BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Definisi Menurut American Diabetes Association, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. DM juga disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut (ADA, 2013; Perkeni, 2011). DM merupakan sindrom metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia karena defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis pada DM dapat diasosiasikan dengan terjadinya kerusakan jangka panjang, disfungsi serta kegagalan multi organ terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2013).
24
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 …digilib.unila.ac.id/19660/17/BAB II.pdf · gangguan metabolisme karbohidrat, ... DM merupakan sindrom metabolik yang ditandai
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association, DM merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya. DM juga disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara
relatif maupun absolut (ADA, 2013; Perkeni, 2011).
DM merupakan sindrom metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia karena defek pada sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis pada DM
dapat diasosiasikan dengan terjadinya kerusakan jangka
panjang, disfungsi serta kegagalan multi organ terutama
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA,
2013).
11
2.1.2 Epidemiologi
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya
171 juta orang diseluruh dunia menderita DM atau sekitar
2,8% dari total populasi. Insidennya terus meningkat
dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka ini
mencapai 366 juta jiwa atau sekitar 4,4% dari populasi
dunia. DM terdapat diseluruh dunia, persentase 90% yang
merupakan jenis DM tipe 2 terjadi di negara berkembang,
peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di
Afrika. Hal ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya
hidup seperti pola makan yang tidak sehat (WHO, 2012).
Indonesia menduduki peringkat ke-4 terbesar penderita DM
di dunia. International Diabetes Federation menyebutkan
bahwa pada tahun 2014 terdapat 387 juta orang yang
menderita DM dan diperkirakan jumlah penderita DM di
dunia mencapai 592 juta orang pada tahun 2035. Di
Indonesia, prevalensi DM yang terdiagnosis dokter atau
gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%),
Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%), dan Nusa
Tenggara Timur (3,3 %) (International Diabetes Federation,
2015; Kemenkes, 2013).
12
2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan etiologi, DM diklasifikasikan menjadi empat
tipe, yaitu (Perkeni, 2011):
a. DM tipe 1 disebabkan oleh destruksi sel beta, umumnya
menjurus pada defisiensi insulin absolut, dapat terjadi
karena autoimun atau idiopatik;
b. DM tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin, defisiensi
insulin relatif, serta defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin;
c. DM tipe lain yang antara lain disebabkan oleh defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, pengaruh
obat dan zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang
jarang, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
DM; dan
d. DM gestasional.
2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi
DM merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
defisiensi (kekurangan) insulin secara relatif maupun
absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan,
yaitu (Fatimah, 2015):
a. Rusaknya sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar
(virus, zat kimia, dan lain-lain);
13
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada
kelenjar pankreas; dan
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan
perifer.
Pada patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan
yang berperan yaitu :
a. Resistensi insulin; dan
b. Disfungsi sel beta pankreas
DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin
melainkan disebabkan oleh sel-sel sasaran insulin gagal
atau tidak mampu merespon insulin secara normal.
Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin
(Teixeria, 2011).
Resistensi insulin terjadi akibat faktor genetik dan
lingkungan seperti obesitas, diet tinggi lemak, rendah serat,
dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita
DM tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang
berlebihan namun tidak terjadi kerusakan sel-sel beta
langerhans secara autoimun. Defisiensi fungsi insulin pada
penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut
(Fatimah 2015; Harding, 2004).
14
Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel beta menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi
insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila
tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan
selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel beta pankreas.
Kerusakan sel-sel beta pankreas akan terjadi secara
progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin
sehingga penderita memerlukan insulin eksogen. Pada
penderita DM tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut yakni resistensi insulin dan defisiensi insulin
(Sherwood, 2011).
Ketika kadar glukosa dalam darah meningkat, pankreas
mengeluarkan hormon yang disebut insulin yang
memungkinkan sel tubuh menyerap glukosa untuk
digunakan sebagai sumber tenaga. Hiperglikemia, tanda
utama diabetes melitus, terjadi akibat penurunan
penyerapan glukosa oleh sel-sel disertai oleh peningkatan
pengeluaran glukosa oleh hati. Pengeluaran glukosa oleh
hati meningkat karena proses-proses yang menghasilkan
glukosa yaitu glikogenolisis dan glukoneogenesis
berlangsung tanpa hambatan karena insulin tidak ada.
Sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa
tanpa bantuan insulin sehingga pada keadaan kronis akan
15
terjadi kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi
defisiensi glukosa intrasel (Sherwood, 2011).
2.1.5 Diagnosis
Menurut American Diabetes Association (2013) dan
Perkeni (2011), kriteria diagnosis DM adalah sebagai
berikut:
a. Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) dilakukan pada sarana
laboratorium yang telah terstandardisasi, atau;
b. Gejala klasik diabetes melitus ditambah glukosa plasma
sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau;
c. Gejala klasik diabetes melitus ditambah kadar glukosa
darah plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam, atau;
d. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa
oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus
yang dilarutkan ke dalam air.
16
2.1.6 Tatalaksana
Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2
di Indonesia Tahun 2011, terdapat empat pilar
penatalaksanaan DM, yaitu (Perkeni, 2011):
a. Edukasi
Edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan
motivasi dibutuhkan untuk memberikan pengetahuan
mengenai kondisi pasien dan untuk mencapai
perubahan perilaku. Pengetahuan tentang pemantauan
glukosa darah mandiri, tanda, dan gejala hipoglikemia
serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
b. Terapi nutrisi medis
Terapi nutrisi medis merupakan bagian dari
penatalaksanaan diabetes secara total. Prinsip
pengaturan makanan penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada pasien
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, terutama pada pasien yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin. Diet pasien
DM yang utama adalah pembatasan karbohidrat
kompleks dan lemak serta peningkatan asupan serat.
17
c. Latihan jasmani
Latihan jasmani berupa aktivitas fisik sehari-hari dan
olahraga secara teratur 3-4 kali seminggu selama 30
menit. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, joging, dan berenang. Latihan jasmani
disesuaikan dengan usia dan status kesehatan.
d. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan
pengaturan makanan dan latihan jasmani. Terapi berupa
suntikan insulin dan obat hipoglikemik oral,
diantaranya adalah metformin dan gibenklamid.
Metformin adalah obat golongan biguanid yang
berfungsi meningkatkan sensitivitas reseptor insulin.
Selain itu, metformin juga mencegah terjadinya
glukoneogenesis sehingga menurunkan kadar glukosa
dalam darah. Masa kerja metformin adalah 8 jam
sehingga pemberiannya 3 kali sehari atau per 8 jam.
Metformin digunakan untuk menjaga kadar glukosa
sewaktu tetap terkontrol (Wicaksono, 2013).
18
Glibenklamid adalah golongan sulfonilurea yang
mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal ataupun
kurang. Penggunaan obat golongan sulfonilurea lebih
efektif untuk mengontrol kadar gula 2 jam setelah
makan (Wicaksono, 2013; Andrew, 2005).
2.1.7 Komplikasi
DM tipe 2 yang tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan berbagai komplikasi yaitu komplikasi akut
dan komplikasi kronis. Komplikasi kronis DM tipe 2 dapat
berupa komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang
dapat menurunkan kualitas hidup penderita. Penyebab
utama kematian penyandang DM tipe 2 adalah komplikasi
makrovaskular. Komplikasi makrovaskular melibatkan
pembuluh darah besar yaitu pembuluh darah koroner,
pembuluh darah otak, dan pembuluh darah perifer.
Mikrovaskular merupakan lesi spesifik diabetes yang
menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik),
glomerulus ginjal (nefropati diabetik), dan saraf-saraf