7 BAB II TELAAH TEORITIS 2.1 Keuangan Berbasis Perilaku Studi keuangan tradisional berasumsi bahwa investor berperilaku rasional dalam pengambilan keputusan, investor akan berusaha untuk memaksimalkan kekayaan mereka. Namun para psikolog telah menyadari sejak lama bahwa ini adalah asumsi yang keliru dimana individu sering bertindak dengan cara yang tampaknya tidak rasional dan membuat kesalahan dalam prediksi mereka (Nofsinger, 2005). Dalam hal ini keuangan konvensional mengesampingkan perilaku keuangan dari sudut pandang psikologi. Padahal psikologi adalah dasar dari keinginan dan motivasi manusia sekaligus sumber kesalahan (bias) akibat salah presepsi, kepercayaan diri berlebihan dan emosi yang mendorong seseorang menjadi tidak rasional (Sina, 2011). Dua prinsip yang mendasari kehadiran keuangan berbasis perilaku sebagaimana dikutip dari Supramono dkk (2010) adalah (1) Keterbatasan dari aksi arbitrase (limits to arbitrage) yang menghambat terjadinya pasar yang efisien dan (b) Psikologi kognitif (cognitive psychology) yang menyangkut bagaimana investor memproses informasi. 1. Limits to Arbitrage Dalam kondisi pasar efisien harga sekuritas yang terbentuk merupakan cerminan dari seluruh informasi yang ada atau “stock price reflect all available
14
Embed
BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
BAB II
TELAAH TEORITIS
2.1 Keuangan Berbasis Perilaku
Studi keuangan tradisional berasumsi bahwa investor
berperilaku rasional dalam pengambilan keputusan, investor
akan berusaha untuk memaksimalkan kekayaan mereka.
Namun para psikolog telah menyadari sejak lama bahwa ini
adalah asumsi yang keliru dimana individu sering bertindak
dengan cara yang tampaknya tidak rasional dan membuat
kesalahan dalam prediksi mereka (Nofsinger, 2005). Dalam
hal ini keuangan konvensional mengesampingkan perilaku
keuangan dari sudut pandang psikologi. Padahal psikologi
adalah dasar dari keinginan dan motivasi manusia sekaligus
sumber kesalahan (bias) akibat salah presepsi, kepercayaan
diri berlebihan dan emosi yang mendorong seseorang menjadi
tidak rasional (Sina, 2011).
Dua prinsip yang mendasari kehadiran keuangan berbasis
perilaku sebagaimana dikutip dari Supramono dkk (2010)
adalah (1) Keterbatasan dari aksi arbitrase (limits to arbitrage)
yang menghambat terjadinya pasar yang efisien dan (b)
Psikologi kognitif (cognitive psychology) yang menyangkut
bagaimana investor memproses informasi.
1. Limits to Arbitrage
Dalam kondisi pasar efisien harga sekuritas yang
terbentuk merupakan cerminan dari seluruh informasi
yang ada atau “stock price reflect all available
8
information”. Seluruh investor memiliki akses yang sama
terhadap informasi dan informasi terdistribusi secara
merata sehingga tidak ada imvestor yang mampu
mempengaruhi harga. Penyesuaian harga menuju level
keseimbangan akan terjadi dengan cepat dan hal ini
menyebabkan pelaku pasar tak dapat memperoleh
abnormal return. Dalam kenyataannya pasar tidak
efisien dan menuai banyak kritik penentangnya. Namun
para pendukung hipotesis pasar efisien tetap bertahan
dengan berlindung dibawah jargon “anomali”. Segala
sesuatu yang tidak sesuai atau tidak dapat dijelaskan
oleh hipotesis pasar efisien dikatakan sebagai anomali
seperti anomali efek january, efek perusahaan kecil, dan
lain-lain.
2. Psikologi Kognitif
Setiap pengambilan keputusan tak terlepas dari
kebutuhan akan informasi. Berdasarkan informasi yang
ada investor berharap dapat membuat keputusan yang
optimal. Namun pada kenyataannya informasi yang
dibutuhkan oleh investor sering tidak tersedia dengan
lengkap dan bahkan mungkin tidak akurat. Terlepas
dari kualitas informasi yang tersedia, keputusan
investor seringkali dipengaruhi oleh keyakinan (belief)
dan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi
kognitif investor sering membuat kesalahan sistematis
dalam memproses informasi atau dikenal dengan
9
kesalahan kognitif (cognitive bias) ketika membentuk
keyakinan dan preferensi.
2.2 Bias Perilaku (Behavioral Bias)
Self Attribution
Self attribution bias merupakan kecenderungan seseorang
untuk menganggap kesuksesan mereka merupakan bagian
dari aspek diri mereka seperti talenta atau peramalan,
sementara lebih sering menyalahkan kegagalan sebagai
pengaruh dari luar (Pompian, 2012). Penelitian
membuktikan bahwa jika seseorang berniat untuk sukses,
maka hasil yang sesuai dengan tujuan, dalam hal ini
sukses, akan dianggap sebagai hasil dari usaha manusia
untuk mencapai apa yang diinginkan. Seseorang akan
secara alami merasa lebih bangga ketika mengalami
kesuksesan daripada kegagalan, karena mereka lebih
menginginkan kesuksesan daripada kegagalan.
Barber dan Odan (2002) dalam penelitiannya menemukan
bahwa investor yang mempunyai pengalaman investasi
positif cenderung untuk melakukan online trading. Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa investor yang sukses
dalam melakukan investasi menjadi overconfidence melalui
self attribution bias dengan mengacu pada fenomena
psikologi yang mengaitkan kesuksesan dengan
kemampuan pribadi, bahkan ketika kenyataannya
kesuksesan tersebut disebabkan oleh faktor external.
Namun dalam penelitian (Uchida,2006) tidak ditemukan
10
bahwa online investor di Jepang lebih puas dengan return
masa lalu seperti yang terjadi di Amerika, sehingga online
investor di Jepang tidak mengalami self attribution bias.
Hal ini dikarenakan investor di Jepang lebih konservatif.
Overconfidence
Overconfidence diartikan sebagai penaksiran yang terlalu
tinggi (overestimate) dalam menilai suatu financial asset
(Odean (1998), Gervais and Odean (2001), Uchida (2006),