9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Analisis Kerentanan Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Tetapi di sisi lain Negara kita juga dikenal dengan istilah supermarket bencana. Hal ini dikarenakan banyaknya potensi bencana yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang RI no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manuasia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, daPn dampak psikologis. Sedangkan resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat. Salah satu upaya untuk meminimalisasi resiko terjadinya suatu bencana adalah dengan melakukan suatu kajian resiko bencana yang dapat dilakukan berdasarkan rumus di bawah ini ( ) ln ( ) ( ) ( ) Hazard H xVu erability V R Risk Capacity C = 2.1.1 Bahaya (Hazard) Bahaya (Hazard) didefinisikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan lingkungan. Dengan kata lain suatu potensi bencana (bahaya) belum
24
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Analisis · PDF filezona bahaya yang merupakan dasar ... masyarakat memiliki kekayaan budaya lokal dalam memahami tanda-tanda ... dan leaflet kepada Pemerintah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Analisis Kerentanan Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan memiliki kekayaan alam yang
berlimpah. Tetapi di sisi lain Negara kita juga dikenal dengan istilah supermarket
bencana. Hal ini dikarenakan banyaknya potensi bencana yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang RI no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manuasia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, daPn dampak psikologis. Sedangkan resiko bencana adalah
potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun
waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya
rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan
masyarakat.
Salah satu upaya untuk meminimalisasi resiko terjadinya suatu bencana adalah
dengan melakukan suatu kajian resiko bencana yang dapat dilakukan berdasarkan
rumus di bawah ini
( ) ln ( )( )( )
Hazard H xVu erability VR RiskCapacity C
=
2.1.1 Bahaya (Hazard)
Bahaya (Hazard) didefinisikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau
kerusakan lingkungan. Dengan kata lain suatu potensi bencana (bahaya) belum
10
menjadi bencana bila tidak mendatangkan dampak negatif kepada masyarakat secara
luas.
Menurut Rustiady (2005), Penilaian bahaya (hazard assessment) diperlukan untuk
mengenali dan memahami bahaya. Cara efekif penilaian bahaya adalah dengan
melakukan pemetaan bahaya yang ditujukan untuk mengetahui jenis, sifat, keluasan
daerah pengaruh, waktu dan durasi dampak yang ditimbulkan, menghasilkan zona-
zona bahaya yang merupakan dasar bagi kegiatan mitigasi bencana.
2.1.2 Kerentanan (Vulnerability)
Kerentanan (vulnerability) merupakan kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi pada suatu wilayah untuk
jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai
kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu
(UU no 24 tahun 2007).
Guna mengetahui kondisi kerentanan maka diperlukan penilaian kerentanan
(vulnerability assessment) terhadap jenis dan tingkat kerentanan berbagai aspek,
yang akan memberikan informasi mengenai aspek mana yang paling rentan apabila
suatu ancaman bahaya alam terjadi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
menjabarkan bahwa kerentanan terhadap bencana dapat ditijau dari berbagai aspek
yang meliputi:
1. Letak wilayah,
2. Kepadatan penduduk di daerah potensi bencana,
3. Jalur evakuasi, dan
4. Jumlah fasilitas kritis
2.1.3 Ketahanan (Capacity)
Ketahanan atau kemampuan dalam menghadapi bencana (capacity) merupakan
gabungan semua sumberdaya, cara dan kekuatan yang tersedia di masyarakat
sehingga masyarakat memiliki daya tangkal dan daya tahan untuk mengurangi
11
tingkat dampak atau akibat dari bencana. Dengan kata lain, kerentanan adalah
kebalikan dari kapasitas. Jika masyarakat memiliki banyak kapasitas dalam
menanggulangi bencana, maka dampak bencana bisa dikurangi atau dihilangkan.
Demikian pula sebaliknya, jika kerentanan yang lebih banyak, maka resiko jatuhnya
korban atau kerusakan akan semakin besar. Kapasitas masyarakat dapat dilihat dari:
1. Tingkat kesadaran masyarakat tentang potensi bencana di daerahnya,
2. Kemampuan masyarakat meminimaisir kemungkinan timbulnya bencana,
dan
3. Ketahanan masyarakat baik secara moril dan meteril setelah terjadi
bencana (LIPI, 2007).
Saefudin Amsya (2009), menjelaskan bahwa kerentanan dan kapasitas terhadap
bencana dapat dilihat dari enam faktor utama yakni:
1. Sumber daya manusia. Ini meliputi sikap, motivasi, kebiasaan, kepandaian,
jenis kelamin, usia, kelengkapan anggota badan dan fungsi indra. Beberapa
masyarakat memiliki kekayaan budaya lokal dalam memahami tanda-tanda
datangnya ancaman,
2. Alam dan lingkungan. Akses dan kontrol terhadap bentang alam, tanah,
tumbuhan, binatang, air sebagai modal penghidupan. Suatu komunitas yang
terganggu sistem kehidupannya akibat bencana bisa bertahan jika ketahanan
pangan mereka baik, misalnya memiliki persediaan pangan yang cukup
sampai bantuan datang,
3. Fisik. Akses dan kontrol yang dimiliki suatu komunitas terhadap infrastruktur
(gedung, jalan, fasilitas umum dan jembatan). Terkadang ancaman atau
bencana yang dialami masyarakat tidak begitu besar, namun tidak
tersedianya infrastruktur yang memadai bisa menimbulkan dampak yang
lebih buruk,
4. Sosial. Akses dan kontrol masyarakat terhadap sistem sosial yang terjaga
dengan baik, meliputi sistem keluarga, organisasi, kelembagaan, jaringan
sosial. Jika bencana terjadi, sistem sosial yang baik bisa membantu
komunitas untuk segera bangkit dan memulai kembali kehidupannya,
12
5. Finansial. Akses dan kontrol komunitas terhadap keuangan, akses pinjaman
dan pekerjaan. Suatu komunitas yang terganggu sistem kehidupannya akibat
bencana masih bisa bertahan jika akses finansial terjaga dengan baik. Begitu
pula sebaliknya, dan
6. Po
Dalam
konflik kekerasan atau kerusuhan, penyebabnya adalah tidak meratanya atau
terbatasnya akses sebagian anggota masyarakat dalam menyalurkan aspirasi
politiknya. Demikian juga dalam masa paska bencana alam, partisipasi dan
keterlibatan aktif masyarakat bisa mempercepat proses pemulihan
2.2 Manajemen Bencana (Disaster Management)
2.2.1 Pengertian Manajemen Bencana
Secara umum, upaya penanggulangan bencana meliputi 2 hal yaitu pre-disaster dan
post-disaster. Seperti yang kita ketahui, upaya penanggulangan post disaster akan
membutuhkan alokasi dana dan sumber daya yang sangat besar. Upaya
penanggulangan ini akan semakin besar jika masyarakat dan negara tidak memiliki
manajemen pre-disaster yang baik (Wawan,2008). Salah satu contoh kejadian
bencana yang terjadi di Indonesia yang menimbulkan korban dan membutuhkan
alokasi dana dan sumberdaya yang besar adalah kejadian tsunami pada tahun 2004.
Agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang maka
dibutuhkan suatu manajemen bencana yang baik dalam upaya meminimalisasi resiko
yang mungkin terjadi.
Manajemen bencana (Disaster Management) merupakan seluruh kegiatan yang
meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan
sesudah terjadi bencana yang dilakukan melalui tahapan koordinasi Pra Bencana;
koordinasi pada saat terjadi bencana (tanggap darurat) dan koordinasi paska bencana
(Handayani, 2004). Secara keseluruhan, kegiatan manajemen bencana dapat dilihat
pada gambar 2.1 di bawah ini.
13
Tanggap Darurat
Rehabilitasi
Rekonstruksi
Pembangunan
Pencegahan
Mitigasi
Kesiapsiagaan
Kejadian Bencana
Manajemen
Resiko
Manajemen
Krisis
Gambar 2.1. Siklus Manajemen Bencana [KHAN, 2008]
Kondisi ideal dari manajemen bencana adalah dengan tidak memisahkan masing-
masing tahapan dari konsep pembangunan sebagaimana konsep manajemen bencana
yang dikenalkan oleh JICA (Japan International Cooperation Agency). Hal ini
dilakukan untuk mencapai pembangunan yang berorientasi pada mitigasi bencana.
2.2.2 Mitigasi Bencana
Proses mitigasi bencana merupakan tindakan-tindakan yang seharusnya diambil
sebelum terjadinya suatu bencana yang terkait dengan tindakan secara struktural dan
nonstruktural yang terintegrasi dengan menggunakan pengembangan yang
Gambar 2.8. Simulasi Elevasi dan Travel Time Tsunami yang terjadi tahun 1797 dan 1833 di Kecamatan Padang Barat
[Latief dalam Yusyahnonta, 2006]
Borero dan Sieh, 2006 telah membuat simulasi inundasi tsunami di pesisir barat
Sumatera. Simulasi ini dibuat dengan menggunakan 4 skenario besar dengan
memakai variasi slip, sifat dan episentrum gempa yang berbeda.
1. Skenario 1: mengalami slip 10 m dan rupture yang terjadi “extend to the
trench” seperti layaknya rupture pada gempabumi Aceh-Andaman
2. Skenario 2: mengalami slip 10 m dan rupture yang terjadi “not extend to the
trench” seperti layaknya rupture pada gempabumi Nias
3. Skenario 3: mengalami slip 20 m dan rupture yang terjadi “extend to the
trench” seperti layaknya rupture pada gempabumi Aceh-Andaman
4. Skenario 4: mengalami slip 20 m dan rupture yang terjadi “not extend to the
trench” seperti layaknya rupture pada gempabumi Nias
Keempat skenario ini mengalami gepabumi dengan Mw yang lebih besar dari
gempabumi yang terjadi pada tahun 1797 dan 1833. Skenario paling ekstrim adalah
skenario 3 dimana Mw = 9,3 SR.
Dari hasil simulasi diperoleh inundasi yang berbeda di daerah Padang dan Bengkulu.
Untuk skenario paling ekstrim, Kota Padang dilanda gelombang tsunami setinggi
25
5 m dengan jangkauan inundasi antara 1 – 2 km. Sedangkan di kota Bengkulu,
gelombang yang terjadi sekitar 8 m dan inundasi yang terjadi menjagkau 0,6 – 6 km.
Dari hasil simulasi Pusat Penelitian Kelautan, Yushaynonta 2006 mengklasifikasikan
tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap tsunami berdasarkan topografi atau
ketinggian elevasinya. Klasifikasi kelas ketinggian wilayah disusun menurut kriteria:
1. Elevasi yang dianggap sangat berbahaya adalah sampai ketinggian 2,5 m
dimana dengan ketinggian tsunami tertinggi yang lebih dari 5 meter titik ini
masih akan terendam sedalam 2,5 m.
2. Untuk kelas berbahaya antara 2,5 m – 5 m dianggap masih potensial untuk
terkena tsunami.
3. Kelas berikutnya adalah 5 – 9 m. Asumsi 9 m diambil dari sejarah terjadinya
tsunami pada tahun 1797 yang mencapai ketinggian 9 m.
4. Serta 9 – 25 m dianggap kurang berbahaya.
Berdasarkan kriteria di atas, maka kelas ketinggian tempat atau elevasi disusun
seperti tabel di bawah ini:
Tabel 2.3 kelas ketinggian wilayah [Yusyahnonta, 2006]
No Klasifikasi Bahaya Kelas ketinggian tempat 1. Sangat Berbahaya E < 2,5 m 2. Berbahaya 2,5 m ≤ E < 5 m 3. Cukup berbahaya 5 m ≤ E < 9 m 4. Kurang Berbahaya 9 m ≤ E < 25 m 5. Tidak Berbaaya E ≥ 25 m
2.4 Dampak Tsunami
Tinggi dan kecepatan tsunami yang besar menyebabkan gelombang ini mampu
menghantam daerah pesisir pantai yang diterjang menjadi luluh lantak. Salah satu
contohnya adalah kejadian tsunami Aceh yang merupakan gelombang tsunami yang
paling besar sepanjang sejarah. Gelombang tsunami tersebut mengakibatkan lebih
dari 200.000 orang tewas. Selain menelan korban jiwa, kerasnya hantaman tsunami
juga mampu merusak infrastuktur seperti jalan, jembatan, rumah/gedung dan
tambak. Total keseluruhan nilai kehancuran tersebut diperkirakan mencapai US$ 2,9
26
miliar. Hal ini tentu saja mengakibatkan matinya perekonomian, sosial dan
kehidupan di kota Banda Aceh. Selain itu juga tsunami dapat megakibatkan
terjadinya bencana lanjutan (collateral hazard) yang meliputi rendaman (run up),
angkutan sedimen, floating material dan kebakaran.
(a) (b)
(c)
Gambar 2.9 Akibat Tsunami di Thailand (a), Aceh (b) dan Pulau Okusiri (c) (Kogami, 2006
dan Takashi, 2005)
Sepanjang sejarah kejadian tsunami di dunia, kejadian bencana tersebut telah
melanda berbagai negara. Dari catatan yang diperoleh dari berbagai sumber,
dampak yang tercatat sebagian besar berupa jumlah korban jiwa dan ketinggian
tsunami saja. Rekaman kejadian tersebut dapat dilihat pada tabel 2.4 di bawah ini
27
Tabel 2.4 kejadian tsunami di dunia serta akibat yang ditimbulkannya
(dari bebagai sumber) No. Tahun Tempat Daerah terkena dampak Dampak
Lebih dari 200.000 orang meninggal duniaKetinggian gelombang tertinggi mencapai 35 meter3000 orang meninggal duniaketinggian tsunami mencapai 12 meter
3 1983 Jepang Jepang 104 orang meninggal dunia4 1976 Philiphine Philiphine 5000 orang meninggal dunia
122 orang meninggalketinggian tsunami lebih dari 6 meterKetinggian tsunami tertinggi 25 meterdiperkirakan sekitar 490 - 2.290 orang meninggal
7 1946 Pulau Aleutian Hawai dan Alaska 159 orang meninggal dunia8 1946 Tsunami Pasifik Hawai dan Alaska 165 orang meninggal
26000 orang meninggal duniaketinggian tsunami lebih dari 20 meterketinggian tsunami lebih dari 40 meter36000 orang meninggal dunia
11 1755 Lisbon-Portugal Lisbon-Portugal Lebih dari 91.600 orang tewas
Afrika, Bangladesh, India, Srilanka, Maldives,
Chili, Samudera Pasifik, Jepang
Pasifik, Pantai Barat Amerika, dan Amerika Utara
Nanggroe Aceh Darussalam
1 2004
Papua New Guinea2 Desa Arop dan Warapu1998
5 Alaska, Kolumbia, California1964 Alaska
6 Chili1960
9 1896 Jepang Jepang
Krakatau - Indonesia183310
2.5 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
AHP adalah prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk
kondisi evaluasi atribut-atribut kualitatif. Atribut-atribut tersebut secara matematik
dikuantitatif dalam satu set perbandingan berpasangan. Kelebihan AHP
dibandingkan dengan yang lainnya karena adanya struktur yang berhirarki, sebagai
konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-sub kriteria yang paling
mendetail. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi
berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan (Saaty
dalam Sudarsono, 2004).
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak
terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam
suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik
secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan
dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan
sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk
mempengaruhi hasil pada sistem tersebut
28
Secara garis besar, ada tiga tahapan AHP dalam penyusunan prioritas, yaitu :
1. Dekomposisi dari masalah
2. Penilaian untuk membandingkan elemen-elemen hasil dekomposisi
3. Sintesis dari prioritas
Jika diuraikan dalam bentuk langkah-langkah maka pada dasarnya langkah-langkah
dalam metode AHP meliputi :
1. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi.
Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu
kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki seperti
Gambar 2.10 di bawah ini :
Gambar 2.10 Struktur Hierarki AHP [Susila dan Munadi, 2007]
2. Penilaian kriteria dan alternatif
Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut
Saaty (dalam Sudarsono, 2004), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9
adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi
pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 2.5