1 BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1. Definisi Budaya Organisasi Budaya organisasi telah banyak dipelajari dan oleh karena itu ada beberapa pengertian tentang apa sebenarnya budaya organisasi itu. Pengertian yang umum digunakan adalah pengertian budaya organisasi yang dibuat oleh Schein (1992) yang memahami budaya organisasi sebagai pola asumsi-asumsi dasar yang dibuat oleh sebuah kelompok berdasarkan pengalaman, yang kemudian membentuk nilai dan perilaku. Nilai dan perilaku ini tidak hanya mengendalikan perilaku antara anggota dalam organisasi di dalam organisasi namun juga mengendalikan interaksi dengan pihak di luar organisasi seperti supplier, pelanggan, dll (Jones, 2004). Karena budaya organisasi dibentuk oleh anggota organisasi berdasarkan pengalaman, maka budaya satu organisasi berbeda dengan budaya organisasi lain. Menurut Arnold (2005:625) budaya organisasi merupakan kombinasi norma, kepercayaan, prinsip dan perilaku yang menjadi karakter sebuah organisasi yang membedakan dengan organisasi lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah asumsi dasar, nilai, norma dan perilaku yang mengendalikan interaksi anggota organisasi dan membentuk karakter organisasi. Budaya bukan hanya membentuk perilaku anggota dan karakter organisasi, namun memiliki pengaruh yang lebih luas pada level kinerja organisasi. Menurut Smircich (1983) budaya memiliki pengaruh terhadap efektivitas organisasi. Selain efektivitas, menurut Gibson (2003) budaya organisasi dapat menciptakan stabilitas yang pada akhirnya berpengaruh pada menarik SDM yang berkualitas. Pengaruh budaya pada kinerja organisasi ini disebabkan karena anggota organisasi adalah unsur yang menjalankan organisasi, maka perilaku yang terbentuk dari budaya akan mempengaruhi cara kerja anggota sehingga mempengaruhi hasil kerja. Nilai dan norma dalam organisasi adalah dua hal yang kuat membentuk budaya organisasi. Menurut Gibson (2003) semakin anggota organisasi menganut nilai yang sama, semakin kuat budaya organisasi. Jones (2004) membedakan antara nilai dan norma dalam budaya. Menurutnya nilai organisasi adalah standar umum atau prinsip-prinsip yang menentukan perilaku, kejadian, situasi atau hasil mana yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, yang tertuang dalam norma, aturan, SOP, tujuan. Sedangkan norma adalah standar atau gaya berperilaku yang diterima oleh semua orang dalam sebuah kelompok, atau yang khas dari sekelompok orang. Lebih lanjut lagi menurut Jones nilai yang paling kuat bukanlah dalam bentuk
35
Embed
BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. Budaya Organisasi
2.1.1. Definisi Budaya Organisasi
Budaya organisasi telah banyak dipelajari dan oleh karena itu ada beberapa
pengertian tentang apa sebenarnya budaya organisasi itu. Pengertian yang umum
digunakan adalah pengertian budaya organisasi yang dibuat oleh Schein (1992) yang
memahami budaya organisasi sebagai pola asumsi-asumsi dasar yang dibuat oleh
sebuah kelompok berdasarkan pengalaman, yang kemudian membentuk nilai dan
perilaku. Nilai dan perilaku ini tidak hanya mengendalikan perilaku antara anggota
dalam organisasi di dalam organisasi namun juga mengendalikan interaksi dengan
pihak di luar organisasi seperti supplier, pelanggan, dll (Jones, 2004). Karena
budaya organisasi dibentuk oleh anggota organisasi berdasarkan pengalaman, maka
budaya satu organisasi berbeda dengan budaya organisasi lain. Menurut Arnold
(2005:625) budaya organisasi merupakan kombinasi norma, kepercayaan, prinsip
dan perilaku yang menjadi karakter sebuah organisasi yang membedakan dengan
organisasi lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi
adalah asumsi dasar, nilai, norma dan perilaku yang mengendalikan interaksi
anggota organisasi dan membentuk karakter organisasi.
Budaya bukan hanya membentuk perilaku anggota dan karakter organisasi,
namun memiliki pengaruh yang lebih luas pada level kinerja organisasi. Menurut
Smircich (1983) budaya memiliki pengaruh terhadap efektivitas organisasi. Selain
efektivitas, menurut Gibson (2003) budaya organisasi dapat menciptakan stabilitas
yang pada akhirnya berpengaruh pada menarik SDM yang berkualitas. Pengaruh
budaya pada kinerja organisasi ini disebabkan karena anggota organisasi adalah
unsur yang menjalankan organisasi, maka perilaku yang terbentuk dari budaya akan
mempengaruhi cara kerja anggota sehingga mempengaruhi hasil kerja.
Nilai dan norma dalam organisasi adalah dua hal yang kuat membentuk
budaya organisasi. Menurut Gibson (2003) semakin anggota organisasi menganut
nilai yang sama, semakin kuat budaya organisasi. Jones (2004) membedakan antara
nilai dan norma dalam budaya. Menurutnya nilai organisasi adalah standar umum
atau prinsip-prinsip yang menentukan perilaku, kejadian, situasi atau hasil mana
yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, yang tertuang dalam norma, aturan,
SOP, tujuan. Sedangkan norma adalah standar atau gaya berperilaku yang diterima
oleh semua orang dalam sebuah kelompok, atau yang khas dari sekelompok orang.
Lebih lanjut lagi menurut Jones nilai yang paling kuat bukanlah dalam bentuk
2
tertulis melainkan dalam norma, kepercayaan, asumsi, cara berpikir dan bertindak
yang dianut secara bersama-sama. Sama seperti Rokeach (1973), Jones juga
membedakan dua macam nilai yakni Nilai Terminal (Terminal Value) dan Nilai
Instrumental (Instrumental Value). Rokeach membedakan nilai dalam konteks nilai
pribadi misalnya cinta, kebahagiaan, dll, sedangkan Jones membedakan dalam
konteks organisasi. Menurut Jones (2004) nilai terminal adalah keadaan atau hasil
yang ingin dicapai misalnya keunggulan, profitabilitas, daya inovasi, dll. Sedangkan
nilai instrumental adalah pola perilaku yang diharapkan untuk ada dalam organisasi
misalnya bekerja keras, jujur, mengambil resiko, dll. Jika dilihat, nilai terminal dan
instrumental saling berhubungan dimana nilai terminal bisa mempengaruhi nilai
instrumental yang terbentuk dan sebaliknya nilai instrumental mendukung
tercapainya nilai terminal.
Sumber: Jones (2004)
Gambar 2.1 Nilai Akhir dan Nilai Instrumental dalam Budaya Organisasi
2.1.2. Pembentukan dan Penyebaran Budaya Organisasi
Menurut Jones (2004) budaya organisasi terbentuk karena interaksi empat
faktor yaitu karakter anggota organisasi, etika dalam organisasi, hak kepemilikan
(property right) dan struktur organisasi. Karakter anggota organisasi diawali dan
sangat dipengaruhi oleh nilai dan kepercayaan pendiri organisasi. Pendiri organisasi
kemudian merekrut anggota-anggota awal organisasi yang akhirnya terpengaruh
langsung dengan nilai dan kepercayaan pribadi pendiri. Kemudian seiring
Organizational Values
Terminal Values
Instrumental Values
Desired end states of
outcomes (e.g. high
quality; excellence)
Desired modes of
behaviour (e.g. being
helpful; working hard)
Specific norms, rules, SOPs (e.g.
being courteous to coworkers,
tidying up work areas)
3
bertambahnya anggota nilai inipun disalurkan ke anggota yang lain. Selain itu, nilai
juga terbentuk saat anggota organisasi berusaha beradaptasi dengan lingkungan luar
dan berusaha membentuk integrasi internal Schein (1985). Nilai-nilai inilah yang
membentuk perilaku anggota yang kemudian menjadi karakter organisasi. Faktor
yang kedua yakni etika dalam organisasi. Jones (2004) mengartikan etika organisasi
sebagai nilai moral, kepercayaan, dan aturan yang menentukan cara yang paling
tepat untuk anggota organisasi bersikap satu sama lain. Etika ini tidak hanya timbul
secara perlahan dan alami berdasarkan nilai yang dipegang bersama, namun
manajemen puncak juga bisa secara sengaja mengembangkan nilai budaya untuk
mengendalikan perilaku anggota organisasi. Faktor ketiga adalah hak kepemilikan
(property rights) yang merupakan hak yang diberikan organisasi terhadap
anggotanya untuk menerima dan menggunakan sumber daya organisasi (Jones,
2004). Pemberian hak ini berdampak pada nilai yang membentuk perilaku karyawan
dan memotivasi anggota organisasi (Jones, 1983). Semakin besar hak yang diberikan
semakin besar komitmen dan kesetiaan anggota terhadap organisasi. Faktor yang
terakhir adalah struktur organisasi yang merupakan sistem resmi tugas dan
hubungan otoritas yang dibuat organisasi untuk mengontrol aktivitas (Jones, 2004).
Keempat faktor ini secara bersama-sama membentuk budaya dalam organisasi.
Setelah budaya terbentuk, budaya kemudian disebarkan ke anggota
organisasi. Menurut Jones (2004) budaya disebarkan secara formal dan informal.
Salah satu penyebaran secara formal adalah melalui sosialisasi dimana anggota
mempelajari dan menginternalisasi nilai dan norma organisasi. Proses penyebaran
budaya yang bersifat informal adalah melalui kisah, perayaan dan bahasa.
Organisasi membuat perayaan untuk menyampaikan nilai dan norma organisasi.
Trica dan Beyer (1993) mengemukakan tiga tipe perayaan dalam organisasi. 1) Rites
of passage yang menandakan pada saat karyawan baru masuk, pada saat karyawan
dipromosikan dan pada saat karyawan berhenti bekerja. 2) Rites of integration
seperti misalnya pengumuman tentang kesuksesan yang diraih perusahaan, atau
kegiatan lain yang mempererat hubungan antar anggota misalnya pesta kantor. 3)
Rites of enhancement yakni pada saat organisasi mengadakan acara pemberian
penghargaan yang mengakui dan memberikan penghargaan terhadap kontribusi
karyawan. Kisah dalam organisasi juga bisa menjadi media menyebarkan budaya,
misalnya kisah tentang karyawan berprestasi mengindikasikan nilai dan norma yang
diharapkan organisasi. Sedangkan bahasa sebagai media lainnya dalam menyebar
budaya tidak hanya terbatas pada bahasa lisan tetapi bisa juga melalui cara
berpakaian dan desain kantor. Bahasa verbal sebagai media menyebar budaya
misalnya bahasa teknis yang digunakan dalam perusahaan yang bergerak dibidang
teknik. Semua proses ini menjadi sarana organisasi mengkomunikasikan nilai,
perilaku dan norma yang dipegang oleh organisasi dan dengan demikian diharapkan
oleh organisasi untuk dipegang dan dilakukan oleh anggotanya.
4
2.1.3. Mengelola Budaya Organisasi
Budaya organisasi bisa dikelola dengan memperhatikan empat faktor
pembentuknya (Jones, 2004). Budaya organisasi bisa diubah dengan mengubah
struktur organisasi, hak kepemilikan, atau dengan mengubah anggota organisasi
khususnya manajemen puncak. Meskipun budaya bisa diubah, Menurut Jones
(2004) norma dan nilai biasanya susah untuk berubah. Selain mengubah budaya
organisasi juga dapat mempertahankan budayanya agar tidak berubah apalagi
menurunkan efektivitas organisasi. Menurut Jones (2004) salah satu cara untuk
mempertahankan adalah manajemen puncak mendesain struktur organisasi yang bisa
mengontrol masalah yang terjadi ketika organisasi menjadi lebih besar dan
kompleks.
2.2. Budaya Engineering Centric
Budaya engineering centric berakar dari budaya engineering yang adalah
sebuah budaya pekerjaan (occupational culture). Budaya pekerjaan adalah budaya
yang terbentuk oleh sekelompok orang yang memiliki identitas profesi atau
pekerjaan yang sama, misalnya engineer (Van Maanen dan Barley, 1984). Nilai
budaya engineering sendiri sudah tertanam pada para engineer sebelum mereka
masuk dalam lingkungan kerja profesional, yakni pada saat mereka menjalani
pendidikan untuk menjadi engineer. Selama masa pendidikan mereka didoktrin
tentang bagaimana cara bekerja dan berpikir sebagai seorang engineer (Bucciarelli
dan Kuhn 1997). Dalam bukunya Four cultures of education: expert, engineer,
prophet, communicator, Walter Leirman menggambarkan budaya engineering dalam
pendidikan sebagai berikut:
In the engineering culture the mission of education is to seek to
produce an efficient society with skilled citizens capable of managing
the practical needs of society – Sparta rather than Athens. Learning-
by-doing in the site of knowledge application is highly valued.
Engineering education cultures are characterised by clear economic
and societal objectives, medium and long-term development plans,
well-resourced training strategies, reviews and evaluations. The
educator’s role is largely as a manager of education systems that
encourage practical application and problem solving. The learner is
encouraged to be autonomous, goal-oriented and actively involved in
the learning process. The engineering culture is characterised by
detailed planning and is generally pedagogically innovative.
Leirman (1994) menggambarkan budaya pendidikan engineering sangat
menghargai proses belajar dengan melakukan (learning-by-doing), memiliki
perencanaan yang rinci dan inovatif secara pedagogis, peserta didik dalam budaya
5
pendidikan ini didorong untuk bisa mandiri, berorientasi pada hasil, terlibat aktif
dalam proses belajar dan melakukan problem solving. Setelah menjalani pendidikan
dan kemudian masuk dalam dunia pekerjaan profesional sebagai engineer, nilai-nilai
budaya ini terbawa dan membentuk perilaku-perilaku khas engineer. Ketika
engineering bertemu, berinteraksi dan bekerjasama dengan sesama rekan engineer
dalam lingkungan kerja, nilai dan perilaku engineering ini semakin kuat dan
membentuk budaya pekerjaan (occupational culture).
Pilotte (2013) melakukan penelitian dengan melibatkan sekitar 300 engineer
untuk mempelajari budaya engineering dari sisi praktik atau perilaku menggunakan
Enam Dimensi Budaya yang dirumuskan oleh Hofstede yakni Proses versus Hasil
(PVR), Berorientasi pada Karyawan versus pada pekerjaan (EVJ), Berorientasi
Parokial (organisasi) versus Profesional (PVP), Terbuka versus Tertutup (OVC),
Terkontrol secara Longgar versus Ketat (LVT), dan Normatif versus Pragmatis
(NVP). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik atau perilaku dalam budaya
engineering adalah 1) lebih banyak berorientasi pada hasil daripada proses, 2)
sedikit lebih banyak berorientasi pada karyawan daripada pekerjaan, 3) sedikit lebih
profesional daripada parokial, 4) lebih terbuka daripada tertutup, 5) agak lebih
terkontrol ketat daripada longgar, dan 6) hampir seimbang sempurna antara normatif
dan pragmatis. Lebih banyak berorientasi pada hasil berarti budaya engineering
lebih berorientasi pada goal, lebih mengambil resiko, pekerjaan yang berubah-ubah,
dan input pribadi yang tinggi. Sedikit lebih banyak berorientasi pada karyawan
daripada pekerjaan berarti sedikit lebih peduli pada karyawan melampaui batasan
pekerjaan, berarti karyawan bukan hanya sekedar sumber daya perusahaan saja.
Sedikit lebih profesional daripada parokial berarti kehidupan pribadi dan kehidupan
bisnis terpisah, kompetensi tugas itu penting, orientasi pribadi jangka panjang. Lebih
terbuka daripada tertutup berarti terbuka pada pendatang atau anggota baru,
siapapun bisa cocok, karyawan baru hanya membutuhkan beberapa hari untuk
menyesuaikan atau melebur. Agak lebih terkontrol ketat daripada longgar agak lebih
berorientasi pada biaya, rapat tepat waktu, sedikit candaan tentang
perusahaan/kelompok atau pekerjaan. Hampir seimbang sempurna antara normatif
dan pragmatis berarti ada keseimbangan antara menaati aturan dengan berorientasi
pada pelanggan, seimbang antara menaati prosedur dan mencapai hasil, seimbang
antara pandangan yang dogmatis dan pragmatis tentang etika.
Jika penelitian yang dilakukan oleh Pilotte (2013) menggunakan dimensi
budaya Hofstede, studi yang dilakukan oleh Royal Academy of Engineering (RAE)
pada tahun 2017 meneliti tentang budaya engineering dari sudah pandang para
engineer tentang nilai dan perilaku dalam budaya engineering. Lebih dari 7000
engineer menjawab pertanyaan tentang pengalaman mereka akan budaya
engineering. Penelitian ini menemukan bahwa budaya engineering terdiri 1)
pemecahan masalah (problem solving) dimana budaya engineering diarahkan untuk
memahami masalah dan mengeksplorasi solusi; 2) sadar keselamatan (safety-
conscious) yang artinya budaya engineering memprioritaskan keselamatan dimana
produk yang diciptakan aman bagi pengguna; 3) bangga (proud) dimana engineer
6
mencintai pekerjaan mereka, bangga dengan yang mereka kerjakan baik secara
individu maupun bersama-sama; 4) setia (loyal) dimana engineer berkomitmen pada
engineering dan pada profesi sebagai engineer; 5) berorientasi pada tim (team
oriented) dimana hubungan para engineer bersifat informal, bersahabat dan
kolaboratif; 6) dan fleksibel dalam hal kapan dan dimana mereka bekerja.
Sebelum Pilotte dan RAE, Kunda (2006) telah mempelajari budaya
engineering pada perusahaan high-tech dan menemukan bahwa budaya engineering
menciptakan kondisi kerja yang non otoriter, informal, lingkungan kerja yang
fleksibel yang mendorong dan menghargai komitmen, inisiatif, dan kreativitas
individu sambil mendorong perkembangan individu. Luceyer (2001) mempelajari
engineering culture pada perusahaan-perusahaan teknologi mula-mula di Silicon
Valley yang berkembang tahun 1970-an dan menemukan bahwa budaya engineering
di perusahaan-perusahaan tersebut mencakup persahabatan, ideologi demokrasi yang
sangat kuat dan sangat menjunjung tinggi kecerdasan dan inovasi. Perusahaan-
perusahaan dengan budaya ini memberikan otonomi yang sangat besar terhadap
karyawannya, mengatur penelitian dan pengembangan dalam tim independen, dan
memberikan insentif finansial yang tidak biasa berupa pembagian keuntungan (profit
sharing), kepemilikan saham, dan program opsi saham (stock-option programs).
Berdasarkan teori budaya Schein, budaya engineering dikategorikan sebagai
subbudaya atau subkultur (subculture), dan subbudaya ini bisa melampaui batasan
organisasi dan bisa dianggap sebagai budaya makro (Schein 2010). Walaupun
budaya engineering ini merupakan budaya pekerjaan dan dikategorikan sebagai
subbudaya, namun budaya ini bisa membawa pengaruh yang besar terhadap budaya
organisasi dan bahkan bisa membentuk budaya organisasi. Hal ini karena budaya
organisasi terbentuk oleh interaksi empat faktor yaitu karakter anggota organisasi,
etika dalam organisasi, hak kepemilikan (property right) dan struktur organisasi
(Jones 2004). Karakter engineer sebagai anggota organisasi membawa budaya
engineering yang sangat kuat yang terbentuk mulai dari masa pendidikan. Selain itu
Van Maanen dan Barley (1984) menyatakan budaya pekerjaan bisa memiliki
kekuatan mengatur (organizing force) yang lebih kuat daripada budaya di tempat
kerja karena budaya ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya bahkan
melalui aktivitas di luar pekerjaan. Pengaruh budaya engineering terhadap budaya
organisasi terbukti secara empiris dimana perusahaan-perusahaan teknologi
memiliki budaya organisasi yang memiliki unsur budaya engineering yang kuat,
sehingga menjadi budaya engineering centric.
Budaya engineering-centric adalah budaya organisasi yang berakar dari
budaya engineering. Jika budaya engineering adalah budaya pekerjaan
(occupational) yang dimiliki oleh sekelompok orang dengan pekerjaan atau profesi
yang sama, sehingga merupakan subbudaya dalam sebuah organisasi, maka budaya
engineering-centric adalah budaya organisasi yang dimiliki dan dijalankan oleh
seluruh anggota organisasi bukan hanya para engineer. Dalam penelitian tentang
nilai dan benefit yang dimiliki dan diberikan Google kepada karyawannya, Kunzte
7
dan Matulich (2010) menggambarkan budaya perusahaan Google sebagai
lingkungan kerja yang serba cepat, karyawannya bekerja sambil bersenang-senang,
menjunjung kreativitas dan inovasi, lingkungan yang informal dengan atmosfer yang
santai, pakaian bebas, dan karyawan bebas berolahraga dan bermain video game.
Google sendiri menyebut budaya mereka sebagai budaya engineering centric.
Melihat hasil penelitian dan studi di atas maka dapat disimpulkan unsur-
unsur dalam budaya engineering centric adalah sebagai berikut 1) sangat
menjunjung tinggi inovasi; 2) fokus pada pemecahan masalah (problem solving); 3)
sangat menjunjung tinggi kecerdasan; 4) menjunjung kreativitas; 5) memberikan
otonomi yang sangat besar terhadap karyawannya dan kondisi kerja yang non
otoriter; 6) Lingkungan yang informal dengan atmosfer yang santai, karyawan
bekerja sambil bersenang-senang; 7) Lingkungan kerja yang fleksibel dalam hal
kapan dan dimana mereka bekerja; 8) Berorientasi pada tim (team oriented) dimana
hubungan para engineer bersifat informal, bersahabat dan kolaboratif; 9)
Berorientasi pada hasil, lebih mengambil resiko, pekerjaan yang berubah-ubah, dan
input pribadi yang tinggi; 10) Belajar dengan melakukan (learning-by-doing) dan
aktif dalam proses belajar; 11) Mendorong perkembangan individu; 12) Karyawan
bukan hanya sekedar sumber daya manusia perusahaan; 13) Mendorong dan
menghargai komitmen dan inisiatif individu; 14) Bangga (proud) dimana engineer
mencintai pekerjaan mereka, bangga dengan yang mereka kerjakan baik secara
individu maupun bersama-sama; 15) Setia (loyal) dimana engineer berkomitmen
pada engineering dan pada profesi sebagai engineer; 16) lingkungan kerja yang
serba cepat; 17) memberikan insentif finansial yang tidak biasa berupa pembagian
keuntungan (profit sharing), kepemilikan saham, dan program opsi saham (stock-
option programs); 19) Sadar keselamatan (safety-conscious) yang artinya budaya
engineering memprioritaskan keselamatan dimana produk yang diciptakan aman
bagi pengguna; 20) Ideologi demokrasi yang sangat kuat; 21) keseimbangan antara
menaati aturan dengan berorientasi pada pelanggan, seimbang antara menaati
prosedur dan mencapai hasil, seimbang antara pandangan yang dogmatis dan
pragmatis tentang etika; 22) Agak lebih terkontrol ketat daripada longgar misalnya
berorientasi pada biaya, rapat tepat waktu, sedikit candaan tentang
perusahaan/kelompok atau pekerjaan.
2.3. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
2.3.1. Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
Manajemen sumber daya manusia strategis (MSDM strategis) adalah
perkembangan dari MSDM yang biasanya hanya berfokus pada aktivitas
administratif. Seperti yang dikemukakan Dessler (2015:4) bahwa manajemen
sumber daya manusia adalah “proses untuk memperoleh, melatih, menilai, dan
8
mengompensasi karyawan, dan untuk mengurus relasi tenaga kerja mereka,
kesehatan dan keselamatan mereka, serta hal-hal yang berhubungan dengan
keadilan.” Lebih lanjut lagi menurut Dessler (2015) seiring munculnya tren-tren
baru seperti kemajuan teknologi, globalisasi, deregulasi, perubahan demografi dan
sifat pekerjaan serta tantangan ekonomi, maka organisasi membutuhkan sumber
daya manusia yang memiliki keterampilan dan perilaku yang bisa mendukung
organisasi mencapai sasaran strategisnya di tengah tren-tren tersebut. Oleh sebab
itulah MSDM berkembang menjadi berfokus pada isu-isu strategis organisasi. Inilah
yang disebut dengan Manajemen sumber daya manusia strategis (MSDM strategis),
yang merupakan manajemen sumber daya manusia (SDM) yang sejalan dengan
strategi organisasi untuk mencapai sasaran strategis organisasi.
Konsep MSDM strategis telah lama berkembang. Pada tahun 1981
Devanna, Fombrun dan Tichy membahas mengenai hubungan MSDM strategis dan
strategi bisnis. Menurut mereka MSDM menjadi strategis dan dapat meningkatkan
kinerja perusahaan jika MSDM dikaitkan dengan tujuan perusahaan. Lebih spesifik
lagi sehubungan dengan tujuan perusahaan, Hendry dan Pettigrew (1986)
mengemukakan bahwa dalam MSDM strategis SDM dipandang sebagai sumber
daya strategis untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Pendapat dari Baird dan Meshoulam (1988) memasukkan unsur kebutuhan
organisasi dalam konsep mereka tentang MSDM strategis. Menurut mereka MSDM
strategis mengembangkan dan mengelola praktik, prosedur dan sistem SDM yang
sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga tujuan bisnis dapat tercapai. Masih
senada dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya, menurut Wright dan McMahan
(1992) MSDM strategis adalah sebuah pola aktivitas dan penggunaan SDM yang
bertujuan untuk memampukan organisasi mencapai tujuan. MSDM strategis dapat
mempengaruhi organisasi mencapai tujuannya karena MSDM strategis merumuskan
dan melaksanakan kebijakan dan praktik SDM yang menghasilkan kompetensi dan
perilaku karyawan yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai sasaran strategisnya
(Dessler, 2015).
Praktik, prosedur, sistem, pola aktifitas seperti yang dikemukakan di atas
adalah bagian dari MSDM yang tentunya harus berjalan berdampingan dan saling
mendukung. Seperti yang dikemukakan Armstrong (2008), bahwa MSDM strategis
adalah manajemen SDM yang menggunakan strategi, kebijakan dan praktik SDM
yang terintegrasi untuk mencapai tujuan organisasi. Lebih lanjut, Amrstrong juga
menekankan bahwa MSDM strategis adalah sebuah pola pikir yang menjadi nyata
pada saat ada aksi dan reaksi yang strategis, dalam bentuk strategi-strategi dan
perilaku strategis dari staff HR yang bekerja sama dengan manajer lini (2008:48).
Dengan demikian MSDM strategis dapat diartikan sebagai manajemen sumber daya
manusia yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan organisasi untuk membantu
organisasi mencapai tujuannya.
9
2.3.2. Dasar-Dasar Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
Menurut Armstrong (2018) MSDM strategis memiliki tiga dalil yang
menjadi dasar MSDM strategis. Dalil yang pertama yaitu bahwa SDM memiliki
peran strategis dan merupakan sumber utama keunggulan kompetitif. Pendapat yang
sama dikemukakan oleh Wright dan McMahan (1992) bahwa SDM adalah sumber
keunggulan kompetitif karena 1) SDM bersifat beragam (heterogen) sehingga SDM
di tiap perusahaan dalam sebuah industri berbeda-beda dan 2) SDM bisa bersifat
tetap atau tidak bergerak (immobile) yang artinya perusahaan pesaing kemungkinan
tidak dapat merekrut mereka. Dalil yang kedua adalah bahwa strategi-strategi SDM
harus terintegrasi dengan strategi organisasi (vertical integration). Jadi bukan hanya
strategi SDM yang disesuaikan dengan strategi organisasi, tetapi organisasi juga
harus mempertimbangan SDM dalam pembuatan strategi dan sasaran strategisnya.
Seperti yang dikatakan Devanna, Fombrun, dan Tichy (1981), bahwa unsur SDM
harus dimasukkan dalam tujuan organisasi agar untuk dapat meningkatkan kinerja
organisasi. Dalil yang terakhir yaitu bahwa setiap strategi SDM harus terintegrasi
dan mendukung satu sama lain (horizontal integration).
2.3.3. Konsep-Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia
Strategis
Selain tiga dasar MSDM strategis di atas, ada juga tiga konsep yang
mendukung MSDM strategis, yakni: resource-based view (RBV), strategic fit dan
strategic flexibility (Armstrong, 2008:34). Konsep resource-based view (RBV)
memandang bahwa untuk mencapai tujuan organisasi atau untuk mencapai
keunggulan kompetitif berkelanjutan (sustainable competitive advantage) maka
organisasi harus memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya-sumber daya
organisasi, sehingga bisa memiliki empat ciri kompetensi inti (core competence)
yakni memberi nilai bagi organisasi (valuable); langka atau tidak dimiliki oleh
organisasi lain (rare); sulit ditiru (imperfectly imitable) dan tidak memiliki
pengganti/substitusi di organisasi lain (non-substitutable). Sumber daya yang
dimaksud di atas mencakup sumber daya manusia. Selain Armstrong, Lengnick-Hall
dan Lengnick-Hall (1990) juga berpendapat bahwa perusahaan dapat mencapai
competitive advantage melalui pengelolaan SDMnya.
Konsep yang kedua yakni strategic fit yang berarti bahwa strategi
manajemen SDM harus mendukung strategi organisasi/bisnis (vertical integration).
Selain itu konsep ini juga menekankan pentingnya koordinasi dan kesesuaian antar
praktik-praktik SDM. Konsep yang ketiga adalah strategic flexibility, yang
dikatakan Armstrong (2008) sebagai kemampuan organisasi untuk menyesuaikan
dengan perubahan lingkungan organisasi. Organisasi harus fleksibel dan mampu
menyesuaikan strateginya berdasarkan kondisi luar. Menurut Armstrong (2008)
dalam mengembangkan dan mengimplementasikan berbagai pendekatan untuk
mengelola SDM, MSDM strategis memperhitungkan konteks organisasi yang
10
berubah-ubah yang memiliki tuntutan jangka panjang. Misalnya jika sebuah
perusahaan berada dalam industri yang cepat berubah karena kemajuan teknologi
maka manajemen SDM harus mampu membuat strategi yang bisa reaktif terhadap
perkembangan teknologi ini sehingga bisa menciptakan SDM yang memiliki banyak
keahlian dan cepat menguasai kemajuan teknologi.
2.3.4. Tujuan dan Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia
Strategis
MSDM strategis memiliki satu tujuan yakni membantu organisasi mencapai
sasaran strategisnya melalui pengelolaan sumber daya manusia. Lebih rinci lagi,
menurut Armstrong (2008) tujuan MSDM strategis adalah untuk menghasilkan
SDM yang ahli, terikat (engaged) dan termotivasi sehingga organisasi mampu untuk
mencapai keunggulan kompetitif berkelanjutan. Untuk memiliki SDM yang ahli
maka organisasi harus merekrut SDM yang berpotensi dan mengembangkan
keahlian mereka. Organisasi juga harus membuat sistem penghargaan (reward
system), kompensasi dan pengembangan karir yang membuat SDM termotivasi dan
memiliki keterikatan pada organisasi. Selain itu menurut Armstrong (2008), tujuan
dari MSDM strategis harus selalu mempertimbangkan hal-hal etis, yakni
kepentingan dari seluruh stakeholder organisasi, karyawan/anggota, para pemilik,
para manajer, dan tanggung jawab organisasi terhadap masyarakat.
Menurut Storey (1989) untuk mencapai tujuannya MSDM strategis harus
menyeimbangkan model MSDM strategis yang “soft” dan “hard”. Model MSDM
soft lebih menekankan pada aspek hubungan manusia pada saat mengelola “orang”
atau SDM, dengan menekankan pada pengembangan terus-menerus, komunikasi,
keterlibatan, keamanan kerja, kerja yang berkualitas dan kesimbangan antara
kehidupan dan pekerjaan. Dengan kata lain, mengutip Mills (1983) MSDM strategis
haruslah selalu mempertimbangkan faktor SDM, yakni apa yang menjadi kebutuhan
dan aspirasi dari anggota organisasi. Sedangkan model hard lebih menekankan pada
hasil yang harus dicapai dari investasi pada SDM untuk kepentingan bisnis. Dengan
menyeimbangkan model soft dan hard maka tujuan organisasi bisa tercapai dan
kesejahteraan anggota di dalamnya juga terjamin.
Selain memperhatikan SDM, organisasi juga harus bertanggung jawab
terhadap masyarakat secara umum (Mills 1983). Satu dari tujuh prinsip MSDM
strategis menurut Ondrack dan Nininger (1984) adalah bahwa MSDM strategis
memiliki tanggung jawab untuk mengidentifikasi dan berinteraksi dalam lingkungan
sosial, politik, teknologi dan ekonomi, dimana organisasi berada dan melakukan
bisnisnya. Mendukung gagasan
Mills dan Ondrack dan Nininger, menurut Armstrong (2008) tanggung
jawab sosial perusahaan (Corporate Social responsibility - CSR) merupakan salah
11
satu aspek dalam MSDM strategis karena CSR berhubungan dengan aksi etis untuk
kepentingan orang, dan orang adalah hal yang dikelola oleh MSDM.
Dalam perkembangannya MSDM strategis telah menunjukkan pengaruhnya.
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan pengaruh MSDM strategis pada
peningkatan kinerja organisasi termasuk Arthur. Walaupun ada pendapat yang
mengatakan bahwa sulit untuk mengukur kaitan antara MSDM strategis terhadap
kinerja organisasi (Purcell et al 2003), namun sebenarnya hal ini bisa diukur dengan
melihat bagaimana pengaruh strategi yang diturunkan dalam bentuk praktik dan
kebijakan MSDM pada kinerja anggota organisasi yang pada akhirnya berpengaruh
pada kinerja organisasi, seperti model yang dikembangkan Guest et al (2000b) di
bawah ini:
Sumber: Guest et al (2000b)
Gambar 2.2 Model Pengaruh MSDM pada Kinerja Organisasi
2.3.5. Mengembangkan Dan Melaksanakan Manajemen Sumber
Daya Manusia Strategis
Untuk bisa menjalankan fungsi strategis, unsur MSDM harus dilibatkan
sejak awal organisasi melakukan proses penentuan tujuan/sasaran strategis dan
strategi organisasi. Inilah dasar kedua MSDM strategis yakni integrasi vertikal
(vertical integration) yang sesuai dengan konsep strategic fit. MSDM dan
manajemen strategis organisasi harus saling terintegrasi. Sasaran strategis organisasi
harus dibuat dengan memperhitungkan faktor SDM dan strategi MSDM harus dibuat
untuk menunjang organisasi mencapai sasaran strategisnya. Seperti yang dikatakan
Dessler (2015:82) bahwa manajer SDM harus terlebih dahulu memahami peran yang
akan dimainkan kebijakan dan praktik SDM dalam mencapai sasaran strategis
organisasi, barulah manajer dapat merancang secara cerdas kebijakan dan praktik
SDM. Manajer divisi SDM harus menjadi bagian dalam tim manajemen puncak dan
harus mengambil peran aktif dalam pembahasan tujuan dan strategi organisasi
Armstrong (2008). Dengan demikian MSDM strategis bukan hanya pendukung
12
dalam pelaksanaan strategi organisasi tetapi MSDM strategis merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam pengembangan sasaran strategis dan pelaksanaan
manajemen strategis organisasi. Dengan adanya integrasi vertikal maka organisasi
akan lebih mudah mencapai tujuannya seperti dikemukakan Delery dan Doty (1996)
bahwa organisasi yang memiliki tingkat kesesuaian strategi MSDM dan strategi
bisnis yang tinggi akan memiliki kinerja yang tinggi juga.
Untuk mengembangkan strategi SDM diperlukan analisis strategis untuk
menganalisis kondisi organisasi dan praktik-praktik SDM yang sedang dilakukan,
sehingga dapat terlihat apa saja yang sudah dilakukan, apa yang belum dilakukan
dan harus dilakukan dan apa yang harus dikembangkan dan diperbaiki (Armstrong
2008). Dengan demikian akan muncul pilihan-pilihan strategi untuk
mengembangkan strategi SDM. Setelah strategi-strategi HR dikembangkan, maka
dalam pelaksanaannya dibutuhkan juga perilaku strategis (strategic behavior) dari
divisi SDM bekerja sama dengan manajer lini setiap hari untuk memastikan strategi
ini berjalan dengan baik sehingga tujuan organisasi tercapai dan nilainya terendap
dalam praktik organisasi sehari-hari (Armstrong 2008). Oleh karena itu manajer lini
memegang peranan penting dalam pelaksanaan MSDM strategis. Seperti yang
dikemukakan Tyson (1997) bahwa selain melalui proses pelaksanaan yang formal
dan sistematis seperti dalam bentuk kebijakan dan aturan tertulis, strategi juga bisa
direalisasikan melalui tindakan para manajer. Menurut pendapatnya, tindakan para
manajer ini akan menuai reaksi seperti penerimaan, konfrontasi, negosiasi, dsb, yang
mana reaksi ini merupakan proses dari strategi. Dengan demikian sangat penting
bagi manajer untuk memahami dengan benar strategi. Pada saat pihak manajemen
termasuk manajemen lini telah terintegrasi dalam melaksanakan MSDM strategis
maka hal ini akan berdampak pada seluruh karyawan menjadi bagian dalam
pelaksanaan MSDM strategis.
Terdapat tiga pendekatan untuk mengembangkan dan melaksanakan MSDM
strategis, seperti yang disarankan oleh Richardson dan Thompson (1999) yaitu best
practice, best fit dan bundling. Tiga pendekatan ini berdasar pada tiga perspektif
MSDM strategis oleh Delery dan Doty (1996) yaitu perspektif universalistic,
contingency dan configurational.
1) Best Practice
Best practice adalah pendekatan berdasarkan perspektif universalistic bahwa
ada beberapa praktik SDM yang terbaik dan bisa diadopsi oleh semua organisasi
dalam segala situasi. Walaupun ada beberapa pendapat yang tidak menyetujui
adanya best practice misalnya karena tidak sesuai dengan konsep RBV dari MSDM
strategis (Purcell, 1999) namun best practice tetap masih bisa digunakan setidaknya
sebagai rujukan untuk pilihan-pilihan praktik yang baik (Becker dan Gerhart, 1996).
Armstrong (2008) mengelompokkan daftar best practices yang digagas oleh Pfeffer
13
(1994), Delery dan Doty (1996), dan Guest (1999), seperti yang dapat dilihat pada
tabel 2.1.
Tabel 2.1 Daftar-daftar Best Practices yang Dikembangkan oleh Pfeffer (1994),
Delery dan Doty (1996) dan Guest (1999)
Pfeffer (1994) Delery dan Doty (1996) Guest (1999)
1) keamanan kerja
(employment
security)
1) penggunaan jenjang karir
internal
1) seleksi dan
penggunaan tes seleksi
yang cermat untuk
mengidentifikasi
kandidat yang
memiliki potensi untuk
berkontribusi
2) perekrutan yang
selektif (selective
hiring)
2) sistem pelatihan formal 2) pelatihan, dan
kesadaran bahwa
pelatihan adalah
aktivitas yang
berkelanjutan
3) tim yang mandiri
(self-managed teams)
3) penilaian berorientasi hasil 3) rancangan (desain)
pekerjaan yang
memastikan adanya
fleksibilitas, komitmen
dan motivasi, termasuk
langkah-langkah untuk
memastikan para
karyawan memiliki
tanggung jawab dan
kewenangan penuh
untuk menggunakan
pengetahuan dan
keahlian mereka
4) kompensasi tinggi
sesuai dengan kinerja
(high compensation
contingent on
performance
4) kompensasi berbasis kinerja 4) komunikasi untuk
memastikan bahwa
proses komunikasi dua
arah menjamin semua
pihak mendapatkan
informasi
5) pelatihan untuk
menyediakan tenaga
kerja terampil dan
termotivasi (training
to provide a skilled
and motivated
workforce)
5) keamanan kerja 5) program
kepemilikan saham
bagi karyawan untuk
meningkatkan
kesadaran karyawan
akan dampak dari
tindakan mereka
14
terhadap kinerja
keuangan perusahaan
6) pengurangan
perbedaan status
(reduction of status
differentials)
6) “suara” karyawan
7) berbagi informasi
(sharing
information).
7) pekerjaan yang ditentukan
secara luas (broadly defined
jobs)
Sumber: Armstrong (2008)
2) Best Fit
Pendekatan kedua adalah best fit yang menekankan bahwa strategi SDM
harus sesuai dengan konteks, keadaan dan tipe organisasi (Armstrong 2008).
Pendekatan best fit sesuai dengan perspektif contingency yang menekankan pada
vertical fit. Dalam best fit sendiri ada tiga model atau pendekatan yakni siklus hidup
(life cycle), strategi kompetitif (competitive strategy), dan konfigurasi strategis
(strategic configuration) (Armstrong 2008). MSDM strategis dirancang dan
dilaksanakan berdasarkan pada tiga pendekatan tersebut.
a) Siklus hidup (life cycle)
Model siklus hidup (life cycle) berdasar pada teori perkembangan perusahaan
yang terdiri dari empat tahap yaitu permulaan (startup), perkembangan (growth),
kematangan (maturity) dan penurunan (decline). Dasar dari model ini seperti yang
dikemukakan oleh Baird dan Meshoulam (1988) adalah bahwa efektivitas MSDM
tergantung pada kesesuaiannya pada tahap perkembangan organisasi, sehingga
seiring dengan berkembangnya organisasi maka program, praktik dan prosedur
SDM harus diubah agar sesuai dengan apa yang dibutuhkan organisasi.
Lebih rinci lagi, menurut Buller dan Napier (1993) pada tahap permulaan,
manajemen SDM lebih bersifat informal dan longgar, dan mungkin saja fungsi
MSDM dilakukan oleh pemilik atau pendiri organisasi. Pada saat organisasi mulai
berkembang, misalnya penjualan semakin banyak sehingga dibutuhkan lebih banyak
produk maka organisasi membutuhkan karyawan tambahan, dan bahkan mungkin
menambah beberapa posisi spesialis, pada saat ini fungsi SDM tidak bisa lagi
ditangani oleh pendiri atau pemilik atau manajer lini. Sedangkan pada saat
pertumbuhan organisasi sedang pada puncaknya maka peran MSDM fokus pada
menghadirkan SDM sesuai dengan jumlah dan kualitas yang dibutuhkan, sehingga
sejalan dengan sistem rekrutmen yang efektif, MSDM harus mampu untuk
melakukan manajemen bakat, manajemen kinerja, pelatihan dan pengembangan
15
serta praktik dan kebijakan reward. Pada saat organisasi sudah mencapai tahap
kedewasaan, MSDM lebih fokus pada memperkuat dan mengembangkan praktik-
praktik yang telah lama ada. Pada saat organisasi mengalami penurunan maka fokus
MSDM bisa saja berada pada isu-isu yang lebih rumit misalnya downsizing atau
pada saat organisasi diambil alih.
b) Strategi Kompetitif (competitive strategy)
Model selanjutnya adalah best fit dan competitive advantage yang
menekankan bahwa praktik MSDM harus disesuaikan dengan competitive strategy.
Tiga strategi kompetitif yang diajukan Porter (1985) yakni innovation –
memproduksi produk yang unik; quality – menyediakan barang atau jasa dan
layanan konsumen yang berkualitas; cost leadership – dengan cara mengelola
pengeluaran dengan efektif. Schuler dan Jackson (1987) menemukan dalam
penelitian mereka bahwa menggabungkan praktik MSDM dengan strategi kompetitif
dapat meningkatkan efektifitas. Mereka mengembangkan praktik-praktik MSDM
yang menunjang strategi kompetitif. Sebagai contohnya, untuk mendukung strategi
Kualitas maka MSDM mengadakan pelatihan dan pengembangan karyawan yang
berkesinambungan dan ekstensif. Contoh lain sehubungan dengan mencapai cost
leadership maka MSDM terus memperhatikan dengan cermat market pay sebagai
bahan pertimbangan dalam membuat struktur kompensasi. Atau untuk mendukung
strategi inovasi maka MSDM merancang pekerjaan yang memfasilitasi
perkembangan keahlian baru yang bisa digunakan untuk posisi lain dalam
perusahaan.
c) Konfigurasi Strategis (strategic configuration)
Model atau pendekatan terakhir dari best fit adalah konfigurasi strategis
(strategic configuration) dimana menurut Delery dan Doty (1996) organisasi akan
berjalan efektif jika memiliki kebijakan konfigurasi strategis yaitu dengan
mencocokkan strategi dengan tipe organisasi. Dengan demikian maka akan muncul
konsistensi atau kecocokan antara unsur strategi, struktural dan kontekstual
organisasi sehingga bisa meningkatkan efektifitas.
Menurut Minstzberg (1979) ada lima tipe organisasi yang ideal yaitu:
struktur sederhana (simple structure), birokrasi mesin (machine bureaucracy),
birokrasi professional (professional bureaucracy), departementasi (divisionalized
form) dan adhokrasi (adhocracy). Sedangkan menurut Miles dan Snow (1978) ada
empat tipe organisasi, dimana menurut mereka tiga tipe pertama adalah tipe yang
“ideal”. Tipe pertama ialah prospectors, yaitu organisasi yang beroperasi dalam
lingkungan yang cepat yang perubahannya tidak bisa diprediksi. Dengan keadaan
lingkungan seperti ini maka organisasi dengan tipe prospector berfokus pada
pengembangan produk, pasar dan teknologi baru. Tipe organisasi ini biasanya
menciptakan perubahan di pasar sehingga pesaing mau tidak mau harus merespon
terhadap perubahan yang diciptakan. Tingkat formalisasi (peraturan tertulis maupun
16
tidak tertulis) dan spesialisasi dalam organisasi ini rendah sedangkan
desentralisasinya tinggi. Tingkatan hirarkinya juga cenderung sedikit.
Tipe yang kedua adalah Defender, tipe yang beroperasi dalam lingkungan
yang lebih stabil dan bisa diprediksi sehingga memiliki perencanaan jangka panjang.
Pendekatan tipe ini terhadap pasar adalah mempertahankannya. Berbeda dari
prospector yang fokus pada pengembangan produk, defender melakukan hanya
sedikit penelitian dan pengembangan. Mereka lebih fokus pada efisiensi yang
bergantung pada teknologi rutin dan skala ekonomis (economies of scale). Secara
struktur, tipe ini lebih mekanistis atau birokratis. Koordinasi dilakukan melalui
formalisasi, sentralisasi, spesialisasi dan diferensiasi vertical.
Tipe ideal yang ketiga adalah gabungan antara prospector dan defender,
yang disebut dengan analyser. Lingkungan dimana mereka beroperasi merupakan
lingkungan yang stabil, tapi pasarnya selalu menuntut produk baru. Tipe ini
biasanya bukan inisiator perubahan seperti prospector namun mereka mengikuti
perubahan lebih cepat daripada defender. Tipe ini fokus pada efektivitas melalui
efisiensi dan produk atau pasar baru sehingga kemungkinan besar ukuran
organisasinya lebih besar, karena tipe organisasi ini fokus pada produksi massal dan
penelitian dan pengembangan. Tipe yang terakhir adalah reactor yang merupakan
organisasi yang tidak stabil yang berada dalam lingkungan yang tidak stabil. Tipe ini
tidak memiliki strategi yang konsisten dan matang dan juga tidak memiliki
perencanaan jangka panjang.
Delery dan Doty (1996) mengemukakan dua sistem SDM yang sesuai
dengan strategi yang dihubungkan dengan konfigurasi organisasi. Kedua system itu
adalah market-type system dan internal system, yang masing masing cocok dengan
tipe organisasi yang berbeda. Market type lebih cocok untuk strategi prospector
karena dalam system HR market type rekrutmen lebih banyak dari luar organisasi,
jenjang karir internal tidak begitu digunakan, tidak ada pelatihan formal, penilaian
kinerja berdasarkan hasil, tidak begitu banyak keamanan dan pekerjaan tidak
ditentukan dengan jelas. Sedangkan internal system lebih cocok untuk strategi
defender karena system ini melakukan lebih banyak rekrutmen internal, jenjang karir
sangat digunakan, banyak pelatihan formal, kinerja dinilai dengan ukuran yang
berorientasi pada perilaku, keamanan kerja baik, dan pekerjaan ditentukan secara
detail dan jelas. Delery dan Doty tidak mengusulkan sistem yang tepat untuk strategi
analyser tapi menurut Armstrong (2008) sistem untuk strategi ini bisa jadi
merupakan campuran dari sistem market dan internal.
Sama seperti best practice, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa
best fit memiliki beberapa limitasi, walaupun menurut Armstrong (2008) best fit
lebih realistis daripada best practice. Paauwe (2004) menyorot best fit yang
berdasarkan pada konteks, dimana konteks adalah satu-satunya yang menentukan
strategi, sedangkan menurut Paauwe seharusnya ada ruang untuk pilihan-pilihan
strategis. Sejalan dengan pemikiran Paauwe, Boxall et al (2007) berpendapat bahwa
17
tidak mungkin membuat semua kebijakan SDM berdasarkan misi
ekonomi/kompetitif tertentu, karena harus juga mempertimbangkan tujuan legitimasi
sosial. Sedangkan Purcell (1999) lebih menyorot pada contingency model karena
tidak mungkin bisa membuat model semua variabel, dan juga sulit untuk melihat
hubungan antar variabel, belum lagi bagaimana perubahan dalam satu variabel
berpengaruh pada variabel lain. Menurut Armstrong (2008), best fit cenderung statis
dan tidak memperhitungkan proses perubahan, dan bahwa kekuatan institusional
yang membentuk SDM (pemberi kerja bukanlah agen bebas yang membuat
keputusan sendiri).
3) Bundling
Pendekatan terakhir untuk MSDM strategis adalah penggabungan atau
“bundling”. Bundling adalah pengembangan dan pelaksanaan beberapa praktik HR
secara bersama-sama sehingga praktik-praktik ini saling melengkapi dan
menguatkan satu sama lain Armstrong (2008). Gabungan praktik-praktik ini
tentunya harus sesuai atau konsisten dengan strategi kompetitif agar dapat
meningkatkan kinerja organisasi (Richardson dan Thompson, 1999). Tujuan dari
bundling menurut MacDuffie (1995) adalah menggabungkan beberapa praktik SDM
yang bisa saling menguatkan satu sama lain sehingga memiliki dampak lebih besar
terhadap kinerja organisasi. Ini sesuai dengan dasar MSDM strategis yang ketiga
yaitu horizontal integration. Contoh-contoh bundling adalah sistem high-
performance, high-commitment dan high involvement. Menurut Armstrong (2008)
tantangan dari bundling adalah menentukan cara yang terbaik untuk menggabungkan
praktik-praktik SDM yang berbeda-beda.
2.3.6. Tantangan Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
Menerapkan konsep MSDM strategis memiliki tantangan. Menurut
Armstrong (2008) karena dalam penerapannya harus ada integrasi strategis, maka
harus dibangun koherensi dan konsistensi kebijakan dan praktik. Selain itu, karena
menerapkan MSDM strategis dibutuhkan komitmen maka harus ada tekad yang kuat
dan kompetensi di semua level manajerial. Dari sisi departemen SDM sendiri harus
beroperasi secara efektif dan SDMnya harus berorientasi bisnis (Armstrong, 2008).
Lebih lanjut lagi menurut Armstrong, hal-hal di atas akan sulit dicapai jika budaya
SDM yang dibutuhkan untuk ini bertentangan dengan budaya organisasi dan
perilaku manajerial tradisional.
18
2.3.7. Strategi-Strategi Manajemen Sumber daya Manusia
Strategis
Menurut Armstrong (2008) ada macam strategi yaitu strategi menyeluruh (overall)
dan strategi spesifik.
1) Strategi Menyeluruh (Overall)
Strategi menyeluruh menjabarkan intensi/niat/tujuan umum organisasi tentang
bagaimana mengelola dan mengembangkan SDM, apa yang harus dilakukan agar
organisasi bisa mendapatkan dan mempertahankan SDM yang dibutuhkan dan
memastikan SDM tetap berkomitmen, termotivasi dan terikat pada organisasi
(Armstrong, 2008). Lebih lanjut lagi menurut Armstrong ada empat kategori dari
strategi menyeluruh yaitu:
Pemahaman tentang pendekatan yang dibutuhkan untuk mengelola SDM.
Terkadang pemahaman ini tidak disebutkan. Strategi ini dipengaruhi oleh
strategi bisnis, fase pertumbuhan organisasi, konfigurasi organisasi. Hal lain
yang mempengaruhi juga adalah pandangan, pengalaman dan gaya
manajemen puncak.
Pernyataan umum tentang maksud dan tujuan strategi, yang menjadi dasar
pembuatan strategi yang lebih spesifik. Kategori ini fokus pada efektivitas
organisasi yang dicapai dengan cara mempekerjakan SDM yang tepat
dengan proses yang tepat dan menciptakan tempat kerja yang baik.
Kategori yang ketiga adalah rancangan yang jelas dan spesifik untuk
membuat bundle praktik-praktik SDM dan mengembangkan sistem HR
yang koheren. Kategori ini dapat dibuat menggunakan pendekatan high-
performance management, high-involvement management and high-
commitment management.
Kategori yang terakhir adalah pengenalan terhadap pendekatan SDM
menyeluruh yakni high-performance management, high-involvement
management and high-commitment management. Ketiga pendekatan ini
memiliki beberapa kesamaan praktik.
High-performance management adalah manajemen SDM yang berfokus
pada menggunakan SDM untuk meningkatkan kinerja organisasi di bidang
produktivitas, kualitas, layanan konsumen, pertumbuhan, profit dan yang bermuara
pada nilai shareholder yang meningkat. Untuk mencapai hal-hal tersebut, praktik-
praktik MSDM yang dilakukan adalah prosedur rekrutmen dan seleksi yang ketat,
aktivitas pengembangan manajemen dan pelatihan yang ekstensif, sistem bayaran
insentif dan proses manajemen kinerja. Praktik-praktik ini disebut dengan high-
performance work systems (HPWS).
19
High-involvement management menurut Lawler (1986) adalah sistem
manajemen yang berbasis komitmen dan keterlibatan (involvement). Sistem ini
adalah kebalikan dari model manajemen birokrasi yang kaku dan sangat mengontrol
karena menurut sistem ini untuk dapat membuat karyawan berkomitmen adalah
dengan memberikan kesempatan karyawan untuk mengontrol dan memahami
pekerjaan mereka. Selain itu dalam high-involvement management karyawan
diperlakukan sebagai rekan perusahaan yang kepentingannya dihormati perusahaan
dan yang pendapatnya didengar oleh perusahaan (sehingga ada sinergitas).
Unsur yang penting dalam manajemen ini adalah keterlibatan (involvement)
dan komunikasi. Oleh karena komunikasi merupakan unsur penting maka sistem ini
akan menciptakan kondisi yang mendukung untuk adanya dialog antara manajer dan
karyawan secara terus menerus tentang ekspektasi karyawan dan perusahaan, dan
untuk memberikan informasi tentang misi, nilai dan tujuan organisasi. Dengan
demikian semua anggota organisasi memahami apa tujuan yang ingin dicapai dan
bagaimana mencapainya.
Menurut Guest (1997) tingkat keterlibatan yang tinggi membuat karyawan
berkomitmen dan memiliki motivasi sehingga perilaku kerja mereka mengarah pada
kinerja yang lebih baik, tingkat turnover yang lebih rendah, produktivitas yang
meningkat dan kualitas kerja yang tinggi. Benson et al (2006) mengidentifikasi
praktik-praktik SDM yang digunakan dalam high-involvement system yang berfokus
pada pengambilan keputusan oleh karyawan, akses mendapatkan informasi,
pelatihan dan insentif. Ada beberapa praktik dalam sistem ini yang sama dengan
yang ada dalam high-performance system seperti misalnya pelatihan dan sistem
bayaran insentif. Sung dan Ashton (2005) mengkategorikan praktik high-
involvement sebagai satu dari tiga area praktik high performance system yaitu
praktik SDM, praktik penghargaan (reward) dan komitmen, dan praktik high
involvement.
Pendekatan yang terakhir adalah high commitment management. Menurut
Wood (1996) manajemen ini menekankan pada pengembangan komitmen sehingga
karyawan dapat mengatur diri mereka sendiri tanpa sanksi dan tekanan dari luar, dan
hubungan antar anggota organisasi didasarkan pada kepercayaan. Armstrong (2008)
merumuskan beberapa pendekatan untuk menerapkan manajemen ini, antara lain
merujuk pada yang dikemukakan oleh Beer et al (1984) dan Walton (1985), dan
Wood dan Albanese (1995). Semua pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan
rasa nyaman, aman dan diperhatikan dalam bekerja sehingga bisa membentuk
komitmen terhadap organisasi.
20
Tabel 2.2 Pendekatan dalam High Commitment Management
Beer et al (1984) dan
Walton (1985) Wood dan Albanese (1995)
1) Pengembangan jenjang
karir dan penekanan pada
komitmen dan kemampuan
untuk bisa dilatih.
1) Manajemen merancang pekerjaan yang
memberikan kepuasan intrinsik
2) Fleksibilitas fungsional
yang tinggi (jabaran
pekerjaan yang tidak kaku).
2) Kebijakan yang membuat tidak adanya
pemecatan karena ketidaktersediaan pekerjaan;
jaminan pekerjaan permanen dan kemungkinan
Menggunakan tenaga kerja sementara dalam
menghadapi fluktuasi tuntutan akan tenaga kerja
3) Pengurangan hirarki dan
peniadaaan pembedaan
status
3) Sistem penilaian dan penggajian yang baru
khususnya mencocokkan gaji dan profit sharing
4) Keterlibatan karyawan yang lebih dalam pada
manajemen kualitas.
Sumber: Armstrong (2008)
2) Strategi Spesifik
Strategi SDM spesifik menurut Armstrong (2008) adalah strategi yang menentukan
apa yang harus organisasi lakukan pada praktik-praktik MSDM di bawah ini:
high-performance management – mengembangkan dan
mengimplementasikan sistem kerja berkinerja tinggi (high performance
work systems)
corporate social responsibility – komitmen untuk mengelola bisnis secara
etis untuk memberikan dampak positif pada masyarakat dan lingkungan
engagement – pengembangan dan pengimplenetasian kebijakan-kebijakan
yang dirancang untuk meningkatkan engagement karyawan dengan
pekerjaan mereka dan organisasi
21
pengembangan organisasi – perencanaan dan pelaksanaan program-
program yang dirancang untuk meningkatkan efektifitas organisasi dalam
menjalankan fungsinya dan dalam merespon perubahan
human capital management – memperoleh, menganalisis dan melaporkan
data yang menunjukkan arah manajemen SDM, investasi dan keputusan