Page 1
12
BAB II
SIFAT DAN KEWENANGAN BPSK SEBAGAI QUASI
PERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN NASIONAL
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bukan lembaga pengadilan.
Namun, merupakan lembaga semi atau quasi peradilan karena karakteristik tugas
dan sifatnya serta kewenangannya yang bersifat mengadili, hal ini membuat
BPSK harus dilihat sebagai bagian dari sistem peradilan dalam arti yang luas.
Selain BPSK, ada beberapa lembaga yang memiliki karakteristik sebagai quasi
peradilan, seperti Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi
Informasi Pusat dan Komisi Informasi Daerah (KIP dan KID), dan Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Pada Bab ini yang menjadi fokus
pembahasan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
A. Sistem Peradilan Nasional
1. Pengertian Sistem Peradilan Nasional
Menurut Bagir Manan sistem peradilan dapat ditinjau dari 2 (dua) segi :1
Pertama, segala sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan
peradilan yang mencakup kelembagaan, sumber daya, tata cara,
prasarana dan sarana. Kedua, proses mengadili (memeriksa dan
memutus perkara). Kelembagaan peradilan dapat dibedakan
antara susunan horizontal dan susunan vertikal. Susunan
horizontal menyangkut berbagai lingkungan badan peradilan,
sedangkan susunan vertikal terkait dengan tingkat penyelesaian
perkara dari tingkat pertama, banding dan kasasi.
1 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Jakarta: Mahkamah
Agung RI, 2004, h. 17.
Page 2
13
Sistem peradilan ini didasarkan pada ketentuan pasal 24 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyebutkan sebagai berikut:
Ayat (1) “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum
dan keadilan.”
Ayat (2) “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
2. Kemandirian Lembaga Peradilan
Berdasarkan asas yang terdapat pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa kekuasaan kehakiman
membutuhkan kebebasan dari segala bentuk pengaruh badan-badan dan pihak lain
ekstra yudisial.2 Sehubungan dengan pembahasan mengenai kemandirian lembaga
peradilan di atas, Sudikno Mertokusumo memberikan makna tersendiri tentang
kemandirian lembaga peradilan, yakni:3
Kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim
merupakan asas yang sifatnya universal, yang terdapat di mana
saja dan kapan saja. Asas ini berarti bahwa dalam melaksanakan
peradilan, hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas
dalam/untuk memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari
campur tangan atau turun tangan kekuasaan ektrayudisial. Jadi
pada dasarnya dalam/untuk memeriksa dan mengadili. Kecuali
ini pada dasarnya tidak ada pihak-pihak, baik atasan hakim yang
2 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama,
2007, h. 13. 3 Ibid., h. 14 dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Relevansi Penegakan Etika Profesi
Bagi Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, Makalah disampaikan dalam seminar 50 tahun
Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia di UGM tanggal 26 Agustus 1995, h. 2.
Page 3
14
bersangkutan maupun pihak ekstrayudisial yang boleh
mencampuri jalannya sidang pengadilan.
Hal ini berarti hakim bebas memeriksa dan bebas dalam mengadili. Bebas
dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia bebas
dalam memeriksa, membuktikan dan memutus perkara berdasarkan hati
nuraninya.
3. Lembaga-lembaga Peradilan di Indonesia
Berdasarkan yang termuat pada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiam
pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dapat diketahui lembaga-
lembaga peradilan, sebagai berikut : “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.” Pengaturan lebih lanjut mengenai kekuasaan kehakiman dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Namun pada bab ini, penulis akan sedikit menguraikan mengenai
lembaga-lembaga peradilan di atas tetapi lebih fokus menguraikan pada lembaga
peradilan yang berkaitan langsung dengan proses penyelesaian sengketa
konsumen, yaitu lingkungan peradilan umum.
a. Lingkungan Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan umum memiliki hubungan
dengan BPSK dalam proses penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan Pasal
56 ayat (2) dan (4), Pasal 57, dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomer 8
Page 4
15
tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Kekuasaan kehakiman di
lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi.
Ada 4 keterkaitan BPSK dengan lingkungan peradilan umum dilihat
berdasarkan proses penyelesaiannya, sebagai berikut:
1) Para pihak yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan keberatan
kepada Pengadilan Negeri,4 dan selanjutnya jika para pihak masih
keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut, dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.5
2) Apabila pelaku usaha menerima putusan atau tidak mengajukan
keberatan terhadap putusan BPSK, tetapi enggan melaksanakan
kewajibannya, maka BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada
penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan
undang-undang yang berlaku.6
3) Putusan BPSK dimintakan penetapan eksekusi pada pengadilan negeri
di tempat konsumen dirugikan.7
4) Upaya penyelesaian sengketa melalui BPSK dinyatakan tidak berhasil
oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa
selanjutnya gugatan melalui pengadilan dapat ditempuh.8
4 Pasal 56 Ayat (2) UUPK jo. Pasal 41 Ayat (3) Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 5 Pasal 58 Ayat (2) UUPK
6 Pasal 56 Ayat (4) UUPK jo. Pasal 41 Ayat (6) Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 7 Pasal 57 UUPK jo. Pasal 42 Ayat (2) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001
8 Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen
Page 5
16
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menggolongkan keterkaitan BPSK
dengan lingkungan peradilan umum menjadi 2 (dua) bagian. Pertama, lihat uraian
ke 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga) proses penyelesaian di BPSK sampai dengan selesai.
Kedua, lihat uraian ke 4 (empat) proses penyelesaian di BPSK tidak selesai. Tolak
ukur selesai atau tidak selesainya yang dimaksudkan adalah proses penyelesaian
di BPSK dari awal sampai dikeluarkannya putusan majelis.
b. Lingkungan Peradilan Agama
Pengadilan di lingkungan peradilan agama merupakan pengadilan yang
berjenjang, mulai dari pengadilan Pengadilan Agama tingkat pertama, Pengadilan
Tinggi Agama tingkat banding.
Pengadilan Agama adalah organ kekuasaan kehakiman dalam lingkungan
Peradilan Agama9 yang berkedudukan di kotamadya atau kabupaten, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kebupaten.10
Pengadilan Agama
merupakan Pengadilan Tingkat Pertama. Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:11
Perkawinan,
Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam, Wakaf
dan shadaqah. Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan
9 Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (Pasal 1
angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum) 10
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum. 11
Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum.
Page 6
17
dalam lingkungan peradilan umum.12
Tidak dibahas lebih lanjut karena tidak
relevan dengan penelitian.
c. Lingkungan Peradilan Militer
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer adalah badan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata,13
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang mengadili tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana
adalah perajurit; yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengaan
Prajurit; anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan
atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang; atas keputusan
Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi,
Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Tidak dibahas
lebih lanjut karena tidak relevan dengan penelitian.
d. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat pertama.
Susunan pengadilan terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan
Sekretaris; dan pemimpin pengadilan terdiri atas seorang Ketua dan seorang
Wakil Ketua.
12
Pasal 54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum. 13
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
Page 7
18
Sedangkan, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan
berwenang: (a) memeriksa dan memutuskan sengketa Tata Usaha Negara di
tingkat banding; (b) memeriksa dan memutuskan mengadili antara pengadilan
Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya; (c) memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara.
Lingkungan peradilan tata usaha negara merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang terlibat sengketa tata usaha
negara. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara antara orang atau badan hukum perdata berhadapan dengan badan
atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.14
Tidak dibahas lebih
lanjut karena tidak relevan dengan penelitian.
Berdasarkan yang telah dipaparkan di atas terdapat 4 (empat) lingkungan
peradilan negara yang kesemuanya berpuncak atau berakhir pada Mahkamah
Agung. Di samping itu, sistem peradilan nasional masih mengenal peradilan sui
generis atau peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Terjadinya perkembangan pada sistem peradilan di Indonesia juga
dinyatakan oleh Abdul Halim Barkatulah, sebagai berikut :15
14
Pasa 1 butir 4 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undnag-
Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 15
Abdul Halim Barkatullah, HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN: Kajian Teoritis
dan Perkembangan Pemikiran, Bandung: Nusa Media, 2008 (selanjutnya disingkat Abdul Halim
II), h. 180-181.
Page 8
19
Fenomena muculnya kelembagaan baru di dunia peradilan di
Indonesia antara lain dibentuknya Pengadilan HAM berdasarkan
UU No. 26 Tahun 2000, yang dalam hal ini juga dibentuk
Pengadilan HAM ad hoc, juga muncul Komisi Yudisial,
Pengadilan Korupsi ad hoc, Pengadilan Niaga, Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan lain sejenisnya. Hal ini
semua bertujuan membangun dunia peradilan yang bermartabat
dan berperan secara anggun (elegan) sebagai bagian dari
pembangunan bangsa.
Berdasarkan pernyataan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan
bahwa BPSK bukanlah lembaga kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah
Agung dengan kesatuan sistem peradilan yang bertingkat, sehingga upaya
keberatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri seharusnya tidak dapat dilakukan
mengingat putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat.16
Namun, BPSK
merupakan perkembangan peradilan di Indonesia dalam memberikan keadilan
kepada konsumen17
yang telah mengalami kerugian dengan jumlah yang tidak
sebanding dengan biaya yang dikeluarkan jika harus digugat di Pengadilan
Negeri.
B. Quasi Peradilan
Di samping lembaga Pengadilan Umum yang dalam undang-undang
secara tegas dan resmi disebut sebagai pengadilan, dewasa ini juga banyak
tumbuh dan berkembang adanya lembaga-lembaga yang mesikipun tidak secara
eksplisit sebagai pengadilan, tetapi memiliki kewenangan dan mekanisme kerja
yang juga bersifat mengadili.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menentukan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
16
Vide Bab III. 17
Vide Bab IV.
Page 9
20
kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ini merupakan dasar munculnya
badan-badan baru yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman untuk membantu
menjalankan tugas pokok dari lembaga peradilan utama. Oleh karena itu, badan-
badan ini diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus suatu
perselisihan ataupun perkara pelanggaran hukum, dan bahkan perkara pelanggaran
etika tertentu dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat (final dan
binding) sebagaimana putusan pengadilan yang bersifat “inkracht” pada
umumnya. Semua ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi para pihak
yang dirugikan oleh suatu sistem pengambilan keputusan yang mengatasnamakan
kekuasaan negara.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga yang bersifat
„mengadili‟ tetapi tidak disebut sebagai pengadilan itu merupakan bentuk quasi
pengadilan atau semi pengadilan. Beberapa di antaranya berbentuk komisi-komisi
negara, tetapi ada pula yang menggunakan istilah badan atau pun dewan. Quasi
judicial atau kuasi peradilan merupakan sebuah lembaga yang „bertindak sebagai‟.
Menurut blacks law dictionary yang disebut quasi adalah18
:
“as if, this terms is used in legal pharaseology to indicate that
one subject resembles another, with which it is compared, in
certain characteristics but that there are intrinsic and material
differences between them.”
Atau dengan kata lain, quasi merupakan sesuatu yang „seolah-olah‟, yang
biasanya istilah ini digunakan dalam bahasa hukum untuk menunjukkan suatu
subjek dapat bertindak sebagai sesuatu berupa subjek lain. Ini erat kaitannya
18
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, U.S.: West
Publishing Co, 1990, h. 1245.
Page 10
21
dengan quasi judicial yang berhubungan dengan pelaksanaan pengadilan.
Menurut blacks law dictionary, yang dimaksud dengan quasi judicial adalah19
:
“a term applied to the action, discretion, etc. Of public
administrative officers, who are required to investigate facts, or
ascertain the existence of fact, and draw conclusions from them.
As a basis for their official action , and to exercise discretion of
a judicial nature.
Lembaga-lembaga ini, di samping bersifat mengadili, seringkali juga
memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campuran dengan fungsi regulasi
dan/ataupun fungsi administrasi. Fungsi regulasi dapat dikaitkan dengan fungsi
legislatif menurut doktrin „trias-politica Mostesquieu‟, sedangkan fungsi
administrasi identik dengan fungsi eksekutif. Karena itu, komisi-komisi negara
atau lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan mengadili ini dapat dikatakan
merupakan lembaga yang memiliki fungsi campuran.20
beberapa komisi dan badan yang memiliki kewenangan sebagai lembaga
quasi peradilan di Indonesia, antara lain:
1) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);21
2) Komisi Informasi Pusat (KIP) dan Komisi Informasi Daerah (KID);22
3) Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu);23
KPPU, misalnya, merupakan lembaga eksekutif yang melakukan fungsi
pengawasan terhadap praktik persaingan usaha yang tidak sehat. Namun, UU
19
Ibid. 20
Jimly Asshiddiqie, Putih Hitam Pengadilan Khusus, Jakarta: Pusat Analisis dan
Layanan Informasi Sekertariat Jenderal Komisi yudisial, 2013, h. 14 21
Lembaga ini dibentuk berdasarkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 22
Komisi ini dibentuk berdasarkan UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. 23
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Page 11
22
memberikan kewenangan kepada lembaga pengawas persaingan usaha ini untuk
bertindak sebagai penengah dan sekaligus pemutus atas setiap perselisihan
mengenai persaingan usaha yang tidak sehat.24
Dibentuknya lembaga ini
mencerminkan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengendalikan sistem
perekonomian Indonesia yang telah berkembang sangat bebas dan terbuka sebagai
akibat kebijakan ekonomi yang diterapkan,25
sehingga mekanisme pengawasan
yang efektif atas pelbagai bentuk persaingan usaha yang tidak sehat harus
dibentuk dengan infra-struktur kelembagaan yang bersifat semi yudisial. Komisi
ini bersifat independen.26
Alternatif putusan KPPU adalah telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran
terhadap UUPU. KPPU wajib memutusakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan.27
Dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU, pelaku
usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan
pelaksanaannya kepada KPPU.28
Namun, sebelum pelaku usaha diwajibkan
melaksanakan putusan, ketentuan pada UUPU pelaku usaha dapat mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
setelah menerima pemberitahuan putusan.29
Hal ini terlihat bahwa UUPU
24
Pasal 36 UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat 25
Penjelasan umum UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat 26
Pasal 30 ayat (2) UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat 27
Pasal 43 ayat (3) UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat 28
Pasal 44 ayat (1) UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat 29
Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Page 12
23
memberikan keadilan kepada pelaku usaha jika dalam putusan KPPU terdapat
kesalahan dalam menerapkan hukum. Pelaku usaha yang tidak mengajukan
keberatan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari dianggap menerima
putusan.30
Dengan demikian putusan KPPU bersifat final dan mengikat atau
mempunyai kekuatan hukum tetap walaupun dalam ketentuan tidak disebutkan
secara jelas.
Komisi Informasi ini dibentuk berdasarkan UU tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Siapa saja dapat meminta kepada pejabat penyelenggara negara
mengenai segala jenis informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas dan
kewenangan seorang pejabat, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas dikecualikan
menurut ketentuan UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
UU ini menentukan bahwa segala jenis informasi yang berkenaan dengan
penyelenggaraan kekuasaan negara adalah milik publik, kecuali yang harus
dirahasiakan karena jabatan dan jenis informasi lain yang sengaja dikecualikan
menurut undang-undang ini. Apabila sudah diminta sebagaimana mestinya,
pejabat yang bersangkut tetap tidak memberikan informasi itu, maka terhadap
pejabat tersebut dapat dikenakan tuntutan pidana dengan ancaman pidana penjara.
Putusan Komisi Informasi yang berasal dari kesepakatan melalui Mediasi bersifat
final dan mengikat.31
Contoh lain dari lembaga yang juga mempunyai kedudukan sebagai
lembaga peradilan semu atau quasi pengadilan adalah Badan Pengawas Pemilu.
Lembaga ini tidak disebut dengan istilah Komisi Negara, melainkan Badan.
30
Pasal 44 ayat (3) UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
31
Pasal 39 UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Page 13
24
Sebelumnya, ketika pertama kali dibentuk berdasarkan UU Pemilu dalam rangka
penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2009, lembaga Bawaslu ini juga tidak
memiliki kewenangan quasi peradilan sama sekali. Namun, dalam UU No. 8
Tahun 2012 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ditentukan bahwa Badan Pengawas Pemilu ini memiliki kewenangan untuk
memeriksa dan memutus sengketa pemilu dengan putusan yang bersifat final dan
mengikat bagi Komisi Pemilihan Umum, kecuali untuk keputusan yang terkait
dengan verifikasi partai politik dan penetapan Calon sebagaimana dikecualikan
dari sifat „final dan mengikat‟ itu menurut undang-undang.32
Di samping lembaga-lembaga quasi peradilan tersebut di atas, banyak lagi
lembaga yang dapat dipandang sebagai lembaga semi atau quasi peradilan atau
peradilan semu. Lembaga-lembaga quasi peradilan ini kadang-kadang dipandang
sebagai lembaga yang berada dalam ranah eksekutif, bukan lembaga yudikatif.
Tetapi, cara kerja dan dampak dari keberadaanya bagaimana pun juga harus tetap
dipandang terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman pada umumnya. Apabila
dikaitkan dengan keperluan membangun suatu sistem keadilan dan peradilan yang
bersifat terpadu, tidak dapat tidak fungsi lembaga-lembaga quasi peradilan ini
tidak dapat dipisahkan dari cabang kekuasaan kehakiman.33
Dapat juga dikatakan bahwa lembaga quasi-peradilan ini pada umumnya
bersifat campuran dalam arti memiliki kewenangan campuran antara fungsi
administrasi atau eksekutif, fungsi regulasi atau legislative, dan fungsi mengadili
32
Pasal 259 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. 33
Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., h. 16.
Page 14
25
atau yudikatif. Kadang-kadang campuran 2 fungsi dan kadang-kadang ada juga
yang campuran 3 fungsi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), misalnya,
diberi kewenangan oleh UU untuk membuat regulasi dalam rangka menjabarkan
ketentuan undang-undang sebagai „legislative acts‟. Pada saat yang bersamaan,
KPPU juga diberi kewenangan oleh UU untuk melaksanakan sendiri atau menjadi
administrator langsung semua ketentuan undang-undang dan termasuk peraturan-
peraturan yang dibuatnya sendiri dalam rangka pengawasan persaingan usaha
yang sehat. Tetapi, KPPU juga ditentukan oleh UU merupakan lembaga yang
harus berdiri sebagai pengadilan untuk memeriksa sengketa persaingan usaha dan
memberi kesempatan para pihak untuk membuktikan atau pun membela diri
dengan kontra bukti, serta menjatuhkan sanksi yang mengikat bagi pihak yang
terbukti bersalah. Dengan demikian, lembaga ini jelas memiliki fungsi campuran,
mulai dari sebagai regulator, administrator, dan bahkan adjudicator yang bersifat
quasi-yudisial.34
Semua lembaga-lembaga tersebut dalam praktik di pelbagai negara seperti
Amerika dan negara-negara “common law” memiliki kewenangan-kewenangan
yang sangat bervariasi.35
Apabila disederhanakan, dapat dikemukakan adanya
enam macam kekuasaan yang menentukan apakah suatu lembaga negara dapat
dikatakan merupakan lembaga quasi peradilan. Keenam macam kekuasaan itu
adalah:36
34
Ibid. 35
Ibid. 36
Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., h.17 dikutip dari pertimbangan putusan Pengadilan Texas
dalam kasus Perdue, Brackett, Flores, Utt & Burns versus Linebarger, Goggan, Blair, Sampson &
Meeks, L.L.P., 291 s.w. 3d 448.
Page 15
26
1) Kekuasaan untuk memberikan penilaian dan pertimbangan. (The power to
exercise judgement and discretion);
2) Kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau memastikan fakta-fakta
dan untuk membuat putusan. (The power to hear and determine or to
ascertain facts and decide);
3) Kekuasaan untuk membuat amar putusan dan pertimbangan-pertimbangan
yang mengikat sesuatu subjek hukum dengan amar putusan dan dengan
pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya. (The power to make binding
orders and judgements);
4) Kekuasaan untuk mempengaruhi hak orang atau hak milik orang per
orang. (The power to affect the personal or property rights of private
persons);
5) Kekuasaan untuk menguji saksi-saksi, untuk memaksa saksi untuk hadir,
dan untuk mendengar keterangan para pihak dalam persidangan. (The
power to examine witnesses, to compel the attendance of witnesses, and to
hear the litigation of issues on a hearing); dan
6) Kekuasaan untuk menegakkan keputusan atau menjatuhkan sanksi
hukuman. (The power to enforce decisions or impose penalties).
Keenam kekuasaan atau ciri-ciri di atas dapat digunakan untuk membantu
melihat suatu lembaga baru adalah lembaga quasi peradilan. Oleh karena itu,
sangat penting bagi penulis untuk menggunakan ciri-ciri untuk membuat
kesimpulan bahwa BPSK adalah lembaga quasi peradilan.
Page 16
27
C. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Berkedudukan Sebagai
Lembaga Quasi Peradilan di Indonesia
Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 telah diamandemen sebanyak 4
(empat) kali. Konsekuensi dari 4 (empat) kali amandemen UUD 1945 salah
satunya adalah lahirnya states auxiliary bodies yang merupakan wajah baru dalam
ketatanegaraan Indonesia, hal ini dapat dikatakan bagian dari penerapan sharing
of power. Istilah states auxiliary bodies dipadankan dengan lembaga yang
melayani, lembaga penunjang, lembaga bantu, dan lembaga pendukung. Istilah
tersebut diberikan sebagai pembeda dari lembaga negara utama.37
State auxiliary
bodies dalam implemantasinya saat ini dikenal dengan Komisi-Komisi, Lembaga-
lembaga atau sejenisnya, saat menurut hasil kajian Lembaga Administrasi Negara
tercatat 9838
lembaga states auxiliary bodies, sementara untuk jumlah kementerian
saat ini adalah 34 dan LPNK (Lembaga Pemerintahan Non Kementerian) yang
berjumlah 28.39
Pembentukan lembaga bantu ini memiliki dasar hukum yang berbeda-beda
yaitu ada yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang
(UU), serta Keputusan Presiden (Keppres). Bila dicermati lebih jauh, ada
beragam alasan yang melatarbelakangi lahirnya lambaga bantu ini. Sebagai
contoh, pembentukan BPSK melalui UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen disebabkan karena penyelesaian sengketa konsumen melalui lembaga
peradilan terutama pada lingkungan peradilan umum terlalu lama dan
37
Arifin, Firmansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenanga Antara Lembaga
Negara, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2005, h. 24. 38
Media Indonesia, edisi 11 mei 2010, kolom fokus, h. 11 39
Data kedeputi Bidang Kelembagaan Kementerian PAN & RB, 2011.
Page 17
28
menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Hal ini tidak sesuai jika konsumen
mengalami kerugian yang kecil.
Lembaga negara bantu (state auxiliary bodies) adalah lembaga negara
yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu
pelaksanaan tugas tugas lembaga negara pokok (eksekutif, legislatif dan yidikatif)
yang sering disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi).40
Lembaga
negara pokok ini dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian berdasarkan konsep trias
politica41
kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun, konsep
klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut sudah dianggap tidak lagi relevan
karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara
dalam menyelenggarakan pemerintahan.42
Maka negara membentuk lembaga
negara baru yang dapat membantu melaksanakan tugas lembaga negara pokok.
Lembaga-lembaga baru tersebut dapat berupa dewan (council), komisi
(Commission), komite (Committee), badan (board), atau otoritas (authority).43
Dilihat dari nama dan bentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
sudah sangat jelas bahwa kedudukan BPSK adalah sebagai quasi peradilan.
Keberadaannya penting untuk membantu melaksanakan tugas dari pengadilan
dalam menyelesaiakan sengketa terutama sengketa antara konsumen dengan
pelaku usaha. keberadaan BPSK ini juga akan menyederhanakan proses
penyelesaian sengketa dan memberikan keuntungan kepada konsumen yang ingin
40
Kurniawan, HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN: Problematika Kedudukan
dan Kekuatan Putusan Badan Penyelesaian Sengekta Konsumen (BPSK), Malang: Universitas
Brawijaya Press, 2011, h. 105. 41
Trias politica dikemukakan oleh Montesquieu (1588-1755) yang membedakan tiga
fungsi otoritas publik, yaitu: pembentukan Undang-undang (legislatif), pemerintah (eksekutif), dan
peradilan (yudikatif). Lihat ibrahim R, Pengawasan Konstitusional Legislatif, Eksekutif dan
Yudikatif Dalam Sistem Pemerintahan Amerika Serikat, Bali: Universitas Udayana, 2000, h. 221. 42
Kurniawan, Op.Cit., h. 104 43 Ibid.
Page 18
29
melakukan gugatan yang kecil, tidak sebanding jika harus digugatkan melalui
pengadilan negeri.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang
bertugas menangani dan meyelesaiakan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen.44
adapun tugas dan kewenangan BPSK diatur dalam Pasal 52 UUPK
jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, Tugas dan wewenang badan
penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan
cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam Undang-undang ini;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h,
44
Pasal 1 butir 11 Undang-undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindunga Konsumen
Page 19
30
yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa
konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini.
Melihat ketentuan di atas tentang BPSK dapat diketahui bahwa tugas dan
kewenangannya merupakan tugas dari lembaga-lembaga peradilan45
yaitu tugas
memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau
menemukan hukum “in concreto” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada
hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk
mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan
cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.46
Namun, di dalam sistem
peradilan kedudukan BPSK bukan sebagai lembaga peradilan yang dapat
dikategorikan sebagai lembaga peradilan utama47
menurut UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman tetapi memiliki keterkaitan. Dengan demikian,
BPSK merupakan lembaga negara bantu dalam bidang peradilan atau sering
disebut quasi peradilan.
45
Kurniawan. Op.Cit., h. 106 46
http://pn-yogyakota.go.id/pnyk/info-peradilan/pengertian-peradilan.html, diakses
pada 16 Maret 2016 pukul 11.31 WIB. 47
Pasal 18 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaab Kehakiman
Page 20
31
Seperti yang telah dikemukakan diatas, BPSK sebagai quasi peradilan ini
sangat konstitusional, Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan,”Badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang.” Perkataan diatur dalam undang-undang itu menurut Jimly
Asshiddiqie menunjukan bahwa:
Undang-undang yang dimaksud tidak perlu bersifat khusus,
seperti undang-udang kejaksaan, UU tentang Kepolisian, dan
sebagainya. Artinya, ketentuan mengenai badan-badan lain
yang dimaksud diatas, cukup diatur dalam undang-undang apa
saja yang meteri tercampur dengan materi undang-undang
lainnya. Misalnya, UU tentang Perpajakan dapat saja mengatur
keberadaan suatu lembaga baru bernama Pengadilan Pajak.
UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat saja
mengatur pembentukan lembaga baru bernama Komisi
Pemberantasan Korupsi yang fungsinya berkaitan dengan
fungsi kekuasaan kehakiman.
Selain yang telah diuraikan di atas, berikut merupakan uraian yang
menyatak bahwa BPSK adalah quasi peradilan. Dihubungkan dengan tugas dan
kewenangan BPSK yang terdapat pada Pasal 52 UUPK terdapat kewenangan-
kewenangan yang membuat membuat BPSK dapat dikatakan sebagai quasi
peradilan; Dijelaskan demikian, Pertama, kekuasaan untuk memberikan penilaian
dan pertimbangan terdapat pada Pasal 52 huruf (k) berbunyi “memutusakan dan
menetapkan ada atau tidaknya kerugian dipihak konsumen.” Kedua, Kekuasaan
untuk mendengar dan menentukan atau memastikan fakta-fakta dan untuk
membuat putusan terdapat pada Pasal 52 huruf (h) berbunyi “memanggil dan
menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap Undang-undang ini” dan (j) berbunyi “mendapatkan,
meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan
dan/atau pemeriksaan.”
Page 21
32
Selanjutnya yang ketiga, kekuasaan Kekuasaan untuk membuat amar
putusan dan pertimbangan-pertimbangan yang mengikat sesuatu subjek hukum
dengan amar putusan dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya
terdapat pada Pasal 52 huruf (l) berbunyi “memberitahukan putusan kepada
pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.”
Keempat, kekuasaan untuk mempengaruhi hak orang atau hak milik orang per
orang terdapat pada Pasal 52 huruf (c) berbunyi “melakukan pengawasan terhadap
pencantuman klausula baku.”
Kekuasaan yang kelima adalah untuk menguji saksi-saksi, untuk memaksa
saksi untuk hadir, dan untuk mendengar keterangan para pihak dalam persidangan
terdapat pada Pasal 52 huruf (i) berbunyi “meminta bantuan penyidik untuk
menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana
dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan
badan penyelesaian sengketa konsumen.” Terakhir, kekuasaan untuk menegakkan
keputusan atau menjatuhkan sanksi hukuman terdapat pada pasal 52 huruf (m)
berbunyi “menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini” dan sifat putusan BPSK final dan mengikat.
Namum, pada kekuasaan yang terakhir ini UUPK setengah-setengah dalam
memberikan kewenangan kepada BPSK karena harus dimintakan penetapan
eksekusi kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen dirugikan.48
48
Pasal 57 Undang-undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindunga Konsumen
Page 22
33
D. Perbandingan Badan Perlindungan Sengketa Konsumen dengan
Small Claim Court
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak dikenal dalam sistem
peradilan sebagai lembaga peradilan utama melainkan merupakan quasi peradilan
yang membantu mejalankan tugas dan kewenagan lembaga peradilan utama
secara khusus dalam penyelesaian sengketa konsumen. Sekilas saat melihat proses
penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yang sederhana, cepat dan biaya
murah sama dengan Small Claim Court, namun saat melihat secara keseluruhan
BPSK tidak sama dengan Small Claim Court. Hal ini juga didukung dengan
pendapat Yusuf Shofie yang menyatakan bahwa,”BPSK didesain bukan sebgai
pengadilan, tidak ada hakim, tidak ada kewenangan untuk melakukan eksekusi
putusan. BPSK bukan Small Claim Court, mungkin mirip.”49
1. Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen
Berdasarkan Pasal 1 butir 11 Undang-undang No 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindunga Konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah
badan yang bertugas menangani dan meyelesaikan sengketa antara pelaku usaha
dan konsumen. BPSK diharapkan dapat menjadi tempat untuk mencari keadilan
dalam bersengketa, terutama bagi konsumen yang mengalami kerugian akibat dari
pelaku usaha dalam menjalankan usahanya, namun nilai kerugian yang kecil
49
Yususf Shofie, Optimalisasi Peran badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
dalam Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Konsumen di Tengah Terjadinya Disharmonisasi
Pengaturan, Seminar dalam rangka Penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) I, 2013, h. 4.
Page 23
34
sehingga konsumen tidak mungkin menggugatnya melalui pengadilan karena
tidak sebanding antara nilai kerugian dengan biaya perkara.
Seperti yang telah dipaparkan penulis pada Bab sebelumnya, BPSK sangat
sesuai untuk menyelesaikan sengketa konsumen dengan nilai kerugian yang kecil
karena penyelesaian sengketa yang dilakukan secara cepat, mudah dan biaya
murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah
diputuskan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
Mudah karena prosedur administrasi dan proses pengambilan keputusan yang
sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan
kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan
dan dapat terjangkau oleh konsumen. berdasarkan hal tersebut BPSK dapat
dikatakan mirip dengan lembaga Small Claim Court.
Setiap kota dan kabupaten harus dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen. Pembentukan ini berdasarkan pada Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi, “Pemerintah
membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II”.
BPSK diresmikan pertama kali pada tahun 2001, yaitu dengan
dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintahan Kotaa Medan, Kota
Bandung, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang,
Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar.
Pada tahun 2004, terbentuk BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten
dengan Keputusan Presiden No.108 Tahun 2004 yaitu di Kota Kupang, Kota
Page 24
35
Samarinda, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Mataram, Kota
Palangkaraya, dan pada Kabupaten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten
Sukabumi, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering
Ulu, dan Kabupaten Jeneponto.
Selanjutnya, pada tanggal 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden No. 18
Tahun 2005 yang menjadi dasar terbentuknya BPSK di Kota Padang, Kabupaten
Indramayu, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tangerang.
Pada tahun 2006, Pemerintah membentuk BPSK sebagaiman tertuang pada
Keputusan Presiden No. 23 Tahun 2006. Kepres ini membentuk BPSK di Kota
Pekalongan, Parepare, Pekan baru, Denpasar, Batam, Kabupaten Aceh Utara, dan
Kabupaten Serang Bedagai.
Pembentukan BPSK terbaru pada tahun 2013 oleh pemerintah dengan
diterbitkannya Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2013. Kepres ini membentuk
BPSK di Kabupaten Bone Bolango, Kabuoaten Gorontalo, Kabupaten Goronlato
Utara, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Cianjur,
Kabupaten Langkat, Kota Padang Panjang, Kota Bekasi, Kota Pemantangsiantar,
dan Kota Salatiga.
Menurut ketentuan Pasal 90 Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001, biaya
pelaksanaan tugas BPSK dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Timbul pertanyaan yang sangat mendasar adalah bagaimana jika tempat
tinggal konsumen yang dirugikan belum terbentuk BPSK? menurut penulis ada 2
cara yang dapat ditempuh konsumen yang dirugikan, sebagai berikut:
Page 25
36
1) Konsumen dapat datang ke kota terdekat yang telah terbentuk
BPSK. Hal ini karena Kepres tersebut tidak mencantumkan
pembatasan wilayah yuridiksi BPSK, sehingga menurut Susanti
Adi Nugroho konsumen dapat mengadukan masalahnya pada
BPSK mana saja yang dikehendaki. Hal ini merupakan upaya
untuk memudahkan konsumen menjangkau BPSK.50
2) Konsumen dapat menyelesaikan sengketanya melalui Dinas yang
membidangi perdagangan. Berdasarkan Surat Edaran No.
40/PDN/SE/02/2010 Tentang Penanganan dan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, jika terdapat kabupaten/kota yang belum
terbentuk BPSK maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan
melalui Dinas yang membidangi perdagangan pada kabupaten/kota
yang belum terbentuk BPSK. Dinas Tersebut dapat melakukan
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi.
Berdasarkan Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4) UUPK, keanggotaan BPSK
terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur
pelaku usaha, dengan ketentuan bahwa setiap unsur diwakili oleh sedikitnya 3
(tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. Sehingga jumlah anggota
BPSK minimal 9 (sembilan) orang dan maksimal 15 (lima belas) orang.
Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri
Perindustrian dan Perdagangan.
50
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h. 77.
Page 26
37
Persyaratan untuk menjadi anggota BPSK telah diatur dalam Pasal 49 ayat
(2) UUPK, namun persyaratan secara khusus untuk menjadi anggota BPSK
sebagai berikut:51
1) Diutamakan calon yang bertempat tinggal di daerah kabupaten/kota
setempat.
2) Diutamakan calon yang berpendidikan serendah-rendahnya Setrata 1 atau
sederajat dari lembaga pendidikan yang telah diakreditasi oleh
Departemen Pendidikan Nasional.
3) Berpengalaman dan/atau berpengetahuan di bidang industri, perdagangan,
kesehatan, pertambangan, pertanian, kehutanan, perhubungan, dan
keuangan.
4) Anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah serendah-rendahnya
berpangkat Pembina atau golongan IV/a.
5) Calon anggota BPSK dari unsur konsumen tidak berasal dari kantor
cabang atau perwakilan LPKSM.
Ketentuan pada Pasal 50 UUPK, kelembagaan BPSK setelah terpilih
anggota, kemudian diisi struktur organisasi yang terdiri dari seorang ketua
merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang dalam
pelaksanaan tugas dibantu oleh sekertariat yang terdiri dari kepala sekertariat dan
anggota sekertariat. Pengangkatan dan pemberhentian sekertariat BPSK
ditetapkan oleh Menteri.
51
Pasal 6 ayat (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
301/MPP/Kep/10/2001 tentang pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekertariatan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
Page 27
38
Mengenai tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Pasal 52 UUPK jo.
Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, Tugas dan wewenang badan
penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan
cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam Undang-undang ini;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h,
yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa
konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
Page 28
39
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini.
Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka dengan demikian
terdapat 2 fungsi strategis dari BPSK. Sebagai berikut:52
a. BPSK berfungsi sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui konsiliasi,
mediasi, dan arbitrase.
b. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku (one-sided
standard from contract) oleh pelaku usaha (pasal 52 huruf (c) UUPK).
Salah satu fungsi strategis ini adalah untuk menciptakan keseimbangan
kepentingan-kepentingan pelaku usaha dan konsumen. jadi, tidak hanya klausula
baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha swasta atau perusahaan-perusahaan
swasta saja, tetap juga pelaku usaha atau perusahaan-perusahaan milik negara
Melihat pada ketentuan Pasal 52 huruf (b), (c), (e), selain bertugas
menyelesaikan masalah sengketa konsumen BPSK juga bertugas memberikan
konsultasi perlindungan konsumen, bentuk konsultasinya adalah sebagai berikut:53
1) Memberikan penjelasan kepada konsumen atau pelaku usaha tentang hak
dan kewajibannya masing-masing.
2) Memberikan penjelasan tentang bagaimana menuntut ganti rugi atas
kerugian yang diderita oleh konsumen dan juga pelaku usaha.
52
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h. 83-84. 53
Abdul Halim Barkatullah,Op.Cit., h. 90.
Page 29
40
3) Memberikan penjelasan tentang bagaimana memperoleh pembelaan dalam
hal penyelesaian sengketa konsumen.
4) Memberikan penjelasan tentang bagaimana bentuk dan tata cara
penyelesaian sengketa konsumen.
Selain memiliki tugas konsultasi seperti diatas, BPSK juga memiliki tugas
pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan
dari konsumen tentang adanya pelanggaran ketentuan perlindungan konsumen,
serta berbagai tugas dan kewenangan lainnya yang terkait dengan pemeriksaan
pelaku usaha diduga melanggar UUPK.
Menurut UUPK, para pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian
sengketa kosumen adalah kalangan konsumen, pelaku usaha, dan/atau pemerintah
(yang bergerak dalam penyediaan barang dan/atau jasa kebutuhan masyarakat),
serta majelis dari BPSK. Perlu dibedakan dengan penyelesaian sengketa di
pengadilan yang pihaknya dimungkinkan kelompok konsumen (class action),
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah dan/atau
instansi terkait54
Pelanggaran dalam sengketa konsumen adalah pelanggaran kewajiban
yang dilakukan oleh para pelaku usaha terhadap hak serta harkat dan martabat
konsumen yang berakibat negatif bagi konsumen ketika konsumen memakai atau
menikmati barang atau jasa dari pelaku usaha. Pelanggaran hak konsumen oleh
pelaku usaha yang dapat dijadikan dasar permohonan penyelesaian sengketa bisa
54
Pasal 46 ayat (1) huruf (a), (b), (c), dan (d) jo. Pasal 46 ayat (2) yang berbunyi :
"Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen, atau
pemerintah...diajukan ke peradilan umum" Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Page 30
41
berupa pelanggaran terhadap larangan memproduksi produk atau menyediakan
jasa yang dilarang dalam Pasal 8 ayat (1) UUPK, tindakan pelaku usaha
memanipulasi produk atau jasa, menawarkan barang dengan informasi yang
menyesatkan, melelang/obral dengan cara mengelabui konsumen, menawarkan
dengan janji palsu untuk memberi hadiah ke konsumen, pelanggaran janji
pelayanan prestasi lewat pesanan, pelanggaran terhadap ketentuan klausula baku
yang diatur UUPK55
, dan/atau memonopoli dan melakukan persaingan usaha tidak
sehat.
Pengajuan permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh konsumen
secara tertulis atau lisan pada Sekretariat BPSK yang terdekat dengan domisili
konsumen56
. Bisa diajukan oleh ahli waris atau kuasanya bilamana konsumen
meninggal dunia, sakit atau berusia lanjut (dibuktikan dengan surat keterangan
dokter dan bukti KTP), atau konsumen belum dewasa57
. Bila konsumen yang
memohon adalah WNA, maka permohonan tertulis diajukan ke sekretariat BPSK.
Jika lisan, maka sekretariat BPSK akan mencatatkannya dalam formulir khusus
yang dibubuhi tanggal dan nomor registrasi58
. Menurut Pasal 17 Kepmenperindag,
jika permohonan tidak lengkap (tidak sesuai Pasal 16 Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 jo. Pedoman Operasional BPSK yang dikeluarkan Dirjen
55
Klausula baku menurut UUPK adalah "Setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-
syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen". Happy Susanto menjelaskan bahwa ketentuan klausula baku ini dibuat oleh
produsen selaku pelaku usaha yang bertujuan untuk memanupulasi perjanjian agar menguntungkan
pihaknya. Klausula ini tidak dapat dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lain, akibatnya
konsumen yang kedudukannya kurang dominan biasanya tak dapat bernegosiasi dan terpaksa
menerima begitu saja. Lihat dalam Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta:
Transmedia Pustaka, 2008, h. 52. 56
Pasal 2 jo Pasal 15 ayat (1) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 57
Pasal 15 ayat (3) sub d Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 58
Ibid.
Page 31
42
Perlindungan Konsumen Depdagri) atau bukan merupakan kewenangan BPSK59
maka ketua BPSK dapat menolak permohonan itu. Jika sudah memenuhi
persyaratan dan diterima oleh BPSK, maka ketua BPSK memanggil pelaku usaha
secara tertulis lewat sebuah surat pemanggilan yang disertai lampiran permohonan
konsumen dan pemberitahuan kewajiban pelaku usaha untuk menyusun jawaban
bagi konsumen untuk diajukan di sidang pertama paling lambat tiga hari kerja
sejak permohonan diterima.
Jika di hari yang ditentukan si pelaku usaha tidak hadir maka sebelum tiga
hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi. Jika tetap
tidak hadir tanpa alasan sah maka BPSK dapat meminta bantuan penyidik untuk
menghadirkan pelaku usaha.60
Jika pelaku usaha hadir, konsumen memilih cara
penyelesaian sengketanya dengan persetujuan bersama pelaku usaha.
Penyelesaian sengketa di BPSK tidak berjenjang, jadi pihak bersengketa bebas
pilih salah satu dengan obligasi untuk menaati dan mengikuti cara yang telah
disepakati. Persidangan pertama dilaksanakan paling lambat tujuh hari kerja sejak
permohonannya diterima.
Tiga cara persidangan di BPSK menurut Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 s.d.
36 SK No. 350/MPP/Kep/12/2001 adalah konsiliasi, mediasi, atau arbitrase.61
Tahap akhir adalah tahap putusan. Putusan BPSK dapat berupa perdamaian,
gugatan ditolak, atau gugatan dikabulkan.
59
Pengaduan pelanggaran UUPK dianggap bukan kewenangan BPSK bila: 1).
Tergugatnya adalah lembaga pemerintah baik sipil maupun militer, 2). Barang atau jasa yang
dikonsumsi secara hukum dilarang diproduksi atau diperjualbelikan (mis. narkoba, benda
bersejarah milik negara, prostitusi, dsb.), 3). Kasus pidana oleh pelaku usaha. Lihat di Susanti Adi
Nugroho, Op.Cit., hlm. 153-154. 60
Pasal 52 huruf (i) UUPK jo. Pasal 3 huruf (i) Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001. 61
Vide, Bab III C
Page 32
43
Penyelesaian sengketa di BPSK dilakukan dengan cepat karena dalam tenggat
waktu 21 hari kerja terhitung sejak gugatan diterima BPSK, BPSK telah
memberikan putusannya62
. Selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak putusan
dibacakan, para pihak harus melaksanakan isi putusan.63
Dalam 14 hari, pihak
yang bersengketa wajib menyatakan apakah menerima atau menolak putusan
BPSK64
. Bila menolak, bisa mengajukan keberatan ke PN selambat-lambatnya
dalam 14 hari kerja sejak putusan diberitahukan.65
Menurut Ps. 3 PERMA No. 1
Tahun 2006, keberatan dapat diajukan ke PN tempat kedudukan hukum
konsumen. Konsumen atau pelaku usaha harus menyerahkan dokumen66
saat
mendaftarkan perkara keberatan. Bagi konsumen yang tak punya domisili hukum
di Indonesia atau WNA, maka keberatan diajukan ke PN dalam wilayah hukum
BPSK yang mengeluarkan putusan (Psl. 15 ayat (3) d Kepmendagri). yang
menerima keberatan harus memutus dalam jangka waktu 21 hari sejak keberatan
diterima.67
Terhadap putusan yang dikeluarkan PN, dapat diajukan upaya hukum
Kasasi dalam jangka waktu 14 hari sejak permohonan kasasi diterima68
. Putusan
MA keluar selambat-lambatnya 30 hari sejak permohonan kasasi diterima69
.
Tenggat waktu pelaksanaan kewajiban putusan BPSK oleh pelaku usaha adalah 5
hari kerja setelah batas waktu keberatan dilampaui. Jika tidak dijalankan, BPSK
menyerahkan putusan itu ke penyidik untuk dilakukan penyidikan dalam jalur
62
Pasal 55 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 63
Pasal 56 ayat (1) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 64
Pasal 56 ayat (2) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 Lihat juga di Susanti
Adi Nugroho, loc.cit., hlm. 122. 65
Ibid. 66
Dokumen itu berupa: memori keberatan pihak pemohon, salinan putusan BPSK, surat
kuasa khusus dan fotokopo kartu advokat (bila diwakili kuasa hukumnya). 67
Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen. 68
Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen. 69
Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen.
Page 33
44
pidana70
. Pasal 54 ayat (3) UUPK jo. Pasal 42 ayat (1) Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 merumuskan bahwa Putusan BPSK adalah putusan final
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat bila tidak ada lagi upaya hukum yang
diajukan para pihak.
Pasal 21 SK Menperindag Nomor : 350/MPP / kep/12/2001 mengatur alat
bukti yang digunakan di BPSK adalah sebagai berikut :
a. Barang dan atau jasa.
b. Keterangan para pihak.
c. Keterangan saksi dan / atau saksi ahli.
d. Surat dan / atau dokumen.
e. Bukti – bukti lain yang mendukung.
Digunakan sistem pembuktian terbalik dalam kasus perlindungan
konsumen di Indonesia71
. Sistem pembuktian yang digunakan dalam mengajukan
gugatan/ permohonan di BPSK mengacu pada pasal 19, pasal 20 dan pasal 23
Undang- Undang Perlindungan Konsumen, yakni pembuktian terbalik (pasal 28
UUPK jo. Pasal 22 SK Menperindag Nomor : 350/MPP/Kep/12/ 2001). Pasal 28
UUPK yang berbunyi demikian: "Pembuktian tentang ada tidaknya unsur
kesalahan dalam ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, 22 dan 23
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha". Oleh karena beban
pembuktian ada di pihak tergugat, gugatan konsumen akan dikabulkan jika pelaku
usaha itu gagal membuktikan dirinya tidak bersalah72
. Diaturnya konsep beban
pembuktian terbalik dalam UUPK didasari pada pemikiran bahwa konsumen pada
70
Pasal 41 ayat (1) sampai (6) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 71
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diaidit
Media, 2002, hlm. 231. 72
Susanti Adi Nugroho, op.cit., hlm. 185.
Page 34
45
umumnya tidak mengerti mengenai proses produksi, jenis produk, bagaimana
barang dipasarkan, dsb. melainkan pelaku usaha sendirilah yang mengetahui
segala hal tentang produknya. Ini dipandang akan lebih memudahkan proses
penyelesaian sengketa.
Putusan majelis dimintakan eksekusinya ke pengadilan negeri dimana
konsumen dirugikan (Pasal 57 UUPK). Pasal ini bertentangan dengan Pasal 4 ayat
(1) UU 14 tahun 1970 yang diubah UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Menurut UU Kekuasaan Kehakiman, suatu putusan harus ada irah-
irahnya sebagai suatu title eksekutorial yang jadi dasar putusan dapat dijalankan.
Tanpa adanya irah-irah itu, putusan dapat dikatakan batal demi hukum. Dalam
UUPK maupun peraturan pelaksana terkait tidak diatur kewajiban bagi majelis
untuk mencantumkan irah-irah pada putusan BPSK sementara Pasal 54 ayat (3)
menyebutkan bahwa putusan majelis itu final dan mengikat. Ada masalah dalam
penerapan putusan BPSK yang terkadang tidak dapat dieksekusi tanpa dilakukan
penetapan pengadilan negeri. Seharusnya, putusan BPSK itu tanpa minta
penetapan pada pengadilan sudah dapat dieksekusi berdasar pasal 54 ayat (3)
UUPK.
2. Penyelesaian Sengketa melalui Small Claim Court
Di Indonesia, Small Claim Court lebih dikenal dengan nama pengadilan
penyelesaian gugatan sederhana. Tata cara penyelesaian gugatan ini diatur pada
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Gugatan
Sederhana. Ini merupakan gebrakan yang dilakukan MA untuk memenuhi asas
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, sehingga masyarakat yang ingin
Page 35
46
mendapatkan keadilan tidak perlu berpikir berulang kali karena selama ini butuh
waktu yang lama untuk menjalani persidangan.
Secara umum Small Claim Court dipergunakan untuk menyebut sebuah
lembaga penyelesaian perkara perdata (civil claims) bersekala kecil dengan cara
sederhana, tidak formal, cepat dan biaya murah. Small Claim Court pada
umumnya terdapat di negara-negara yang memiliki latar belakang tradisi hukum
common law. Di berbagai negara, perkara-perkara konsumen merupakan perkara
yang diselesaikan oleh lembaga yang disebut sebagai Small Claim Court.
Sedangkan di Indonesia, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui
pengadilan (dalam hal ini termasuk penyelesaian gugatan sederhana) atau luar
pengadilan.
Salah satu ciri dari Small Claim Court adalah terdapat batasan nilai
gugatan dan terdapat batasan menegenai kasus apa saja yang dapat diajukan atau
tidak dapat diajukan.73
Menurut PERMA tersebut gugatan perdata yang dapat
dikategorikan sebagai gugatan sederhana adalah:
1. Nilai gugatan materil maksimal 200.000.000 rupiah;
2. Bukan perkara yang masuk dalam kompetensi Pengadilan Khusus;
3. Bukan sengketa hak atas tanah;
4. Penggugat dan tergugat masing-masing tidak lebih dari satu,
kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama;
5. Tempat tinggal tergugat harus diketahui;
6. Penggugat dan tergugat harus berdomisili di daerah hukum
pengadilan yang sama.
73
Ibid., h. 87
Page 36
47
Ciri tersebut juga dimiliki oleh Small Claim Tribunal di Hongkong dan
Small Claim Court England batasan jumlah klaimnya adalah HK$ 50.000,- dan £
5.000,- namun, tidak terdapat batasan secara spesifik terkait jenis perkara. Semua
perkara perdata dapat digugat melalui Small Claim Court ini.74
Perbedaan
mendasar antara “court” dengan “tribunal” adalah court bersifat tetap sedangkan
tribunal lebih bersifat ad hoc.75
Penyelesaian gugatan sederhana ini paling lama 25 hari sejak hari sidang
pertama. Berbeda dengan Small Claim Tribunal di Hongkong dan Small Claim
Court England, waktu penyelesaian relatif lebih lama yakni tidak lebih dari 2
bulan.76
Hakim yang memeriksa perkara ini adalah hakim tunggal. Penggugat dan
tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa
didampingi oleh pengacara di pengadilan. ketentuan mengenai kehadiran para
pihak dalam proses persidangan melalui Small Claim Tribunal di Hongkong dan
Small Claim Court England, para pihak dapat datang sendiri tanpa jasa pengacara
(barrister/solicitor).
Pada penyelesaian gugatan sederhana, hakim wajib berperan aktif dalam
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana secara
berimbang kepada para pihak;
b. Mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk
menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian di
luar persidangan;
74
Ibid., h. 162 75
Ibid., h. 86. 76
Ibid., h. 163
Page 37
48
c. Menuntut para pihak dalam pembuktian; dan
d. Menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak.
Jika para pihak dalam upaya perdamaian tercapai perdamaian, hakim akan
membuat Putusan Akta Perdamaian yang mengikat para pihak (banding).
Terhadap Putusan Akta Perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum apapun
(final). Sedangkan, jika para pihak tidak mencapai perdamaian pada hari sidang
pertama, maka persidangan dilakukan dengan pembacaan surat gugatan dan
jawaban tergugat. Proses pemeriksaan gugatan sederhana tidak dapat diajukan
tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replika, duplik, atau kesimpulan.
Putusan dibacakan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum.
Susunan putusan terdiri dari:
a. Kepala putusan dengan irah-irah yang berbunyi „demi keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Ynag Maha Esa”;
b. Identitas para pihak;
c. Uraian singkat mengenai duduk perkara;
d. Pertimbangan hukum; dan
e. Amar putusan.
Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan dalam penyelesaian
gugatan sederhana adalah upaya keberatan. Permohonan keberatan diajukan
paling lambat 7 hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan
putusan. Sedangkan permohonan keberatan yang diajukan melampaui batas
pengajuan dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan.
Putusan keberatan berkekuatan hukum tetap terhitung sejak disampaikan
Page 38
49
pemberitahuan. Putusan keberatan merupakan putusan akhir yang tidak tersedia
upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali. Maka putusan yang sudah
berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan secara sukarela.
3. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Tidak Sama Dengan Small
Claim Court
Berdesarkan uraian di atas dapat diuraikan beberapa perbedaan antara
BPSK dengan Small Claim Court. Pertama, berdasarkan posisi kelembagaan
BPSK bukan bagian dari sistem peradilan tetapi berada di bawah Departemen
Perindustrian & Perdagangan, sedangkan Small Claim Court merupakan bagian
dari sistem peradilan. kedua, berdasarkan fungsinya BPSK merupakan quasi
peradilan, sedaangkan Small Claim Court adalah lembaga peradilan utama
(pengadilan). Ketiga, berdasarkan jenis perkara BPSK hanya dapat menyelesaikan
sengketa konsumen, sedangkan Small Claim Court perkara umum (semua perkara
perdata kecil). Keempat, berdasarkan sifat putusan BPSK masih Ambigu,
sedangkan Small Claim Court sifat putusannya berkekuatan hukum tetap dan
dapat dilaksanakan eksekusi. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dijadikan dasar
kesimpulan bahwa BPSK bukan Small Claim Court, mungin memiliki kemiripan
dalam prinsip menyelesaikan sengketa secara sederhana, murah, dan cepat.