BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Tinjauan Tentang Konsep Nyeri 1. Definisi Nyeri Menurut Tarcy (2005) Dikutip dari International Association for the Study of Pain (IASP, 1994), mendefinisikan nyeri sebagai perasaan dan pengalaman sensoris atau emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, nyeri selalu bersifat subjektif karena perasaan nyeri berbeda-beda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya. Nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri (Curton: 2008). Nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan ketegangan (Feurst: 2007). Nyeri merupakan pengalaman seseorang dan bersifat subjektif, berbeda antara satu orang dengan orang lain serta dirasakan bervariasi oleh seseorang dari waktu yang satu ke waktu yang lain (Reeder-Martin: 2007). Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin: 2006). Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri. (Taylor & Priccila: 2007 ). Nyeri adalah pengalaman persepsi yang sangat kompleks yang diakibatkan oleh faktor situasi dan lingkungan yang dikarenakan adanya proses fisiologi
24
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritiseprints.ung.ac.id/5651/5/2013-1-14201-841409057-bab2-24072013021426.pdfdalam tubuh seperti, emosi, motivasi (dukungan) dan kesadaran, dPan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Tinjauan Tentang Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Menurut Tarcy (2005) Dikutip dari International Association for the Study of Pain
(IASP, 1994), mendefinisikan nyeri sebagai perasaan dan pengalaman sensoris atau
emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang
aktual maupun potensial, nyeri selalu bersifat subjektif karena perasaan nyeri berbeda-beda
pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya. Nyeri merupakan suatu mekanisme
produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak, dan menyebabkan individu
tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri (Curton: 2008).
Nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang
bisa menimbulkan ketegangan (Feurst: 2007). Nyeri merupakan pengalaman seseorang dan
bersifat subjektif, berbeda antara satu orang dengan orang lain serta dirasakan bervariasi oleh
seseorang dari waktu yang satu ke waktu yang lain (Reeder-Martin: 2007).
Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin: 2006). Nyeri juga dapat disebabkan
stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri. (Taylor
& Priccila: 2007 ). Nyeri adalah pengalaman persepsi yang sangat kompleks yang
diakibatkan oleh faktor situasi dan lingkungan yang dikarenakan adanya proses fisiologi
dalam tubuh seperti, emosi, motivasi (dukungan) dan kesadaran, dPan semuanya itu
dipengaruhi oleh suku, budaya dan bahasa (Suza: 2007).
2. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat,
berat ringannya nyeri dan waktu lamanya serangan.
a. Nyeri berdasarkan tempatnya:
1) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya pada mukosa, kulit.
2) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-
organ tubuh visceral.
3)Referedpain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/strukturdalam tubuh
yang ditransmisikan kebagian tubuh didaerah yang berbeda, bukandaerah asal nyeri.
4) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada system saraf pusat, spinal
cord, batang otak, thalamus dan lain-lain.
b. Nyeri berdasarkan sifatnya:
1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.
2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama.
3) Paroxysmal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri
tersebut biasanya menetap sekitar 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.
c. Nyeri berdasarkan tingkatannya :
1) Nyeri ringan , yaitu nyeri dengan intensitas rendah
2) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.
3) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.
Intensitas Nyeri
Individu diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal (misalnya nyeri ringan,
nyeri sedang, nyeri berat).
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Keterangan :
Tidak Nyeri = Bila skala intensitas nyeri numerik 0
Nyeri ringan = Bila skala intensitas nyeri numerik 1-4
Nyeri sedang = Bila skala intensitas nyeri numerik 5-7
Nyeri hebat = Bila skala intensitas nyeri numerik 8-10
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah sebagai berikut :
Skala Wajah
0 Tidak sakit
2 Sedikit
Sakit
4 Agak
mengganggu
6 Menganggu
Aktivitas
8 Sangat
Mengganggu
10 Tidak
tertahankan
Gambar 2.1 Skala wajah menurut Smeltzer dan Bare (2002)
d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan:
1) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir kurang
dari enam bulan. Nyeri akut biasanya berlangsung secara singkat misalnya nyeri pada patah
Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10
tulang atau pembedahan abdomen, pasien yang mengalami nyeri akut biasanya menunjukan
gelala-gejala antara lain : respirasi meningkat, percepatan jantung dan tekanan darah
meningkat (Priharjo: 2006).Nyeri akut akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan
setelah keadaan pulih pada area yang rusak ( Potter& Perry: 2005).Pasien dengan nyeri akut
sering mengalami kecemasan (Berger :2002).
2) Nyeri Kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, dan berlangsung
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah
nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis (Long: 2006). Klien yang
mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan
kelelahan mental dan fisik (Tamsuri: 2006). Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang
ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak
memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.
Tabel 2.1 : Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Tujuan/keuntungan Memperingatkan adanya
cedera atau masalah Tidak ada
Awitan Mendadak Terus-menerus atau intermiten
Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat
Durasi
Durasi singkat (dari
beberapa detik sampe
enam bulan)
Durasi lama (enam bulan atau
lebih)
Respon otonom
- Konsistensi dengan
respon simpatis
- Frekuensi jantung
meningkat
- Volume sekuncup
meningkat
- Tekanan darah
meningkat
- Dilatasi pupil
meningkat
- Tegangan otot
meningkat
Tidak terdapat respon otonom
- Motilitas
gastrointestinalmenu
run
- Aliran saliva
menurun (mulut
kering)
Komponen
psikologis
Ansietas - Depresi
- Mudah marah
- Menarik diri dari minat
dunia luar
- Menarik diri dari
persahabatan
Respon jenis
lainnya
- Tidur terganggu
- Libido menurun
- Nafsu makan menurun
Contoh Nyeri bedah, taruma Nyeri kanker, artritis
Sumber : Keperawatan Medikal Bedah Vol 1
3. Patofisiologi Nyeri
Penelitian menunjukkan bahwa menyusul suatu trauma atau operasi, maka input nyeri
dari perifer ke sentral akan mengubah ambang reseptor nyeri baik di perifer maupun di sentral
(kornu posterium medulla spinalis). Kedua reseptor nyeri tersebut diatas akan menurun
ambang nyerinya, sesaat setelah terjadi input nyeri.
Perubahan ini akan menghasilkan suatu keadaan yang disebut sebagai hipersensitifitas
baik perifer maupun sentral. Perubahan ini dlam klinik dapat terlihat, dimana daerah perlukaan
dan sekitarnya akan berubah menjadi hiperalgesia. Daerah tepat pada perlukaan akan berubah
menjadi allodini, artinya dengan stimuli lemah, yang normal tidak menimbulkan rasa nyeri,
kini dapat menimbulkan rasa nyeri, daerah ini disebut juga hiperalgesia primer. Dilain pihak
daerah sekitar perlukaan yang masih nampak normal, juga berubah menjadi hiperalgesia,
artinya dengan suatu stimuli yang kuat untuk cukup meninbulkan rasa nyeri, kini dirasakan
sebagai nyeri yang lebih hebat dan berlangsung lebih lama. Daerh ini juga disebut sebagai
hiperalgesia sekunder.
Kedua perubahan tersebut diatas, baik hiperalgesia primer maupun hiperalgesia sekunder
merupakan konsekuensi terjadinya hipersensitifitas perifer dan sentral menyusul suatu input
nyeri akibat suatu trauma atau operasi. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf kita baik saraf
perifer maupun saraf sentaral dapat berubah sifatnya menyusul suatu input nyeri yang
kontinyu. Dengan kata lain susunan saraf kita tidak dapat disamakan sebagai suatu kabel yang
kaku, tapi mampu berubah sesuai dengan fungsinya sebagai suatu alat proteksi.
a. Respon Lokal
Akibat terjadinya kerusakan sel dalam jaringan, maka akn terlepas substansi nyeri
yang berasal dari tiga tempat yaitu :
1. Kerusakan sel itu sendiri yang akan melepas histamine, kalium, asetilkolin,
serotonin, ATP. Juga terjadi sintesa prostaglandin metabolisme asam arahidonat
dengan bantuan enzim siklosigenase.
2. Substansi nyeri berupa bradikini, dilepaskan dari plasma darah melalui pembuluh
darah yang berubah permeabilitasnya.
3. Substansi nyeri yang dilepaskan dari ujung-ujung saraf itu sendiri yang disebut
substan P.
Akibat dari terlepasnya substansi nyeri tersebut diatas menyebabkan perubahan-
perubahan local yang oleh Celsus, seorang dokter zaman romawi menyebutnya sebagai
tanda-tanda inflamasi berupa kemerahan (rubor), panas (calor), pembengkakan (tumor),
nyeri (dolor), dan gangguan fungsi (funtio laesa). Dalam klinik perubahan-perubahan ini
tampak sebagai gejala hiperalgesia atau allodini. Hiperalgesia artinya stimul: yng cukup
menimbulkan nyeri, kini dirasakan sangat nyeri, sedangkan allodini artinya stimuli tidak
nyeri (misalnya rabaan) kini menjadi tidak nyeri. Gejala hiperalgesia dan allodini ini
menjadi penting dalm klinik karena sekali terjadi hal ini dibuthkan dosi obat analgesic
yang lebih tinggi untuk menghilangkannya.
b. Respon Lokal
Input nyeri perifer yang dibawa oleh serabut saraf A Delta dan serabut C selain akan
mengakibatkan kornu posterior medulla spinalis, juga mengaktifkan kornu anterior dan
lateralis dari medulla spinalis yang pada gilirannya akn memberikan respon berupa spasme
otot. Spasme pembuluh darah dan menekan aktifitas saluran cerna (usus). Spasme otot
yang terjadi pada gilirannya menjadi sumber stimuli yang baru sehingga meningkatkan
rasa nyeri dan mengakibatkan terjadinya spasme otot yang lebih hebat lagi. Jdi merupakan
siklus visiosus.
Demikian pula halnya dengan terjadinya spasme pembuluh darah yang menyebabkan
iskemia dan hipoksia setempat, yang akan menimbulkan asidosis. Asidosis pada gilirannya
menurunkan ambang nyeri sehingga ras nyeri makin meningkat. Selain itu akibat input
nyeri dari kulit, akn merangsang timbulnya reflex kutaneoviseral yng menyebabkan
menurunnya aktifitas (peristaltic) usus yang mengandung terjadinya ileus pasca bedah.
Oleh sebab itu tanpa pengelolaan nyeri pasca bedah, penderita cenderung mengalami ileus
paralitik hebat dari tertekannya aktifitas usus, sehingga puasa pask bedah lebih lama dan
proses penyembuhan memanjang.
c. Respon Suprasegmental
Respon ini bersumber dari stimulasi dari susunan saraf di hypothalamus yang pad
giliranny menimbulkan hiperventilasi, atau takipnyu dan meningkatkan denyut jantung, isi
sekuncup jantung, dan curah jantung semenit. Selain itu meningkatnya aktifitas simpatis
menyebabkan vasokontraksi dan pelepasan hormone steroid dari glandula suprarenal yang
pad gilirannya menimbulkan gejala hipertensi.
Pada dasarnya akibat meningkatnya aktifitas hypothalamus menimbulkan terlepasnya
berbagai macam hormone yang disebut sebagai hormone stress yang sangat merugikan
penderita. Olehnya itu dengan pengelolaan pasca bedah diharapkan dapat menghambat
pelepasan hormone sters yang merugikan penderita.
d. Respon Kotikal
Respon kortikal merupakan respon psikodinamik seseorang terhadap sesuatu
pembedahan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya mekanisme psikodinamik yang akan
menghasilkan perasaan cemas, takut, dan gelisah. Hal ini akan mengundang umpan balik
sehingga menurunkan ambang nyeri penderita, sehingga akan merasa lebih nyeri.
Dari keempat respon diatas dapat disimpulkan bahwa repon tubuh terhadap suatu
pembedahan atu nyeri akan menghasilkan reaksi endokrin dan imunologik, yang secara
umum disebut sebagai respon stress. Respon stress ini sangat merugikan penderita karena
selain akan menurunkan cadngan dan daya tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan oksigen
otot jantung, mengganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya, juga akan
mengundan resiko terjadinya tromboemboli yang pada akhirnya meningkatkan morbiditas
dan mortalitas pasca bedah.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman
seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut
dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri
yang akurat dan memilih terapi nyeri yang efektif. Menurut Berger, (2005) beberapa faktor
yang mempengaruhi nyeri tersebut antara lain: (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) pengalaman masa
lalu dengan nyeri, (4) ansietas, (5) budaya, (6) keluarga dan support sosial.
1. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak
dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry:
2005). Usia juga berpengaruh terhadap persepsi seseorang terhadap nyeri. Anak-anak dan
orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan orang dewasa muda karena mereka
sering tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakannya. Sehingga kemungkinan
perawat tidak dapat melakukan pengukuran untuk menurunkan nyeri secara adequate (Berger:
2007).
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam
berespons terhadap nyeri (Potter & Perry: 2005). Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja
yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa kebudayaan yang
mempengaruhi jenis kelamin. Misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus
berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama (Potter & Perry: 2005).
3. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Riwayat sebelumnya berpengaruh terhadap persepsi seseorang tentang nyeri. Orang yang
sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima perasaan nyeri.
Sehingga dia merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman pertamanya (Taylor: 2007).
4. Ansietas
Ansietas pada umumnya akan meningkatkan nyeri, penggunaan rutin medikasi ansietas
pada seseorang dengan nyeri dapat merusak kemampuan pasien untuk melakukan napas dalam.
Secara umum, cara yang lebih efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan
pengobatan pada nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare: 2001).
5. Budaya
Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri, bagaimana mereka
memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat tentang nyeri yang dirasakannya.
Masyarakat dalan suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena
mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu yang dapat ditahan (Berger:
2007).
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini
meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry: 2005).
6. Keluarga dan support sosial
Adanya orang-orang yang memberi dukungan amat berpengaruh terhadap nyeri yang
dirasakan. Misalnya seorang anak tidak akan berfokus pada nyeri yang dirasakannya jika ia
berada di dekat kedua orang tuanya (Taylor: 2007).
Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung pada anggota keluarga atau teman
dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien
rasakan, kehadiran orang yang dicintai dapat meminimalkan kesepian dan ketakutan (Potter &
Perry: 2005).
2.1.2 Tinjauan Tentang Teori Mekanisme Nyeri
1. Teori Pemisahan (Specivicity Theory)
Teori ini digambarkan oleh “Descartes’ pada abad ke-17. Teori ini didasarkan pada
kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Saraf
ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikanya melalui ujung dorsal dan
substansia gelatinosa ke thalamus, yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih
tinggi sehingga timbul respons nyeri (Tamsuri: 2006).
Menurut teori ini, rangsangan nyeri masuk ke medulla spinalis (spinal cord) melalui
dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di
garis median ke sisi lainnya, dan berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut
diteruskan (Long: 2005).
2. Teori Pola (Pattern theory)
Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut yang mampu
menghantarkan rangsangan dengan cepat; dan mampu menghantarkan rangsangan dengan
lambat. Kedua serabut saraf tersebut bersinapsis pada medulla spinalis dan meneruskan
informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input sensori nyeri yang menafsirkan
karakter dan kuantitas input sensori nyeri (Tamsuri: 2006).
Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medulla spinalis dan
merangsang aktivitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respons yang merangsang ke bagian
yang lebuh tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi menimbulkan persepsi dan otot
berkontraksi sehingga minimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respo dari
reaksi sel T (Long: 2005).
3. Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)
Melzack & Wall (1965) pertama kali mengusulknan teori mekanisme nyeri yakni teori
“Gate Control” mereka menjelaskan teori gerbang kendali nyeri, yang menyatakan terdapat
semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri
(Tamsuri: 2006). Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja serat syaraf besar dan kecil
yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat syaraf besar akan
meningkatkan aktivitas substansi gelatinosa yang mengakibatakan tertutupnya pintu
mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut
terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil persepsi
ini akan dikembalikan ke dalam medulla spinalis melalui serat eferen dan reaksinya
mempengaruhi aktivitas sel T. rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas
substansi gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang
selanjutnya akan menghantarkan rangsangan nyeri (Long: 2005).
Teori gate control menggambarkan bahwa ada mekanisme pintu gerbang pada ujung
syaraf ruas tulang belakang (spinal cord) yang dapat meningkatkan atau menurunkan aliran
impuls saraf dari serat perifer menuju system saraf pusat. Mekanisme pintu gerbang ini
dipengaruhi oleh aktifitas A-Beta berdiameter besar, A-Delta berdiameter kecil dan serabut c
serta pengaruh dari otak. Bila pintu tertutup berakibat tidak ada nyeri; pintu terbuka, nyeri;
sebagian pintu terbuka, nyeri kurang. Ketika pintu ditutup, transmisi impuls nyeri dihentikan di
spinal cord sehingga nyeri tidak mencapai tingkay yang disadari (Reeder-Martin:1984 ; Flynn
& Heffron: 2001).
Sereblum dan thalamus disebut sebagai pusat control nyeri oleh (Melzak & Wall: 1965).
Pesan sensori yang berbeda dialirkan langsung ke serebrum. Pusat control memproses
informasi dari 3 sumber, yakni informasi sensori-diskriminatif, informasi motivasi-afektif dan
informasi kognitif-evaluatif. Karena rangsangan nyeri diproses dalam konteks yang individual,
variasi yang luas dari respon nyeri dapat diamati (Flynn & Heffron: 1984 & Marie: 2002).
Endorphin juga mempengaruhi transmisi impuls yang diartikan sebagai nyeri. Endorphin dapat
berupa neourotransmitter atau neuromodulator yang menghambat transmisi pesan nyeri.
Tingkat endorphin berbeda setiap orang yang menjelaskan mengapa seseorang merasakan
nyeri yang lebih dari pada orang lain. Orang dengan tingkat endorphin tinggi tidak akan