5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Broiler Broiler merupakan jenis ternak yang banyak dikembangkan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan protein hewani dan merupakan ternak yang paling cepat pertumbuhannya, karena merupakan hasil budidaya yang menggunakan teknologi sehingga memiliki sifat ekonomi yang menguntungkan, diantaranya dapat dipanen umur 5-6 minggu (Rasyaf, 2007). Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang harganya relatif murah, dapat dikonsumsi oleh segala lapisan masyarakat menengah ke bawah, serta cukup tersedia di pasaran (Murtidjo, 2003). Produktivitas ayam broiler dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsumsi ransum, kualitas ransum, jenis kelamin, lama pemeliharaan dan aktivitas. Selain itu pertambahan bobot badan, konversi ransum, genetik, iklim dan faktor penyakit (North dan Bell, 1990). Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dimakan dalam jangka waktu tertentu dan ransum yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat nutrien yang lain (Wahju, 2004). Menurut Rasyaf (2007) konsumsi merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan ayam broiler dan konsumsi itu dipengaruhi oleh suhu, sistem pemberian ransum, kesehatan ayam, besar tubuh ayam, jenis kelamin, aktivitas, kualitas ransum serta sifat genetik dari ayam broiler. Konsumsi sangat berpengaruh pada produksi yang dicapai karena bila nafsu makan rendah akan menyebabkan laju pertumbuhan dari ayam tersebut menjadi terhambat dan akhirnya produksi akan menjadi menurun (Rasyaf, 2007). Konsumsi ransum setiap minggu bertambah sesuai dengan pertambahan bobot badan dan setiap
23
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Broiler II.pdf · pemenuhan kebutuhan protein hewani dan merupakan ternak yang paling cepat ... pemberian ransum, kesehatan ayam, besar tubuh ayam,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Broiler
Broiler merupakan jenis ternak yang banyak dikembangkan sebagai sumber
pemenuhan kebutuhan protein hewani dan merupakan ternak yang paling cepat
pertumbuhannya, karena merupakan hasil budidaya yang menggunakan teknologi
sehingga memiliki sifat ekonomi yang menguntungkan, diantaranya dapat dipanen
umur 5-6 minggu (Rasyaf, 2007). Daging ayam merupakan sumber protein
hewani yang harganya relatif murah, dapat dikonsumsi oleh segala lapisan
masyarakat menengah ke bawah, serta cukup tersedia di pasaran (Murtidjo, 2003).
Produktivitas ayam broiler dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsumsi
ransum, kualitas ransum, jenis kelamin, lama pemeliharaan dan aktivitas. Selain
itu pertambahan bobot badan, konversi ransum, genetik, iklim dan faktor penyakit
(North dan Bell, 1990).
Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dimakan dalam jangka
waktu tertentu dan ransum yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi dan zat nutrien yang lain (Wahju, 2004). Menurut
Rasyaf (2007) konsumsi merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada
pertumbuhan ayam broiler dan konsumsi itu dipengaruhi oleh suhu, sistem
pemberian ransum, kesehatan ayam, besar tubuh ayam, jenis kelamin, aktivitas,
kualitas ransum serta sifat genetik dari ayam broiler. Konsumsi sangat
berpengaruh pada produksi yang dicapai karena bila nafsu makan rendah akan
menyebabkan laju pertumbuhan dari ayam tersebut menjadi terhambat dan
akhirnya produksi akan menjadi menurun (Rasyaf, 2007). Konsumsi ransum
setiap minggu bertambah sesuai dengan pertambahan bobot badan dan setiap
6
minggunya ayam mengkonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan dengan
minggu sebelumnya (Fadilah et al., 2007). Menurut Wahju (2004) konsumsi
ransum ayam jantan lebih banyak dari pada ayam betina dan lebih efisien dalam
mengubah ransum menjadi daging dari pada ayam betina (North dan Bell, 1990).
Salah satu hal penting dalam menentukan produksi ternak adalah dengan
mengetahui pengukuran pertambahan bobot badan ternak. Pertambahan bobot
badan merupakan kenaikan bobot badan yang dicapai oleh seekor ternak selama
periode tertentu dan diperoleh melalui penimbangan berulang dalam waktu
tertentu misalnya tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, atau tiap waktu lainya
(Tillman et al., 1991). Menurut Rose (1997) pertambahan bobot badan
berlangsung sesuai dengan kondisi fisiologis ayam, yaitu bobot badan akan
berubah kearah bobot badan dewasa. Kartasudjana dan Suprijatna (2006)
menambahkan bahwa pertumbuhan pada ayam broiler dimulai dengan perlahan
kemudian berlangsung cepat sampai dicapai pertumbuhan maksimum setelah itu
menurun kembali hingga akhirnya terhenti. Pertumbuhan yang paling cepat terjadi
sejak menetas sampai umur 4-5 minggu, kemudian mengalami penurunan
(Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
adalah galur ayam, jenis kelamin, faktor lingkungan, energi metabolis dan
kandungan protein ransum (Wahju, 2004). Menurut Ensminger (1992)
abnormalitas kondisi tubuh dicerminkan oleh menurunnya konsumsi, terjadi
penurunan bobot badan dan meningkatnya nilai konversi ransum.
Lacy dan Vest (2000) menyatakan konversi ransum berguna untuk
mengukur produktivitas ternak dan didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi
ransum dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh selama kurun waktu
7
tertentu. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menyatakan semakin tinggi konversi
ransum menunjukan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk
meningkatkan bobot badan. Konversi ransum merupakan parameter penting
sebagai tinjauan ekonomis biaya ransum. Semakin rendah nilai konversi ransum
semakin menguntungkan, hal ini disebabkan semakin sedikit ransum diberikan
untuk menghasilkan berat badan tertentu (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Mengetahui efisiensi penggunaan ransum secara ekonomis, selain
memperhitungkan bobot badan yang dihasilkan dan efisiensi ransum, faktor biaya
juga perlu diperhitungkan. Selisih harga penjualan dengan biaya DOC dan
pakan merupakan parameter yang digunakan dalam menentukan nilai ekonomis
pemeliharaan (Prawirokusumo, 1990). Income Over Feed and Chick Cost
(IOFCC) merupakan brometer untuk melihat seberapa besar biaya yang
dikeluarkan untuk pakan dalam usaha peternakan. IOFCC dihitung dengan selisih
dari total pendapatan dengan total biaya pakan dan DOC digunakan selama usaha
penggemukan ternak (Prawirokusumo, 1990).
Badan Standardisasi Nasional (1995) menjelaskan karkas ayam pedaging
adalah bagian tubuh ayam pedaging setelah dikurangi bulu, dikeluarkan jeroan
dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya (ceker).
Soeparno (1994) menyatakan faktor yang mempengaruhi karkas adalah bangsa,
jenis kelamin, umur, bobot badan, dan ransum. Umur berpengaruh terhadap berat
karkas yang disebabkan oleh adanya perubahan alat-alat tubuh terutama
penambahan dari lemak karkas (Soeparno, 1994).
Menurut Suprijatna et al. (2008) organ ayam broiler terdiri dari organ
pencernaan dimulai dari mulut, kerongkongan, tembolok, proventrikulus, rempela,
8
usus halus, usus buntu (sekum), usus besar, kloaka dan anus. Organ dalam lainya
adalah hati, jantung, dan lemak abdominal (Suprijatna et al., 2008). Putnam
(1991) menyatakan persentase hati 1,70-2,80%, jantung 0,27%-0,42%, rempela
1,6-2,3%, dan lemak abdomen 2,64-3,3%. Usus halus pada ternak merupakan
organ penting dalam pencernaan yang berfungsi untuk mengabsorbsi nutrien
bahan ransum (Gillespie, 2004). Menurut Nickle et al. (1977) panjang usus halus
sekitar 1,5 meter pada ayam dewasa, terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum,
jejunum dan ileum. Panjang usus halus bervariasi sesuai dengan ukuran tubuh,
tipe makanan dan faktor lainnya. Menurut Rose (1997) dalam sekum terdapat
bakteri yang membantu proses pendegradasian bahan makanan melalui proses
fermentasi yang selanjutnya produk yang dihasilkan digunakan untuk membantu
memenuhi kebutuhan zat makanan. Nickle et al. (1977) menyatakan bahwa
panjang sekum unggas normal berkisar antara 12 sampai 25 cm.
Mortalitas adalah kematian pada ayam broiler yang senantiasa terjadi dan
sulit dihindari. Menurut Wiharto (1999) angka mortalitas untuk ayam broiler
adalah kurang dari 5% dan ada banyak hal yang berpengaruh terhadap mortalitas
dalam pemeliharaan unggas, seperti terserang penyakit, kekurangan ransum,
kekurangan minum, temperatur, sanitasi, dan lain sebagainya (Wiharto, 1999).
Hal yang perlu diperhatikan dalam menekan angka kematian adalah mengontrol
kesehatan ayam, mengontrol kebersihan tempat ransum dan minum serta kandang,
melakukan vaksinasi secara teratur, memisahkan ayam yang terkena penyakit
dengan ayam yang sehat, dan memberikan ransum dan minum pada waktunya
(Lacy dan Vest, 2000).
9
2.2 Potensi Kulit Buah Naga
Pohon atau tanaman buah naga (Hylocereus sp) berasal dari Meksiko,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan (Winarsih, 2007). Seiring dengan
perkembangannya, buah naga banyak dibudidayakan di Asia. Negara di Asia yang
sudah melakukan pembudidayaan secara besar-besaran adalah Vietnam, Thailand,
Taiwan, Filipina, Malaysia dan Indonesia mulai meningkatkan budidaya tanaman
ini (Cahyono, 2009). Indonesia memiliki potensi yang besar untuk
membudidayakan tanaman buah naga yang hasilnya dapat diekspor, hal ini
disebabkan Indonesia memiliki iklim tropis, sesuai dengan iklim yang dibutuhkan
tanaman ini untuk tumbuh dengan baik (Cahyono, 2009).
Nama buah “naga” berasal dari masyarakat Vietnam dan orang Cina yang
menganggap buahnya membawa berkah bagi mereka. Oleh karena itu, buah ini
selalu diletakan diantara dua ekor patung naga di atas meja altar pemujaan dan
warna merah pada buah menjadi sangat mencolok dan kontras diantara dua patung
naga yang memiliki warna hijau, dari kebiasaan inilah dikalangan orang Vietnam
yang sangat terpengaruh budaya Cina buah naga dikenal sebagai thang loy
(Muaris, 2012). Nama thang loy oleh orang Vietnam kemudian diterjemahkan di
Eropa dan negara lain yang berbahasa Inggris sebagai dragon fruit (Indah dan
Supriyanto, 2013). Selain itu, penampilan batangnya yang menjulur berwarna hijau
mirip tubuh naga. Buahnya bersisik dan memiliki sayap seperti seekor naga karena
itu menambah pencitraan bahwa buah ini dinamakan buah naga (Muaris, 2012).
Buah naga sebenarnya adalah buah dari beberapa jenis kaktus dari marga
hylocereus dan selenicereus. Adapun klasifikasinya menurut Kristanto (2008)
sebagai berikut :
10
Divisi : Magnoliophyta
Subdivisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Hamamelidae
Ordo : Caryophyllales
Family : Cactaceae
Genus : Hylocereus
Subfamily : Hylocereanea
Spesies : Hylocereus
Pohon buah naga dibudidayakan mulai tahun 2000 oleh Joko Rainu Sigit di
Delangu, Klaten Jawa Tengah. Tanaman ini memiliki potensi yang baik dilihat
dari permintaan yang terus meningkat diikuti dengan teknik budidaya yang mudah
dilakukan (Jaya, 2010). Buah naga memiliki berbagai sebutan dibeberapa daerah,
seperti di Cina disebut dengan Feny Long Kwa dan Thang Loy, di Thailand
disebut Kaew Mangkorn, di Taiwan disebut Shien Mie Kou dan di Israel disebut
Pitahaya (Departemen Pertanian, 2009). Menurut Winarsih (2007) tanaman buah
naga sering dibuat menjadi tanaman hias, dalam setahun bisa berbuah tiga kali
dan produksinya bisa terus meningkat dengan perawatan yang baik. Setiap tahun,
tanaman ini meningkat begitu juga dengan impor buah ke Indonesia. Berdasarkan
catatan dari eksportir buah di Indonesia, buah naga impor ini masuk ke tanah air
mencapai antara 200-400 ton/tahun asal Thailand dan Vietnam (Winarsih, 2007).
Hingga saat ini pengembangan dan penanaman sentra produksi buah naga di
Indonesia masih terpusat dibeberapa daerah seperti Jawa Timur (Jember,
Pasuruan, Malang, Lumajang, Banyuwangi), Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kota
Bogor, Bekasi, Sumedang, Indramayu), Jawa Tengah (Boyolali, Karanganyar,
Kendal, Semarang, Pati, Wonosobo, Purbalingga, Pemalang, Banjarnegara,
11
Sragen, Sukoharjo), D.I.Yogyakarta (Sleman, Bantul, Kulonprogo), Sumatera
Utara (Deli Serdang), Sumatera Barat (Padang Pariaman), Lampung (Lampung
Timur, Tulang Bawang, Lampung Selatan), Riau (Kota Pekanbaru, Siak),
Kepulauan Riau (Kota Batam, Bintan, Karimun, Tanjung Pinang) dan Kalimantan
(Wibawa, 2008). Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Banyuwangi, Jawa
Timur menjadi salah satu pusat produksi buah naga di Indonesia (Direktorat
Hortikultura Kementrian Pertanian, 2014).
Kulit buah naga merupakan bagian terluar yang biasanya dibuang sekitar
30-35% dari buah (Citramukti, 2008). Sedangkan bijinya menyatu dengan buah
(Mustika et al., 2014). Produksi pada tahun 2014 adalah 28.819 ton dari jumlah
sebanyak itu dapat diperoleh total kulit 8.645-10.086 ton (BPS Kabupaten
Banyuwangi, 2014). Pada beberapa penelitian kulit buah naga memiliki
kandungan antioksidan dan zat warna alami yaitu antosianin cukup tinggi yang
berperan memberikan warna merah (Daniel et al., 2014). Antosianin adalah
kelompok pigmen yang berwarna merah sampai biru yang tersebar dalam tanaman
(Abbas, 2003). Warna merah pada daging dan kulit mengindikasikan tingginya
kandungan phenol (Nurliyana et al., 2010). Senyawa phenol dilaporkan banyak
berperan dalam aktivitas biologis seperti antimutagenik, antikarsinogenik,
antiaging, dan antioksidan (Kosem et al., 2007).
2.3 Proses Mendapatkan Kulit Buah Naga
Tanaman buah naga (Hylocereus sp) pada awalnya dipergunakan sebagai
tanaman hias karena sosoknya yang unik, eksotik, serta tampilan bunga dan buah
yang menarik (Winarsih, 2007). Buah naga berkembang menjadi buah dengan
tampilan berkulit merah serta bersisik dan semakin naik daun lantaran dipicu oleh
12
impor dari Thailand yang semakin membludak di pasar buah-buahan Indonesia
(Winarsih, 2007). Semakin banyaknya permintaan, menjadi peluang para pekebun
mulai mengembangkan budidaya buah naga di Indonesia. Buah naga sudah masuk
pasaran, sehingga gampang dijumpai di swalayan diseluruh nusantara. Selain
rasanya yang manis, buah naga mengandung manfaat bagi kesehatan. Maka tidak
heran jika permintaan konsumen buah naga semakin hari semakin meningkat
(Winarsih, 2007). Tanaman ini selain disukai buahnya untuk dikonsumsi, limbah
kulitnya dapat diolah untuk diberikan pada ternak (Sadarman, 2013).
Semakin meningkatnya produksi buah naga diikuti dengan semakin
banyaknya produksi makanan olahan berbahan baku buah naga maka akan
meningkatkan jumlah limbah yang dihasilkan (Wahyuni, 2011). Cara
mendapatkan kulit buah bisa langsung mencarinya ke tempat pembuatan makanan
dari buah naga seperti keripik, mie, dodol, stik, bolu dan selai atau industri
minuman seperti jus, sari buah, dan sirup.
Sari buah adalah cairan yang dihasilkan dari pemerasan atau penghancuran
buah segar yang telah masak. Pada prinsipnya dikenal dua macam sari buah,
pertama sari buah encer (dapat langsung diminum), yaitu cairan buah yang
diperoleh dari pengepresan daging buah, dilanjutkan dengan penambahan air dan
gula pasir. Kedua sari buah pekat atau sirup, yaitu cairan yang dihasilkan dari
pengepresan daging buah dan dilanjutkan dengan proses pemekatan, baik dengan
cara pendidihan biasa maupun dengan cara lain seperti penguapan dengan hampa
udara, dan lain-lain. Sirup ini tidak dapat langsung diminum, tetapi harus
diencerkan dulu dengan air (Margono et al., 1993). Adapun diagram alir
pengolahan pembuatan sari atau sirup buah dapat dilihat pada Gambar 2.1.
13
Gambar 2.1 Bagan Proses Pengolahan Buah Menjadi Sari Buah
dan Sirup (Margono et al., 1993)
2.4 Kandungan Gizi Kulit Buah Naga
Kulit buah naga berpotensi sebagai bahan obat karena memiliki kandungan
sianidin 3-ramnosil glukosida 5-glukosida (Saati, 2009). Menurut Wahyuni (2011)
kulit buah naga berkhasiat untuk mencegah kanker usus, kencing manis dan
berbagai penyakit. Jaafar (2009) dan Woo et al. (2011) menyatakan bahwa kulit
buah naga mengandung berbagai macam senyawa seperti golongan flavonoid,