10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma Bronkial 2.1.1 Definisi Asma merupakan suatu gangguan saluran nafas yang dicirikan dengan batuk, dada terasa berat, kesulitan bernafas, dan mengi (wheezing). Asma dapat diakibatkan oleh berbagai stimulus seperti faktor biokemikal, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi. Asma terjadi pada saluran bronkial dengan ciri bronkospasme periodik, dimana terjadinya kontraksi spasme pada saluran pernafasan terutama pada percabangan trakeobrokhial (Somantri, 2012). Asma merupakan penyakit heterogen yang ditandai dengan adannya peradangan jalan napas kronis dengan gambaran utama dari riwayat klinis seperti sesak napas yang episodik terutama pada malam hari dan sering disertai dengan batuk (Global Initiatve for Asthma (GINA), 2012). Asma dapat berpotensi serius yang dapat membebani pasien, keluarga, dan masyarakat karena asma menyebabkan gejala pernapasan, keterbatasan melakukan aktivitas, dan eksaserbasi yang dapat berakibat fatal (GINA, 2019). Orang yang menderita asma mengalami gejala yang berkisar dari ringan hingga berat, jarang terjadi atau terjadi setiap hari. Ketika gejalanya memburuk maka disebut serangan asma (National Heart, Lung, 2019). Penyakit asma merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, akan tetapi dapat dikendalikan dan dikurangi frekuensi terjadinya serangan (Mumpuni, 2014). Banyak penderita asma menganggap tata laksana asma hanya berfokus pada gejala asma
22
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma Bronkial 2.1.1 Definisieprints.umm.ac.id/63665/2/BAB II.pdf · 2.1 Asma Bronkial 2.1.1 Definisi Asma merupakan suatu gangguan saluran nafas yang dicirikan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma Bronkial
2.1.1 Definisi
Asma merupakan suatu gangguan saluran nafas yang dicirikan dengan batuk,
dada terasa berat, kesulitan bernafas, dan mengi (wheezing). Asma dapat diakibatkan
oleh berbagai stimulus seperti faktor biokemikal, endokrin, infeksi, otonomik dan
psikologi. Asma terjadi pada saluran bronkial dengan ciri bronkospasme periodik,
dimana terjadinya kontraksi spasme pada saluran pernafasan terutama pada
percabangan trakeobrokhial (Somantri, 2012).
Asma merupakan penyakit heterogen yang ditandai dengan adannya peradangan
jalan napas kronis dengan gambaran utama dari riwayat klinis seperti sesak napas yang
episodik terutama pada malam hari dan sering disertai dengan batuk (Global Initiatve
for Asthma (GINA), 2012). Asma dapat berpotensi serius yang dapat membebani
pasien, keluarga, dan masyarakat karena asma menyebabkan gejala pernapasan,
keterbatasan melakukan aktivitas, dan eksaserbasi yang dapat berakibat fatal (GINA,
2019). Orang yang menderita asma mengalami gejala yang berkisar dari ringan hingga
berat, jarang terjadi atau terjadi setiap hari. Ketika gejalanya memburuk maka disebut
serangan asma (National Heart, Lung, 2019).
Penyakit asma merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, akan tetapi
dapat dikendalikan dan dikurangi frekuensi terjadinya serangan (Mumpuni, 2014).
Banyak penderita asma menganggap tata laksana asma hanya berfokus pada gejala asma
11
yang muncul, tetapi tidak ditujukan untuk penyebab yang mendasari terjadinya asma
tersebut. Pencegahan munculnya gejala asma dan peningkatan kualitas hidup penderita
secara signifikan dapat dilakukan dengan terapi yang adekuat terhadap penyebab yang
mendasari terjadinya asma (Clark, 2013).
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi asma pada anak laki-laki dibanding anak perempuan adalah 1,5:1.
Perbandingan tersebut lebih kurang sama ketika menjelang dewasa. Akan tetapi, saat
menopause perempuan lebih banyak daripada laki laki (Setiati et al., 2017). Menurut
GINA (2019), asma menyerang 1-18% populasi di berbagai negara. Dapat diperkirakan
100-150 juta penduduk dunia menderita asma dengan penambahan 180.000 orang tiap
tahunnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).
Suatu survei menggunakan kuesioner ISAAC pada siswa usia 13-14 tahun di
Indonesia pada tahun 2008 menunjukkan bahwa di Jakarta Barat, prevalensi asma
sebesar 13,1% (Dharmayanti, Hapsari, & Azhar, 2015). Menurut hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi asma pada semua umur sebanyak 4,5%.
Asma terjadi pada perempuan sebanyak 2,5% dan laki-laki sebanyak 2,3%. Prevalensi
asma berdasarkan diagnosis dokter lebih banyak terjadi di perkotaan (2,6%) daripada
di perdesaan (2,1%). Prevalensi asma terbanyak berdasarkan diagnosis dokter tahun
2018 adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (4,5%) dan terendah adalah
Provinsi Sumatera Utara (1,0%). Prevalensi asma di Provinsi Jawa Timur sebanyak
2,57%. Prevalensi asma di Kabupaten Malang sendiri sebesar 2,95% (Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas), 2018b).
12
2.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Suatu penelitian di sebuah Rumah Sakit swasta di Surabaya menjelaskan bahwa
keturunan, polusi lingkungan, dan pola atau kebiasaan makan merupakan penyebab
tertinggi asma (Lorensia, Yulia, & Wahyuningtyas, 2016).
Interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan merupakan
faktor risiko asma. Faktor pejamu adalah berkembangnya asma yang dipengaruhi
predisposisi oleh genetik. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan
menjadi asma dari individu dengan kecenderungan atau predisposisi asma, dapat
memberi dampak eksaserbasi dan atau gejala-gejala asma menetap (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2004).
1) Faktor pejamu (host factor)
a. Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi dalam asma. Penyakit asma bronkial
diturunkan dalam keluarga dan berhubungan erat dengan atopi. Keluarga
dekat yang memiliki alergi biasanya menurun pada penderita. Bakat yang
menurun dari keluarga tersebut, ketika penderita terpapar dengan faktor
pencetus maka sangat mudah terkena asma bronkial (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2004).
b. Obesitas
Studi mengevaluasi hubungan obesitas dengan asma pada umumnya
menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT≥25kg/m2 dianggap
kelebihan berat badan, sedangkan IMT≥30kg/m2 masuk dalam klasifikasi
Kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi
dinding bronkus mengakibatkan obstruksi saluran napas pada asma. Pada masa
ekspirasi, obstruksi akan bertambah berat karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut (Setiati et al., 2017).
Jalan napas pada kondisi inflamasi persisten pada asma. Berbagai faktor dapat
memicu respon inflamasi akut, selama sel nflamasi yang tinggal berinteraksi dengan
mediator inflamasi, sitokin dan sel inflamasi menginfiltrasi tambahan. Pemicu umum
pada serangan asma akut diantaranya adalah pajanan terhadap allergen, infeksi saluran
napas, latihan, iritan yang di inhalasi, dan kekecewaan emosi (LeMone, Burke, &
Bauldoff, 2016).
15
Serangan pemicu asma biasanya dikaitkan dengan inhalasi allergen seperti polen,
bulu binatang atau debu rumah dan alergi lain. Polutan lingkungan seperti asap rokok.
Risiko lebih tinggi peningkatan keparahan asma dapat terjadi ketika seseorang terkena
pajanan ke perokok pasif sejak kecil. Asma pekerjaan yang dipengaruhi oleh agens yang
ditemukan di tempat kerja seperti debu, zat kimia, uap dan gas berbahaya. Stimulus
internal yang umum pada serangan asma adalah infeksi pernapasan, biasanya virus.
Asma yang terjadi karena latihan di udara yang dingin dan kering juga dapat memicu
terjadinta asma pada orang yang rentan. Faktor penting pada serangan asma adalah sres
emosi. Sedangkan untuk pemicu farmakologisnya adalah aspirin dan NSAID lain,
penyekat beta, dan sulfit (LeMone et al., 2016).
Respon akut atau respon awal terjadi ketika pemicu seperti inhalasi allergen atau
iritan terjadi. Pelepasan mediator inflamasi (histamin, prostaglandin, dan leukotrien)
terjadi karena sel mast tersensitisasi di mukosa bronkial. Penghasilan mediator
inflamasi (sitokin, bradykinin, dan faktor pertumbuhan) oleh sel inflamasi yang tinggl
dan menginfiltrasi. Mediator inflamasi tersebut menstimulasi reseptor parasimpatis dan
otot polos bronkial untuk menghasilkan bronkokonstriksi. Peningkatan permeabilitas
kapiler juga terjadi yang sehingga plasma keluar dan menyebabkan edema mukosa.
Terstimulasi produksi mukus sehingga kelebihan mukus berkumpul di jalan napas yang
menyempit. Setelah pajanan dari pemicu selama 4 hinga 12 jam terjadi serangan lama
oleh respons fase akhir. Derajat inflamasi mempengaruhi derajat hiperaktivitas. Jalan
napas mengalami penyempitan karena bronkokonstriksi, edema dan inflamasi, serta
sekresi mukus yang mengakibatkan peningkata resistensi jalan napas, pembatasan
aliran udara, dan peningkatan kerja napas (LeMone et al., 2016).
16
GAMBAR 2. 1 PATOFISIOLOGI ASMA
Pada serangan asma akut, pelepasan mediator inflamasi dari jalan napas
tersentisasi dengan diikuti aktivitas sel inflamasi sehingga mengakibatkan
bronkokonstriksi, edema jalan napas, dan penurunan bersihan mukosiler. Pembatasan
aliran udara dan peningkatan kerja napas terjadi akibat penyempitan jalan napas
sehingga udara yang terjebak tercampur dengan udara yang diinhalasi yang
menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas (LeMone et al., 2016).
2.1.5 Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat dan tingkat kontrol. Menurut
derajat beratnya, asma dibedakan menjadi empat kategori yaitu intermiten, persisten
ringan, persisten sedang, dan persisten berat. Berdasarkan kontrol, klasifikasi asma
dapat dibedakan menjadi asma terkontrol, terkontrol parsial, dan tidak terkontrol
(Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2018).
Kerusakan epitel Edema Peningkatan produksi mukus
Stimulus
Pelepasan mediator kimia
Aktifitas sel inflamasi
Peningkatan resistensi, obstruksi jalan napas dan keterbatasan aliran udara
Serangan asma akut
Bronkospasme
Sumber: LeMone et al. (2016)
17
Tabel 2.1 Derajat Asma
Klasifikasi Frekuensi Gejala Gejala di Malam
Hari
Intermiten
ringan
- Gejala ≤2x seminggu
- Serangan singkat
- Peak Expiratory Flow (PEF) normal
antara serangan
≤2 kali sebulan
Persisten ringan - >2x/minggu, tetapi <1x/hari
- Eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas
≤2 kali sebulan
Persisten
sedang
- Gejala harian
- Membutuhkan bronkodilator setiap hari
- Eksaserbasi emmpengaruhi aktivitas
- Eksaserbasi >2x seminguu; dapat
bertahan selama beberapa hari
≤1 kali seminggu
Persisten hebat - Kontinyu
- Aktivitas fisik terbatas
- Eksaserbasi sering
Sering
GINA (2012) mengklasifikasikan asma berdasarkan tingkat kontrol asma
menjadi asma terkontrol, asma terkontrol parsial atau sebagian, dan asma tidak
terkontrol.
Tabel 2.2 Level of Asthma Control
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Sebagian Tidak terkontrol
Gejala harian Tidak ada/
≤2x/minggu
>2x/minggu
≥3 krieria asma
terkontrol
sebagian
Keterbatasan
aktivitas
Tidak ada Ada
Gejala malam/
awaking
Tidak ada Ada
Kebutuhan akan
reliever/ rescue inhaler
Tidak ada/ ≤ 2 x/
minggu
>2x/minggu
Fungsi paru (PEF
atau FEV1)*
Normal <80% prediksi atau nila
terbaik individu (jika
tahu) *Tanpa penggunaan bronkodilator. Pada anak usia < 5 tahun, pemeriksaan fungsi paru tidak dianjurkan Diadaptasi dari: The Global Initiative for Asthma (GINA). 2012 Update of the GINA Report, Global Strategy for Asthma Management and Prevention. http://ginatshma.com. Diakses pada 26 Oktober 2019.