9 BAB II STUDI PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka Selama ini belum banyak tulisan atau penelitian yang mengkaji motif- motif khas Batik Jambi terutama motif Kapal Sanggat. Tulisan kajian motif Batik Jambi masih sekedar menjelaskan jenis-jenis motif dengan makna-makna yang sebelumnya telah ditetapkan tanpa apa adanya pengkajian yang lebih mendalam. Untuk itu, kajian pustaka ini memilih beberapa buku maupun artikel yang berkaitan dengan motif Kapal Sanggat yang berhubungan dengan latar visual, filosofi dan belakang sosial budaya motif tersebut baik yang dicetak maupun di website. 1. Pola- Pola Arkaik di Indonesia. Untuk memahami motif batik Kapal Sanggat pertama perlu mengetahui mengenai pola-pola arkaik di Indonesia yang merupakan pola pikiran tua sebagai landasan untuk memahami filosofi batik karena harus dihubungkan dengan adat istiadat, pengaturan sistem sosialnya dan budaya wilayah itu sendiri (Sumardjo, 2013:40). Rosnifa dkk mengutip pendapat Boelaars (1971), mengenai mentalitas dasar kelompok-kelompok masyarakat (etnik) di Indonesia berdasarkan mata pencaharian pokoknya. (Desperindag, 2013:40-41), terdapat 4 golongan mentalitas budaya di Indonesia memiliki cara berbeda yaitu diantaranya :
28
Embed
BAB II STUDI PUSTAKA · 1. Pola Tiga: Kaum peramu dan pemburu mereka menganut keberadaan yang saling bertentangan dalam dinamika persaingan, agar sang Esa hadir dalam dunia, maka
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
9
BAB II
STUDI PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
Selama ini belum banyak tulisan atau penelitian yang mengkaji motif- motif
khas Batik Jambi terutama motif Kapal Sanggat. Tulisan kajian motif Batik Jambi
masih sekedar menjelaskan jenis-jenis motif dengan makna-makna yang
sebelumnya telah ditetapkan tanpa apa adanya pengkajian yang lebih mendalam.
Untuk itu, kajian pustaka ini memilih beberapa buku maupun artikel yang
berkaitan dengan motif Kapal Sanggat yang berhubungan dengan latar visual,
filosofi dan belakang sosial budaya motif tersebut baik yang dicetak maupun di
website.
1. Pola- Pola Arkaik di Indonesia.
Untuk memahami motif batik Kapal Sanggat pertama perlu mengetahui
mengenai pola-pola arkaik di Indonesia yang merupakan pola pikiran tua sebagai
landasan untuk memahami filosofi batik karena harus dihubungkan dengan adat
istiadat, pengaturan sistem sosialnya dan budaya wilayah itu sendiri (Sumardjo,
2013:40).
Rosnifa dkk mengutip pendapat Boelaars (1971), mengenai mentalitas dasar
kelompok-kelompok masyarakat (etnik) di Indonesia berdasarkan mata
pencaharian pokoknya. (Desperindag, 2013:40-41), terdapat 4 golongan
mentalitas budaya di Indonesia memiliki cara berbeda yaitu diantaranya :
10
1. Mentalitas atau cara hidup dan cara berpikir masyarakat Peramu adalah
bersifat konsumtif, sikap independent dan percaya diri yang tinggi.
2. Mentalitas kaum Peladang adalah produktif, konsumtif, dependen-
independen (mentalitas ganda), mementingkan hubungan daerah dari pada
lokalitas dan pentingnya peranan perantara dalam interelasi dan interaksi
pihak luar
3. Mentalitas kaum Pesawah adalah produktif, ketergantungan kelompok
yang kuat dari pada kebebasan,mengenal organisasi kerja dalam kelompok
besar, solidaritas tinggi dan pentingnya lokalitas bagi sistem kekerabatan.
4. Mentalitas kaum Maritim adalah mobilitasnya yang tinggi, sangat
independen, percaya diri, persaingan dan harga yang tinggi serta harga
dirinya tinggi.
Mengenai perkembangan historisnya, ciri mentalitas tersebut saling
bertautan sehingga kita dapat melihat apa yang lebih dominan dalam masyarakat.
penggolongan mentalitas tidak dapat menilai karakteristik suku-suku tertentu di
Indonesia. Masyarakat Jambi misalnya masuk dalam kategori masyarakat maritim
namun karakter budaya juga mengandung unsur-unsur peladang dan peramu,
namun mentalitas pesawah masuk juga kedalamnya sebagai pikiran diluar
(Sumardjo, 2013:41).
Menurut Sumardjo (2013 : 43-44), tanda pola dalam mentalitas kaum di
Indonesia ditandai dengan kosmologi atau tatanan keberadaan dunia yang
melibatkan tiga alam yakni mengenai manusia, alam dunia/semesta serta
keillahian (metakosmos) Yang Esa. Sebuah Tanda dari Yang Esa inilah muncul
segala sesuatu yang ada, yakni alam semesta (makrokosmos) dan mikrokosmos
11
(manusia). Berdasarkan golongan mentalitas budaya tersebut di Indonesia
primordial memilki cara yang berbeda, diterangkan sebagai berikut :
1. Pola Tiga: Kaum peramu dan pemburu mereka menganut keberadaan
yang saling bertentangan dalam dinamika persaingan, agar sang Esa
hadir dalam dunia, maka harus ada pasangan yang dihadirkan.
Permasalahan ini ditandai dengan pasangan perang. Kematian yang
merupakan bersifat spontan dari Yang Esa. Pengabungan dari kaum
peladang mengenai pada pasangan dikehidupan harus disatu padukan
yang disebut motif perkawinan dari hal ini dinamai pola tiga kesatuan
tiga dari dua pasangan oposioner, manusia dan kehidupannya serta sang
Pencipta (Sumardjo, 2013:43).
2. Pola Empat: Kaum Maritim memiliki empat pasangan oposioner namun
tidak disatukan dalam satu pusat peleburan. Kaum ini hanya
membiarkan dirinya disatukan dalam dinamika persainagan bukan
kematian (Sumardjo, 2013 :44).
3. Pola Lima: Kaum pesawah tidak hanya menyatukan dua pasangan dalam
perkawinan tetapi empat atau lebih yang merupakan peleburan berbagai
pasangan yang oposioner. Hadir Yang Esa dan hukum spontanistas nya
(seperti lahir/kematian) sebagai siklusnya hal ini dinyatakan dalam pola
lima (Sumardjo, 2013 :44).
Semua hal ini dapat ditujukan dalam bentuk benda budaya dalam
masyarakat pra-modern yang kebanyakan bermuatan magis religius. Salah
satunya membatik, budaya batik merupakan kegiatan yang memiliki hubungan
atau media perantara penghubung terhadap sang Pencipta. Dalam penciptaan batik
12
pun menganut pola–pola yang telah dijelaskan sebelumnya berdasarkan apa yang
terjadi di wilayah pembatikan. Sebagai contoh pola lima berlaku di daerah pulau
Jawa karena adanya kaum pesawah (Sumardjo, 2013: 44). Berbicara mengenai
kategori motif maritim, bahwa makrokosmos pada masyarakat maritim memiliki 4
unsur yaitu langit di atas bumi di bawah, laut di samping kanan dan daratan di
samping kiri. Dua oposioner disatukan dengan dua pasangan oposioner lain,
sehingga menjadi empat dalam satu kesatuan, satu keluarga besar meskipun saling
beroposisi (Sumardjo, 2013:46).
2. Latar Belakang Sejarah Masuknya Batik di Jambi.
Diawali oleh sejarah batik di Indonesia berasal dari beberapa artefak yang
ditemukan dalam situs-situs sejarah. Perkembangan batik dikatakan pada abad ke
7, ditandai dengan munculnya ragam hias kawung pada dinding Candi Syiwa
Prambanan dan pahatan jubah patung Jawa-Hindu dari abad ke 8 Masehi
(Priyono, 2013:31).
Perkembangan batik di Nusantara (Priyono, 2013:32), juga ditandai dalam
ragam hias hias lereng pada pakaian patung emas Dewa Durga di Candi Dieng,
Gamuruh, Wonosobo dari abad ke 9 Masehi. Pengaruh Cina mulai masuk di
Indonesia sejak abad ke 7 s/d 9 Masehi. Bukti ini ditujukan melalui penggunaan
ragam hias Burung Hong, Bunga Teratai, Bunga seruni, Kupu-Kupu dan lainnya.
Bukti lainnya ditemukan di Kediri, Jawa Timur pada detail ukiran kain yang
dikenakan Arca Pradnaparamita. Pada ukiran tersebut dipenuhi pola kembang dan
sulur tanaman yang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa dari
Abad ke 10 Masehi. Pada abad ke 17 Masehi Sultan Surakarta dan Yogyakarta
bahkan mentapkan batik menjadi pakaian wajib Keraton .
13
Masuknya batik hingga ke Jambi masih terus ditelusuri. Menurut Priyono
(2013:32), beberapa hipotesa berkembang bahwa budaya batik dibawa oleh
ekspansi Pamalayu yang dipimpin oleh Raja Singosari, Kartanegara yang
mengirimkan pasukannya pada tahun 1275 Masehi untuk membebaskan Kerajaan
Melayu Jambi dari Kerajaan Sriwijaya. Kedatangan Kerajaan Singosari membawa
dan memperkenalkan akulturasi budaya, termasuk budaya batik didalamnya.
Catatan Hendrik Van Gent memberi indikasi adanya pengaruh atau
pemakaian busana (batik) Jawa di Jambi disaat pertengahan abad 17. Malah Tome
Pires penulis Portugis dalam Suma Oriental menulis konon rakyat Jambi lebih
mirip orang Palembang dan orang Jawa dari pada orang Melayu. Corak Kejawaan
yang tampak dalam Kerajaan Palembang dan Jambi masih tetap terasa pada masa
Islam berabad-abad kemudian (de Graaf,1986).
Sejalan dengan perkembangan penguasaan Belanda atas Jambi, banyak
keluarga Keraton yang pindah ke Huluan Jambi (Muaro Tembesi dan Muaro
Tebo) ataupun ke Seberang Kota Jambi, sehingga pakaian batik boleh-boleh saja
dipakai rakyat kebanyakan walau pada awalnya dilakukan oleh para-para putri
bangsawan dan keluarga kerajaan.
Motif-motif Batik Jambi menurut Novra (2015:46), pada masa Kesultanan
Melayu Jambi didominasi dengan motif khas fauna dan flora yang digunakan
terbatas untuk keluarga dan lingkungan kesultanan atau masyarakat dengan
tingkat sosial tinggi. Peredaran Batik Jambi yang hanya terbatas pada kelompok
kerabat kesultanan atau kaum bangsawan menyebabkan produksinya mengalami
penuruan drastis pasca berakhirnya Kesultanan Jambi. Seperti yang diungkapkan
14
Djoemena (1990:1), ragam hias tiap masing-masing daerah umumnya sangat
dipengaruhi dan erat hubungannya dengan faktor-faktor :
1. Letak geografis daerah pembuat batik.
2. Sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan.
3. Kepercayaan dan adat istiadat yang ada di daerah yang bersangkutan.
4. Keadaan alam sekitarnya termasuk flora dan fauna.
5. Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan
Faktor tersebutlah yang membuat motif Batik Jambi sarat dengan estetika
dan filosofi akibat adanya pengaruh kearifan lokal, kondisi geografis, kebudayaan,
dan kepercayaan. Mulanya pola motif Batik Jambi dalam sedikit sejarahnya
karena letak geografisnya, memiliki pengaruh dari Arab, India dan Cina. Secara
umum motif Batik Jambi merupakan satu kesatuan dari elemen-elemen yang
terdiri atas titik, garis, bentuk warna dan tekstur. Kesatuan elemen tersebut,
mewujudkan keindahan melalaui pengulangan, pusat perhatian, keseimbangan
dan kekontrasan yang mengandung kebudayaan setempat, opini dan nilai-nilai
filosofis (Novra, 2015:47). Keunikan lain Batik Jambi juga terdapat pada
kesederhanaan motif yang tidak berangkai (ceplok-ceplok) dan berdiri sendiri-
sendiri. Menurut Novra (2015:47), penamaan motif bukan diberikan pada suatu
rangkaian bentuk. Namun dari berbagai unsur atau elemen. yang telah didesain
sedemikian rupa dan telah menjadi satu kesatuan yang utuh.
15
3. Pola Hias Pada Batik di Indonesia.
Kategori motif Batik Jambi dapat dilihat berdasarkan pengelompokan pola
hias pada batik berdasarkan bentuknya, menurut Doellah (2008:20), pola batik
terbagi atas dua kelompok besar yaitu pola geometri dan pola non- geometri.
a). Pola Hias Geometri.
Menurut Doellah (2008 :20), ragam hias yang masuk kedalam pola
geometri secara umum adalah ragam hias yang mengandung unsur-unsur
garis dan bangunan seperti garis miring, bujur sangkar, empat persegi
panjang, trapesium, belah ketupat, jajar genjang, lingkaran dan bentuk
lainnya yang disusun berulang-ulang sehingga membentuk satu kesatuan
pola.
b). Pola Hias Non-geometri.
Pola non geometri, Kusrianto (2013:153) mengutip pendapat Hamzuri
(1981) terdiri dari:
1). Motif Tumbuh-Tumbuhan Menjalar.
Dalam istilah Jawa motif menjalar disebut juga lung-lungan. Ornamen
ini memiliki ciri jenis tumbuh-tumbuhan bertipe menjalar atau merambat
dalam penggambarannya. Dalam batik klasik Jawa contohnya Cangklet
(Kusrianto, 2013:175).
16
2). Motif Tumbuhan Air.
Kelompok ini biasanya disebut motif Ganggong. Sekilas tampak seperti
ceplok namun perbedaanya terdapat pada bentuk isennya terdiri dari garis-
garis yang panjangnya sama (Kusrianto, 2013:186).
3). Motif Bunga.
Motif kelompok Bunga memiliki pola berbentuk ceploka. Ornamen yang
terdapat dalam motif ini menggambarkan bunga dari depan dan daun yang
tersususn dalam lingkaran segi empat. Dalam batik klasik Jawa contohnya
Cakrakusuma (Kusrianto, 2013 :189).
4). Motif Satwa dalam Alam.
Kelompok motif ini terdiri dari satwa/ hewan yang terdiri dari jenis
satwa air, darat maupun udara. Kelompok motif ini biasanya digunakan
dalam jenis batik Petani dimana tidak terlalu banyak filosofi yang
dimasukkan di dalamnya (Kusrianto, 2013:197).
5). Motif Alam Benda.
Alam benda merupakan perpaduan benda dan alam yang menjadi
objek. Kategori ini mengenai kehidupan yang mana meliputi apa yang
tampak dalam pengalaman kehidupan sehari-hari masyarakat yang
divisualkan dalam latar cerita dalam batik (Suciati, 2014 :24).
17
4. Ragam Motif Batik Jambi.
Berbagai penggolongan pola hias tersebut berhubungan dengan kategori
jenis motif yang terdapat di Jambi. Terbentuknya berbagai macam motif batik
Jambi tidak lain karena adanya faktor sosial budaya masyarakatnya. Pada batik
Jambi sering kali ditemukan permaknaan dari setiap visual yang dihasilkan,
biasanya makna tersebut berdasarkan karakteristik sosial, religi dan pemahaman
budaya bagi masyrakat. Dalam permaknaan filosofi Batik Jambi biasanya berisi
tentang nasehat, ajakan dan pantangan. Karakteristik sosial, kepercayaan religi
dan pemahaman budaya masyarakat yang berlaku secara umum sedikit banyak
mampu membantu dalam pemberian makna dari Batik Jambi. Menurut buku
Filosofi Batik Jambi (2013), beberapa motif tradisi lama Batik Jambi yang
memiliki permaknaan yang telah dikenal dimasyarakat Jambi, berikut:
a). Tampuk Manggis
Motif ini terbentuk karena adanya inspirasi dari buah manggis yang
merupakan buah yang memang banyak terdapat di lingkungan masyarakat Jambi.
Pada dasarnya motif yang tercipta tidak lepas dari pengaruh alam (geografis) dan
lingkungan sosial masyarakat tersebut berada. Makna yang terkandung dari motif
ini perlambangan mengenai ketulusan hati.
18
Gambar 1: Motif Tampuk Manggis
Sumber:http://umzaragallery.wordpress.com.
b). Kapal Sanggat
Motif kapal Sanggat dipahami sebagai motif kapal yang tidak dapat
melanjutkan perjalanan karena tersangkut sesuatu benda. Motif ini lebih terlihat
sebagai sebuah peringatan kepada kelompok sosial masyarakat. Berisi nasihat
agar menjadi sesorang hendaknya bersabar dan juga sebagai tanda agar jangan