5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal Ginjal terletak di belakang rongga abdomen (di antara rongga perut dan otot punggung) merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang yang terletak satu di masing-masing sisi kolumna vertebralis, posisinya sedikit di atas garis pinggang. Setiap masing-masing ginjal memiliki satu arteri renalis dan satu vena renalis yang secara teratur masuk dan keluar ginjal (Sherwood et al, 2016). Umumnya ginjal pada orang dewasa memiliki panjang 10-12 cm (4-5 inci) dengan lebar 5-7 cm dan memiliki ketebalan 3 cm serta berat 135-150 gram (Tortora and Derrickson., 2012). Batas sisi medial setiap ginjal merupakan suatu lekukan yang disebut hilum atau hilus merupakan tempat lewatnya arteri renalis dan vena renalis, pembuluh limfatik, saraf, dan ureter yang membawa urin akhir dari ginjal ke kandung kemih, tempat urine disimpan hingga dikeluarkan. Pembungkus ginjal yaitu kapsul fibrosa atau kapsula ginjal, teksturnya yang keras berguna untuk melindungi struktur dalam ginjal yang rapuh (Guyton and Hall, 2014). Gambar 2.1 Anatomi Ginjal (Guyton and Hall, 2014) Ketika ginjal dibelah menjadi dua dari atas ke bawah, dapat digambarkan kedua daerah utamanya yaitu korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam. Medula ginjal ini terbagi atas 8 sampai 10 massa jaringan berbentuk kerucut yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Ginjal
Ginjal terletak di belakang rongga abdomen (di antara rongga perut dan
otot punggung) merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang yang terletak
satu di masing-masing sisi kolumna vertebralis, posisinya sedikit di atas garis
pinggang. Setiap masing-masing ginjal memiliki satu arteri renalis dan satu vena
renalis yang secara teratur masuk dan keluar ginjal (Sherwood et al, 2016).
Umumnya ginjal pada orang dewasa memiliki panjang 10-12 cm (4-5 inci)
dengan lebar 5-7 cm dan memiliki ketebalan 3 cm serta berat 135-150 gram
(Tortora and Derrickson., 2012). Batas sisi medial setiap ginjal merupakan suatu
lekukan yang disebut hilum atau hilus merupakan tempat lewatnya arteri renalis
dan vena renalis, pembuluh limfatik, saraf, dan ureter yang membawa urin akhir
dari ginjal ke kandung kemih, tempat urine disimpan hingga dikeluarkan.
Pembungkus ginjal yaitu kapsul fibrosa atau kapsula ginjal, teksturnya yang keras
berguna untuk melindungi struktur dalam ginjal yang rapuh (Guyton and Hall,
2014).
Gambar 2.1 Anatomi Ginjal (Guyton and Hall, 2014)
Ketika ginjal dibelah menjadi dua dari atas ke bawah, dapat digambarkan
kedua daerah utamanya yaitu korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam.
Medula ginjal ini terbagi atas 8 sampai 10 massa jaringan berbentuk kerucut yang
6
disebut piramida ginjal. Setiap daerah dari piramida ginjal dimulai pada
perbatasan antara korteks dan medula sampai berakhir di papila, yang menonjol
dan berbentuk seperti corong dalam ruang pelvis ginjal. Batas luar pelvis ginjal
terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung terbuka yang disebut kalises
mayor, kemudian yang meluas ke bawah dan terbagi disebut kalises minor, yang
mengumpulkan urine dari tubulus setiap papila. Dinding kalises, pelvis, dan ureter
terdiri atas bagian kontraktil yang mendorong urine menuju kandung kemih,
tempat urine disimpan sampai dikeluarkan melalui miksi (Guyton and Hall,
2014).
Parenkim dibentuk oleh korteks ginjal dan piramida ginjal pada medula
ginjal yang merupakan bagian fungsional ginjal, terdiri atas unit-unit fungsional
ginjal yang disebut nefron. Dalam ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron pada
masing- masing ginjal. Setiap nefron terdapat dua bagian yaitu korpuskulum
ginjal yang merupakan suatu tempat plasma darah disaring dan tubulus ginjal
yang mengalirkan cairan terfiltrasi. Korpuskulum ginjal terdapat dua komponen
yaitu glomerulus (jejaring kapiler) dan kapsul glomerulus (Bowman). Tubulus
ginjal terdiri atas tubulus kontornus proksimalis (TKP), Ansa henle ( lengkung
nefron) dan tubulus kontornus distalis (TKD). Distalis menunjukan bagian tubulus
ginjal yang menjauhi kapsul glomerulus sedangkan proksimalis merupakan bagian
tubulus ginjal yang melekat pada kapsul glomerulus. Ansa henle merupaka bagian
tubulus yang menjulur hingga ke medula ginjal membentuk putaran tajam
berbentuk huruf U hingga kembali ke korteks ginjal (Tortora and Derrickson.,
2012).
2.2 Fisiologi Ginjal
Ginjal berperan penting dalam melakukan berbagi fungsi guna
mempertahankan homeostasis dengan menjaga stabilitas volume, komposisi
elektrolit, dan osmolaritas (konsentrasi solut) CES (Cairan Ekstra Selular). Ginjal
dapat mempertahankan keseimbangan air dan elektroit dengan menyesuaikan
jumlah air dan berbagai konstituen plasma dalam tubuh sebelum di keluarkan
melalui urin. Ginjal mengekskresi produk-produk sisa metabolisme tubuh seperti
urea dari protein, kreatinin dari kreatinin otot, bilirubin dari hemoglobin dan
7
hormon metabolit yang jika dibiarkan akan menumpuk dan bersifat toksik
(Sherwood et al., 2016).
Gambar 2.2. Anatomi nefron ginjal (Sherwood et al., 2016)
Dalam ginjal normalnya sekitar 1.100 ml/menit atau 22% dari curah
jantung darah dapat mengalir pada kedua organ ginjal. Terbentuknya arteri
interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis (arteri radialis), dan arteriol aferen
menuju kapiler glomerulus disebabkan karena masuknya arteri renalis ke hilum
yang membuat percabangan secara progesif (Guyton and Hall, 2014). Arteriol
aferen dapat mengalirkan darah ke glomerulus. Dalam glomerulus menyatunya
kapiler-kapiler yang lain menyebabkan terbentuknya arteriol eferen yang
membawa darah yang tidak terfiltrasi keluar dari glomerulus dan masuk ke dalam
komponen tubulus. Arteriol eferen kemudian membuat percabangan hingga
membentuk kapiler peritubulus, yang bertugas memasok jaringan dengan darah
dan berperan penting dalam perubahan cairan filtrasi menjadi urin saat terjadinya
pertukaran sistem tubulus dan darah. Tubulus kontornus distalis akan mengalirkan
isinya ke saluran pengumpul (duktus koligentes), yang kemudian duktus berjalan
ke daIam medula untuk mengosongkan isinya yang berupa cairan (urine) ke
dalam pelvis ginjal (Sherwood et al., 2016).
8
Dalam pembentukan urin melibatkan tiga proses dasar yang dilakukan
oleh nefron dan duktus koligentes dalam ginjal. Tiga proses dasar yang terlibat
adalah filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi
merupakan suatu proses penyaringan plasma bebas protein melalui kapiler
glomerulus ke dalam kapsula bowman. Normalnya plasma yang tersaring dalam
glomerulus sebanyak 20%. filtrasi glomerulus merupakan langkah awal
pembentukan urin. Setiap menit glomerulus mampu menghasilkan 125 mL filtrat
glomerulus (cairan yang difiltrasi) atau dalam 1 hari mampu menghasilkan cairan
terfiltasi 180 liter (sekitar 47,5 galon). ginjal dapat menyaring keseluruhan volume
plasma sebanyak 65 kali sehari sehingga dalam hal ini volume rerata plasma pada
orang dewasa adalah 2,75 liter. Jika tidak terjadi dipertukarkan antara cairan di
dalam tubulus dan darah didalam kapiler peritubulus maka semua plasma akan
menjadi urine (Guyton and Hall, 2014).
Ginjal berperan penting dalam melakukan pekerjaan utama sistem kemih
yaitu berkontribusi pada homeostasis dengan mengatur keseimbangan asam dan
basa, mengatur volume dan tekanan darah menjaga osmolaritas cairan tubuh,
mengubah komposisi darah dengan mengatur konsentrasi ion (Tortora and
Derrickson., 2012).
2.3 Fungsi Ginjal
2.3.1Pengatur keseimbangan asam dan basa
Ginjal berperan dalam mengatur asam basa sebagai organ yang
menyangga cairan tubuh yang mengekskresikan asam serta mengatur simpanan
dapar cairan tubuh. Ion bikarbonat sangat berperan penting dalam membantu
mengatur pH darah guna penyangga ion hidrogen dalam darah. Nilai pH darah
arteri berada pada kisaran 7,35 -7,45 yang mana sistem buffer akan bekerja untuk
mempertahankan ph darah arteri pada kisaran tersebut (Tortora and Derrickson.,
2012).
2.3.2 Mengeluarkan zat sisa metabolisme tubuh
Ginjal berperan dalam mengekskresikan (mengeluarkan) zat sisa
metabolisme seperti asam urat (dari asam nukleat), kreatinin (dari kreatini otot),
urea (dari protein), bilirubin (dari hemoglobin) serta metabolit hormon. Selain itu
ginjal dapat mengekskresikan senyawa asing dari obat-obatan makanan, pestisida
9
dan bahan eksogen merugikan lainnya yang masuk dalam tubuh (Sherwood et al.,
2016).
2.3.3 Mengatur osmolaritas cairan tubuh
Untuk mencegah fluks-fluks osmotik oleh masuk dan keluarnya sel yang
dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan atau penciutan sel. Maka ginjal
dapat mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai melalui regulasi
keseimbangan H2O (Sherwood et al., 2016). Dengan mengatur kehilangan air dan
kehilangan zat terlarut dalam urin secara terpisah, ginjal dapat mempertahankan
osmolaritas darah yang relatif konstan mendekati 300 miliosmol per liter (mOsm /
liter) (Tortora and Derrickson., 2012).
2.3.4 Mengatur produksi hormon
Ginjal menghasilkan dua hormon yaitu calcitriol dalam bentik aktifnya
adalah vitamin D yang berfungsi mengatur homeostasis kalsium dan
erythropoietin yang berfungsi merangsang produksi sel darah merah (Tortora and
Derrickson., 2012). kalsitriol memegang peran penting dalam pengaturan kalsium
dan fosfat sedangkan eritropoietin berperan dalam mengatur keseimbangan
eritrosit (Guyton and Hall, 2014).
2.3.5 Mengatur volume dan tekanan darah
Ginjal mengatur volume darah dengan menghilangkan air dalam urin.
Peningkatan volume darah akan meningkatkan tekanan darah. Ginjal akan
membantu mengatur tekanan darah dengan mengeluarkan enzim renin yang aktif
dalam jalur renin-angiotensin-aldosteron. Peningkatan renin dapat mengaktifkan
angiotensinogen yang menghasilkan angiotensin I, yang mana oleh angiotensin
converting enzyme diubah menjadi angiotensin II yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah (Tortora and Derrickson., 2012).
2.3.6 Melaksanakan Sintesis Glukosa.
Seperti hati, ginjal juga dapat menggunakan asam amino glutamin dalam
proeses glukoneogenesis suatu proses sintesis molekul glukosa baru, yang
kemudian glukosa tersebut dilepaskan ke dalam darah untuk membantu
mempertahankan kadar glukosa darah normal (Tortora and Derrickson., 2012).
2.4 Tinjauan Tentang CKD (Chronic Kidney Disease)
2.4.1 Definisi CKD (Chronic Kidney Disease)
10
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik menurut
National Kidney Foundation merupakan masalah kesehatan masyarakat di
seluruh dunia dengan peningkatan insiden dan prevalensi. Didefinisikan sebagai
suatu penyakit yang disebabkan oleh kerusakan ginjal atau kelainan struktur dan
fungsi ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan (Bomback, A. S. & Bakris,
2011). Kelainan struktur atau fungsi ginjal dicerminkan dengan adanya penanda
kerusakan ginjal seperti penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) hingga <60
mL / menit / 1,73 m2 serta tingginya rasio albumin-kreatinin (ACR) ≥ 30mg / g
dan laju ekskresi albumin ≥ 30 mg / 24 jam (Reilly Lukela et al., 2019).
2.4.2 Klasifikasi CKD (Chronic Kidney Disease)
Chronic Kidney Disease (CKD) dapat di klasifikasikan berdasarkan atas 2
hal yaitu derajat (stage) penyakit dan etiologi atau penyebab dari ginjal kronik.
Derajat (stage) penyakit meliputi GFR dan peningkatan albuminuria (Sudoyo et
al, 2014). Menurut Clinical Practice Guideline Update on Diagnosis, Evaluation,
Prevention and Treatment of CKD. Penyakit ginjal kronik di klasifikan kategori
penyebab (C), kategori GFR (G) ; G1-G5, dan kategori Albuminuria (A); A1-A3,
yang disingkat CGA (KDIGO, 2016).
Tabel II.1. Klasifikasi CKD berdasarkan kategori GFR dan albuminuria
Kategori
GFR
GFR
(ml/min/
1.73𝒎𝟐)
Keterangan
G1 > 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Sedikit menurun
G3a 45-59 Sedikit menurun hingga cukup menurun
G3b 30-34 Cukup menurun hingga sangat menurun
G4 15-29 Sangat menurun
G5 < 15 Gagal ginjal
Kategori
Albumin
AER
( mg / 24 Jam )
ACR
(mg / g )
Keterangan
A1 < 30 < 30 Normal hingga sedikit meningkat
A2 30-300 30-300 Cukup meningkat
11
A3 >300 >300 Sangat meningkat
Sumber : (Reilly Lukela et al., 2019)
GFR = Glomerular Filtration Rate
AER = Albumin Excretion Rate
ACR = Albumin-to-Creatinine Ratio
Dua rumus yang biasa digunakan untuk menghitung nilai GFR adalah
Rumus Cockcroft-Gault dan rumus MDRD (Aurora, 2012).
Rumus Cockcroft-Gault :
GFR = (𝟏𝟒𝟎−𝑼𝒔𝒊𝒂)𝒙 𝑩𝑩
𝟕𝟐 𝒙 𝑺𝒄𝒓 𝒙 𝑲𝒐𝒏𝒔𝒕𝒂𝒏𝒕𝒂
Keterangan :
Scr : Klirens kreatinin (bersihan kreatinin) dalam ml/menit
U : Umur dalam tahun
BB : Berat badan dalam kilogram
Cr : Nilai kreatinin serum (darah) dalam mg/dL
Konstanta : Laki-laki = 1
Perempuan = 0,85
Rumus MDRD (Modification of Diet in Renal Disease) merupakan
suatu rumus yang menggunakan studi persamaan modifikasi diet pada
penyakit ginjal :
GFR = 186 × (Scr)-1,154 × (Age)-0,203 × (0,742 jika pasien wanita)
× (1,212 jika pasien amerika atau afrika)
Keterangan :
Scr: Klirens kreatinin (bersihan kreatinin) dalam ml/menit
Age: Umur
GFR: Glomerular Filtration Rate
Peningkatan ekskresi albumin urin dapat mencerminkan disfungsi endotel
tidak secara pasti mengindikasikan penyakit ginjal namun, karena CKD dan
disfungsi endotel keduanya terkait dengan peningkatan resiko kardiovaskular
sehingga skrining albuminuria harus dilakukan secara rutin untuk semua pasien
dengan hipertensi. Standar untuk mengukur ekskresi albumin urin adalah melalui
pengumpulan urin 24 jam. Tingkat ekskresi albumin urin yang normal adalah
kurang dari 20 mg / hari. ekskresi albumin persisten antara 30 dan 300 mg / hari
yang disebut mikroalbuminuria, sementara ekskresi albumin > 300 mg / hari
dianggap proteinuria terbuka atau makroalbuminuria (Bomback, A. S. & Bakris,
2011).
Ketika Urine Albumin-to-Creatinine Ratio (UACR) atau kadar rasio
albumin di kreatinin urin di atas 30 mg / g dalam waktu selama lebih dari 3 bulan
merupakan suatu keadaan abnormal. Mikroalbuminuria adalah penanda disfungsi
endotel dan juga merupakan faktor risiko yang independen untuk kejadian
12
penyakit ginjal kronik. Makroalbuminuria atau proteinuria, didefinisikan sebagai
ekskresi albumin yang berkelanjutan dengan nilai lebih dari 300 mg / hari (atau
UACR 300 mg / g), dikaitkan dengan resiko kardiovaskular yang jauh lebih tinggi
dan jelas menunjukkan adanya penyakit ginjal (Bomback, A. S. & Bakris, 2011).
2.4.3 Epidemiologi CKD
Penyakit ginjal kronik telah berkembang pesat dalam beberapa dekade
terakhir, prevalensinya lebih meluas secara global. Lebih dari 20 juta orang
Amerika menderita, dan akhirnya meninggal, karena penyakit ginjal kronis.
Berdasarkan data dari National Institute Of Diabetes And Digestive And Kidney
Diseases (NIDDK) biaya tahunan perawatan dialisis pasien dengan penyakit
ginjal stadium akhir meningkat setiap tahunnya (Aurora, 2012) . 10,9% dari
populasi warga amerika serikat atau sekitar 19 juta warga amerika yang berusia 20
tahun atau lebih mengalami CKD. Terdapat 150 kasus / juta nefropati diabetik, 80
kasus / juta nefropati hipertensi dan 22 kasus / juta glomerulonefritis. Pada kasus
ESRD dilaporkan terdapat 106.000 kasus dengan jumlah pasien dialisis 341.000
pasien dan 143.693 pasien transplantasi ginjal (Dipiro et al., 2015). Di Malaysia
diperkirakan terdapat 1800 kasus penyakit gagal ginjal pertahunnya. Di negara-
negara berkembang lainnya diperkirakan terdapat sekitar 40-60 insiden kasus
perjuta penduduk pertahun (Sudoyo et al., 2014).
Gambar 2.3 Grafik pasien Hemodialisis pada tahun 2007-2017
Menurut PERNEFRI (Perkumpulan Nefrologi Indonesia) dalam 10th
Report Of Indonesian Renal Registry tahun 2017 jumlah pasien CKD di Indonesia
terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan peningkatan jumlah unit
hemodialisis. Tercatat pada tahun 2017 jumlah pasien baru dan pasien aktif yang
menjalani terapi hemodialisis meningkat tajam. Diketahui pasien baru adalah
pasien yang pertama kali menjalani dialisis pada tahun 2017 sedangkan pasien
13
aktif adalah seluruh pasien baik pasien baru tahun 2017 maupun pasien lama dari
tahun sebelumnya yang masih menjalani hemodialisis rutin. Jumlah pasien baru
sebesar mencapai 30.831 pasien sedangan jumlah pasien aktif sebesar 77.892
pasien dengan jumlah unit hemodialisi mencapai 433 unit yang di perkirakan akan
terus meningkat. Proporsi pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita yang
didoagnosa CKD dengan persentasi 56% untuk pasien laki-laki dan 44% untuk
pasien wanita (Indonesian Renal Registry, 2017).
2.4.4 Etiologi CKD
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal seperti
susceptibility factors (faktor kerentanan) faktor yang dapat meningkatkan risiko
penyakit ginjal namun tidak secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal.
Yang termasuk dalam kategori ini; lanjut usia, penurunan massa ginjal dan berat
lahir yang rendah, riwayat keluarga, ras atau etnis minoritas, pendapatan rendah
atau pendidikan, peradangan sistemik, dan dyslipidemia. Initiation factors (faktor
inisiasi) yaitu faktor yang secara langsung mengakibatkan kerusakan ginjal dan
dapat dimodifikasi dengan terapi obat. Yang termasuk dalam kategori ini; diabetes
melitus, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, granulomatosis,
penyakit vaskular, dan nefropati virus human immuno deficiency (HIV).
Progression factors (faktor progresif) faktor yang mempercepat penurunan
fungsi ginjal setelah inisiasi kerusakan ginjal. Yang termasuk dalam kategori ini;
glikemia pada penderita diabetes, hipertensi, proteinuria, hiperlipidemia, obesitas,
dan merokok (Dipiro et al., 2015).
Gambar 2.4 Proporsi (%) etiologi pada CKD (Indonesian Renal Registry,
2017)
14
Saat ini penyebab CKD menjadi bagian yang menarik perhatian, sangat
penting mengetahui penyebab tejadinya CKD dalam pengobatan (Himmelfarb &
Ikizler, 2019). Penyebab yang paling umum adalah hipertensi, diabetes melitus
dan glomerulonefritis (Reilly Lukela et al., 2019).
2.4.4.1 Hipertensi
Hipertensi menjadi salah satu penyebab utama terjadinya CKD hal ini
disebabkan karena tingginya tekanan darah pada pembuluh darah ginjal. Tekanan
darah yang tidak terkontrol akan meningkatkan tekanan intraglomerular, yang
dapat menggangu filtrasi glomerulus. Hal ini berakibat pada kerusakan
glomerulus yang dapat mengakibatkan tingginya filtrasi protein sehingga adanya
ketidak normalan jumlah protein dalam urin atau biasa disebut proteinuria atau
mikroalbuminuria. Merupakan salah satu penanda adanya CKD. Hubungan antara
CKD dan hipertensi bersifat siklis sebab CKD dapat berkontribusi dalam
hipertensi, dan tingginya tekanan darah atau hipertensi dapat menyebabkan
penurunan fungsi ginjal akibat rusaknya pembuluh darah ginjal (Buffet &
Ricchetti, 2012).
2.4.4.2 Diabetes melitus
Diabetes melitus menjadi penyebab tertinggi nomor dua pada CKD,
transmembrane glucose transporters (GLUT) receptors atau reseptor transpor
glukosa tidak memfasilitasi transportasi glukosa intraseluler di ginjal sehingga
terjadinya hiperfiltrasi pada glomerulus yang menyebabkan terjadinya
peningkatan reabsorpsi glukosa pada tubulus proksimal. Diabetes menginduksi
perubahan struktural, termasuk penebalan membran dasar glomerulus, hilangnya
podosit dengan denuding membran basal glomerulus, dan peningkatan proliferasi
sel-sel mesangial. Hiperglikemi yang terus tidak terkontrol mengakibatkan produk
akhir glikosilasi seperi pengendapan protein yang menjadi alasan berkembangnya
proteinuria. Secara klinis ini akan berdampak pada penurunan GFR dan berakhir
dengan keadaan CKD (Himmelfarb & Ikizler, 2019).
2.4.4.3 Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan suatu terminologi umum yang
menggambarkan adanya inflamasi pada glomerulus, ditandai oleh proliferasi sel-
sel glomerulus akibat proses imunologi. Glomerulonefritis terbagi atas akut dan
15
kronis. Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal
tahap akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak maupun pada dewasa.
Sebagian besar glomerulonefritis bersifat kronis dengan penyebab yang tidak jelas
dan sebagian besar bersifat imunologis (Arsid et al., 2019).
Glomerulonefritis akut adalah suatu penyakit yang ditandai dengan gejala
yang mendadak dengan gejala demam, edema di sekitar mata, hipertensi dan
hematuria. Glomerulonefritis kronis merupakan prognosis yang lebih buruk
daripada glomerulonefrtis akut dan sering berakhir dengan penyakit ginjal. Gejala
dimulai dengan adanya pengendapan kompleks imun di dalam glomerulus.
Glomerulonefritis kronik dengan pemeriksaan menunjukkan adanya hematuria,
proteinuria, glukosuria sebagai akibat dari disfungsi tubulus dan beragam silinder.
Sindrom nefrotik ditandai dengan proteinuria masif yaitu lebih besar dari 3,5
g/hari, kadar albumin rendah, kadar lemak serum tinggi dan edema (Strasinger,
2016).
2.4.5 Patofisilogi CKD
Faktor yang mendasari jalur ini adalah kehilangan massa nefron,
hipertensi kapiler glomerulus dan proteinuria. Paparan terhadap faktor resiko
yang terus menerus akan menyebabkan kerugian pada massa nefron, akibatnya
terjadinya hipertrofi yang mengkompensasi hilangnya fungsi ginjal dan massa
nefron. hipertrofi dapat menyebabkan perkembangan hipertensi intraglomerular
yang dimediasi oleh terbentuknya angiotensin II. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor poten arteriol aferen dan eferen, tetapi lebih mempengaruhi
arteriol eferen, menyebabkan peningkatan tekanan dalam kapiler glomerulus dan
akibatnya peningkatan filtrasi. Tingginya tekanan intraglomerular dapat merusak
fungsi ukuran selektif dari penghalang permeabilitas glomerulus yang
menyebabkan peningkatan pada ekskresi albumin atau proteinuria. Peristiwa ini
pada akhirnya menyebabkan jaringan parut interstitium, hilangnya struktural dari
unit nefron secara progesif, dan pengurangan GFR (Dipiro et al., 2015).
Adanya peningkatan aktifitas Renin-angiotensin aldosteron turut serta
dalam terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas CKD. Beberapa kejadian
yang dianggap berpengaruh terhadap progesifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia. Pada stadium awal
16
penyakit ginjal kronik menunjukan nilai GFR yang masih normal atau meningkat
namun secara perlahan akan terjadi peningkatan urea dan kreatinin seum akibat
penurunan fungsi nefron yang progesif. Secara perlahan juga dapat menurunkan
GFR hingga dapat mengakibatkan komplikasi yang lebih serius dan pasien
memerlukan terapi pengganti ginjal sepeti dialisis atau transplantasi ginjal
(Sudoyo et al., 2014)
Gambar 2.5 Patogenesis CKD (Wong, 2013)
Pada dasarnya ketika setengah dari nefron total hilang, CKD berkembang
dengan cara yang sama tanpa memandang etiologi. Hiperfiltrasi yang terjadi di
glomerulus mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS) serta
meningkatkan permeabilitas membran. Peningkatan tekanan tersebut yang dapat
merusak endotel serta sawar filtrasi glomerulus dalam ginjal, dari proses tersebut
akan berlanjut pada terjadinya lolosnya protein dan senyawa makromolekul lainya
yang ditemukan dalam urin (proteinuria atau mikroalbuminuria). Aktifnya RAAS
17
dan tingginya serapan protein di tubulus menyebabkan peradangan dan fibrosis
glomerulus dan tubulus. Pada akhirnya menyebabkan penurunan GFR secara
progresif dan komplikasi sistemik terjadi (Wong, 2013).
RAAS memainkan peran penting dalam hipertensi terkait CKD. RAAS
mempunyai efek kuat pada kontrol tekanan darah dan pada organ target kerusakan
akibat hipertensi. Ia juga mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit efek
terkoordinasi pada jantung, pembuluh darah, dan ginjal. Aktivasi RAAS dapat
menyebabkan vasokonstriksi yang dimediasi oleh angiotensin II serta retensi
garam yang dimediasi aldosteron, sehingga meningkatkan kedua resistensi perifer
total dan volume darah. Angiotensin II juga dapat mempotensiasi reabsorpsi
natrium, meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis (SNS) dan RAAS dapat
mengganggu pertahanan tekanan perfusi intraglomerular dan GFR (Georgianos &
Sarafidis, 2016).
2.4.6 Diagnosa CKD
Secara umum diagnosa pada CKD membutuhkan adanya penurunan fungsi
ginjal selama 3 bulan atau lebih dan bukti kerusakan ginjal (misalnya
Albuminuria atau biopsi abnormal) atau GFR <60 mL / menit / 1,73 𝑚2
(Georgianos & Sarafidis, 2016) . Pemeriksaan laboratorium sangat membantu
dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi fungsi ginjal. Pada saat ini telah
dikembangkan beberapa pemeriksaan laboratorium yang bertujuan untuk menilai
fungsi ginjal. Pemeriksaan laboratorium tersebut antara lain:
Pemeriksaan Urinalisis : merupakan pemeriksaan awal pada gangguan
penyakit ginjal kronik dengan kerusakan metabolisme (Strasinger, 2016).
Warna : Kuning pucat - kuning
Kejernihan : jernih tidak terlihat partikulat, transparan
Berat Jenis : 1,015 - 1,030
pH : 4,5 – 8,0
Kadar Kreatinin :Kreatinin merupakan zat nonprotein nitrogen sebagai
hasil metabolisme kreatin otot, zat endogen yang difiltrasi bebas, tidak
mengalami reabsorbsi ditubulus ginjal, tetapi sejumlah kecil kreatinin
disekresi oleh sel tubulus ginjal. Kadarnya di plasma relatif konstan dan
klirensnya dapat diukur sebagai indikator laju filtrasi glomerulus.
18
Nilai kreatinin serum normal: 0,6 – 1,3 mg/dL.
Kreatinin serum > 1,5 mg/dL menunjukkan telah adanya gangguan fungsi
ginjal (Rahmawati, 2018).
Klirens Kreatinin :merupakanvolume plasma yang dibersihkan dalam
waktu tertentu. Klirens kreatinin dilaporkan dalam mL/menit, merupakan
penilaian fungsi ginjal berdasarkan laju filtrasi glomerulus
Laki-laki : 97 mL/menit – 137 mL/menit per 1,73m2
Perempuan : 88 mL/menit – 128 mL/menit per 1,73m2
eGFR : >60/mL/menit/1,73 m2 (Verdiansah, 2016).
BUN (Blood Urea Nitrogen) : suatu pemeriksaan kadar nitrogen ureum
darah atau BUN yang dilakukan dengan cara mengukur konsentrasi
nitrogen di dalam plasma darah untuk mendeteksi kelainan fungsi ginjal.
Pasien penyakit ginjal kronik mengalami peningkatan pada nilai BUN.
Nilai BUN normal pada orang dewasa : 10-20 mg/dL (Pagana et al.,
2015).
Pemeriksaan Cystatin C :Cystatin C adalah protein berat molekul rendah
yang diproduksi oleh sel-sel berinti. Cystatin C terdiri dari 120 asam
amino. Pengukuran cystatin C mempunyai kegunaan yang sama dengan
kreatinin serum dan klirens kreatinin untuk meme riksa fungsi ginjal.
Kebalikan dari klirens kreatinin kadar cystatin C dalam darah yang
meningkat akan menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. kadar
Cystatin–C darah normalnya = 0,37 – 1,33 mg/dl (Rahmawati, 2018)
Anion Gap :suatu pemeriksaan untuk mengukur jumlah kation dan anion
yang berguna dalam mempertahankan keseimbang ekstraseluler. Serum
anion gap (SAG) dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab asidosis
metabolik. Tinggi kadar anioin gap (>17 mEq/L [>17 mmol/L]) hadir
pada pasien penyakit ginjal kornik dengan stadium 4 atau 5 karena
akumulasi anion organik, fosfat. Serum anion gap dapat dihitung dengan
rumus :
SAG = [Na+] − [Cl−] − [HCO3)
Anoin gap normal adalah sekitar 9 mEq/L (9 mmol/L) dengan kisaran 3
hingga 11 mEq/L (3–11 mmol/L) (Dipiro et al., 2015). Menurut
19
Rahmawati, 2018 berikut nilai normal ion yang digunanakan dalam
perhitungan anion gap:
Kalium (K+ ) : 3,5 – 5 meq/L.
Natrium (Na+) : 136 – 146 meq/L.
Klorida (Cl-) : 95 – 107 mmol/L
Fosfat : 2,5 – 4,5 mg/dl.
Bikarbonat : 20 – 28 mmol/L
Kalsium (Ca) : 8,8 – 10,2 mg/dl.
2.4.7 Meninfestasi Klinik CKD
Ginjal yang rusak akan mempunyai dampak yang merugikan pada sistem
organ lainnya, terutama pada pengembangan ESRD. Pada pasien CKD stadium 1
dan 2 biasanya tidak terdapat gejala yang terkait (Dipiro et al., 2015). Pada CKD
stadium 2 dengan penurunan ringan pada rentang GFR 60-89 mL/ menit /1,73m2,
dengan tanda asimtomatik, kemungkinan hipertensi, pemeriksaan darah biasanya
dalam batas nomal. CKD pada stadium 3 dengan adanya penurunan GFR 30-59
mL/ menit /1,73 m2 yang disertai dengan hipertensi, kemungkinan anemia,
keletihan dan anoreksia, nyeri tulang, kenaikan ringan pada BUN dan serum
kreatinin. Pada CKD stadium 4 dengan penurunan berat pada GFR pada rentang
15-29 mL/menit/1,73 m2 disertai dengan hipertensi, anemia, malnutrisi, edema,
asidosis metabolik, peningkaan BUN dan serum kreatinin (Webster et al., 2017).
Pada kejadian ESRD dengan nilai GFR <15mL/ menit /1,73 m2 , adanya
kebutuhan terapi penggantian ginjal untuk keberlangsungan hidup dan sering
disertai dengan gagal ginjal dengan azotemia dan uremia nyata, anemia, asidosis
metabolik, osteodistrofi, neuropati dan disertai hipertensi, retensi cairan dan
kerentanan terhadap infeksi (Marriott et al., 2012).
2.4.8 Komplikasi pada CKD
2.4.8.1 Hiperkalemia
Ginjal memainkan peran yang dominan dalam homeostasis kalium,
Mekanisme homeostasis menjaga konsentrasi K+ plasma antara 3,5 dan 5,0
mEq/L. Pada pasien CKD, hiperkalemia adalah masalah yang serius pada
penyakit ginjal kronik. Terjadi penurunan ekskresi K+ yang menyebabkan asupan
K+ berlebihan. Asupan makanan serta obat-obatan yang dapat mempengaruhi
20
sumbu renin angiotensin aldosteron juga merupakan penyebab utama
hiperkalemia. Aldosterone memiliki jurusan mempengaruhi ekskresi kalium sebab
adanya transport K+ aldosteron yang dimediasi mengalami peningkatan sehingga
terjadi kelainan pada sistem renin-angiotensin aldosteron dapat menyebabkan
hipokalemia dan hiperkalemia. Dikatakan hiperkalemia jika kadar kalium plasma
5,5 mEq/L dan jika kadar kalium plasma > 6,0 mEq/L menandakan hiperkalemia
berat (Jameson & Loscalzo, 2013).
2.4.8.2 Hipernatremia
Hipernatremia merupakan suatu sindrom tonisitas plasma yang
menyebabkan perubahan rasio perturakan total natrium tubuh dengan total air
tubuh. Ginjal mengatur ekskresi air melalui mekanisme umpan balik dengan
hipotalamus, sehingga osmolalitas serum tetap relatif konstan. Osmolalitas
plasma sebagian besar ditentukan oleh konsentrasi natrium dan anion klorida
(Dipiro et al., 2015). Hipernatremia didefinisikan sebagai peningkatan plasma
Konsentrasi Na + hingga > 145 mEq/L. Hipernatremia biasanya merupakan hasil
dari gabungan air dan defisiensi elektrolit, dengan hilangnya H2O pada orang
memiliki kadar Na+ berlebih. Hipernatremia dapat terjadi setelah kehilangan air
karena asupan natrium ikut terekresi dalam urin sehingga kadar natrium dalam
darah tidak seimbang. Hal ini dapat menyebabkan hipertensi sebab natrium dapat
mempengaruhi tekanan darah (Jameson & Loscalzo, 2013).
2.4.8.3 Asidosis Metabolik
Salah satu fungsi ginjal adalah untuk mengatur pH darah melalui sekresi
ion hidrogen, reabsorpsi natrium dan bikarbonat, dan produksi amonia, yang
bertindak sebagai penyangga titrasi asam untuk menghilangkan ion hidrogen yang
diproduksi dalam proses metabolisme dan regenerasi bikarbonat. Pada CKD
terjadi penurunan fungsi ginjal sehingga mekanisme ini menjadi terganggu, dan
menyebabkan gangguan asidosis metabolik. Asidosis metabolik merupakan
gangguan yang umum terjadi pada CKD stadium lanjut. Keadaan gangguan
asidosis metabolik ini mungkin dalam dapat diatasi oleh penyangga dari tulang,
akan tetapi penyangga ini dapat meningkatkan dalam kerusakan skeletal dan
tulang pada kasus CKD (Porth, 2015). Faktor utama terjadinya asidosis metabolik
adalah penurunan ekskresi asam pada ginjal yang ditambah dengan pengurangan
21
produksi bikarbonat. Penurunan serum bikarbonat ada kaitannya dengan
penurunan pH darah (asidosis metabolik) sering terjadi namun tidak dapat
diabaikan dalam CKD (Raghavan & Eknoyan, 2014).
2.4.8.4 Anemia
Salah satu gangguan hematologi dalam kasus CKD adalah anemia, yang
merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh pengurangan produksi
erythropoietin juga kekurangan zat besi dan karnitin, vitamin B12, dan folat, serta
kehilangan darah. Pada penyakit ginjal kronik penggunaan erythropoietin dan zat
besi untuk mengembalikan kadar hemoglobin (Bomback, A. S. & Bakris, 2011).
Anemia telah mendapat perhatian pada CKD stadium 3 dan bahkan pada CKD
stadium 4 anemia hampir selalu hadir menyertai (Jameson & Loscalzo, 2013).
Menurut KDIGO dikatan anemia jika kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 13 g /
dL (130 g / L; 8.07 mmol / L) untuk pria dewasa dan kurang dari 12 g / dL (120 g
/ L; 7,45 mmol / L) untuk wanita dewasa (Dipiro et al., 2015).
2.4.8.5 Gangguan mineral dan tulang pada CKD
Pada awal penyakit ginjal kronis terjadi gangguan kalsium, fosfat, dan
vitamin D. hal ini disebabkan karena adanya gangguan dalam regulasi ginjal pada
kadar kalsium dan fosfat, aktivasi vitamin D, dan regulasi tingkat hormon
paratiroid. Pada CKD terjadi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan ekskresi
fofat terganggu sehingga kadar fostat dalam serum meningkat. Penurunan fungsi
ginjal juga menyebabkan calcitriol dalam bentuk aktif vitamin D dan juga kadar
serum kalsium menurun. Penurunan kadar serum kalsium, dapat merangsang
pelepasan parathyroid hormone (PTH). Meningkatnya PTH akan meningkatkan
resorpsi dan pelepasan mineral dari tulang (Jameson & Loscalzo, 2013).
2.4.8.6 Edema
Pada penyakit ginjal kronik adanya penumpukan cairan dalam tubuh
karena gangguan keseimbangan tekanan osmotik pembuluh darah. Perpindahan
cairan dari intravaskular menuju ekstravaskular yang memicu terjadinya udem.
Gangguan keseimbangan elektrolit seperti tingginya kadar natrium dan air akibat
terganggunya sistem ekskresi serta proteinuria menyebabkan tubuh mengalami
hipoalbumin menjadi alasan terganggunya tekanan osmotik tersebut (McPhee et
al., 2014). Pada kondisi tersebut diperlukan suatu agen osmotik yang dapat
22
mempengaruhi keseimbangan air dan juga mempunyai keterkaitan dengan
peningkatan ekskresi natrium yang secara bersamaan dapat mengakibatkan
hilangnya air dan pengurangan volume ekstraselular (Rosenfeld et al., 2014).
Agen osmotik yang dapat digunakan berupa golongan diuretik (Dipiro et al.,
2015).
2.4.8.7 Hipertensi
Hipertensi dapat berakibat pada kegagalan ginjal yang mana hipertensi
pada dasarnya merusak pembuluh darah, jika pembuluh darah yang berada dalam
ginjal mengalami tekanan darah yang tidak terkontrol maka pembuluh darah
tersebut akan tertekan dan dapat mengganggu fungsi ginjal. Ginjal mempunyai
Fungsi utama yaitu sebagai sistem penyaring untuk membuang kelebihan air dan
limbah di dalam darah. Fungsi penyaringan ini dijalankan oleh jutaan pembuluh
darah kecil di dalam ginjal. Tekanan darah yang tidak terkontrol dapat merusak
pembuluh darah dan nefron di dalam ginjal. Nefron yang rusak tidak akan dapat
melakukan tugasnya untuk menyaring limbah, natrium, serta kelebihan cairan
dalam darah. Kelebihan cairan dan natrium yang terdapat dalam aliran darah
memberikan tekanan ekstra pada dinding pembuluh darah, sehingga
meningkatkan tekanan darah (Dharma, 2014).
2.4.9 Tatalaksana terapi CKD
Tujuan dari penatalaksanaan terapi penyakit ginjal kronis adalah untuk
menunda perkembangan CKD, dengan demikian meminimalkan perkembangan
atau keparahan komplikasi terkait termasuk penyakit kardiovaskular. Penggunaan
terapi non farmakologis dan farmakologis diperlukan untuk memperlambat laju
perkembangan CKD dan juga dapat mengurangi kejadian dan prevalensi ESRD
(Dipiro et al., 2015). Penatalaksaan terapi penyakit ginjal kronik meliputi
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (penyakit penyerta),
memperlambat dan mencegah progesifitas fungsi ginjal yang memburuk,
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi yang terjadi, pencegahan dan terapi
penyakit kardiovaskular serta terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau
transplantasi ginjal pada kondsi ESRD (Sudoyo et al.,2014).
23
2.4.9.1 Terapi Farmakologis Pada CKD
Tabel II. 2 Terapi Komplikasi CKD (Martin & Talbert, 2013).
Komplikasi Farmakoterapi Keterangan
Edema pada CKD Hidroklorotiazid,
Spironolakton,
Furosemid
terapi farmakologis utama
untuk edema, dengan
meningkatkan ekskresi Na+
serta mengurangi cairan
yang terakumulasi di
jarigan.
Proteinuria pada CKD ACE Inhibitor,
ARB, diuretik Baik ACEI dan ARB dapat
mengurangi ekskresi protein
sebesar 35-40%.
Spironolakton
dikombinasikan dengan
ACEI atau ARB dapat
mengurangi proteinuria
lebih besar monitor serum
K+ apabila diberikan
kombinasi ini
Hiperlipidemia Statin Targetkan LDL <100 mg /
dL
Anemia ESA
(Erythropoietin-
stimulating agents)
dan zat besi
Pertimbangkan ESA jika
Hgb antara 9-10 g / dL,
maksimum Hgb = 11,5 g /
dL sesuai untuk kebanyakan
pasien
Pemberian zat besi oral atau
secara IV jika pasien
memiliki gangguan GIT
Asidosis
Metabolik Natrium
Bikarbonat
Tujuannya untuk
mempertahankan serum
HCO3 ≡ 24 mEq / L
Normal serum bikarbonat
22-28 mEq/L
Gangguan mineral dan
tulang pada CKD atau
CKD mineral and bone
disorder (CKD MBD)
Analog vitamin
D(Parikalsitrol),
Terapi pengikat
fosfat (Kalsium
karbonat,
lanthanum
kalkimimetik
Menekan kelenjar paratiroid
untuk menghasilkan sekresi
Hormon Paratiroid (PTH).
Sekresi PTH, serum Ca++
dan fosfat berada pada batas
normal.
Hiperkalemia Ca. gluconas ,
dekstrosa, insulin memberikan efek yang
terlihat dalam menurunkan
kadar 𝑘+ tetapi diperlukan
pemantauan efek samping
hipoglikemia
24
2.4.9.1.1 Hipertensi pada CKD
Hipertensi atau tekanan darah tinggi didefinisikan sebagai kenaikan
tekanan darah arteri yang meningkat secara persisten. Tekanan darah arteri
merupakan suatu tekanan di dinding arteri yang dapat diukur dalam milimeter
merkuri (mm Hg). Tekana darah arteri meliputi tekanan darah sistolik (SBP) dan
tekanan darah diastolik (DBP) (Dipiro et al., 2015). Hipertensi dapat disebut
sebagai “silent killer” (pembunuh diam-diam) sebab tidak menunjukan tanda
peringatan atau gejala yang jelas sebelum diagnosis. Tekanan darah arteri
dipertahankan pada nilai SBP dari 130 – 139 mmHg dan DBP dari 85 – 89
mmHg, sebab kenaikan tekanansistolik maupun diastolik akan mengkompensasi