BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Skizofrenia yang paling sering ditemukan pada kasus kedokteran jiwa, hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka yang biasanya bermula di bawah usia 25 tahun dan mengenai orang dari semua kelas sosial. Baik pasien maupun keluarga sering mendapatkan pelayanan yang buruk dan pengasingan sosial karena keridaktauan yang luas tentang gangguan ini. Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal namun kategotik diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin engan kausa yang heterogen, tapi dengan gejala prilaku yang sedikit banyak sama. Setiap pasien skizofrenian memiliki respon dalam pengobatan yang berbeda- beda.Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 %; konsisten dengan angka tersebut, penelitian EpidemologicalCatchment Area (ECA) yang disponsori oleh National Institue of Mental Helath (NIHM) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3% 1 . Di indonesia penderita dengangangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia, mulai dari kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga atau latar belakang atau pola asuh anak yang tidak baik sampai bencana alam yang melanda negara kita. Kondisi seperti ini 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Skizofrenia yang paling sering ditemukan pada kasus kedokteran jiwa, hampir 1%
penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka yang biasanya bermula di
bawah usia 25 tahun dan mengenai orang dari semua kelas sosial. Baik pasien maupun
keluarga sering mendapatkan pelayanan yang buruk dan pengasingan sosial karena
keridaktauan yang luas tentang gangguan ini.
Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal namun kategotik
diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin engan kausa yang heterogen, tapi
dengan gejala prilaku yang sedikit banyak sama. Setiap pasien skizofrenian memiliki respon
dalam pengobatan yang berbeda-beda.Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur
hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 %; konsisten dengan angka
tersebut, penelitian EpidemologicalCatchment Area (ECA) yang disponsori oleh National
Institue of Mental Helath (NIHM) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3%1.
Di indonesia penderita dengangangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan
terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia, mulai dari
kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga atau latar belakang atau pola asuh
anak yang tidak baik sampai bencana alam yang melanda negara kita. Kondisi seperti ini
dapat menimbulkan masalah-masalah psikososial maupun ekonomi, maka adakecenderungan
seseorang untuk mengalami skizofrenia2. Orang yang mengalami skizofrenia berarti
kesehatan jiwanya terganggu, padahal kesehatan jiwa adalah salah satu unsur kehidupan yang
terpenting3.
Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda.
Skizofrenia merupakan penyakit keronik. Sebagian kecil darikehidupan mereka berada dalam
kondisi akut dan sebagian besar berada lebih lama (bertahun-tahun) dalam fase residual yaitu
fase yang memperlihatkan gejala yang ringan. Selama fase residual, mengisolasi diri dan
aneh, gejala penyakit biasanya terlihat jelas oleh prang lain. Gangguan skizotipal memiliki
banyak ciri khas dari gangguan skizofrenik dan mungkin berkaitan secara genetik dengan
skizofrenia, namun demikian, halusinasi, waham dan gangguan perilaku yang besar dari
skizofrenia. Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang
mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar atau tumpul 4.
1
Penanganan pasien skizofrenia dibagi secara garis besar menjadi, terapi biologik atau
obat anti psikotik, terapi psikososial, dan perawatan rumah sakit. Walaupun pengobatan
antipsikotik merupakan inti dari pengobatan skizofrenia, penelitian telah menemukan bahwa
intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis. Modalitas psikososial harus
diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat dan harus mendukung regimen
tersebut. Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari pemakaian kombinasi
pengobatan antipsikotik dan psikososial1.
I.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang gejala klinis dan penatalaksanaan Skizofrenia baik
secara terapi biologikmaupun terapi psikososial.
I.3 Tujuan
1. Sebagai referensi untuk menambah sumber bacaan mengenai penatalaksanaan
Skizofrenia
2. Sebagai pembelajaran untuk penatalaksanaan Skizofrenia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skizofrenia
2.1.1 Definisi
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh dengan
terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi, dan perilaku pasien yang terkena.
Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (atau primer) yang
spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, serta gejala lainnya
yaitu gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangakan gejala sekundernya adalah
waham dan halusinasi.1
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang memiliki karakteristik khusus.
Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, definisi skizofrenia
dijelaskan sebagai gangguan jiwa yang ditandai dengan distorsi khas dan fundamental dalam
pikiran dan persepsi yang disertai dengan adanya afek yang tumpul atau tidak wajar.3
2.1.2 Etiologi
Adapun teori-teori etiologi skizofrenia antara lain:1
a. Model diatesis-stres
Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan
yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan
berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh
secara dinamis.
b. Neurobiologi
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang berlebihan di bagian kortikal
otak, dan berkaitan dengan gejala pasotif skizofrenia. Selain itu juga terdapat
peningkatan neurotransmitter lainnya seperti serotonin, norepinefrin, GABA,
glutamat. Selain itu pada penelitian lainnya mengindikasikan adanya peran
patofisiologis area otak tertentu, termasuk sistem limbik , korteks frontal, serebelum,
dan ganglia basalis. Keempat area ini saling berhubungan sehingga disfungsi satu area
dapat melibatkan proses patologi primer ditempat lain. Pencitraan otak manusia hidup
dan pemeriksaan neuropatologi jaringan otak posmortem menyatakan sistem limbik
3
sebagai lokasi potensial proses patologi primer pada setidaknya beberapa bahkan
mungkin sebagian besar pasien skizofrenia.
c. Faktor genetik
Serangkaian studi genetik secara meyakinkan mengemukakan bahwa adanya
komponen genetik dalam pewarisan sifat skizofrenia. Adapun prevalensi skizofrenia
pada populasi umum yaitu 1%, pada saudara kandung bukan kembar pasien
skizofrenia prevalensinya 8%, pada anak dengan salah satu orang tua penderita
skizofrenia prevalensinya 12%, pada kembaran dizigotik pasien skizofrenia 12%,
pada anak yang kedua orang tuanya menderita skizofrenia 40%, dan pada kembar
monozigot pasien skizofrenia sebesar 47%.
d. Faktor psikososial
Teori perkembangan
Ahli teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya perhatian yang
hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam
menyebabkan kurangnya identitas diri, salah interpretasi terhadap realitas dan
menarik diri dari hubungan sosial pada penderita skizofrenia.
Teori belajar
Menurut para ahli teori pembelajaran, anak yang dikemudian hari menderita
skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir irasional dengan cara meniru
orang tua yang memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan
interpersonal yang buruk pada orang tua dengan skizofrenia muncul akibat model
pembelajaran yang buruk selama masa kanak-kanak.
Teori keluarga
Tidak ada bukti dengan kontrol yang baik yang mengidentifikasikan bahwa
terdapat suatu pola keluarga khusus yang memainkan peran kausatif dalam
timbulnya skizofrenia. Namun beberapa pasien skizofrenia memang berasal dari
keluarga yang disfungsional.
Teori sosial
Sejumlah teori menyatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi terlibat dalam
penyebab skizofrenia. Walaupun beberapa data yang mendukung teori ini, stres
tersebut kini dianggap memiliki efek utama terhadap waktu munculnya awitan dan
keparahan penyakit.
2.1.3 Klasifikasi
4
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria DSM-IV
atau ICD X. Berdasarkan DSM-IV yaitu:2
1. Berlangsung paling sedikit 6 bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan
interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi.
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode tersebut.
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor,
autisme, atau gangguan organik.
Semua pasien skizofrenia sebaliknya digolongkan kedalam salah satu dari sub tipe
yang telah disebutkan di atas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas manifestasi
perilaku yang paling menonjol.
Tipe Paranoid
Tipe ini paling stabil dan paling sering. Awitan subtipe ini biasanya terjadi lebih
belakangan bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk skizofrenia lain. Gejala terlihat sangat
konsisten, sering paranoid, pasien dapat atau tidak bertindak sesuai wahamnya. Pasien sering
tak kooperatif dan sulit untuk mengadakan kerjasama, mungkin agresif, marah, atau
ketakutan, tetapi pasien jarang sekali memperlihatkan perilaku inkoheren atau disorganisasi.
Waham dan halusinasi menonjol sedangkan afek dan pembicaraan hampir tidak terpengaruh.
Beberapa contoh gejala paranoid yang sering ditemui:2
a. Waham kejar, rujukan, kebesaran, waham dikendalikan, dipengaruhi, dan cemburu.
b. Halusinasi akustik berupa ancaman, perintah, atau menghina.
Tipe Disorganisasi
Skizofrenia tipe disorganisasi atau hebefrenik ditandai dengan regresi nyata ke
perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta dengan tidak adanya gejala yang memenuhi
kriteria tipe katatonik. Awitan subtipe ini muncul sebelum usia 25 tahun. Pasien hebefrenik
biasanya aktif namun dalam sikap yang nonkonstruktif dan tak bertujuan.1
Gejala-gejala tipe disorganisasi antara lain yaitu:2
a. Afek datar, tumpul atau tak serasi
b. Sering inkoheren
c. Waham tak sistematis
d. Perilaku disorganisasi seperti menyeringai dan manerisme (sering ditemui)
5
Tipe Katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari (atau kombinasi) beberapa bentuk
katatonia, yaitu:2
1. Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap lingkungan atau
orang. Pasien menyadari hal-hal yang sedang berlangsung di sekitarnya.
2. Negativisme katatonik yaitu pasienn melawan semua perintah-perintah atau usaha-
usaha untuk menggerakkan fisiknya.
3. Rigiditas katatonik yaitu psien secara fisik sangat kaku atau rigid.
4. Postur katatonik yaitu pasien mempertahankan posisi yang tak biasa atau aneh.
5. Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin dapat
mengancam jiwanya.
Tipe Tak Terinci
Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejal-gejala psikosis aktif yang menonjol
(misalnya: kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria skizofrenia tetapi tidak
digolongkan pada tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual, dan depresi pasca
skizofrenia.2
Tipe Residual
Pasien dalam keadaan remisi dari keadaan akut tetapi msih memperlihatkan gejala-
gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar atau tak serasi, perilaku eksentrik,
asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).2
2.1.4 Manifestasi klinis
Berdasarkan DSM-IV, ciri yang terpenting dari skizofrenia adalah adanya campuran
dari dua karakteristik (baik gejala positif maupun gejala negatif). Secara umum, karakteristik
gejala skizofrenia, dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu :1
1) Gejala Positif
Gejala positif adalah tanda yang biasanya pada orang kebanyakan tidak ada, namun
pasien skizofrenia jusru muncul. Gejala positif adalah gejala yang bersifat aneh, antara lain
berupa delusi, halusinasi, ketidakteraturan pembicaraan, dan perubahan perilaku.1
2) Gejala Negatif
6
Gejala Negatif adalah menurunnya atau tidak adanya perilaku tertentu, seperti
perasaan yang datar (afek mendatar atau menumpul), miskin bicara (alogia) atau isi bicara,
bloking, kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial.1
Skizofrenia sering memperlihatkan campuran gejala-gejala di bawah ini:2
A. Gangguan pikiran
1. Gangguan proses pikir
Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering tidak
dimengerti oleh orang lain dan terlihat tidak logis. Tanda-tandanya adalah:
Asosiasi longgar : ide pasien sering tidak menyambung (terjadi keseimbangan
penyampaian dari satu ide ke ide lain). Ide tersebut seolah dapat melompat dari topik
ke topik lain yang tak berhubungan sehingga membingungkan pendengar.
Pemasukan berlebihan : arus pikiran pasien secara terus menerus mengalami
gangguan karena pikirannya sering dimasuki informasi yang tidak relevan
Neologisme : pasien menciptakan kat-kata baru (yang bagi mereka mungkin
mengandung arti simbolik)
Terhambat : pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan kalimat) dan
disambung kembali beberapa saat kemudian, biasanya dengan topik yang lain. Ini
dapat menunjukkan bahwa ada interupsi. Biasanya pikiran-pikiran lain masuk
kedalam ide pasien. Perhatian pasien sering sangat mudah teralih dan jangka waktu
atensinya singkat.
Ekolalia : pasien mengulang kat atau kalimat yang baru saja diucapkan oleh
seseorang.
Konkritisasi : Pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat buru
kemampuan berpikir abstraknya.
Alogia : pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disebabkan oleh resistensi yang
disengaja ( miskin pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi
sangat sedikit ide yang disampaikan.
2. Gangguan isi pikir
Pada gangguan isi pikir yaitu adanya waham. Waham sering ditemui pada gangguan
jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada
skizofrenia. Contoh waham yang sering ditemui adalah waham kejar, waham
hubungan sosial (menarik diri), gangguan proses pikir (lambat), isi pikir yang
stereotip dan tidak isisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung
menyendiri.
a. Antipsikosis Psikosis Generasi – I (APG-I)
Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional atau tipikal. berguna terutama
untuk mengontrol gejala-gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak
bermanfaat. Obat-obat Tipikal yang sering di gunakan adalah Klorpromazine dan
Haloperidol.
1. Klorpromazine
Farmakodinamik. Efek farmakologik klorpromazin dan antipsikosis lainnya meliputi
efek pada susunan saraf pusat, sistem otonom, dan sistem endokrin. Efek ini terjadi karena
antipsikosis menghambat berbagai reseptor diantaranya dopamin, reseptor α-adrenergik,
muskarinik, histamin H1 dan reseptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda.
12
Klorpromazin misalnya selain memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin, juga memiliki
afinitas yang tinggi terhadap reseptor α-adrenergik, sedangkan risperidon memiliki afinitas
yang tinggi terhadap reseptor serotonin 5HT2 7.
Farmakokinetik. Kebanyakan antipsikosis diabsorpsi sempurna, sebagian diantaranya
mengalami metabolisme lintas pertama. Bioavabilitas klorpromazin dan tioridazin berkisar
antara 25-35%, sedangkan haloperidol mencapai 65%. Kebanyakan antipsikosis bersifat larut
dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92-99%) 7.
Susunan Saraf Pusat. CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh
terhadap rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap
efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum minum
obat 7.
Neurologik. Pada dosis berlebihan, semua derivat fenotiazin dapat menyebabkan
gejala ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada parkinsonisme. Dikenal 6 gejala
sindrom neurologik yang karakteristik dari obat ini. Empat diantaranya biasa terjadi sewaktu
obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme dan sindrom neuroleptic
malignant, yang terakhir jarang terjadi. Dua sindrom yang lain terjadi setelah pengobatan
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral (jarang) dan diskinesia tardif 7.
Efek Endrokrin. CPZ dan beberapa antipsikosis lama lainnya mempunyai efek
samping terhadap sistem reproduksi. Pada wanita dapat terjadi amenorea, galaktorea, dan
peningkatan libido, sedangkan pada pria dilaporkan adanya penurunan libido dan
ginekomastia. Efek ini terjadi karena efek sekunder dari hambatan reseptor dopamin yang
menyebabkan hiperprolaktinemia, serta kemungkinan adanya peningkatan perubahan
androgen menjadi estrogen di perifer. Pada antipsikosis yang batu misalnya olanzapin,
quetiapin dan aripriprazol, efek samping ini minimal karena afinitasnya yang rendah terhadap
reseptor dopamin 7.
Kardiovaskular. Hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut nadi saat istirahat
biasanya sering terjadi dengan derifat fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer,
curah jantung menurun dan frekuensi denyut jantung meningkat. Efek ini diperkirakan karena
efek otonom dari obat antipsikosis. Abnormalitas EKG dilaporkan terjadi pada pemakaian
tioridazin berupa perpanjangan interval QT, abnormalitas segmen ST dan gelombang T.
Perubahan ini biasanya bersifat reversibel 7.
Sediaan. CPZ tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. Selain itu juga tersedia
dalam bentuk larutan suntik 25 mg/ml. Larutan CPZ dapat berubah warna menjadi merah
jambu oleh pengaruh cahaya 7.
13
2. Haloperidol
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang karena
hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80% pasien
yang diobati haloperidol 7.
Farmakodinamik. Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Pada orang normal,
efek haloperidol memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania
penyakit manik depresif dan skizofrenia. Efek haloperidol selain menghambat efek dopamin,
juga meningkatkan turn over ratenya 7.
Farmakokinetik. Haloperidol cepat diserap di saluran cerna. Kadar puncaknya dalam
plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih
dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati dan
kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi haloperidol
lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 4 hari sesudah pemberian dosis
tunggal 7.
Susunan saraf pusat. Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang
yang mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibanding dengan CPZ.
Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang konvulsi. Haloperidol
menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan
oleh apomorfin 7.
Sistem kardiovaskular. Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan
sehebat akibat CPZ. Haloperidol menyebabkan takikardia meskipun kelainan EKG belum
pernah dilaporkan 7.
Efek samping. Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang
tinggi, terutama pada pasien usia muda. Dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania
atau sebagai efek samping yang sebenarnya. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada
wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek teratogenik 6.
Sediaan. Haloperidol tersedia dalam benttuk tablet 0,5 mg, 1,5 mg dan 5 mg7.
b. Antipsikosis Generasi -II (APG-II)
APG-II disebut juga antipsikotika baru atau atipikal. Sebaiknya skizofrenia diobati
dengan APG-II. Pemeliharaan dengan dosis rendah antipsikotika diperlukan, setelah
14
kekambuhan pertama. Dosis pemeliharaan sebaiknya diteruskan untuk beberapa tahun.Obat
APG-II bermanfaat baik untuk gejala positif maupun negatif . Beberapa Obat APG-II yang
sering di gunakan adalah Clozapine dan Resperidone yang mempunyai efek klinis yang besar
dengan efek samping yang minimal5.
1. Clozapine
Clozapine merupakan antipsikotika pertama yang efek samping ekstrapiramidalnya
dapat diabaikan. Dibandingkan dengan obat-obat generasi pertama, semua APG-II
mempunyai rasio blokade serotonin (5 hidroksitriptamin) (5-HT) tipe 2 (5-HT2) terhadap
reseptor dopamin tipe 2 (D2) lebih tinggi. Ia lebih banyak bekerja pada sistem dopamin
mesolimbik daripada striatum. Semua obat-obat baru, kecuali clozapine karena efek samping
dan butuh pemeriksaan darah tiap minggu, adalah obat pilihan pertama (first-line drug).
Sebaliknya, clozapine, efektivitasnya sudah tercapai meskipun hanya 40%-60% D2 yang
dihambat. Ada dugaan bahwa efektivitas clozapine sebagai antipsikotika di dapat karena ia
juga bekerja pada reseptor lain terutama 5-HT2A 7.
Clozapine efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang
positif (iritabilitas) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal
neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara
bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pengobatan pasien
refrakter terhadap obat standar. Selain itu, karena efek samping ekstrapiramidal yang sangat
rendah, oobat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala ekstrapiramidal berat pada
pemberian antipsikosis tipikal. Namun karena klozapin memiliki risiko timbulnya
agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan antipsikosis yang lain, maka penggunaannya
dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis yang lain.
Pasien yang diberi klozapin perlu dipantau jumlah sel darah putihnya setiap minggu 7.Farmakokinetik. Clozapine diabsorbsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral,
kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian obat. Klozapin secara
ekstensif diikat protein plasma (> 95%), obat ini dimetabolisme hampir sempurna sebelum
diekskresi lewat urin dan tinja, dengan waktu paruh rata-rata 11,8 jam.
Sediaan. Klozapin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg 7.
2. Risperidon
Farmakodinamik. Risperidon yang merupakan derivat dari benzisoksazol mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas menengah terhadap
15
reseptor dopamin (D2), alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamin. Aktivitas
antipsikosis diperkirakan melalui hambatan terhadap reseptor serotonin dan dopamin 7.
Farmakokinetik. Bioavabilitas oral sekitar 70%, volume distribusi 1-2 L/kg. Di
plasma risperidon terkait dengan albumin dan alfa 1 glikoprotein. Ikatan protein plasma
sekitar 90%. Risperidon secara ekstensif di metabolisme di hati oleh enzim CYP 2D6
menjadi metabolitnya 9-hidroksirieperidon. Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat
urin dan sebagian kecil lewat feses 7.
Indikasi. Indikasi risperidon adalah untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif
maupun positif. Di samping itu diindikasikan pula untuk gangguan bipolar, depresi dengan
ciri psikosis 7.
Efek samping. Secara umum risperidon dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping
yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah, peningkatan
berat badan, hiperprolaktinemia dan reaksi ekstrapiramidal umumnya lebih ringan dibanding
antipsikosis tipikal 7.
Tabel 2.1 Sediaan obat Antipsikosis generasi I dan II5.
Golongan ObatPotensi
Klinik
Toksisitas
ekstrapiramidal
Efek
Sedatif
Efek
hipotensi
Fenotiazin
- Alifatik
- Piperazin
Tioxanten
Butirofenon
Dibenzodiazepin
Benzisoksazol
Tienobenzodiazepi
n
Dibenzotiazepin
Dihidroindolon
Dihidrokarbostiril
Klorpromazin
Flufenazin
Thiotixene
Haloperidol
Klozapin
Risperidon
Olanzapin
Quetiapin
Ziprasidon
Aripriprazol
+ +
+ + + +
+ + + +
+ + + +
+ + +
+ + + +
+ + + +
+ +
+ + +
+ + + +
+ + +
+ + + +
+ + +
+ + + + +
+
+ +
+
+
+
+
+ + + +
+ +
+ + +
+ +
+ +
+ +
+ + +
+ + +
+ +
+
+ + +
+
+ + +
+
+ + +
+ +
+ +
+ +
+
+ +
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang multi episode, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit 5 tahun. Pemberian yang cukup lama ini
dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali. Efek obat antipsikosis secara relatif
16
berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis.
Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan. Biasanya satu
bulan kemudian baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali. Hal ini disebabkan
metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai
keaktifan antipsikosis 8.
c. Antipsikosis Long Acting Injection
Obat anti-psiksosis “long acting” (Fluphenazine Decanoat 24 mg/cc atau Haloperidol
Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2-4 minggu, sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau
sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai
dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru ditingkatkan menjadi 1 cc
setiap bulan 7. Dari hasil penelitian penatalaksanaan jangka panjang pada pasien skizofrenia
di Canada menunjukkan bahwa pasien yang diberikan antipsikosis long acting injeksi
menunjukkan perbaikan klinis signifikan, perbaikan fungsi sosial dan menurunkan
hospitalisasi pasien 9.
C. Efek samping dan obat yang di gunakan untuk mengatasi efek samping dari
Antipsikotik
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat antipsikotik adalah sebagai berikut8:
1. Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja