ditandai dengan
gelisah, sulit
tidur, hipersensitif terhadap suara, tanda vital dan pupil
normal.
2. Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal
yang
penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu
mengalami perhatian
yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
Respon
fisiologi : sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik,
mulut kering, gelisah,
konstipasi. Sedangkan respon kognitif yaitu lahan persepsi
menyempit,
rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang
menjadi
perhatiaannya. 3. Kecemasan Berat
-
7
Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu
cenderung untuk
memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak
dapat berfikir tentang hal lain.
Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Tanda dan
gejala dari kecemasan berat
yaitu: persepsinya sangat kurang, berfokus pada hal yang detail,
rentang perhatian sangat
terbatas, tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah,
serta tidak dapat belajar secara
efektif. Pada tingkatan ini individu mengalami sakit kepala,
pusing, mual, gemetar, insomnia,
palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil
maupun besar, dan diare. Secara emosi
individu mengalami ketakutan serta seluruh perhatian terfokus
pada dirinya.
4. Panik
Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan
terperangah, ketakutan, dan teror.
Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami
panik tidak dapat melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik menyebabkan
peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi
yang menyimpang,
kehilangan pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak sejalan
dengan kehidupan, dan jika
berlangsung lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan
kematian. Tanda dan gejala dari
tingkat panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu kejadian
(Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam.
(2006).).
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi kecemasan
-
7
Faktor – faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah
Alimul H, Aziz.(2006):
a. Faktor fisik
Kelemahan fisik dapat melemahkan kondisi mental individu
sehingga memudahkan
timbulnya kecemasan.
b. Trauma atau konflik
Munculnya gejala kecemasan sangat bergantung pada kondisi
individu, dalam arti bahwa
pengalaman-pengalaman emosional atau konflik mental yang terjadi
pada individu akan
memudahkan timbulnya gejala-gejala kecemasan.
c. Lingkungan awal yang tidak baik.
Lingkungan adalah faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi
kecemasan individu,
jika faktor tersebut kurang baik maka akan menghalangi
pembentukan kepribadian sehingga
muncul gejala-gejala kecemasan.
Cara hidup orang di masyarakat juga sangat mempengaruhi pada
timbulnya ansietas. Individu
yang mempunyai cara hidup sangat teratur dan mempunyai. Falsafah
hidup yang jelas maka pada
umumnya lebih sukar mengalami ansietas. Budaya seseorang juga
dapat menjadi pemicu
terjadinya ansietas. Hasil survey yang dilakukan oleh
Mudjadid,dkk tahun 2006 di lima wilayah
pada masyarakat DKI Jakarta didapatkan data bahwa tingginya
angka ansietas disebabkan oleh
perubahan gaya hidup serta kultur dan budaya yang mengikuti
perkembangan kota. Namun
demikian, faktor predisposisi di atas tidak cukup kuat
menyebabkan sesorang mengalami
ansietas apabila tidak disertai faktor presipitasi (pencetus)
(Kozier, Barbara. 2008).
2.1.4 Pengukuran Tingkat Kecemasan
-
7
Untuk mengukur tingkat kecemasan, peneliti menggunakan kuesioner
dengan metode
Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) merupakan instrumen untuk
mengukur tingkat
kecemasan. Penilaian berdasarkan skala Likert dari 0-4, dimana
skor 4 menggambarkan hal
negatif dengan penilaian : Tidak ada (0) sangat jarang (1),
kadang kadang (2), sering (3), selalu
(4). Dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 14
pertanyaan, Tingkat kecemasan di
kategorikan menjadi 0-4, yaitu : Normal, jika hasil penilaian
dari kuisioner di dapatkan nilai 0-14
Tidak ada cemas Jika hasil penilaian dari kiesioner di dapatkan
14-20, Cemas ringan, jika hasil
penilaian dari kuisioner di dapatkan nilai 21-27, Cemas Sedang,
jika hasil penilaian dari
kuisioner di dapatkan nilai 28-41, Cemas Berat Jika hasil
penilaian dari kiesioner di dapatkan
nilai 42-56,Cemas Berat sekali (Nursalam, 2012).
2.1.2 Konsep Tidur
1. Definisi Tidur
Tidur merupakan keadaan tidak sadar yang relatif lebih responsif
terhadap rangsangan
internal. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya
adalah pada keadaan tidur
siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap
rangsangan eksternal. Otak berangsur-
angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsang visual,
auditori dan rangsangan lingkungan
lainnya. Tidur dianggap sebagai keadaan pasif yang dimulai dari
input sensoric walaupun
mekanisme inisiasi aktif juga mempengaruhi keadaan tidur. Faktor
homeostatik (faktor S)
maupun faktor sirkadian (faktor C) juga berinteraksi untuk
menentukan waktu dan kualitas tidur
(Susanne,2009).
Tidur merupakan aktifitas yang merupakan susunan saraf pusat,
saraf perifer, endokrin,
kardiovasakuler, respirasi, dan muskuloskletal
(Susanne,2009).
-
7
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur
Faktor – faktor yang mempengaruhi tidur antara lain adalah
(Alimul, 2006):
a. Penyakit
Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak
penyakit yang memperbesar
kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang disebabkan oleh
infeksi (infeksi limfa) akan
memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan.
Banyak juga keadaan sakit
yang menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur
(Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam.
(2006).).
b. Latihan dan Kelelahan
Keletihan akibat akivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih
banyak tidur untuk menjaga
keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat
pada seseorang yang telah
melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut
akan lebih cepat untuk dapat
tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek
Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam.
(2006).
c. Stres Psikologis
Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat
ketegangan jiwa. Hal tersebut
terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah psikologis
mengalami kegelisahan sehingga
sulit untuk tidur (Ramaiah, Savitri. 2006).
d. Obat
Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat
yang dapat mempengaruhi
proses tidur adalah jenis golongan obat diuretic menyebabkan
seseorang menjadi isomnia, anti
depresan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan syaraf
simpatis yang menyebabkan
-
7
kesulitan untuk tidur, golongan beta bloker dapat berefek pada
timbulnya insomnia, dan
golongan narkotik dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk
(Stuart, Gail W. 2006).
e. Nutrisi
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat
proses tidur. Protein yang
tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena adanya
trytophan yang merupakan
asam amino dari protein yang dicerna. Demikian juga sebaliknya,
kebutuhan gizi yang kurang
juga dapat mempengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit
untuk tidur.
f. Lingkungan
Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga
dapat mempercepat
terjadinya proses tidur.
g. Motivasi
Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk
tidur, yang dapat
mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk
menahan tidak tidur dapat
menimbulkan gangguan proses tidur (Asmadi.2008).
2.2.3 Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang dijalani
seorang individu
menghasilkan kesegaran dan kebugaran ketika terbangun. Kualitas
tidur mencakup aspek
kuantitatif seperti durasi tidur, latensi tidur, serta aspek
subjektif seperti tidur dalam dan istirahat
(Khasanah & Hidayati, 2012).
Menurut Hidayat dalam Khasanah & Hidayati (2012), kualitas
tidur seseorang dikatakan baik
apabila tidak menunjukan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak
mengalami masalah dalam
tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibedakan menjadi
tanda fisik dan tanda
psikologis.
-
7
Tanda – tanda fisik akibat kekurangan tidur antara lain :
ekspresi wajah (area gelap
disekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan
dan mata terlihat cekung),
kantuk yang berlebihan, tidak mampu berkonsentrasi, terlihat
tanda – tanda keletihan. Sedangkan
tanda – tanda psikologis antara lain : menarik diri, apatis,
merasa tidak enak badan, malas, daya
ingat menurun, bingung, halusinasi, ilusi penglihatan dan
kemampuan mengambil keputusan
menurun.Kualitas tidur dapat diukur menggunakan Pittsburg
Quality of Sleep Index (PSQI). Alat
ini merupakan alat untuk menilai kualitas tidur. Alat ini
terdiri dari 9 poin pertanyaan,pertanyaan
itu mengkaji secara luas faktor yang berhubungan dengan tidur
seperti durasi tidur, latensi tidur,
dan masalah tidur. Setiap komponen skor memiliki rentang nilai
0-3. kesembilang komponen
dijumlahkan sehingga terdapat skor 0-21, dimana skor lebih
tinggi dari 5 menandakan kualitas
tidur yang buruk (Maulida. 2011.).
2.2.4 Tahapan Tidur
Tahapan tidur terdapat tidur tenang atau nonREM (non rapid eye
movement) dan tidur aktif
atau REM, dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Tidur NonREM
Tidur nonREM terdiri dari 4 tahap, dimana setiap tahapnya
mempunyai ciri tersendiri.
Pada tidur tahap I terjadi bila merasakan ngantuk dan mulai
tertidur. Jika telepon berbunyi atau
ada sesuatu sampai terbangun, sering kali tidak merasakan bahwa
sebenarnya kita telah tertidur.
Gelombang listrik otak memperlihatkan ‘gelombang alfa’ dengan
penurunan voltase. Tahap I ini
berlangsung 30 detik sampai 5 menit pertama dari siklus
tidur.
Tidur tahap II, seluruh tubuh kita seperti berada pada tahap
tidur yang lebih dalam. Tidur masih
mudah dibangunkan, meskipun kita benar-benar berada dalam
keadaan tidur. Periode tahap II
berlangsung dari 10 sampai 40 menit. Kadang-kadang selama tahap
tidur II seseorang dapat
-
7
terbangun karena sentakan tiba-tiba dari ekstremitas tubuhnya.
Ini normal, kejadian sentakan ini,
sebagai akibat masuknya tahapan REM. Tahap III dan IV. Tahap ini
merupakan tahap tidur
nyenyak. Pada tahap III, Orang yang tertidur cukup pulas, rileks
sekali karena tonus otot lenyap
sama.
Tahap IV mempunyai karakter : tanpa mimpi dan sulit dibangunkan,
dan orang akan
binggung bila terbangun langsung dari tahap ini, dan memerlukan
waktu beberapa menit untuk
meresponnya. Pada tahap ini, diproduksi hormone pertumbuhan guna
memulihkan tubuh,
memperbaiki sel, membangun otot dan jaringan pendukung. Perasaan
enak dan segar setelah
tidur nyenyak, setidak tidaknya di sebabkan karena hormon
pertumbuhan bekerja baik.
Tahapan NonREM mempunyai karakter sebagai berikut : NonREM Tahap
I kedaan ini masih
dapat merespons cahaya, berlangsung beberapa menit, aktivitas
fisik menurun, tanda vital dan
metabolisme menurun, bila terbangun terasa sedang mimpi. NonREM
Tahap II tubuh mulai
relaksasi otot, berlangsung 10 – 20 menit, fungsi tubuh
berlangsung lambat, dapat dibangunkan
dengan mudah. NonREM Tahap III adalah awal dari keadaan tidur
nyenyak, sulit di bangunkan,
relaksasi otot menyeluruh, tekanan darah menurun, berlangsung 15
– 30 menit. NonREM Tahap
IV sudah terdapat tidur nyenyak, sulit untuk di bangunkan, untuk
restorasi dan istirahat, tonus
otot menurun, sekresi lambung menurun, gerak bola mata cepat
(Ramaiah, Savitri. 2006.).
b. Tidur REM
Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur nonREM. Tidur REM
adalah tahapan tidur
yang sangat aktif. Pola nafas dan denyut jantung tak teratur dan
tidak terjadi pembentukan
keringat. Kadang-kadang timbul twitching pada tangan, kaki, atau
muka, dan pada laki-laki dapat
timbul ereksi pada periode tidur REM. Walaupun ada aktivitas
demikian orang masih tidur lelap
dan sulit untuk dibangunkan. Sebagian besar anggota gerak tetap
lemah dan rileks. Tahap tidur
-
7
ini diduga berperan dalam memulihkan pikiran, menjernihkan rasa
kuatir dan daya ingat dan
mempertahankan fungsi sel-sel otak.Siklus tidur pada orang
dewasa biasanya terjadi setiap 90
menit. Pada 90 menit pertama seluruh tahapan tidurnya adalah
NonREM. Setelah 90 menit, akan
muncul periode tidur REM, yang kemudian kembali ke tahap tidur
NonREM. Setelah itu hampir
setiap 90 menit tahap tidur REM terjadi. Pada tahap awal tidur,
periode REM sangat singkat,
berlangsung hanya beberapa menit. Bila terjadi gangguan tidur,
periode REM akan muncul lebih
awal pada malam itu, setelah kira-kira 30-40 menit. Orang itu
akan mendapatkan tidur tahap III
dan IV lebih banyak. Selama tidur, tahapan tidur akan
berpindah-pindah dari satu tahap ke
tahapan yang lain, tanpa harus menuruti aturan yang biasanya
terjadi. Artinya suatu malam,
mungkin saja tidak ada tahap III atau IV. Tapi malam lainnya
seluruh tahapan tidur akan
didapatkannya.
Karakteristik tidur REM meliputi : mata cepat tertutup dan
terbuka, kejang otot kecil, otot besar
imobilisasi, pernapasan tidak teratur, kadang dengan apnea, nadi
cepat dan ireguler, tekanan
darah meningkat atau fluktuasi, sekresi gaster meningkat,
metabolisme meningkat, temperatur
tubuh naik, siklus tidur : sulit di bangunkan (Ramaiah, Savitri.
2006.).
2.2.5 Pola Tidur Normal
a. Bayi
Pada bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 14-18 jam sehari,
pernapasan teratur,
gerak tubuh 50% adalah tahap REM dan terbagi dalam 7 periode.
Dan pada bayi tidur selama 12-
14 jam sehari, sekitar 20-30% tidur REM, tidur lebih lama pada
malam hari dan punya pola
terbangun sebentar (Asmadi, 2008).
b. Todler
-
7
Kebutuhan tidur pada Todler menurun menjadi 10-12 jam/hari,
tahap REM 20-25%. Tidur
siang dapat hilang pada usia 3 tahun karena sering terbangun
pada malam hari yang
menyebabkan mereka tidak ingin tidur pada malam hari (Asmadi,
2008).
c. Preschooler
Memerlukan waktu tidur 11-12 jam pada malam hari, tahap REM 20%.
Bisa jadi anak usia
4-5 mengalami kurang istirahat dan mudah sakit jika kebutuhan
tidurnya kurang terpenuhi
(Asmadi, 2008).
d. Usia sekolah
Tidur antara 8-12 jam pada malam hari tanpa tidur siang, tahap
REM berkurang sekitar
20%. Anak usia 8 tahun membutuhkan waktu kurang lebih 10 jam
setiap malam (Asmadi, 2008).
e. Adolensia
Tidur 8-10 jam pada malam hari untuk mencegah kelemahan dan
kerentanan terhadap
infeksi, tahap REM 20%. Pada remaja laki-laki mengalami Noctural
Emission (orgasme dan
mengeluarkan cairan semen pada tidur malam hari) yang biasa kita
kenal dengan mimpi basah
(Potter, 2005).
f. Dewasa muda
Pada masa ini umumnya mereka sangat aktif membutuhkan waktu
tidur 7-8 jam/hari, tahap
REM 20%. Dewasa muda yang sehat membutuhkan cukup tidur untuk
berpartisipasi dalam
kesibukan aktifitas karena jarang sekali mereka tidur siang
(Asmadi, 2008).
g. Dewasa Akhir
Kebutuhan akan tidur kurang dari 6 jam/hari, tahap REM 20-25%
dan tidur tahap IV
mengalami penurunan (Asmadi, 2008)
2.3. Konsep Asma Bronkhial
-
7
2.3.1 Pengertian Asma
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana
banyak sel berperan terutama
sel mast, esonofil, limfosit T macropag, neutropil dan sel
epitel (Hariadi, 2010). Asma
merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di
seluruh dunia dengan
kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan
kepekaan saluran napas
sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas
(breathlessness), dada rasa
tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama
pada malam atau dini hari
(GINA, 2006). Menurut National Heart Lung and Blood Institute
(NHLBI, 2007), pada individu
yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan
menyebabkan obstruksi dan
hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi
derajatnya.
2.3.2 Patofisiologi
Asma merupakan obstruksi jalan napas yang reversibel. Obstruksi
tersebut dapat
disebabkan oleh faktor berikut, seperti penyempitan jalan napas;
pembengkakan membran pada
bronki; pengisian bronki dengan mucus kental. Beberapa penderita
mengalami respon imun yang
buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE)
menyerang sel-sel mast
dalam paru yang menyebabkan pelepasan sel-sel mast, seperti
histamin dan prostaglandin.
Pelepasan ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
bronkospasme, pembengkakan
membran mukosa, pembentukan mukus berlebihan (Carpenito, L.J.
(2000)).
Penderita asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada
jalan napas dirangsang
oleh beberapa faktor, seperti udara dingin, emosi, olahraga,
merokok, polusi dan infeksi sehingga
jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Peningkatan
asetilkolin ini secara langsung bisa
menimbulkan bronkokonstriksi. Penderita dapat mempunyai
toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis (Carpenito, L.J. (2000).
-
7
2.3.3 Klasifikasi Asma
a. Berdasarkan berat ringan gejala
Asma dapat dibagi dalam 3 tahap menurut berat ringannya gejala,
yaitu asma intermitten,
asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten
berat (Tabrani , 2010).
b. Berdasarkan serangan asma
Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang
menyebabkan gangguan
aliran udara serta mempunyai dampak terhadap pengobatan.
Serangan asma ringan timbul
kadang-kadang, tidak terdapat atau ada hiperreaktivitas bronkus
yang ringan. Serangan asma
persisten timbul sering dan terdapat hiperreaktivitas bronkus.
Penderita asma berat mempunyai
saluran pernafasan yang sensitif, berisiko tinggi untuk
mengalami eksaserbasi tiba-tiba yang
berat dan mengancam jiwa (Mudjadid,dkk tahun 2006).
Asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit
asma, serta pola obstruksi aliran
udara di saluran napas. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan,
klasifikasi berdasarkan
etiologi sulit digunakan karena terdapat kesulitan dalam
penentuan etiologi spesifik dari sekitar
pasien (Gina, 2006).
Derajat penyakit asama ditentukan berdasarkan gabungan penilaian
gambaran klinis, jumlah
penggunaan agonis β2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan
fungsi paru pada evaluasi awal
pasien. Pembagian derajat penyakit asma menurut Gina adalah
sebagai berikut :
1) Intermitten
-
7
Gejala kurang dari 1 kali/minggu. Serangan singkat. Gejala
nokturnal tidak lebih dari 2
kali/bulan (≤ 2 kali). FEV1≥80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai
terbaik individu. Variabilitas
PEF atau FEV1 < 20%.
2) Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari.
Serangan dapat mengganggu
aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal >2 kali/bulan. FEV1≥80%
predicted atau PEF ≥ 80% nilai
terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%.
3) Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari. Serangan dapat mengganggu aktivitas
dan tidur. Gejala nokturnal
> 1 kali dalam seminggu. Menggunakan agonis β2 kerja pendek
setiap hari. FEV1 60-80%
predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu. Variabilitas
PEF atau FEV1 > 30%.
4) Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari. Serangan sering terjadi. Gejala asma
nokturnal sering terjadi.
FEV1 ≤ predicted atau PEF ≤ 60% nilai terbaik individu.
Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.
2.3.4 Tanda dan Gejala
Kejadian utama pada serangan asma adalah obstruksi jalan napas
secara luas yang
merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa
karena sumbatan mukus.
Tanda serangan asma yang dapat kita ketahui adalah napas cepat,
merasa cemas dan ketakutan,
tak sanggup bicara lebih dari 1-2 kata setiap kali tarik napas,
dada dan leher tampak mencekung
bila tarik napas, bersin-bersin, hidung mampat atau hidung
ngocor, gatal-gatal tenggorokan,
susah tidur, turunnya toleransi tubuh terhadap aktivitas
(Ramaiah, Savitri. 2006).
Tiga gejala (Trias Asma) yang sering muncul pada asma adalah
sesak napas, napas bunyi/
wheezing, batuk-batuk terutama malam hari. Tingkat keparahan
serangan asma tergantung pada
-
7
tingkat obstruksi saluran napas, kadar saturasi oksigen,
pembawaan pola napas, perubahan status
mental, dan bagaimana tanggapan penderita terhadap status
pernapasannya (Ramaiah, Savitri.
2006).
2.3.5 Manifestasi Klinis
Gejala asma pling umum adalah batuk (dengan atau tanpa di
sertai
produksi mukus), dispnea, dan mengi (pertama-tama pada
ekspirasi,
kemudian bisa juga terjadi pada inspirasi Serangan asma paling
sering terjadi pada malam hari atau pagi hari. Eksaserbasi asma
sering kali di dahului pleh penigkatan gejala selama
berhari-hari,namu
dapat pula terjadi secara mendadak. Sesak dada dan dispnea Di
perlukan usaha untuk di melakukan ekspirasi dan ekspirasi memanjang
Sering proses eksaserbasi,sianosi sentral sekunder akibat hipoksia
berat dapat terjadi. Gejala tambahan,seperti
diaforesis,takikardia,dan pelebaran tekanan nadi mungkin di
jumpai pada pasien asma Asma yang di sebabkan oleh latihan fisik
: gejala maksimal selama menjalani latihan
fisik,tidak terdapat gejala pada malam hari,dan terkadan hanya
muncul gambaran sensasi
seperti ”tercekik” selama menjalani latihan fisik Reaksi yang
parah dan berlangsung terus menerus,yakni status asmatikus,bisa
saja
terjadi, kondisi ini dapat mengancam kehidupan. Eksema,ruam,dan
edema temporer merupakan reaksi alergi yang biasanya menyertai
asma. (Brunner & Suddarth, 2010)
2.3.6 Faktor Resiko Asma
Beberapa faktor resiko timbulnya asma bronkial telah diketahui
secara pasti, antara lain:
riwayat keluarga, tingkat sosial ekonomi rendah, etnis, daerah
perkotaan, letak geografi tempat
tinggal, memelihara anjing atau kucing dalam rumah, terpapar
asap rokok. Secara umum faktor
-
7
risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, factor resiko
yang berhubungan dengan
terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor resiko yang
berhubungan dengan terjadinya
eksaserbasi atau serangan asma yang disebut trigger faktor atau
faktor pencetus (Gina,2006).
Adapun faktor resiko pencetus asma bronkial antara lain:
a. Asap Rokok
Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu sendiri
maupun orang-orang
yang terkena asap rokok. Suatu penelitian di Finlandia
menunjukkan bahwa orang dewasa yang
terkena asap rokok berpeluang menderita asma dua kali lipat
dibandingkan orang yang tidak
terkena asap rokok (Ni Komang Ratih), 2012. Studi lain
menunjukkan bahwa seseorang
penderita asma yang terkena asap rokok selama satu jam, maka
akan mengalami sekitar 20%
kerusakan fungsi paru. Pada anak-anak, asap rokok akan
memberikan efek lebih parah
dibandingkan orang dewasa, ini disebabkan lebar saluran
pernafasan anak lebih sempit, sehingga
jumlah nafas anak akan lebih cepat dari orang dewasa. Akibatnya,
jumlah asap rokok yang
masuk ke dalam saluran pernapasan menjadi lebih banyak dibanding
berat badannya. Selain itu,
karena sistem pertahanan tubuh yang belum berkembang, munculnya
gejala asma pada anak-
anak jauh lebih cepat dibanding orang dewasa (Ramaiah,
2006).
Hasil analisis 4.000 orang anak berumur 0-5 tahun menunjukkan
bahwa anak-anak yang
orang tuanya merokok 10 batang perhari, menyebabkan peningkatan
jumlah kasus asma serta
mempercepat munculnya gejala asma pada anak-anaknya. Begitu juga
anak yang kembali dari
rumah sakit setelah perawatan asma akut, penyembuhan akan
terganggu karena orang tua yang
merokok (Basyir 2005). Efek asap rokok ini tidak hanya
memberikan efek negatif pada anak-
anak yang telah lahir, tapi juga pada janin yang masih ada di
dalam rahim. Karena itu, di negara
maju seperti Jepang, diseluruh rumah sakit bersalin tidak
tersedia tempat yang bisa merokok. Ini
-
7
karena mereka benar-benar mengerti akan bahaya rokok tersebut.
Bayi yang akan dilahirkan dari
seorang ibu yang merokok selama dalam masa kehamilan akan lebih
sering mengalami penyakit
saluran pernafasan termasuk asma bronkial pada masa anak-anak
(Ramaiah, 2006). Pembakaran
tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang menghasilkan
campuran gas yang
komplek dan partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis
kontaminan telah dideteksi dalam
tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida,
karbon dioksida, nitrit oksida,
nikotin, dan akrolein. (Gina, 2006).
Secara umum tipe perokok di bagi menjadi beberapa kategori yakni
tipe perokok yang
berhubungan dengan udara atau asap yang dihirup, tipe perokok
berdasarkan jumlah rokok yang
dikonsumsi dalam 1 hari, dan tipe perokok yang dipengaruhi oleh
perasaan diri.
Berdasarkan udara atau asap yang dihirup, perokok dikategorikan
menjadi: Perokok pasif yakni
mereka yang tidak merokok, tetapi berada di sekeliling perokok
dan menghirup asap rokok yang
dihembuskan oleh perokok.
Perokok aktif, yakni mereka yang menghisap rokok secara langsung
(www.kppk.com).
Adapun berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi, tipe perokok
dikategorikan menjadi ;
Perokok sangat berat, adalah jika mengkonsumsi rokok lebih dari
31 batang perhari, Perokok
berat yakni mereka yang merokok sekitar 21-30 batang perhari,
Perokok sedang adalah perokok
yang menghabiskan rokok 11-21 batang perhari, dan Perokok ringan
yang merokok sekitar 10
batang/hari (Gina, 2006).
b. Tungau Debu Rumah
Tungau debu adalah penyebab paling umum diseluruh dunia. Alergi
tungau lebih sering
terjadi di kota dan Negara berkembang. Hal ini terjadi karena
rumah modern dan penggunaan
teknik insulasi memuningkankan tungau hidup lebih baik (Sundaru
H, Sukamto. (2006)). Asma
-
7
bronkial dikaitkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau
debu. Tungau debu akan
mengeluarkan feses yang dilapisi protein pada setiap butir
partikelnya. Yang menyebabkan reaksi
alergi bagi penderita asma apabila masuk ke dalam saluran
nafas.Ketika tungau ini mati,
tubuhnya yang membusuk bercampur dengan debu rumah tangga
(Sundaru H, Sukamto.
2006)Tungau debu rumah memiliki ukuran 0,1 – 0,3 mm dan lebar
0,2 mm biasanya terdapat di
tempat-tempat atau benda-benda yang banyak mengandung debu
(Vitahealth, 2006). Misalnya
debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang
berbulu tebal dan lama tidak
dibersihkan, juga dari tumpukan koran, buku, pakaian lama
(Sundaru H, Sukamto. 2006)
c. Jenis Kelamin dan usia
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan anak
perempuan (Sundaru, 2006). Perbedaan jenis kelamin pada
insidensi penyakit asma bervariasi,
tergantung usia dan perbedaan karakter biologi. Insidensi
penyakit asma pada anak laki-laki usia
2-5 tahun ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan anak
perempuan sedangkan pada usia 14
tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering. Kunjungan
ke rumah sakit 3 kali lebih sering
dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20
tahun kekerapan asma pada
laki-laki merupakan kebalikan dari insiden ini (Yunus,
2006).
Peningkatan resiko pada anak laki-laki disebabkan semakin
sempitnya saluran pernapasan,
perubahan pada pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE
pada laki-laki yang cenderung
membatasi respon bernapas (Sundaru, 2006) Didukung lagi oleh
adanya hipotesis dari observasi
yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran
pernafasam laki laki dan
perempuan setelah berumur 10 tahun, kemungkinan disebabkan
perubahan ukuran rongga dada
yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan.
Predisposisi perempuan yang
mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki mulai ketika masa
puber, sehingga prevalensi asma
-
7
pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan
mengalami perubahan dimana
nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki
(Gina, 2006).
d. Binatang Peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing,
hamster, burung dapat menjadi
sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen
protein yang ditemukan pada
bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut
memiliki ukuran yang sangat kecil
(sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga
menyebabkan serangan asma, terutama
dari burung dan hewan menyusui karena bulu akan rontok dan
terbang mengikuti udara (Depkes
R.I (2009).
e. Jenis Makanan
Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu
pencetus asma meskipun
penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus
onkokontriksi pada 2% - 5% anak
dengan asma (Ramaiah, 2006). Meskipun hubungan antara
sensitivitas terhadap makanan
tertentu dan perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi bayi
dan anak-anak yang sensitif
terhadap makanan tertentu atau menderita enteropathy atau
colitis karena alergi makanan tertentu
akan cenderung menderita asma (GINA, 2006).
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan
laut, kacang, berbagai
buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan
menjadi pencetus seranga asma
(Gina, 2006). Makanan produk industri dengan pewarna buatan
(misal: tartazine), pengawet
(metabisulfit), vetsin (monosodium glutamat-MSG) juga bisa
memicu serangan asma. Makanan
yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal adalah
kacang, ikan laut dan telor (Gina,
2006). Penelitian di Arab Saudi membandingkan makanan pengidap
asma dengan tidak asma.
Anak Arab Saudi yang tinggal di daerah perkotaan banyak
menunjukkan gejala nafas berbunyi
-
7
atau mengi. Anak-anak ini sering bersantap di gerai-gerai
makanan cepat saji dan secara
signifikan kurang mendapatkan asupan makanan tradisional,
termasuk sayuran, susu, makanan
yang kaya serat, vitamin dan mineral (Sundaru, 2006).
f. Perabot Rumah Tangga
Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar
biologis (virus, bakteri,
jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC),
combustion products (CO1, NO2,
SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur.
Sumber polutan VOC berasal dari
semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray,
deodorant, pewangi ruangan, segala
sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan
pengencer (solvent) seperti
thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan,
insulasi, furnitur, karpet
(Ramaiah, 2006). Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan
terjadinya iritasi pada mata
dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya
respilable dust disamping
menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat menyebabkan reaksi
peradangan paru.
g. Perubahan Cuaca
Kondisi cuaca seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban
dapat menyebabkan asma
lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih
parah berhubungan dengan badai
dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik (Ramaiah, 2006).
Dimana partikel tersebut
dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara.
Perubahan tekanan atmosfer dan
suhu memperburuk asma sesak nafas dan pengeluaran lendir yang
berlebihan. Ini umum terjadi
ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin.
Udara yang kering dan dingin
menyebabkan sesak di saluran pernafasan (Ramaiah, 2006).
-
7
Asma berhubungan dengan iklim, Kota besar seperti Auckland,
Brisbane, Hongkong dan
New Orleans yang mempunyai suhu panas >24oC dan rata rata
curah hujan tahunan >100cm,
mempunyai prevalensi asma yang tinggi. RS Cipto menunjukkan
penderita dengan perubahan
udara kemungkinan akan mengalami asma 31.83 x lebih besar dari
penderita tanpa perubahan
cuaca. Hal ini diperkuat dengan penelitian di Amerika seikat
yang membuktikan bahwa ada
hubungan antara kunjungan asma dengan cuaca dingin dan kering
pada musim semi.
h. Riwayat Penyakit Keluarga
Genetik merupakan faktor pendukung timbulnya asma. Bakat alergi
merupakan hal yang
diturunkan, meskipun belum di ketahui bagaimana cara
penurunannya yang jelas. Bakat alergi
ini membuat penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkial jika terpapar factor
pencetus. Penderita biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga
menderita penyakit alergi
(Sundaru, 2006).. Apabila kedua orang tua memiliki riwayat
penyakit asma maka hampir 50%
dari anak-anaknya memiliki kecenderungan asma, sedangkan jika
hanya salah satu orang tuanya
yang menderita asma maka kecenderungannya hanya 35%. Lebih
kurang 25% penderita penyakit
asma, keluarga dekatnya juga menderita asma, meskipun asmanya
tidak aktif lagi, diantara
keluarga penderita asma 2/3 memperlihatkan test alergi positif
(Sundaru, 2006). Resiko orang tua
dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat
lebih tinggi jika riwayat
keluarga dengan asma disertai dengan salah satu riwayat atopi.
Predisposisi keluarga untuk
mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua
yang terkena mempunyai
risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50%
jika kedua orang tua
asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot, tingkat
stabilitas bronkokontriksi pada
olahraga ada pada kembar identik, tetapi tidak pada kembar
dizigot (Sundaru, 2006). Orang tua
-
7
asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan
orang tua yang tidak asma,
terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah
(Sundaru, 2006).
Pencetus yang paling sering memunculkan gejala asma dan
eksaserbasi mencakup iritan jalan
napas (misalnya, polutan, suhu dingin, panas, bauh menyengat,
asap, parfum),latihan fisik, stres
atau perasaan marah, khinosinusitis dengan post nasal drip,
obat-obatan, infeksi firus pada jalan
napas, refluks gastroesofageal.
2.3.7 Penatalaksanaan Medis
Terapi Farmakologis
Terdapat 2 golongan medikasi-medikasi kerja-cepat dan kontrol
kerja-lambat maupun
produk kombinasi.
Agonis adrenergik-beta2 kerja pendek. Antikolinergik.
Kortikosteroid: inhaler dosis terukur (MDI). Inhibitor pemodifikasi
leukotrien/antileukotrien. Metilxantin.