Page 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karies
2.1.1 Definisi Karies
Karies gigi merupakan penyakit pada jaringan gigi yang diawali dengan
terjadinya kerusakan jaringan yang dimulai dari permukaan gigi (pit, fissures,
dan daerah inter proksimal), kemudian meluas kearah pulpa. Karies gigi dapat
dialami oleh setiap orang dan juga dapat timbul pada satu permukaan gigi
atau lebih, serta dapat meluas ke bagian yang lebih dalam dari gigi, misalnya
dari enamel ke dentin atau ke pulpa. Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya karies gigi, diantaranya adalah karbohidrat,
mikroorganisme dan saliva, permukaan dan anatomi gigi (Tarigan, 2015).
Meningkatnya angka kejadian karies juga dihubungkan dengan
peningkatan konsumsi gula. Karies gigi merupakan penyakit yang paling
umum terjadi pada anak-anak dan prevalensinya meningkat sejalan dengan
pertambahan usia anak tersebut. Survei epidemologi terbaru yang dilakukan
di Negara Timur Tengah menunjukkan bahwa karies pada anak relatif lebih
tinggi dipengaruhi oleh diet (Surya, dkk., 2011).
Page 2
2.1.2 Etiologi Karies
Gambar 2.1 Faktor yang mempengaruhi
terjadinya karies (Shafer, 2012)
Karies merupakan salah satu penyakit muktifaktorial yang terdiri dari
empat faktor utama yang saling berinteraksi langsung di dalam rongga mulut.
Empat faktor utama yang berperan dalam pembentukan karies yaitu host,
mikroorganisme, substrat dan waktu (Shafer, 2012). Karies akan timbul jika
keempat faktor tersebut bekerja sama. Selain faktor langsung di dalam mulut
yang berhubungan dengan terjadinya karies, terdapat pula faktor tidak
langsung atau faktor predisposisi yang juga disebut sebagai risiko luar, antara
lain usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, lingkungan,
sikap dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut
(Laelia, 2011).
2.1.2.1 Faktor langsung
a. Host
Struktur dan komposisi gigi memiliki peran penting terhadap
perkembangan lesi karies. Permukaan enamel yang terluar
1. Host
2. Mikroorganisme
3. Substrat
4. Waktu
Page 3
diketahui lebih resisten terhadap karies dibandingan dengan
permukaan enamel di bawahnya. Keadaan morfologi gigi juga
berpengaruh terhadap perkembangan karies, hal ini disebabkan
karena adanya pit dan fissure yang dalam pada permukaan gigi
yang dapat menjadi tempat masuknya sisa-sisa makanan, bakteri
dan debris. Penumpukan sisa-sisa makanan, bakteri dan debris
yang tidak dibersihkan akan menyebabkan karies berkembang
dengan cepat. (Shafer, 2012).
Saliva merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan
penting terhadap terjadinya karies. Sejak tahun 1901, Rigolet telah
menemukan bahwa pasien dengan sekresi saliva yang sedikit atau
tidak sama sekali yang biasanya disebabkan oleh adanya
aprialismus, terapi radiasi kanker ganas, dan xerostomia, memiliki
presentase karies gigi yang semakin meninggi. Selain itu juga
sering ditemukan kasus pasien balita berusia 2 tahun dengan
kerusakan atau karies pada seluruh giginya karena aplasia kelenjar
parotis (Tarigan, 2015).
b. Mikroorganisme
Bakteri Streptococcus mutans dan bakteri Laktobacili
merupakan dua bakteri yang berperan penting dalam proses
terjadinya karies. Streptococcus mutans memiliki peran dalam
proses awal pembentukan karies, setelah itu bakteri laktobacili
meneruskan peran untuk membentuk kavitas pada enamel. Plak
Page 4
gigi mengandung bakteri yang memiliki sifat acidogenic (mampu
memproduksi asam) dan aciduric (dapat bertahan pada kondisi
asam). Selama proses pembetukan lesi karies, pH plak turun
menjadi dibawah 5,5 sehingga menciptakan suasana asam dan
terjadi proses demineralisasi enamel gigi (Cameron, 2008). Enamel
gigi dapat mengalami disolusi asam selama proses keseimbangan
kembali dengan proses yang dikenal dengan istilah remineralisasi.
Keseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi dari
enamel menentukan terjadinya karies gigi (Tarigan, 2015).
c. Substrat
Konsumsi karbohidrat seperti sukrosa yang dapat terfermentasi
akan mempengaruhi pembentukan plak gigi dan membantu
perkembangbiakan serta kolonisasi bakteri Streptococcus mutans
pada permukaan gigi. Konsumsi sukrosa secara berlebih dapat
mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak untuk
memproduksi asam sehingga menyebabkan timbulnya karies
(Heymann, 2013; Koch, 2009).
d. Waktu
Proses demineralisasi dan remineralisasi pada rongga mulut
terjadi secara terus menerus, oleh sebab itu maka dapat dikatakan
bahwa seseorang tidak pernah terbebas dari karies. Karies akan
terjadi jika terdapat gangguan keseimbangan antara proses
demineralisasi dan remineralisasi. Proses ini ditentukan oleh
Page 5
komposisi dan jumlah plak yang terdapat pada rongga mulut,
konsumsi gula (frekuensi dan waktu), paparan fluoride, kualitas
enamel dan respon imun. Asam dapat menyebabkan hancurnya
kristal enamel sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada
permukaan enamel. Hal ini dapat terjadi dalam kurun waktu bulan
hingga tahun tergantung pada intensitas dan frekuensi suasana
asam terjadi (Cameron, 2008).
2.1.2.2 Faktor tidak langsung
a. Ras (suku bangsa)
Pengaruh ras terhadap terjadinya karies gigi sangat sulit
ditentukan. Namun demikian, bentuk tulang rahang suatu ras
bangsa mungkin dapat berhubungan dengan presentase terjadinya
karies yang semakin meningkat atau menurun. Misalnya, pada ras
tertentu dengan bentuk rahang yang sempit sehingga gigi-geligi
pada rahang tumbuh berjejal yang menyebabkan seseorang sulit
membersihkan gigi-geligi secara keseluruhan sehingga akan
meningkatkan presentase karies pada ras tersebut (Tarigan, 2015).
Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan pendapat
antara hubungan ras (suku bangsa) dengan prevalensi karies. Hal
ini disebabkan karena adanya perbedaan tingkat sosial ekonomi
dan keadaan lingkungan sosial yang dipengaruhi oleh perbedaan
pendidikan, pendapatan dan ketersediaan akses pelayanan
Page 6
kesehatan yang berbeda disetiap ras (suku bangsa) (Fejerskov,
2008).
b. Usia
Prevalensi karies meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Hal ini disebabkan karena gigi lebih lama terpapar dengan faktor
resiko penyebab karies, oleh karena itu penting untuk memahami
dan mengendalikan faktor risiko untuk mencegah timbulnya lesi
karies baru atau memperlambat perkembangan lesi karies yang
sudah ada (Fejerskov, 2008; Heymann, 2013).
c. Jenis kelamin
Prevalensi karies gigi permanen dan gigi sulung pada
perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan
karena erupsi gigi anak perempuan lebih cepat dibanding anak laki-
laki, sehingga gigi anak perempuan terpapar faktor resiko karies
lebih lama (Fejerskov, 2008).
d. Keturunan
Orang tua dengan karies yang rendah anak-anaknya cenderung
memiliki karies yang rendah, sedangkan orang tua dengan karies
yang tinggi anak-anaknya cenderung memiliki karies yang tinggi
pula. (Shafer, 2012). Namun penelitian ini belum dipastikan
penyebabnya karena murni genetik, transmisi bakteri atau
kebiasaan makan dan perilaku dalam menjaga kesehatan gigi yang
sama dalam suatu keluarga (Fejerskov, 2008).
Page 7
e. Status sosial ekonomi
Anak-anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah
memiliki indeks DMF-T lebih tinggi dibandingkan dengan anak-
anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi (Tulongow,
2013). Hal ini disebabkan karena status sosial ekonomi akan
mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam upaya
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (Fejerskov, 2008). Status
sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari tingkat pendidikan,
pekerjaan dan pendapatan orang tua yang dapat mempengaruhi
perubahan sikap dan perilaku seseorang dalam upaya pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut (Susi, 2012; Heymann, 2013).
f. Sikap dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan gigi
1. Perilaku menggosok gigi
Perilaku memegang peranan yang penting dalam
mempengaruhi status kesehatan gigi dan mulut, salah satunya
adalah perilaku menggosok gigi (Anitasari, 2005). Beberapa
penelitian menunjukan bahwa kebiasaan menggosok gigi,
frekuensi menggosok gigi dan penggunaan pasta gigi yang
mengandung fluoride berpengaruh terhadap kejadian karies
(Lakhanpal, 2014). Menggosok gigi dua kali sehari dengan
menggunakan pasta gigi mengandung fluoride dapat
menurunkan angka kejadian karies (Angela, 2005).
Page 8
2. Penggunaan dental floss
Dental floss atau benang gigi merupakan alat yang digunakan
untuk menghilangkan sisa makanan dan plak pada daerah yang
sulit dijangkau oleh sikat gigi, seperti pada daerah
interproksimal. Pembersihan plak pada daerah interproksimal
dianggap penting untuk memelihara kesehatan gingiva,
pencegahan karies dan penyakit periodontal. Penggunaan dental
floss sebaiknya dilakukan sebelum menggosok gigi, karena
dapat membersihkan daerah interdental yang tidak bisa dicapai
dengan sikat gigi dan fluor yang terkandung dalam pasta gigi
lebih mudah mencapai bagian interproksimal sehingga dapat
membantu melindungi permukaan gigi dari terbentuknya plak
(Magfirah, 2014).
2.1.3 Patofisiologi Karies
Proses terjadinya karies ditandai dengan adanya proses demineralisasi dan
juga hilangnya struktur gigi. Bakteri Streptococcus mutans pada plak gigi
memetabolisme karbohidrat (gula) sebagai sumber energi kemudian memproduksi
asam sehingga menyebabkan menurunnya pH plak (<5.5). Penurunan pH
menyebabkan terganggunya keseimbangan ion kalsium dan fosfat sehingga
mengakibatkan hilangnya mineral enamel gigi dan terjadinya proses
demineralisasi. Pada keadaaan dimana pH sudah kembali normal dan terdapat ion
kalsium dan fosfat pada gigi maka mineral akan kembali ke enamel gigi, proses
ini disebut sebagai proses remineralisasi. Karies merupakan proses dinamis
Page 9
tergantung pada keseimbangan antara proses demineralisasi dan remineralisasi.
Proses demineralisasi yang terus berulang akan menyebabkan larut dan hancurnya
jaringan keras gigi yang dapat dilihat dengan adanya lesi karies atau “kavitas”
(Heymann, 2013).
2.1.4 Penatalaksanaan Karies
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya karies.
Mengenali penyebab terjadinya karies merupakan hal terpenting agar mengetahui
bagaimana tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya karies
tersebut. Pencegahan karies gigi dapat dilakukan dengan cara :
1) Mengurangi pertumbuhan bakteri patogen sehingga hasil metabolismenya
berkurang.
2) Meningkatkan ketahanan permukaan gigi terhadap proses demineralisasi.
3) Meningkatkan pH plak.5-7
Untuk mengurangi pertumbuhan bakteri patogen dapat dilakukan dengan
membuang struktur gigi yang sudah rusak pada seluruh gigi dengan karies aktif
dan membuat restorasi. Salah satu bahan yang efektif untuk mencegah karies
adalah sealents. Ada tiga keuntungan penggunaan sealents. Pertama, sealents akan
mengisi pits dan fissures dengan resin yang tahan terhadap asam. Kedua, karena
pits dan fissures sudah diisi dengan sealents, maka bakteri kehilangan habitat.
Ketiga, sealents yang menutupi pits dan fissures mempermudah pembersihan gigi
(Ritter, 2013).
Penatalaksanaan karies dilakukan dengan cara melakukan identifikasi untuk
mengetahui apakah pasien mempunyai karies aktif, apakah pasien termasuk
Page 10
kelompok yang beresiko tinggi mengalami karies. Setelah itu dapat dilakukan
pencegahan perkembangan karies lebih luas, serta dilakukan penanganan yang
tepat. Pada ilmu kedokteran gigi modern, terdapat perubahan pola penanganan
karies dimana titik berat dari penanganan karies tersebut adalah pada proses
pencegahan karies itu sendiri. Program pencegahan dan penatalaksanaan karies
adalah proses yang sangat kompleks karena melibatkan banyak faktor.
Konsep penanganan karies modern lebih dikenal sebagai konsep intervensi
minimal. Konsep intervensi minimal ini menempatkan restorasi sebagai usaha
paling akhir dalam perawatan karies gigi. Restorasi adalah metode efektif untuk
mengontrol proses karies gigi yang aktif, karena membuang struktur gigi yang
rusak dan menghilangkan habitat bakteri, walaupun tidak untuk mengobati proses
terjadinya karies. Restorasi dilakukan apabila telah terbentuk kavitas.
Tingkat keberhasilan dari pencegahan dan perawatan karies gigi, tergantung
pada kondisi restorasi yang sudah dilakukan sebelumnya. Permukaan restorasi
yang kasar akan menyebabkan terjadinya penumpukan plak, selain itu juga bentuk
yang tidak sesuai dengan anatomi gigi akan menyebabkan tidak terjadinya kontak
proksimal. Kondisi ini harus segera ditaggulangi atau diganti untuk mencegah
terjadinya karies sekunder. Memberikan edukasi kepada pasien tentang penyebab
karies dan mengajarkan pasien untuk bertanggung jawab menjaga kebersihan
rongga mulut juga sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya keries sekunder
dan juga dapat menunjang keberhasilan perawatan karies gigi (Sibarani, 2014).
Page 11
2.1.5 Indeks Karies
2.1.5.1 Indeks karies gigi permanen
Insidens dan keparahan karies gigi dapat diukur dengan indeks
karies yaitu angka yang menunjukkan jumlah gigi yang karies pada
seseorang atau kelompok orang, untuk mengukur insidens dan keparahan
karies pada gigi permanen digunakan indeks DMF-T (Decay Missing
Filling Teeth). Nilai DMF-T adalah angka yang menunjukkan jumlah gigi
dengan karies pada seseorang atau sekelompok orang (Indrawati, 2013 dan
Sibarani, 2014) :
Angka D = Decay : Gigi yang berlubang karena karies gigi.
Angka M = Missing : Gigi yang dicabut karena karies gigi atau terdapat
sisa akar.
Angka F = Filling : Gigi yang ditambal atau ditumpat karena karies dan
dalam keadaan baik
Perhitungan DMF-T untuk individu :
Perhitungan DMF-T untuk populasi :
Klasifikasi tingkat keparahan karies gigi pada usia 12 tahun atau lebih
dikategorikan menjadi lima kategori (Indrawati, 2013) yaitu :
1. Tingkat keparahan sangat rendah dengan nilai DMF-T sebesar 0,0 –
1,0.
DMF-T = Decay (D) + Missing (M) + Filling (F)
DMF-T =
Page 12
2. Kemudian, tingkat keparahan rendah dengan nilai DMF-T sebesar
1,2 – 2,6.
3. Tingkat keparahan sedang dengan nilai DMF-T sebesar 2,7 – 4,4.
4. Dan tingkat keparahan tinggi dengan nilai DMF-T sebesar 4,5 –
6,5.
5. Serta tingkat keparahan sangat tinggi dengan nilai DMF-T sebesar
> 6,6.
Perhitungan DMF-T berdasarkan pada 28 gigi permanen, adapun gigi
yang tidak dihitung adalah sebagai berikut :
1. Gigi molar ketiga
2. Gigi yang belum erupsi. Gigi disebut erupsi apabila ada bagian gigi
yang menembus gusi baik itu erupsi awal (clinical emergence),
erupsi sebagian (partial eruption) maupun erupsi penuh (full
eruption)
3. Gigi yang tidak ada karena kelainan kongenital dan gigi berlebih
(supernumerary teeth)
4. Gigi yang hilang bukan karena karies, seperti impaksi atau
perawatan ortodontik
5. Gigi tiruan yang disebabkan karena trauma, untuk kepentingan
estetik dan jembatan
6. Gigi susu yang belum tanggal
Page 13
2.1.5.2 Indeks karies gigi sulung
Indeks yang digunakan untuk menilai status karies pada gigi sulung
adalah indeks def-t (decayed, extracted/indicated for extraction, filling
tooth). Kriteria pencatatan def-t :
a. Decayed (d) : Semua gigi sulung yang mengalami karies, karies
sekunder pada tumpatan, gigi dengan tumpatan sementara.
b. Extracted/indicated for extraction (e) : Gigi sulung yang hilang
atau dicabut karena karies atau sisa akar gigi yang terdapat karies
tidak dapat ditumpat dan diindikasikan untuk dicabut.
c. Filling (f) : Gigi sulung dengan tumpatan permanen.
Perhitungan def-t berdasarkan pada 20 gigi sulung, adapun gigi yang
tidak dihitung adalah sebagai berikut : gigi yang hilang termasuk gigi
anerupsi dan gigi yang hilang secara kongenital, gigi super-numerari,
dan gigi yang direstorasi untuk alasan lain selain karies gigi (Christian,
dkk., 2016).
Rumus penghitungan def yaitu :
Untuk menghitung rata-rata dari def di gunakan rumus:
Klasifikasi tingkat keparahan karies gigi pada usia <12 tahun
dikategorikan menjadi lima kategori (Oktavilia, dkk., 2014) yaitu :
1. Tingkat keparahan sangat rendah dengan nilai def-t sebesar 0,0 –
1,0.
Jumlah d (Decay) + e (indices for extraction) + f (filling).
Page 14
2. Kemudian, tingkat keparahan rendah dengan nilai def-t sebesar
1,2 – 2,6.
3. Tingkat keparahan sedang dengan nilai def-t sebesar 2,7 – 4,4.
4. Dan tingkat keparahan tinggi dengan nilai def-t sebesar 4,5 – 6,5.
5. Serta tingkat keparahan sangat tinggi dengan nilai def-t sebesar
> 6,6.
2.1.5.3 Indeks karies mix dentition
Indeks yang digunakan untuk menilai status karies pada anak-anak
dengan periode mix dentition adalah indeks DMF-T dan def-t yang dilakukan
secara terpisah dan tidak dijumlahkan (Marya, 2011).
Untuk menentukan kehilangan gigi karena karies atau tanggal fisiologis
yaitu dengan cara memperhatikan :
1. Usia pasien yang mendekati waktu gigi tanggal fisiologis
2. Bentuk ridge yang cekung menandakan gigi yang hilang karena
karies, sedangkan bentuk ridge yang datar menandakan gigi yang
hilang karena tanggal fisiologis dan terkadang gigi permanen
penggantinya telah terlihat
3. Indeks DMF/def yang tinggi karena adanya kehilangan gigi akibat
karies terutama gigi dengan posisi berdekatan dan kontra lateral
4. Kebersihan rongga mulut pasien, karena kebersihan rongga mulut
yang buruk berhubungan dengan adanya karies
Untuk menentukan kehilangan gigi karena karies atau persayaratan
perawatan ortodontik yaitu dengan cara memperhatikan:
Page 15
1. Berdasarkan jenis gigi, dalam perawatan ortodontik gigi yang
biasanya diekstraksi adalah gigi 4 atau 5, namun kasus kehilangan
gigi karena karies dapat melibatkan semua gigi.
2. Gigi yang hilang bilateral dan atau berlawanan biasanya terkait
dengan perawatan ortodontik, namun tidak sama dalam kasus
kehilangan gigi karena karies
3. Indeks DMF/def yang tinggi biasanya karena kehilangan gigi akibat
karies terutama gigi dengan posisi berdekatan dan kontra lateral
4. Kebersihan rongga mulut pasien, karena kebersihan rongga mulut
yang buruk berhubungan dengan adanya karies gigi
5. Adanya crowding atau alat ortodontik pada perawatan ortodontik
2.2 Tingkat Pengetahuan Tentang Kesehatan Gigi
Pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang setelah melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Oleh karena itu,
berdasarkan pengalaman dan penelitian terbentuknya perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih lama melekat daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Pengetahuan siswa sangat penting dalam mendasari terbentuknya
perilaku yang mendukung atau tidaknya kebersihan gigi dan mulutnya.
Pengetahuan tersebut dapat diperoleh secara alami maupun secara terencana yaitu
salah satunya melalui proses pendidikan. Pendidikan adalah suatu usaha untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan
berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin
Page 16
tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima
informasi (Ignatia, 2013).
Pengetahuan kesehatan gigi dan mulut sebaiknya diberikan sejak usia dini,
karena pada usia dini anak mulai mengerti akan pentingnya kesehatan serta
larangan yang harus dijauhi atau kebiasaan yang dapat mempengaruhi keadaan
giginya. Pemberian pengetahuan kesehatan gigi dan mulut sebaiknya diberikan
pada anak usia sekolah (Ignatia, 2013).
2.3 Sikap Perawatan Gigi
Sikap merupakan suatu komponen dari perilaku, dimana sikap belum berupa
suatu wujud yang nyata atau merupakan respon tertutup terhadap suatu stimulus
atau objek. Manifestasi sikap tidak secara langsung dilihat, akan tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap dalam
kehidupan sehari-hari merupakan respon yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial. Sikap dapat diperkuat dengan adanya suatu kepercayaan atau
ketertarikan terhadap suatu objek.
Sikap merupakan kesiapan untuk bertindak, selain itu juga merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku, sikap mempunyai tiga komponen :
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu stimulus atau objek
2. Kehidupan emosional atau evaluasi pada suatu objek
3. Kecenderungan untuk bertindak.
Sikap Memiliki empat tingkatan :
1. Menerima (receiving), diartikan bahwa subjek mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan.
Page 17
2. Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan dan melaksanakan tugas yang diberikan merupakan suatu
indikasi dari masalah.
3. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan suatu
masalah.
4. Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang telah dipilihnya. Betanggung jawab merupakan sikap yang paling
tinggi.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung dapat dilakukan dengan menanyakan secara langsung pendapat
atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Sikap seorang anak yang baik
akan dipengaruhi oleh pengetahuan mengenai pemeliharaan kesehatan gigi.
Misalnya seorang anakyang selalu mencari pengetahuan mengenai pemeliharaan
kesehatan gigi atau mendiskusikan mengenai kesehatan gigi dengan orang tua,
guru, dan dokter gigi, ini adalah bukti bahwa anak tersebut telah mempunyai
sikap positif terhadap kesehatan gigi.
2.4 Perilaku Perawatan Gigi
Perilaku merupakan hasil dari seluruh pengalaman dan interaksi manusia
dengan lingkungannya. Pengetahuan, sikap, dan tindakan merupakan wujud dari
perilaku tersebut. Perilaku manusia cenderung bersifat menyeluruh (holistik) dan
merupakan pencerminan dari berbagai unsur kejiwaan yang mencakup hasrat,
sikap, reaksi, rasa takut, atau cemas, dan sebagainya. Oleh karena itu, perilaku
Page 18
manusia dipengaruhi atau dibentuk oleh faktor-faktor yang ada dalam diri
manusia atau unsur kejiwaannya
Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus yang
berhubungan dengan konsep sehat, sakit, dan penyakit. Sedangkan perilaku
kesehatan gigi adalah pengetahuan, sikap, dan tindakan yang berkaitan dengan
konsep sehat dan sakit gigi serta upaya pencegahannya. Bentuk operasional dari
perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga wujud, yaitu :
a. Perilaku dalam wujud pengetahuan yakni dengan mengetahui situasi dan
rangsangan dari luar yang berupa konsep sehat, sakit, dan penyakit.
b. Perilaku dalam wujud sikap yakni tanggapan batin terhadap rangsangan
dari luar yang dipengaruhi faktor lingkungan: fisik yaitu kondisi alam;
biologis yang berkaitan dengan makhluk hidup lainnya; dan lingkungan
sosial yang berkaitan dengan masyarakat sekitarnya.
c. Perilaku dalam wujud tindakan yang sudah nyata, yakni berupa perbuatan
terhadap situasi atau rangsangan luar.
Setiap anak yang datang berkunjung ke dokter gigi memiliki kondisi kesehatan
gigi yang berbeda-beda dan akan memperlihatkan perilaku yang berbeda pula
terhadap perwatan gigi yang akan diberikan. Ada anak yang bersikap kooperatif
terhadap perawatan gigi dan ada juga yang menolak untuk dilakukan pemeriksaan
gigi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, baik dari internal anak
itu sendiri maupun dari eksternal seperti pengaruh orang tua, dokter gigi, maupun
lingkungan klinik gigi (Kharani, 2013).
Page 19
Beberapa ahli telah mengembangkan sistem untuk mengklasifikasikan perilaku
anak di klinik gigi. Pemahaman tersebut sangat penting. Pemahaman atau
pengetahuan tersebut dapat menjadi aset untuk dokter gigi dalam beberapa hal,
yakni:
a. Membantu dalam penentuan metode manajemen perilaku yang tepat
b. Menjadi sarana yang bersifat sistematis dalam merekam perilaku pasien
c. Membantu dalam mengevaluasi validitas penelitian saat ini.
Berikut adalah beberapa klasifikasi perilaku pasien terhadap perawatan gigi
dan mulut menurut beberapa ahli.
2.4.1 Klasifikasi perilaku anak menurut Wright
Menurut Wright, perilaku anaksecara umum dapatdiklasifikasikan
menjadi tiga kategori yakni:
a. Kooperatif (Cooperative)
Sikap kooperatif ini ditunjukkan dengan sikap anak yang cukup
tenang, memiliki rasa takut yang minimal, dan antusias terhadap
perawatan gigi dan mulut yang diberikan. Anak dengan sikap
kooperatif memudahkan dokter gigi dalam melakukan perawatan dan
pendekatan yang dapat dilakukan, yakni dengan menggunakan teknik
tell show do (TSD).
b. Tidak mampu kooperatif (Lacking in cooperative ability)
Kategori ini terdapat pada anak-anak yang masih sangat muda
misalnya anak usia dibawah 3 tahun dengan kemampuan komunikasi
yang terbatas dan pemahaman yang kurang mengenai perawatan yang
Page 20
akan dilakukan. Kelompok lain yang termasuk dalam kategori tidak
mampu kooperatif adalah mereka dengan keterbatasan fisik maupun
mental. Oleh karena itu, anak dengan kondisi seperti ini membutuhkan
teknik manajemen perilaku yang khusus, misalnya dengan
menggunakan premedikasi maupun anastesi umum.
c. Berpotensi kooperatif (Potentially cooperative)
Kategori perilaku ini berbeda dengan tidak mampu kooperatif.
Karena anak dalam kategori ini memiliki kapabilitas untuk menjadi
kooperatif. Sehingga diperlukan kompetensi dokter gigi yang mampu
melakukan manajemen perilaku dalam mengembangkan potensi
kooperatif menjadi kooperatif.
Klasifikasi perilaku yang dikemukakan oleh Wright masih memiliki
kelemahan. Ketiga klasifikasi tersebut masih sulit untuk ditegakkan
secara klinis. Terutama untuk kategori perilaku berpotensi kooperatif
karena belum ada penjelasan mendetail tentang ciri khas pasien anak
yang berpotensi kooperatif. Hal ini menyebabkan para ahli terus
mengkaji dan mengembangkan sistem klasifikasi perilaku menjadi lebih
detail sehingga dapat dengan mudah ditegakkan secara klinis.
2.4.2 Perilaku siswa usia 9-12 tahun
Faktor umur sangat mempengaruhi perilaku anak terhadap perawatan
gigi dan mulut. Anak dengan usia sangat muda sering menunjukkan
perilaku kurang kooperatif terhadap perawatan gigi dan mulut. Anak usia
9 sampai 12 tahun biasanya mampu menangani ketakutan terhadap
Page 21
prosedur perawatan gigi karena dokter gigi dapat menjelaskan apa yang
akan dilakukan dan alasan kenapa perawatan tersebut dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Mittal dan Sharma pada tahun 2013 pada
180 anak usia 9 - 12 tahun menunjukkan bahwa semua anak pada
penelitian tersebut berperilaku kooperatiif. Sebanyak 92.22% anak
memiliki persepsi yang positif terhadap perawatan gigi dan mulut
Mereka menunjukkan sikap senang dan bahagia. Bahkan lima anak di
antara mereka menunjukkan ambisi atau cita-citanya untuk menjadi
dokter gigi (Mittal, 2012).
2.5 Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku terhadap Kejadian Karies
Berdasarkan penelitian tentang status karies, pengetahuan sikap dan perilaku
kesehatan gigi dan mulut pada anak di pedesaan yang dilakukan oleh Yuliana
Kadir, ditemukan bahwa 50,61% anak sadar bahwa karies menimbulkan masalah
terhadap gigi dan mulut, 58% anak sadar bahwa makanan manis dan cokelat dapat
menyebabkan karies gigi, serta 58, 97% anak hanya mengunjungi dokter gigi
ketika giginya bermasalah atau ada keluhan sakit gigi. Berdasarkan hasil
penelitian ini maka dapat diketahui bahwa pengetahuan kesehatan gigi anak masih
sangat rendah. Maka dari itu diperlukan dukungan dari orangtua dan guru dalam
usaha memperbaiki kesehatan gigi dan mulut.
Pengetahuan kesehatan gigi merupakan hal yang sangat penting dalam
menunjang perilaku kesehatan gigi anak. Namun tidak semua pengetahuan yang
didapatkan bisa dipraktikkan. Pendidikan kesehatan gigi yang diberikan kepada
anak sejak dini sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan tentang faktor
Page 22
risiko terjadinya penyakit gigi dan mulut, salah satunya adalah karies. Akan
tetapi, pendidikan akan tetap terbatas jika tidak disertai dengan perilaku dan
faktor-faktor lain yang dapat mendukungnya misalnya lingkungan, pendidikan,
status sosial, dan faktor ekonomi (Smyth, dkk., 2007).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Bangalore, India tentang
hubungan prevalensi karies gigi molar pertama permanen dan pengetahuan
kesehatan gigi dan perilakunya pada siswa usia 9-12 tahun, prevalensi karies gigi
molar pertama permanen tertinggi terjadi pada usia 12 tahun, dan terendah pada
usia 9 tahun. Menurut penelitian ini, angka karies gigi molar pertama permanen
anak akan meningkat seiring bertambahnya usia. Seorang anak yang perilaku
kesehatan gigi dan mulutnya baik juga akan memiliki gigi yang baik pula
dibandingkaan dengan teman-temannya (Ambildhok, dkk., 2014).