8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Hands Only CPR A. Pengertian Hands Only CPR Cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau dikenal juga dengan Resusitasi Jantung Paru (RJP) dapat didefinisikan sebagai salah satu metode yang dapat mengembalikkan pernapasan dan sirkulasi pada korban yang mengalami henti jantung mendadak. Melakukan CPR tidak hanya dilakukan di dalam ruang operasi, tetapi juga bisa dilakukan di luar rumah sakit apabila menemukan korban dalam keadaan henti jantung maka melakukaan CPR sangatlah diperlukan untuk mempertahankan jiwa korban. Melakukan CPR masuk kedalam hal yang disebut dengan Basic Life Support (BLS). BLS merupakan pendekatan sistematik untuk penilaian pertama korban, dalam mengaktifkan respon gawat darurat (Ganthikumar, 2016). Dalam bahasa lain CPR merupakan sebuah tehnik dari bantuan hidup dasar dimana ini merupakan serangkaian kompresi dada dan ventilasi nafas untuk pasien dengan henti jantung (Maulidia & Loura, 2019). Sedangkan karena banyaknya orang yang mungkin enggan untuk menghembuskan napas dari mulut ke mulut saat ventilasi dan rangkaian A – B – C menunda kompresi dada, maka pedoman baru merekomendasikan untuk mengubah urutan sebelumnya yaitu A – B – C menjadi ke C – A – B yang resusitasi dimulai dengan kompresi dada, Algoritma Basic Life Support (BLS) telah disederhanakan menjadi Hands Only CPR (hanya kompresi) yang di anjurkan kepada para
12
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Hands Only CPR A. … II.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Hands Only CPR A. Pengertian Hands Only CPR Cardiopulmonary resuscitation (CPR)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Hands Only CPR
A. Pengertian Hands Only CPR
Cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau dikenal juga dengan Resusitasi Jantung
Paru (RJP) dapat didefinisikan sebagai salah satu metode yang dapat mengembalikkan
pernapasan dan sirkulasi pada korban yang mengalami henti jantung mendadak.
Melakukan CPR tidak hanya dilakukan di dalam ruang operasi, tetapi juga bisa dilakukan
di luar rumah sakit apabila menemukan korban dalam keadaan henti jantung maka
melakukaan CPR sangatlah diperlukan untuk mempertahankan jiwa korban. Melakukan
CPR masuk kedalam hal yang disebut dengan Basic Life Support (BLS). BLS merupakan
pendekatan sistematik untuk penilaian pertama korban, dalam mengaktifkan respon
gawat darurat (Ganthikumar, 2016).
Dalam bahasa lain CPR merupakan sebuah tehnik dari bantuan hidup dasar
dimana ini merupakan serangkaian kompresi dada dan ventilasi nafas untuk pasien
dengan henti jantung (Maulidia & Loura, 2019). Sedangkan karena banyaknya orang yang
mungkin enggan untuk menghembuskan napas dari mulut ke mulut saat ventilasi dan
rangkaian A – B – C menunda kompresi dada, maka pedoman baru merekomendasikan
untuk mengubah urutan sebelumnya yaitu A – B – C menjadi ke C – A – B yang resusitasi
dimulai dengan kompresi dada, Algoritma Basic Life Support (BLS) telah
disederhanakan menjadi Hands Only CPR (hanya kompresi) yang di anjurkan kepada para
9
orang awam atau bystander (Urban et al. 2013). Karena Hands Only CPR lebih mudah
dilakukan oleh orang awam dan dapat dipandu melalui telepon oleh petugas operator
pelayanan ke gawat daruratan (Ghuysen et al. 2011).
Pada fokus pembaharuan AHA (2018) merekomendasikan pada saat OHCA
terjadi dispatcher atau penyedia layanan kesehatan gawat darurat harus menginstruksikan
penelpon yang melaporkan kejadian OHCA untuk melakukan Hands Only CPR atau CPR
dengan kompresi dada saja untuk orang dewasa dengan dugaan OHCA, pada AHA
(2018) juga di sebutkan bahwa orang awam yang tidak terlatih juga harus melakukan
tindakan Hands Only CPR dengan atau tanpa di instruksikan oleh tenaga kesehatan
(McCarthy et al. 2018). Sedangkan, unruk orang awam terlatih disarankan melakukan
CPR dengan menggunakan kompresi dada dan ventilasi (rescue breathing) atau CPR
konvensional (Panchal et al. 2018)
B. Manfaat Pemberian CPR
Pemberian Cardiopulmonary resuscitation (CPR) yang berkualitas merupakan
salah satu usaha untuk meningkatkan survival rate pada kejadian henti jantung (Winarti &
Rosiana, 2020). Bahkan pemberian CPR dapat meningkatkan angka survival rate dari
penderita dua kali bahkan tiga kali lipat (Sutton et al. 2014). Serta pemberian CPR juga
merupakan upaya mengembalikan fungsi nafas dan atau sirkulasi yang berhenti oleh
berbagai sebab dan dapat membantu memulihkan kembali fungsi jantung dan paru ke
keadaan normal, CPR juga dapat tetap menjaga aliran oksigen yang adekuat ke otak dan
organ vital lainnya sampai ia dapat memulihkan denyut jantung normal kembali
10
(Ganthikumar, 2016). Pemberian CPR juga dapat mencegah kematian biologis pada dua
fungsi penting yaitu pernafasan dan sirkulasi yang irreversible (Jamil, 2010).
C. Indikasi Pemberian CPR
a. Henti Napas
Keadaan henti napas primer dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti serangan
Stroke, keracunan obat, tenggelam, terhirup asap / uap / gas, adanya benda asing yang
menghalangi jalan nafas, sengatan listrik, sambaran petir, serangan infark jantung, radang
epiglotis, tercekik (mati lemas), trauma, dan sebagainya (AHA, 2010).
Keadaan berhenti bernapas ini ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan
aliran udara berupa ekspirasi serta inspirasi yang berasal dari korban, dengan itu harus
segera dilakukan BLS atau Basic Life Support pada korban (Wiryana et al. 2010). Pada awal
henti napas terjadi, jantung masih berdetak serta denyut nadi masih bisa diraba, dan
oksigen masih bisa mengalir ke seluruh peredaran darah yang di sirkulasikan oleh jantung
ke organ-organ vital seperti otak namun hanya terjadi dalam beberapa menit saja. Dengan
memberikan bantuan resusitasi, maka itu dapat membantu jantung untuk menciptakan
sirkulasi yang lebih baik serta dapat meminimalkan resiko kegagalan perfusi organ
(Ganthikumar, 2016).
b. Henti Jantung
Keadaan henti jantung ditandai dengan tidak adanya atau tidak terdeteksinya nadi
dan tanda – tanda sirkulasi lainnya (Darwati et al. 2015). Henti jantung atau cardiac arrest
adalah ketidakmampuan curah jantung untuk menyediakan oksigen yang cukup untuk
11
organ vital seperti otak dan organ lainnya secara tiba-tiba, namun dapat kembali normal
jika di lakukan tindakan yang tepat dengan segera. Jika tindakan tidak adekuat maka dapat
menyebabkan kerusakan dan kematian organ otak secara reversibel (Ganthikumar,
2016). Henti jantung yang terminal yang di sebabkan oleh usia lanjut atau penyakit kronis
tertentu tidak dapat di kategorikan sebagai henti jantung atau cardiac arrest (Subagjo et al.
2011).
Dalam beberapa kasus sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi
ventrikel atau takikardi tanpa denyut, lalu disusun oleh ventrikel asistol dan terakhirnya
oleh disosiasi elektro-mekanik. Dua jenis henti jantung yang berakhir lebih sulit
ditanggulangi kerana akibat gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi
karena koordinasi aktivitas jantung menghilang (Ganthikumar, 2016).
D. Tatalaksana Hands Only CPR
Hands-Only CPR merupakan CPR atau RJP tanpa pemberian bantuan nafas
mulut-ke-mulut. Tehnik ini direkomendasikan penggunaannya untuk orang yang melihat
seorang dewasa atau remaja tiba-tiba kolaps di luar rumah sakit, entah itu di rumah,
tempat kerja atau mungkin di taman (AHA, 2017). Tehnik ini terdiri dari dua langkah
mudah yakni:
a. Panggil bantuan (nomor telepon emergensi terdekat) atau minta seseorang untuk
memanggil bantuan (Call 9-1-1).
b. langkah kedua adalah melakukan penekanan yang cepat dan kuat pada tengah dada
(push hard and fast in the center of the chest) (Manik et al. 2018)
12
E. Algoritma Pemberian CPR pada Orang Dewasa
Gambar 1 ,Algoritma CPR pada Orang Dewasa
(AHA, 2015).
13
F. Rantai Kelangsungan Hidup Henti Jantung Orang Dewasa
OHCA merupakan sebagai suatu kondisi terhentinya aktivitas mekanis jantung, hal itu
ditandai dengan tidak adanya tanda-tanda sirkulasi jantung dan terjadi di luar rumah sakit
(Berg et al. 2010), dan berikut merupakan rantai kelangsungan hidup henti jantung pada orang
dewasa. Menurut American Heart Association (AHA), rantai kehidupan mempunyai
hubungan erat dengan resusitasi jantung paru, karena penderita yang diberikan CPR,
mempunyai kesempatan yang besar untuk dapat hidup kembali (Ganthikumar 2016).
Kelangsungan hidup korban OHCA jauh lebih mungkin ketika terdapat penolong disekitar
korban yang memberikan bantun hidup dasar, mulai dari menghubungi rumah sakit atau
ambulans hingga segera memberikan CPR (Panchal et al. 2018).
Gambar 2, Algoritma Rantai Bertahan Hidup menurut AHA untuk OHCA Dewasa
(Pedoman AHA, 2020).
14
2.2 Konsep Orang Awan atau Bystander
A. Pengertian Orang Awam
Merupakan orang yang berada di tempat kejadian di luar rumah sakit saat henti
jantung atau cardiac arrest terjadi, serta dapat dan mau untuk melakukan CPR pada orang
yang mengalami henti jantung tersebut (Hjm et al. 2020). Pemberian CPR yang
berkualitas dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk orang awam atau bystander, namun
pemberian CPR lebih baik dilakukan oleh tenaga medis (AHA, 2015).
B. Peran Orang Awam Dalam Melakukan Hands Only CPR
Para orang awam atau bystander yang menyaksikan seorang dewasa tiba-tiba
pingsan harus mengaktifkan layanan medis darurat (EMS) dan memberikan kompresi
dada berkualitas tinggi dengan mendorong kuat dan cepat di tengah dada korban.
Rekomendasi ini didasari oleh evaluasi studi ilmiah terbaru dan kesepakatan dari American
Heart Association Emergency Cardiovascular Care (ECC) Committee yang dipublikasikan untuk
memperbaharui ”Panduan American Heart Association (AHA) 2005 dalam melakukan
Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) dan Emergency Cardiovascular Care (ECC) ” Pedoman
tersebut dapat di aplikasikan sebagai acuan oleh para orang awam atau bystander ketika
menghadapi orang pingsan dengan henti jantung atau cardiac arrest (Sayre et al. 2008). Tapi
sekarang bystander atau orang awam yang bukan tenaga medis tidak perlu meng-
khawatirkan untuk melakukan tindakan ventilasi atau rescue breathing lagi, hal ini karena
dari berbagai penelitian membuktikan bahwa pemberian kompresi dada saja tanpa
pemberian rescue breathing, sama efektif nya dengan CPR yang menggunakan rescue
15
breathing sehingga tidak ada perbedaan yang begitu signifikan antara keduanya, yang
terpenting ialah terselamatnya nyawa pasien dengan cardiac arrest (Girianto, 2020).
Dari studi yang dilakukan oleh American Heart Association (AHA) tahun 2010
melaporkan bahwa orang dewasa yang menerima CPR dengan jenis kompresi saja atau
disebut sebagai Hands-Only CPR dari seseorang lebih bertahan daripada yang tidak
menerima CPR jenis apapun. Studi lainnya juga memperlihatkan bahwa angka
keselamatan dari orang dewasa yang henti jantung dan ditolong oleh seseorang yang
bukan tenaga kesehatan hasilnya mirip, baik yang jenis Hands-Only CPR maupun CPR
konvensional (Manik et al,2018). Berdasarkan studi oleh AHA tahun 2015, kaum awam
biasanya panik dan kepanikan ini menjadi hambatan utama dalam melakukan CPR.
Tehnik Hands-Only CPR yang sederhana dapat membantu mengatasi kepanikan dan
keragu-raguan dalam bertindak (AHA, 2014).
C. Faktor yang Mempengaruhi Orang Awam Melakukan CPR
Salah satu faktor yang mempengaruhi kesediaan seorang bystander atau orang
awam untuk melakukan CPR lebih besar ketika individu telah menerima pendidikan CPR
dalam 5 tahun terakhir atau lebih dari 3 kali (Sipsma et al. 2011). Namun tidak semua
bystander pernah mendapatkan pelatihan CPR , karena sebagian besar bystander adalah
orang awam tidak terlatih sehingga menimbulkan ketidak percayaan diri (Estri, 2019).
Faktor lainnya yang mempengaruhi seseorang untuk mau menjadi orang awam atau
bystander CPR bukan hanya terkait pengetahuan dan teknik melakukan CPR saja namun
16
juga dipengaruhi oleh faktor sosial, kerelaan melakukan, kesiapan psikologis dan faktor
lainnya (Lu et al. 2016).
2.3 Konsep Awareness (Kesadaran)
A. Pengertian Awareness
Awareness atau kesadaran merupakan kemampuan kognitif seseorang dalam
mengambil perspektif untuk bergerak (Miller et al. 2014). Kesadaran juga dapat
didefinisikan sebagai kompetensi subjek untuk mengenali atau mengidentifikasi, bahwa
suatu objek dapat mempengaruhi nilai, dan untuk mengenali bahwa suatu nilai itu relevan
dalam sebuah evaluasi (hasil akhir)(Meynhardt & Fröhlich, 2019). Definisi lainnya
mengatakan bahwa awareness merupakan hasil atau tujuan dari pekerjaan atau tujuan
(Despins, 2018).
B. Tingkatan Awareness
Kesadaran di jelaskan dalam tiga tingkat berurutan:
a. Persepsi elemen dalam lingkungan
b. Pemahaman makna dari unsur-unsur tersebut terkait dengan situasi saat ini
c. Proyeksi apa yang akan dilakukan elemen-elemen itu di masa depan
(Despins, 2018).
2.4 Konsep Willingness (Kesediaan)
A. Pengertian Willingness
17
Merupakan kesanggupan (kesediaan) untuk berbuat sesuatu atau dengan kata
lainnya ialah kesudian (KBBI). Kesediaan juga dapat di artikan sebagai sikap seseorang
yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung
jawabnya, kesediaan adalah suatu sikap dan tingkah laku dalam melaksanakan peraturan,
baik yang tertulis maupun tidak (Hasibuan, 2002). Karena pada saat CPR orang awam atau
bystander dikaitkan dengan keberlangsungan hidup pasien dengan OHCA setelahnya,
namun perlu diingat yang penting tidak hanya kesediaannya melainkan apakah para orang
awam atau bystander tersebut memiliki keterampilan psikomotorik yang memadai atau tidak
untuk melakukan CPR (Riggs et al. 2019).
2.5 Konsep Performance (Kinerja)
A. Pengertian Performance
Performance atau kinerja merupakan suatu hasil kerja yang di hasilkan seseorang
untuk mencapai tujuan yang di harapkan (Rialmi & Morsen, 2020). Kinerja juga dapat di
pahami sebagai tingkat keberhasilan maupun pencapaian, serta sebagai penilai tingkat
kemampuan (Rahayu, 2017). Dalam arti lain, kinerja dapat juga di artikan sebagai kualitas
dan kuantitas dari suatu pencapaian (Rivai & Veithzal, 2005).
B. Indikator Performance
a. Kualitas (Quality)
Merupakan tingkatan di mana proses atau hasil dari penyelesaian suatu kegiatan mendekati
sempurna.
18
b. Kuantitas (Quantity)
Merupakan hasil yang dihasilkan dan dapat ditunjukkan dalam satuan jumlah unit, atau
jumlah siklus kegiatan yang diselesaikan.
c. Ketepatan waktu (Timeliness)
Merupakan di mana kegiatan tersebut dapat diselesaikan, atau suatu hasil dapat dicapai,
pada permulaan waktu yang ditetapkan bersamaan koordinasi dengan hasil yang lain dan
memaksimalkan waktu yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan lain.
d. Efektivitas biaya (Cost effectiveness)
Merupakan tingkatan di mana sumber daya seperti manusia, teknologi, dapat
dimaksimalkan.
e. Hubungan antar perseorangan (interpersonal impact)
Merupakan tingkatan di mana seorang mampu untuk mengembangkan perasaan saling
menghargai, niat baik dan kerjasama (Rahayu, 2017).
2.6 Konsep Pengunaan Feedback device pada Hands Only CPR pada Orang Awam
Feedback device merupakan perangkat umpan yang dapat memberikan gambaran
kedalaman Chest Compression, laju rekoil dada, dan serta tinjauan data real-time selama
pelatihan CPR berlangsung ataupun CPR secara nyata. Seperti contoh ialah LinkCPR
(SunLife, China), yang dapat mengumpulkan data akselerasi dari hasil menyensor,
menghitung kedalaman dan laju kompresi pada algoritmanya sendiri, dengan akurasi
19
pengukuran kedalaman adalah ±2mm, dan ukuran laju adalah ±1 kali/menit dan dapat
mengetahui secara akurat untuk mengukur kedalaman CC apakah pasien berbaring di
permukaan yang lunak atau keras (Liu et al. 2018). Penggunaan Feedback device secara nyata
selama pelatihan CPR telah menunjukkan peningkatkan kinerja CPR di penyedia layanan
kesehatan (Cheng et al. 2015). Beberapa penelitian juga telah menunjukkan bahwa sesi
belajar mandiri CPR secara singkat dan dengan menggunakan feedback device selama
pelatihan CPR dapat meningkatkan perolehan keterampilan CPR (Yeung et al. 2009) serta
sebagai penilai persepsi kualitas CPR (Brown et al. 2018). Penelitian terbaru lainnya
menunjukkan bahwa feedback device CPR dapat membantu penyedia layanan kesehatan
dalam memberikan CPR berkualitas lebih tinggi, yang dapat mengarah pada peningkatan