BAB II TEORI PETA DAKWAH 2.1 Peta Dakwah Peta secara umum dapat diartikan sebagai gambaran mengenai letak laut, letak gunung dan sebagainya. Pengertian peta dapat dipahami sebagai berikut: a. Peta mempunyai pengertian Map dalam bahasa Inggris atau dapat diartikan sebagai gambar dari lingkungan, letak dan batas geografis suatu wilayah yang berbentuk grafis. b. Peta mempunyai pengertian sebagai gambaran mengenai kondisi sosial, ekonomi, politik dan agama dalam bentuk narasi atau uraian yang didukung oleh angka baik berbentuk tabel atau data statistik. 1 Menurut Kanwil Depag Prop. Jateng menjelaskan peta dakwah adalah suatu gambaran visual atau uraian yang mengandung berbagai keterangan, informasi, dan data yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menyusun suatu rencana kegiatan dakwah secara sistematis dan terinci tentang daerah atau batasan geografis. Rangkaian pelaporan ini merupakan produk dari manajemen dakwah. 2 Sedangkan menurut MUI, peta dakwah adalah informasi yang lengkap mengenai kondisi objektif unsur maupun komponen dari sistem dakwah baik raw input, konversi, out put, feedback, maupun environmental. 3 1 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 747 2 Kanwil Depag Prop. Jateng, op. cit 3 Sebagai perbandingan lihat keterangan Majelis Ulama Indonesia, Kerangka Acuan Penyusunan Peta Dakwah Nasional (Jakarta: Masjid Istiqlal Taman Wijayakusuma, 2004), hlm. 6,
21
Embed
BAB II TEORI PETA DAKWAH - UIN Walisongo Semaranglibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/29/jtptiain-gdl-s1... · dilakukan semakin profesional, terencana, gencar, aktual, tepat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TEORI PETA DAKWAH
2.1 Peta Dakwah
Peta secara umum dapat diartikan sebagai gambaran mengenai letak
laut, letak gunung dan sebagainya. Pengertian peta dapat dipahami
sebagai berikut:
a. Peta mempunyai pengertian Map dalam bahasa Inggris atau dapat
diartikan sebagai gambar dari lingkungan, letak dan batas geografis suatu
wilayah yang berbentuk grafis.
b. Peta mempunyai pengertian sebagai gambaran mengenai kondisi sosial,
ekonomi, politik dan agama dalam bentuk narasi atau uraian yang
didukung oleh angka baik berbentuk tabel atau data statistik.1
Menurut Kanwil Depag Prop. Jateng menjelaskan peta dakwah adalah
suatu gambaran visual atau uraian yang mengandung berbagai keterangan,
informasi, dan data yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menyusun
suatu rencana kegiatan dakwah secara sistematis dan terinci tentang daerah
atau batasan geografis. Rangkaian pelaporan ini merupakan produk dari
manajemen dakwah.2 Sedangkan menurut MUI, peta dakwah adalah informasi
yang lengkap mengenai kondisi objektif unsur maupun komponen dari sistem
dakwah baik raw input, konversi, out put, feedback, maupun environmental.3
1 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),
hlm. 747 2 Kanwil Depag Prop. Jateng, op. cit 3 Sebagai perbandingan lihat keterangan Majelis Ulama Indonesia, Kerangka Acuan
Penyusunan Peta Dakwah Nasional (Jakarta: Masjid Istiqlal Taman Wijayakusuma, 2004), hlm. 6,
Jadi peta dakwah merupakan deskripsi suatu daerah yang memuat potensi dari
berbagai sudut pandang, digambarkan dengan simbol-simbol tertentu sebagai
garapan manajemen dakwah dalam satu sistem dakwah demi tercapainya cita-
cita dakwah secara efisien dan efektif.
2.2 Dakwah Islamiyah
Islam adalah agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw., untuk
seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Islam tidak akan berkembang
apabila pengikut-pengikutnya tidak proaktif dalam usaha pengembangan
penyiaran Islam.
Dalam usaha pengembangan dan penyiaran Islam, begitu pula untuk
merealisasikan ajarannya ditengah-tengah kehidupan umat manusia adalah
merupakan usaha dakwah yang mapan, kontinyu, berkesinambungan, penuh
dengan pengorbanan dan perjuangan.4
Pada prinsipnya dakwah Islam telah dimulai sejak turunnya wahyu
pertama atau sejak Nabi Muhammad Saw., diangkat menjadi Rasul sampai
beliau wafat, melintasi berbagai zaman, dari periode Hulafar-rasidin, Bani
Ummayah, Bani Abbasiyah, Dinasti klasik dilanjutkan oleh generasi
Raw input merupakan informasi utama sebagai masukan yang meliputi unsur-unsur dakwah (Da’i, Mad’u, Materi, Metode, Dana). Konversi atau transformator yaitu pemprosesan yang berkaitan dengan sistem kelembagaan dan pelaksanaan manajerial dakwah. out put yaitu keluaran atau hasil aktifitas dakwah; akan diketahui pola dan prilaku keberagaman dalam masyarakat setempat. Feedback yaitu umpan bailk yang akan menentukan pengaruh positif atau negatifnya aktifitas dakwah setelah di konversi dengan menggunakan analisis SWOT (analisa tentang Strenght; kekuatan, Weakness; kelemahan, Opportunity; kesempatan dan Threat; ancaman). Unsur yang terakhir adalah environmental (lingkungan), yaitu kondisi masyarakat yang berinteraksi dengan aktifitas dakwah
penerusnya hingga sampai saat ini masih terus dan tidak akan berhenti.5
Aktifitas dakwah merupakan sebuah proses ihtiyar menyampaikan sekaligus
mengajak menuju risalah ajaran Islam secara terus-menerus dan
berkesinambungan sepanjang sejarah, untuk itu diperlukan pengelolaan yang
bijaksana, memakai argumentasi data dan informasi dengan penampilan
(kemasan) yang baik.
Pesan-pesan dakwah hendaknya dapat memberikan petunjuk dan
pedoman hidup yang menyejukkan hati.6 Pelaku dakwah harus memperhatikan
manajerial dan rambu-rambu yang dijadikan acuan untuk memurnikan ajaran
agama sesuai Al-Qur’an dan Hadist.
2.2.1 Pengertian Dakwah
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab; da’a - yad’u – da’watan yang
bermakna Seruan, ajakan, Panggilan, doa, undangan atau permintaan.7
Sedangkan dakwah ditinjau dari segi istilah ada beberapa pendapat,
diantaranya:
1. Menurut Masdar Helmy:
“Dakwah dalam Islam adalah mengajak dan menggerakkan manusia agar
mentaati ajaran-ajaran Allah (Islam), termasuk melaksanakan
5 Wahyu pertama tersebut adalah dalam Al Qur’an, Surat Al ‘alaq ayat 1-5 yaitu saat
Rasulullah Saw. Pergi ke gua hira’ untuk kesekian kalinya kemudian turunlah firman yang memerintahkan kepada Rasul untuk membaca “Iqra”, jika kita pahami sebenarnya ada perintah agung untuk segera mengambil sikap ketika keadaan lingkungan pada saat itu semakin kacau akan kejahiliyahan
7 Ahmad Warson Munawir, Al Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka progressif, 1997), hlm. 407
Waya’muruna bil-ma’ruf wa yanhawna ‘ani al- munkar, untuk bisa
memperoleh kebahagiaan dunia akherat”.8
2. Menurut Arifin:
“Dakwah adalah suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan,
tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana
dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun
secara kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian,
kesadaran, sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajakan agama
sebagai massage yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya
unsur-unsur paksaan”.
3. Menurut Muhammad Sulthon:
“Dakwah merupakan satu kesatuan yang terdiri dari aktivitas penyiaran
(tablig), penerapan (tatbiq) dan pengelolaan (tanzim).
Kesatuan aktivitas ini harus dirangkaikan karena dakwah tidak hanya
untuk muslim saja namun juga untuk non-muslim”.9
8 Masdar Helmy, Dakwah Dalam Alam Pembagunan (Semarang: CV. Thoha Putra,
1973), hlm. 31. Aktivitas Amar ma’ruf dan nahy munkar tidak dapat dipisahkan, karena keduanya akan saling berkaitan, amar ma’ruf tanpa nahy munkar akan menyulitkan pelaksanaan Amar ma’ruf. Amar ma’ruf dapat diartikan semua perbuatan kebaikan secara sadar yang mendorong dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan pelaku, sedangkan nahy munkar dapat diartikan segala macam perbuatan yang mengakibatkan berkurang atau menipisnya iman dan menggoyahkan ketaqwaan pelakunya, rangkaian kata ini memberikan arti untuk memerintahkan dan mengerjakan kebaikan serta mencegah perbuatan yang munkar. Menurut Awaludin pimay, Aktivitas Amar ma’ruf dan nahy munkar merupakan konsep untuk melakukan perilaku positif-konstruktif dan menjauhkan diri dari perilaku negatif-destruktif atau diartikan sebagai konsep yang berprinsip untuk memperjuangkan penegakan kebenaran Islam serta upaya mengaktualisasikan kebenaran Islam dalam kehidupan sosial guna menyelamatkan manusia dan lingkunganya dari kerusakan (al-fasad). Awaludin Pimay, Metodologi Dakwah Sebuah Pengantar (Semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, tt), hlm. 14
9 Lihat keterangan Muhammad Sulthon, Menjawab tantangan zaman Desain Ilmu Dakwah kajian Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis (Semarang: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Walisongo Press, 2003), hlm. 17. Tablig berasal dari kata ballaga-yubaligu-tablig yang berarti menyampaikan sesuatu, kemudian berkembang menjadi “menyampaikan sesuatu ajaran”
Jadi, pada dasarnya dakwah mengandung maksud kegiatan yang dapat
dilakukan baik secara perorangan atau kelompok dengan sasaran individu atau
kelompok agar terjadi perubahan kondisi kearah yang lebih baik dan mulia
dengan satu sistem perencanaan manajemen. Perubahan tersebut menyangkut
cara pikir, sikap hidup dan perilaku manusia secara individu, juga menyangkut
tata kehidupan masyarakat agar senantiasa diliputi kebahagiaan dan
kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian baik lahir maupun batin di dunia
dan di akherat.
2.2.2 Unsur-unsur dakwah
Islam adalah ajaran Allah yang sempurna dan diturunkan untuk
mengatur kehidupan individu dan masyarakat. Akan tetapi, kesempurnaan
ajaran Islam hanya merupakan ide dan angan-angan saja jika ajaran yang baik
itu tidak disampaikan kepada manusia. Lebih-lebih jika ajaran itu tidak
diamalkan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, dakwah merupakan
suatu aktifitas yang sangat penting dalam keseluruhan ajaran Islam. Dengan
aktifitas dakwah Islam dapat diketahui, dihayati dan diamalkan oleh manusia
dari generasi ke generasi berikutnya, dengan harapan untuk menciptakan
manusia yang memiliki kualitas aqidah, ibadah serta akhlak yang terpuji.
term ini bermakna menyampaikan kepada umat manusia semua amanat yang diperintahkan Allah Swt. untuk melaksanakan aktivitas dakwah. Tatbiq berasal dari kata tabbaqa-yutabbiqu-tatbiq berarti penerapan, atau akan lebih tepat jika kita bandingkan dengan kata Islah, yaitu usaha-usaha yang berupa penerapan perbaikan dan pembangunan masyarakat melalui memperbaiki kerusakan sistem, menlenyapkan kebathilan dan kemaksiatan. Sedangkan Tanzim berasal dari kata nazoma-yunazimu-tanzim berarti pengelolaan yang kemudian dapat difahami sebagai sistem pengorganisasian (baik sebagi proses atau wadah) suatu aktivitas, dalam proses pengelolan dakwah harus memliputi kegiatan Planinng; perencanaan, Organizing; pengorganisasian, Aktuating; pelaksanaan dan Controling; pengawasan.
Seperti yang dikemukakan oleh Aminuddin Sanwar, dakwah
merupakan suatu usaha dalam rangka proses Islamisasi manusia agar taat dan
tetap mentaati ajaran Islam guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan
di Akherat kelak.10 Kemajuan dan kemunduran umat Islam berkaitan erat
dengan kegiatan dakwah yang dilakukan. Apabila aktivitas dakwah yang
dilakukan semakin profesional, terencana, gencar, aktual, tepat dan kreatif,
maka tercapilah tujuan dari dakwah.
Moh. Ali Aziz dalam bukunya Ilmu Dakwah menyebutkan bahwa
Ketepatan dan keberhasilan dakwah akan dapat terwujud dengan baik apabila
komponen-komponen dakwah terpenuhi.11 Oleh karenanya, setiap
pelaksanaan aktivitas dakwah tentu saja melibatkan banyak unsur yang satu
dengan yang lain saling mendukung dan tak dapat terpisahkan.
Adapun unsur-unsur dakwah terdiri dari Da’i atau Subjek Dakwah
(SDM dakwah), Mad’u atau Objek Dakwah, Madatud da’wah atau Materi
Dakwah, Wasilat al-da’wah atau Media Dakwah dan Tariqat al-da’wah atau
Metode dakwah, adapun penjelasannya sebagai berikut:
2.2.2.1 Da’i atau Subjek Dakwah
Da’i adalah pelaksana daripada dakwah, baik secara perorangan atau
individu maupun secara kelompok yang terorganisir. Yakni setiap muslim
laki-laki dan wanita yang sudah berakal dan dewasa, baik ulama maupun
10 Aminuddin Sanwar, Pengantar Studi Ilmu Dakwah (Semarang: Walisongo Press,
1984), hlm. 3 11 Moh. Ali aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 75
bukan ulama, karena kewajiban berdakwah adalah kewajiban yang dibebankan
kepada mereka seluruhnya. 12
Setiap da’i dituntut untuk berkepribadian yang baik, kepribadian
tersebut baik besifat rohaniah maupun jasmaniah, diharapkan da’i telah
melaksanakan ajaran Islam yang ia miliki sebelum mereka memerintahkan
sesorang (mad’u) untuk melaksanakan ajaran agama. Menginagat da’i sebagai
agent of change dimana dia sebagai pelaku utama untuk mempengaruhi
perubahan sikap dari komunikasinya.13
Siapa saja yang menyatakan sebagai pengikut Nabi Muhammad
hendaknya menjadi da’i, dijalankan sesuai dengan usaha yang nyata dan
kokoh. Dengan demikian wajib baginya untuk mengetahui kandungan dakwah
baik dari sisi akidah, syari’ah maupun akhlak.14
Fathi yakan berpendapat bahwa dalam pelaksanaan aktifitas dakwah,
baik dalam rangka dakwah dan mengajak masyarakat bergabung ke dalam
aktifitas dakwah itu sendiri atau usaha rekrutmen da’i maka harus melakukan:
a) Pemahaman tentang agama yang baik.
b) Keteladanan yang baik.
c) Sabar dan Lemah lembut.
d) Tawadhu’ dan Murah senyum dan perkataan yang baik.
e) Pemurah serta Membantu orang lain.15
12 Sebagai perbandingan lihat keterangan Abdul Karim Zaidan, Dasar-dasar Ilmu
Dakwah jild III (Jakarta: Media Dakwah, 1984), hlm. 9 13 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah ( Jakarta: Gaya Media, 1986), hlm. 91 14 Ibid., hlm. 79 15 Fathi Yakan, Isti’ab; Meningkatkan kapasitas rekrutmen dakwah (Jakarta: Robbani
Press, 2005), hlm. 13-85
Da’i, baik sebagai profesi atau memang panggilan hati mempunyai
kedudukan terhormat, karena mereka mengemban tugas agama yang sangat
mulia dalam pandangan Allah. Seorang da’i bertugas meneruskan risalah
Rasul dengan menyeru kepada umat manusia agar selalu berbuat kebaikan dan
mencegah kemungkaran, mereka inilah orang-orang yang digolongkan ke
dalam kelompok Khairul ummah.16
Untuk mengetahui suatu pekerjaan termasuk profesi atau bukan, ada
beberapa standar yang dapat dijadikan indikatornya, yaitu: pertama, pekerjaan
memunyai fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan untuk mengabdi
kepada masyarakat. Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang
diperlukan dari pendidikan atau pelatian yang dapat dipertanggung jawabkan.
Ketiga, Profesi didukung oleh suatu disiplin Ilmu. Keempat, ada kode etik
yang menjadi pedoman perilaku anggotanya. Kelima, sebagai konsekwensi
dari layanan yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara
perorangan atau kelompok memperoleh imbalan finansial atau material.17
Mengenai subyek dakwah atau Da’i, Abdul Munir Mulkan yang
dikutip oleh Ahmad Hakim dalam penelitiannya tentang Peta Dakwah Kota
Semarang 2001 menyebutkan bahwa subjek dakwah dapat dibedakan dalam
tiga komponen yaitu Mubalig18 Perencana dan Pengelola dakwah.19 Ketiganya
16 Ibid., 17 Abdul Basit, op. cit., hlm. 57 18 Merupakan orang yang berhubungan langsung dalam pelaksanaan aktivitas dakwah,
misalnya dalam kegiatan ceramah; mubalig adalah penceramah yang bertatap muka langsung dengan penerima atau sasaran dakwah (mad’u), mubalig dikenal dengan beberapa istilah oleh masyarakat yaitu Kyai, Ustadz atau Ulama’.
19 Ahmad Hakim, dkk., Peta Dakwah Kota Semarang Tahun 2001 (Semarang: Walisongo Press, 2001), hlm. 16
dapat disebut sebagai da’i, perbedaanya adalah bidang tugas sesuai kecakapan
dan ilmu yang dimiliki oleh seorang sebagai subyek atau pelaku dakwah.
Namun demikian, dalam kenyataannya dilapangan tiga komponen tersebut
bisa saja ada pada diri seseorang. Semua komponen baik mubalig, perencana
dan pengelola dakwah harus saling bekerja sama demi kelancaran dan
tercapainya cita-cita dakwah.
Da’i harus mampu membimbing umat dengan kemampuan dan
penerapan sistem manajemen dakwah serta berbagai disiplin ilmu yang
menunjang untuk memahami realitas, memaksimalkan potensi sasaran dakwah
(mad’u), akhirnya mengembangkan kepribadian sasaran dakwah (mad’u).
2.2.2.2 Mad’u atau Objek Dakwah
Mad’u atau objek dakwah adalah orang yang menerima ajakan dari
da’i. Menurut Moh. Ali Aziz, objek dakwah disebut sebagai mitra dakwah
yakni seluruh umat manusia tanpa kecuali baik pria maupun wanita, beragama
maupun tidak beragama.20 Seluruh manusia adalah penerima dakwah, karena
pada hakekatnya agama Islam itu diturunkan dan berlaku secara universal
untuk semua umat manusia tanpa memandang warna kulit, asal-usul
keturunan, tempat tinggal, pekerjaan dan lain sebagainya.
Dengan demikian, maka dakwah Islam tidak tertuju kepada bangsa
tertentu, kepada strata tertentu atau kepada golongan tertentu saja.21 Objek
dakwah atau mad’u terdiri dari berbagai macam golongan manusia, oleh
20 Moh. Ali Aziz, op. cit., hlm. 90 21 Muhammad Sulthon, op. cit., hlm. 66
karena itu menggolongkan mad’u sama halnya dengan menggolongkan
manusia itu sendiri.
Menurut H. M. Arifin, Mad’u dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Dari segi sosiologis, mad’u dapat digolongkan; masyarakat terasing,
pedesaan, perkotaan, kota kecil, serta masyarakat didaerah marjinal dari
kota besar.
b) Dari segi struktur kelembagaan, mad’u dapat digolongkan; masyarakat
priayi, abangan dan santri.
c) Dari segi tingkatan usia, mad’u dapat digolongkan; tingkat usia Anak-
anak, remaja dan golongan orang tua.
d) Dari segi profesi, mad’u dapat digolongkan; masyarakat yang berprofesi
sebagai petani, pedangang, buruh, karyawan, PNS, ABRI, wiraswasta, dll.
e) Dari segi tingkatan sosial ekonomi, mad’u dapat digolongkan; kaya,
menengah dan miskin.
f) Dari segi jenis kelamin, mad’u dapat digolongkan; laki-laki dan wanita.
g) Dari segi masyarakat secara khusus, mad’u dapat digolongkan; tunasusila,
tunawisma, tunakarya, narapidana, dan lain-lain.22
Sedangkan Hamzah Ya’qub mad’u dapat diklasifikasikan menurut
kadar pemikirannya, yaitu:
a) Golongan masyarakat yang berpikir kritis, yaitu golongan orang yang
selalu berpikir mendalam sebelum menerima sesuatu yang dikemukakan
kepadanya.
22 H. M. Arifin, Psikologi Dakwah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 13-14
b) Golongan masyarakat yang mudah dipengaruhi, yaitu golongan orang
yang mudah dipengaruhi dan digoyahkan oleh paham yang baru
(suggestible) tanpa menimbang-nimbang secara mantap apa yang
dikemukakan kepadanya.
c) golongan masyarakat yang hanya taklid, yaitu golongan orang yang
fanatik, buta, berpegangan pada tradisi dan kebiasaan turun-menurun tanpa
menyelidiki terlebih dulu salah atau benar sumbernya.23
Pada umumnya mereka sebagai objek, namun karena dalam proses
dakwah diperlukan komunikasi yang timbal balik, interaksi sosial yang
melibatkan hubungan antara dua atau lebih akan saling mempengaruhi,
mengubah atau memperbaiki perilaku, sehingga pada posisi yang lain mereka
juga dapat pula menjadi subjek dakwah. Masalah objek dakwah ini
masyarakat harus benar-benar dipelajari oleh seorang da’i sebelum ia
melangkah dalam melakukan aktifitas dakwahnya agar dapat berhasil lancar
dan berkesinambungan.24
2.2.2.3 Madatud da’wah atau Materi Dakwah
Materi Dakwah adalah semua bahan atau mata pelajaran yang berisi
tentang pelajaran agama yang akan disampaikan oleh da’i kepada mad’u
dalam suatu aktifitas dakwah, agar dakwah mencapai tujuan yang telah dicita-
citakan.
23 Hamzah Ya’qub, Publistik Islam dan Teknik Dakwah (Jakarta: Diponegoro, 1998),
hlm. 33 24 Ahmad Hakim, op. cit., hlm. 19
Materi dakwah berisi ajakan dan ide gerakan untuk mengajak manusia
kepada jalan Allah, yaitu semua ajaran Islam itu sendiri.25 Tertuang di dalam
wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah yang perwujudannya terkandung
di dalam Al-Qur’an dan Hadist serta opini ulama.
Adapun ajaran Islam sebagai materi dakwah secara garis besar terdiri
dari berbagai bidang diantaranya:
a) Kepercayaan (Tauhid atau Aqidah), yaitu peraturan yang mengatur dan
menyangkut kepercayaan seperti terkandung dalam rukun iman.
b) Etika (Akhlak), yaitu peraturan yang mengatur perbuatan manusia
menyangkut perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan dan yang harus
ditinggalkan.
c) Ibadah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya secara baik dan benar.
d) Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan sesama manusia.26
Bila kita bandingkan dengan pendapat yang dikemukakan Asmuni
Syukir, dalam bukunya Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, bahwa materi-
materi dakwah terdiri dari 3 (tiga) aspek, yaitu masalah tentang ke-Islam-an
(Syari’ah), masalah tentang ke-iman-an (Aqidah) dan masalah budi pekerti
(akhlaq al-karimah).27
25 Moh. Ali Aziz, op cit., hlm. 94 26 Abdul Karim Zaidan, Dasar-dasar Ilmu Dakwah (Jakarta: Media Dakwah, 1980),
hlm. 65 27 Asmuni Syukir, op. cit., hlm. 61 - 62
Ketiga aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Masalah keimanan (Aqidah)
Dalam agama Islam, aqidah merupakan pondamen dan arah serta dasar
setiap muslim dalam berpijak. Sebagai materi dakwah, masalah aqidah
sering disebut dengan rukun iman.
Berkaitan dengan masalah aqidah adalah segi teoritis yang dituntut
pertama-tama dan dahulu dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan
tanpa keragu-raguan dan prasangka. Ia ditetapkan secara positif
berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadist, kemudian adanya konsesus kaum
muslimin yang tidak pernah berubah, bertolak sejak penyiaran Islam pada
masa Rasul sampai sekarang. Oleh karena itu masalah aqidah harus
ditanamkan pertama kali dalam aktifitas dakwah.
b) Masalah keislaman (Syari’ah)
Masalah Syari’ah berhubungan erat dengan amal lahiriyah (prilaku nyata),
dalam rangka mentaati peraturan mengenai ibadah dan muamalah
berkaitan dengan hubungan vertikal dan horisontal, artinya ada aturan
berkaitan masalah ibadah kepada Allah Swt., juga mengatur masalah
pergaulan sesama manusia.
Akhlak merupakan pendidikan jiwa agar bersih dari sifat tercela dan penuh
dengan hiasan sifat terpuji seperti rasa persaudaraan (ukhuwah), saling
menolong, sabar, tabah dan sifat-sifat terpuji lainnya. Ia merupakan buah
dari iman dan amal. Oleh karena itu pendidikan jiwa mempunyai arti yang
sangat penting, menggingat jiwa adalah sumber dari segala perilaku
manusia. Jika jiwa manusia baik, niscaya baiklah perilakunya dan jika
jiwanya buruk, niscaya buruk pulalah perilakunya.
c) Masalah budi pekerti (akhlaq al-karimah)
Masalah akhlak mendapat perhatian besar, sehingga Rasulullah
menyatakan bahwa ia tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak.
Diutusnya Nabi Muhammad Saw., juga dalam rangka menyempurnakan
agama para Nabi sebelumnya, karena Islam bersifat universal dan abadi.
Maksudnya, kehadiran Islam adalah untuk seluruh umat manusia dan alam
semesta (rahmatan lil ‘alamin) dan keberadaannya sampai akhir zaman.
Materi-materi dakwah tersebut pada dasarnya merupakan satu
rangkaian yang terencana, terkoordinir dan berkesinambungan. Oleh karena
itu materi-materi dakwah tersebut harus disampaikan kepada manusia baik
secara kelompok, individu, beragama Islam atau yang diluar agama Islam,
sehingga mereka dapat mengerti dan menerima ajaran Islam sebagai
agamanya.
Di sisi lain, dengan perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu
pengetahuan, maka materi dakwah perlu dimuati dasar kehidupan yang
senantiasa dilandasi faham keislaman.
2.2.2.4 Wasilat al-da’wah atau Media Dakwah
Istilah media berasal dari bahasa Inggris, yaitu “medium” artinya
perantara.28 Dengan demikian yang dimaksud media dakwah adalah alat
objektif yang menjadi saluran, dalam menghubungkan ide dengan umat.
28 John M. echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia,
1989), hlm. 377
Media dakwah merupakan suatu elemen yang vital sebagai urat nadi dalam
totalitet dakwah.29
Media dakwah bukan saja sebagi alat bantu, melainkan juga berperan
dan berkedudukan sama dengan komponen lain dalam unsur-unsur dakwah.
Mengingat bahwa dakwah adalah suatu proses yang sangat kompleks, dalam
arti mengikutsertakan seluruh aspek, baik mental spiritual maupun phisik
material. Sebab hakekat dakwah itu sendiri berorientasi pada mempengaruhi
manusia untuk melaksanakan apa yang menjadi pesan dari ajaran Islam.
Media yang digunakan sebagai perantara untuk melaksanakan kegiatan
dakwah diantaranya berupa;
a) Lisan (oral medium). Dapat berupa pengajian, kultum, khutbah, sarasehan,
orasi, dan lain-lain.
b) Tulisan. Dapat berupa majalah, surat kabar, buletin, pamflet, paper,
spanduk, buku dokumenter, buku bacaan, brosur, dam lain-lain.
c) Lukisan. Dapat berupa kaligrafi, karikatur dan lain-lain.
d) Audio visual. Dapat berupa radio, kaset, tape recorder, televisi, film,
pentas, wayang, teater, pantomim dan lain-lain.
e) Perbuatan. Dapat langsung lewat percontohan dari subjek dakwah kepada
objek dakwah.
f) Organisasi. Dapat berupa pelatihan, penataran dan pengakaderan SDM
dakwah dengan penerapan manajemen yang baik dan profesional.30
29 Dzikron Abdullah, Metodologi Dakwah (Semarang: Walisongo Press, 1989), hlm. 157 30 Abdul Kadir Munsyi, Metode Diskusi Dalam Dakwah (Surabaya: Al Ikhlas, 1981),
hlm. 41-42
Selain hal tersebut, Asmuni Syukir memberikan penjelasan bahwa
media dakwah meliputi beberapa unsur, yaitu:
a) Lembaga-lembaga pendidikan formal
b) Lingkungan keluarga
c) Organisasi-organisasi keislaman dan Media massa
d) Hari-hari besar dalam Islam dan Seni budaya.31
2.2.2.5 Tariqat al-da’wah atau Metode dakwah
Unsur dakwah yang selanjutnya adalah Metode dakwah. Dalam kamus
bahasa Indonesia, metode berarti “cara yang telah teratur dan terfikir baik-baik
dan untuk mencapai suatu maksud”.32
Metode dakwah berarti jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk
menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam).33 Pada umumnya metode
dakwah merujuk pada surah An-nahl ayat 125, yang artinya yaitu:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.34
Seperti yang telah disebutkan oleh Dzikron Abdullah dalam bukunya
Metodologi Dakwah,35 beliau berpendapat bahwa ayat tersebut menjelaskan
31 Asmuni Syukir, op. cit., hlm. 168-179 32 Poerwadarminta, op. cit., hlm. 649 33 Moh. Ali Aziz, op. cit., hlm. 123 34 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 282. kata “Ud’u” seruan, ajakan adalah fi’il
amar yaitu menyatakan perintah menurut kaidah ushul fiqh. Dan setiap perintah bersifat wajib, harus dilaksanakan sebagai konsekwensi telah mengucapkan dua kalimat syahadat.
35 Dzikron Abdullah, op. cit., hlm. 29
bahwa kita dapat mengklasifikasikan metode dakwah menjadi tiga yaitu Al-
Hikmah, Mau‘izat al-hasanah dan mujadalah
a) Al-hikmah, dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan
kebijaksanaan, yaitu penyampaian ajaran Islam untuk menyampaikan
orang kepada kebenaran dengan mempertimbangkan kemampuan dan
ketajaman rasional atau akal si penerima dakwah,36 atau dengan kata lain
pendekatan ini digunakan agar pihak sasaran dakwah (mad’u) mampu
melaksanakan apa yang didakwahkan atas kemauannya sendiri tanpa ada
paksaan terpaksa karena telah faham dengan apa yang disampaikan
melalui pembenaran akal fikiran mad’u. Awaludin Pimay berpendapat
bahwa metode Al-hikmah lebih luas dari sekedar ilmu pengetahuan, karena
didalamnya mengandung sikap jiwa positif yang menyebabkan orang
mampu berhadapan dengan semua lapisan dolongan yang ada dalam
masyarakat.37
b) Mau‘izat al-hasanah yaitu suatu metode dakwah dengan cara memberikan
penjelasan motivasi, ancaman, nasehat, peringatan dan dengan berita
gembira. Metode ini menggunakan dalil-dalil yang tepat serta memberikan
contoh teladan baik, menyentuh perasaan sehingga orang yang diseru
(mad’u) menjadi tenang menerima pelajaran. Lebih lanjut diterangkan oleh
Awaludin Pimay bahwa dakwah dengan metode Mau‘izat al-hasanah
harus dipahami oleh Subjek dakwah dengan cara memilih materi dakwah
yang indah dan menyejukkan bagi umat sesuai dengan kriteria atau
golongan objek dakwah.38
c) Mujadalah berasal dari kata Jidal yang pada asalnya berarti hujjah atau
argumentasi yaitu membenarkan pendapat dan menolak pendapat orang
yang menentangnya. Atau dengan kata lain dakwah dengan cara
menambah wawasan melalui bertukar pendapat (berdiskusi) atas
permasalahan yang ada, sehingga (mad’u atau objek dakwah) dapat
menerima dengan perasaan mantap dan puas.39
Selain yang tersebut diatas beliau juga menambahkan metode dakwah
dengan cara Propaganda, infiltrasi dan drama (Role playing method).40 Syekh
Muhammad Abduh menjelaskan bahwa pada dasarnya umat yang dihadapi
dalam masyarakat terbagi atas 3 (tiga) golongan yang masing-masing harus
dihadapi dengan cara-cara yang berbeda pula, yaitu:
a) Golongan cerdik cendikiawan, mereka ini harus dipanggil dengan Al-
hikmah, yaitu dengan alasan dalil atau hujjah yang dapat diterima oleh
akal mereka.
b) Golongan awam, mereka ini dipanggil dengan Mau‘izat al-hasanah, yaitu
yang mudah dipahami.
38 Ibid., hlm. 64 39 Moh. Ali Aziz, op. cit., hlm. 132. Metode Al-hikmah dapat laksanakan dengan
memperhatikan letak-letak penggunaanya artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya, metode mau‘izat al-hasanah dilakukan dengan perantaraan kasih sayang, kelemah-lembutan dalam menasehati sehingga meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, sedangkan metode Mujadalah berusaha menjelaskan konsep yang tepat sesuai kadar pikirannya dengan memperhatikan etika kesopanan.
40 Dzikron Abdullah, op. cit., hlm. 52
c) Golongan yang tinggi tingkat kecerdasannya.41 Diantara golongan
tersebut, mereka dipanggil dengan Mujadalah, yaitu dengan cara bertukar
pikiran dengan cara yang lebih baik. Metode ini sangat tepat digunakan
dalam kondisi Indonesia saat ini, ketika orang mempunyai kegiatan yang
cukup tinggi dan lebih ingin membutuhkan contoh. Dengan metode ini
orang akan leluasa mengeluarkan pendapatnya, hanya saja metode ini
dibutuhkan seorang da’i yang benar-benar siap dan menguasai materi
keagamaan.
Adapun penjabaran dari tiga dasar metode dakwah tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
a) Metode Ceramah, Metode Tanya jawab dan Metode Diskusi
b) MetodePercakapan antar pribadi
c) Metode Demontrasi
d) Metode Dakwah Rasul dan Silaturrahim serta dengan
e) Metode Pendidikan Agama42
Keberhasilan aktivitas dakwah salah satunya ditentukan oleh ketepatan
dalam aspek metode, hal ini menunjukkan bahwa kegagalan aktivitas dakwah
bisa jadi disebabkan oleh kegagalan dalam menerapkan metode yang tepat
dalam berdakwah. Dari berbagai metode yang tersebut diatas, masing-masing
mempunyai kelebihan dan kelemahan, sehingga didalam prakteknya antara
satu dengan lainnya saling melengkapi dan saling mendukung.