10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Penjelasan mengenai konsep manajemen laba menggunakan pendekatan teori keagenan yang terkait dengan hubungan atau kontrak diantara para anggota perusahaan, terutama hubungan antara pemilik (principal) dengan manajemen (agent). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara satu orang atau lebih pemilik (principal) yang menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Michelson et al (1995) mendefinisikan keagenan sebagai suatu hubungan berdasarkan persetujuan antara dua pihak, dimana manajemen (agent) setuju untuk bertindak atas nama pihak lain yaitu pemilik (principal). Pemilik akan mendelegasikan tanggungjawab kepada manajemen, dan manajemen setuju untuk bertindak atas perintah atau wewenang yang diberikan pemilik. Principal dan agent diasumsikan sebagai pihak-pihak yang mempunyai rasio ekonomi dan dimotivasi oleh kepentingan pribadi sehingga, walau terdapat kontrak, agent tidak akan melakukan hal yang terbaik untuk kepentingan pemilik. Pemilik akan mendorong agent agar mau bekerja lebih keras dengan menggunakan bebagai intensif untuk
41
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2299/3/BAB II.pdf10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Penjelasan mengenai konsep manajemen laba
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Teori Keagenan
Penjelasan mengenai konsep manajemen laba menggunakan
pendekatan teori keagenan yang terkait dengan hubungan atau kontrak
diantara para anggota perusahaan, terutama hubungan antara pemilik
(principal) dengan manajemen (agent). Jensen dan Meckling (1976)
mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara satu
orang atau lebih pemilik (principal) yang menyewa orang lain (agent)
untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi
pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Michelson
et al (1995) mendefinisikan keagenan sebagai suatu hubungan berdasarkan
persetujuan antara dua pihak, dimana manajemen (agent) setuju untuk
bertindak atas nama pihak lain yaitu pemilik (principal). Pemilik akan
mendelegasikan tanggungjawab kepada manajemen, dan manajemen
setuju untuk bertindak atas perintah atau wewenang yang diberikan
pemilik.
Principal dan agent diasumsikan sebagai pihak-pihak yang
mempunyai rasio ekonomi dan dimotivasi oleh kepentingan pribadi
sehingga, walau terdapat kontrak, agent tidak akan melakukan hal yang
terbaik untuk kepentingan pemilik. Pemilik akan mendorong agent agar
mau bekerja lebih keras dengan menggunakan bebagai intensif untuk
11
memkasimalkan nilai perusahaan. Alasannya, kesejahteraan pemilik akan
meningkat seiring dengan peningkatan nilai perusahaan itu. Sedangkan,
manajer akan berperilaku oportunis karena menguasai informasi keuangan
perusahaan. Artinya, perilaku oportunis seorang manajer
mengimplikasikan upaya manajer dalam metransfer kemaksmukan pemilik
perusahaan kepada dirinya. Hal ini sejalan dengan teori agensi yang
menyatakan bahwa pemisahan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan
akan mendorong setiap pihak berusaha memaksimalkan kesejahteraan
masing-masing.
Informasi dalam teori agensi digunakan untuk pengambilan
keputusan oleh prinsipal dan agen, serta untuk mengevaluasi dan membagi
hasil sesuai kontrak kerja yang telah disetujui. Hal ini dapat memotivasi
agen untuk berusaha seoptimal mungkin dan menyajikan laporan akuntansi
sesuai dengan harapan prinsipal sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan prinsipal kepada agen (Faozi, 2002).
Dalam hubungan antara agen dan prinsipal, akan timbul masalah
jika terdapat informasi yang asimetri (information asymetry). Scott (1997)
menyatakan apabila beberapa pihak yang terkait dalam transaksi bisnis
lebih memiliki informasi daripada pihak lainnya, maka kondisi tersebut
dikatakan sebagai asimetri informasi. Asimetri informasi dapat berupa
informasi yang terdistribusi dengan tidak merata diantara agen dan
prinsipal, serta tidak mungkinnya prinsipal untuk mengamati secara
langsung usaha yang dilakukan oleh agen. Hal ini menyebabkan agen
12
cenderung melakukan perilaku yang tidak semestinya (disfunctional
behaviour). Salah satu disfunctional behaviour yang dilakukan agen
adalah pemanipulasian data dalam laporan keuangan agar sesuai dengan
harapan prinsipal meskipun laporan tersebut tidak menggambarkan kondisi
perusahaan yang sebenarnya.
2.1.2. Manajemen Laba
2.1.2.1. Definisi manajemen laba
Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat
mengurangi kredibilitas laporan keuangan, dan menambah bias dalam
laporan keuangan serta mengganggu pemakai laporan keuangan yang
mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa
rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000 dalam Achmad, et al., 2007). Assih
(2000) mengemukakan bahwa manajemen laba merupakan proses yang
dilakukan manajer dalam batasan general accepted accounting principles,
yang sengaja mengarah pada suatu tingkatan yang diinginkan atas laba
yang dilaporkan. Manajemen laba dapat muncul ketika manajer lebih
menggunakan keputusan tertentu dalam pellaporan keuangan dan
mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan untuk
menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang
diperoleh perusahaan atau untuk memperngaruhi hasil kontrak yang
menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu (Healy &
Wahlen, 1998 dalam Sri Sulistytanto, 2008). Sedangkan menurut Scott
13
(2000),manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi untuk
mencapai tujuan khusus.
Schipper (1989) dalam Sri Sulistyanto (2008:49) mendefinisikan
manajemen laba sebagai campur tangan dalam proses pelaporan keuangan
eksternal, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi (pihak
yang tidak setuju mengatakan baahwa hal ini hanyalah upaya untuk
memfasilitasi operasi yang tidak memihak dari sebuah proses).
Stockholder akan diuntungkan jika manajemen laba digunakan untuk
memberi sinyal mengenai informasi privat yang dimiliki manajer (Healy &
Palepu, 1993) serta jika digunakan untuk mengurangi biaya politik
(political cost) (Watts & Zimmerman, 1986). Tetapi stockholder akan
dirugikan jika manajemen laba digunakan untuk menghasilkan keuntungan
pribadi bagi manajer, seperti untuk menaikkan kompensasi (Healy,1985)
dan mengurangi kemungkinan pemecatan ketika kinerja manajer yang
bersangkutan rendah (Weisbach, 1988). Sedang menurut Sri Sulistyanto
(2008:22) manajemen laba adalah upaya untuk mempermainkan informasi
dalam laporan keuangan dengan menyembunyikan, menunda
pengungkapan, dan mengubah informasi.
2.1.2.2. Motivasi manajemen laba
Hepworth (1953) menyatakan bahwa motivasi manajemen
melakukan praktik manajemen laba adalah ingin memperoleh keuntungan
ekonomis dan psikologis, yaitu untuk mengurangi pajak terutang dan
meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan. Kepercayaan
14
diri manajer dapat meningkat karena penghasilan yang stabil dapat
mendukung kebijakan deviden yang juga stabil. Selain itu, manajemen
laba dapat meningkatkan hubungan antara manajer dengan karyawan
karena pelaporan laba yang meningkat dapat meningkatkan kemungkinan
kenaikan gaji dan upah.
Healy dan Wahlen (1998) membagi motivasi yang mendasari
manajemen laba dalam tiga kelompok. Pertama, motivasi dari pasar modal
yang ditunjukkan dengan return saham. Kedua, motivasi kontrak yang
dapat berupa kontrak hutang maupun kontrak kompensasi manajemen.
Ketiga, motivasi regulatory berupa motivasi untuk menghindari biaya
politik.
Scott (1997) menyatakan terdapat beberapa faktor yang mendorong
manajer melakukan manajemen laba.
1. Rencana bonus (bonus scheme). Manajer yang bekerja berdasarkan
kontrak bonus akan mengatur laba yang dilaporkan agar bonus yang
diterima maksimal serta dapat memperoleh bonus yang diinginkan di
masa yang akan datang.
2. Kontrak hutang (debt covenant). Perusahaan akan menaikkan laba
agar rasio debt to equity berada pada posisi yang diinginkan.
3. Motivasi politik (political motivation). Perusahaan-perusahaan selama
periode kemakmuran tinggi cenderung melakukan manajemen laba
dengan menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya, agar dapat
memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.
15
4. Motivasi pajak (taxation motivation). Perusahaan lebih memilih
metode akuntansi yang dapat menghasilkan laba dilaporkan lebih
rendah, sehingga pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah juga
menjadi lebih rendah.
5. Perubahan Chief Executive Officer (CEO). CEO yang mendekati akhir
jabatannya cenderung melakukan income maximization untuk
meningkatkan bonus mereka.
6. Penawaran saham perdana (IPO). Perusahaan yang akan melakukan
IPO cenderung melakukan income increasing untuk menarik calon
investor.
2.1.2.3. Pola manajemen laba
Menurut Sri Sulistyanto(2008:177) manajemen terbagi ke dalam 3
pola, berupa peningkatan laba, penurunan laba dan perataan laba.
a. Income increasing (peningkatan laba) : upaya perusahaan mengatur
agar laba periode berjalan menjadi lebih tinggi daripada laba
sesungguhnya. Upaya ini dilakukan untuk mempermainkan
pendapatan periode berjalan menjadi lebih tinggi daripada pendapatan
sesungguhnya dan atau biaya periode berjalan menjadi lebih rendah
dari biaya sesungguhnya.
b. Income decreasing (penurunan laba) : upaya perusahaan mengatur
agar laba periode berjalan menjadi lebih rendah daripadz laba
sesungguhnya. Upaya ini dilakukan dengan mempermainkan
pendapatan periode berjalan menjadi lebih rendah daripada
16
pendapatan sesungguhnya dan atau biaya periode berjalan menjadi
lebih tinggi dari biaya sesungguhnya.
c. Income smoothing (perataan laba) : upaya perusahaan mengatur agar
labanya relatif sama selama beberapa periode. Upaya ini dilakukan
dengan mempermainkan pendapatan dan biaya periode berjalan
menjadi lebih tinggi atau lebih rendah daripada pendapatan atau biaya
yang sesungguhnya.
Bagaimana pola rekayasa yang digunakan sangat tergantung pada
apa yang ingin dicapai oleeh manajer bersangkutan. Manajer bisa
merekayasa labanya menjadi lebih tingi atau lebih rendah daripada
sebelumnya tergantung motivasi apa yang mendasarinya. Demikian juga
apabila manajer merekayasa laba agar cenderung selalu sama selama
beberapa periode sebelumnya.
2.1.2.4. Teknik manajemen laba
Scott (1997) mengemukakan bahwa manajemen laba dapat berupa :
1. Taking a bath : Manajemen melakukan metode taking a bath dengan
mengakui biaya-biaya dan kerugian periode yang akan datang pada
periode berjalan ketika pada periode berjalan terjadi keadaan buruk
yang tidak menguntungkan.
2. Income minimization : Manajer melakukan praktik manajemen laba
berupa income minimization dengan mengakui secara lebih cepat
biaya-biaya, seperti biaya pemasaran, riset dan pengembangan, ketika
17
perusahaan memperoleh profit yang cukup besar dengan tujuan untuk
mengurangi perhatian politis.
3. Income maximization : Merupakan upaya manajemen untuk
memaksimalkan laba yang dilaporkan.
4. Income smoothing : Merupakan praktik manajemen laba yang
dilakukan dengan menaikkan atau menurunkan laba, dengan tujuan
untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan, sehingga
perusahaan tampak lebih stabil dan tidak beresiko.
2.1.3. Manajemen Akrual
Akrual secara teknis merupakan selisih laba dengan kas. Akrual
merupakan metode akuntansi dimana penerimaan dan pengeluaran diakui
atau dicatat ketika transaksi terjadi, bukan ketika uang kas untuk transaksi
-transaksi tersebut diterima atau dibayarkan. Menurut Harahap (2010: 22)
yang dimaksud dengan akrual adalah: “...penentuan pendapatan dan biaya
dari posisi harta dan kewajiban ditetapkan tanpa melihat apakah transaksi
kas telah dilakukan atau tidak”. Menurut Halim dan Kusufi (2012: 53):
“Akrual adalah suatu basis akuntansi dimana transaksi ekonomi atau
peristiwa lainnya diakui, dicatat, dan disajikan dalam laporan keuangan
pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa memperhatikan waktu kas
atau setara kas diterima atau dibayarkan.” Model akuntansi berbasis akrual
menggunakan komponen kas dan akrual dalam laporan keuangan.
Alasannya ada dua macam transaksi yang selama ini biasa dilakukan
perusahaan dalam proses usahanya, yaitu transaksi kas(tunai) maupun
18
nonkas(nontunai). Komponen kas merupakan komponen yang relatif sulit
untuk direkayasa, sebab komponen ini menunjukkan berapa jumlah kas
yang dirterima perusahaan dalam periode tertentu. Artinya, transaksi
komponen kas harus disertai dengan bukti berupa uang atau setara uang
yang secara fisik ada. Sebaliknya, transaksi akrual merupakan transaksi
yang tidak harus dsertai dengan uang atau sejenisnya.
Manajemen laba berbasis akrual dilakukan karena adanya
keleluasaan kebijakan dari manajemen dalam menentukan suatu praktik
akuntansi. Menurut Sulistyanto (2008) praktik akrual dilakukan dengan
mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan,
sebab akrual merupakan komponen yang mudah untuk dipermainkan
sesuai keinginan orang yang melakukan pencatatan dan penyusunan
laporan keuangan,
2.1.3.1. Discretionery Accruals
Praktik laba yang bersifat akrual atau biasa disebut manajemen laba
akrual dapat didentifikasi dengan mengeluarkan komponen kas dari model
akuntansi sehingga di dapat komponen akrual. Komponen akrual atau
dalam model penghitungannya disebut total akrual adalah selisih antara
laba dan arus kas berasal dari aktivitas operasi.
Sahabu (2009) total akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses
penyususnan laporan keuangan, disebut normal accruals atau non-
discretionary accruals, dan bagian akrual yang merupakan manipulasi data
19
akuntansi yang disebut dengan abnormal accruals atau discretionary
accruals. Sri Sulistyanto (2008:164) yang dimaksud dengan discretionary
accruals adalah komponen akrual hasil rekayasa manajerial dengan
memanfaatkan kebebasan dan keleluasaan dalam estimasi dan pemakaian
standar akuntansi. Disinilah kelemahan dari dasar akrual yang
menimbulkan peluang untuk menajer untuk melakukan praktik laba
dengan tujuan tertentu. Sedang yang dimaksud dengan non-discretionary
accruals adalah komponen akrual diperoleh secara alamiah dari dasar
pencatatan akrual dengan mengikuti standar akuntansi yang diterima
secara umum (Sri Sulistyanto ,2008:164).
Ada beberapa metode yang bisa dipakai manajer perusahaan untuk
merekayasa besar kecilnya discretionary accruals ini sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapainya, misalkan kebebasan menentukan estimasi dan
memilih metode depresiasi aktiva tetap, menentukan estimasi prosentase
jumlah piutang tak tertagih, atau memilih metode penentuan jumlah
persediaan.
2.1.4. Manipulasi aktivitas riil
Manipulasi aktivitas riil ini merupakan teknik manipulasi laba yang
dilakukan oleh manajemen melalui aktivitas perusahaan sehari-hari selama
periode akuntansi. Kegiatan manipulasi aktivitas riil dimulai dari kegiatan
praktek operasional normal, hal ini yang dimotivasi oleh manajer untuk
mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Manipulasi aktivitas riil
seringkali disebut sebagai manajemen laba riil. Manipulasi aktivitas riil
20
dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan manajemen yang
menyimpang dari praktek bisnis yang normal yang dilakukan dengan
tujuan utama untuk mencapai target laba (Cohen dan Zarowin, 2010).
Menurut Roychowdhury (2006) menyatakan bahwa campur tangan
manajer dalam proses pelaporan keuangan tidak hanya melalui metode-
metode atau estimasi-estimasi akuntansi saja tetapi juga dilakukan melalui
keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kegian operasional.
Pengeseran dari manajemen akrual ke manipulasi aktivitas riil ini
menurut Roychowdhury (2006) disebabkan karena:
1. Manipulasi akrual kemungkinan besar akan menarik perhatian auditor
atau regulatory scrutiny dibandingkan dengan keputusan-keputusan
riil, seperti yang dihubungkan dengan penetapan harga dan produksi.
2. Mengandalkan pada manipulasi akrual saja membawa resiko.
Realisasi akhir tahun yag defisit antara laba yang tidak dimanipulasi
dengan target laba yang diinginkan dapat melebihi jumlah yang
dimungkinkan untuk memanipulasi akrual setelah akhir periode
fiskal.jika laba dilaporka turun dari target hal ini menjadi lemah.
Dengan demikian melakukan praktek manipulasi melalui aktivitas
riil merupakan jalan aman dalam mencapai target laba. Graham et al.
(2005) memberikan bukti pendukung bahwa para manjer menyukai
manajemen laba riil dibanding manajemen laba akrual, karena aktivitas
manajemen laba riil sulit dibedakan dari keputusan bisnis optimal dan
21
lebih sulit diseleksi, meskipun biaya-biaya yang digunakan dalam aktivitas
tersebut secara ekonomik signifiksn bagi perusahaan.
Manajemen laba riil dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu:
1. Manipulasi penjualan. Manipulasi penjualan merupakan usaha untuk
meningkatkan penjualan secara temporer dalam periode tertentu
dengan menawarkan diskon harga produk secara berlebihan atau
memberikan persyaratan kredit yang lebih lunak. Strategi ini dapat
meningkatkan volume penjualan dan laba periode saat ini, dengan
mengasumsikan marginnya positif. Namun pemberian diskon harga
dan syarat kredit yang lebih lunak akan menurunkan aliran kas periode