20 BAB II PROFIL HASAN AL-BANNA Pembaharuan dalam Islam pada dasarnya tidak dapat terlepas dari pengaruh dunia lainnya, terutama Barat. Hal ini ditandai dengan krisisnya kepemimpinan di dunia Islam bersamaan dengan melemahnya institusi Khilafah Islamiyyah Turki Utsmani pada tahun 1920-an. Sementara di sisi lain, kemajuan yang terjadi di Barat kemudian selanjutnya membawa pengaruh atas dunia Islam dengan adanya fenomena rasionalisme, nasionalisme, liberalisasi-modernisasi budaya, westernisasi-sekulerisasi institusi termasuk institusi agama dan paham- paham lainnya. Sebagaimana di Barat, pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam juga timbul dengan perkembangan baru yang ditimbulkan dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan modernisasi (Rusli, 2014: 185). Khususnya di Mesir, beriringan dengan jatuhnya institusi Khilafah Turki Utsmani, gelombang modernisasi melanda wilayah Mesir. Buku-buku dan jurnal-jurnal barat diterjemahkan, pemikiran-pemikiran Barat mulai disoroti dan dikaji, bahkan untuk beberapa kasus sosial-politik, fenomena budaya, dan trend kebiasaan Barat menggantikan budaya dan kebiasaan Timur (Ashori, 2008: 11). Di bawah bayang-bayang “liberalisasi, modernisasi, westernisasi, dan sekulerisasi”. Hasan Al-Banna muncul dengan pemikiran revivalis (kebangkitan agama) dan puritanis (pemurnian agama) yang menghendaki kembalinya kejayaan Khilafah Islamiyyah di masa lalu ( 2008: 11). Tampilan Hasan Al-Banna sebagai salah satu tokoh pembaharu ini juga tidak terlepas dari gerakan pembaharu sebelumnya. Meskipun para tokoh pendahulunya tidak meninggalkan progam-
60
Embed
BAB II PROFIL HASAN AL-BANNA - abstrak.uns.ac.id · Hasan Al-Banna dimulai dari sekolah tingkat dasar Al-Rasyad Al-Dinniyah sekaligus sekolah persiapan di Mahmudiyah, kemudian ke
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
20
BAB II
PROFIL HASAN AL-BANNA
Pembaharuan dalam Islam pada dasarnya tidak dapat terlepas dari
pengaruh dunia lainnya, terutama Barat. Hal ini ditandai dengan krisisnya
kepemimpinan di dunia Islam bersamaan dengan melemahnya institusi Khilafah
Islamiyyah Turki Utsmani pada tahun 1920-an. Sementara di sisi lain, kemajuan
yang terjadi di Barat kemudian selanjutnya membawa pengaruh atas dunia Islam
dengan adanya fenomena rasionalisme, nasionalisme, liberalisasi-modernisasi
budaya, westernisasi-sekulerisasi institusi termasuk institusi agama dan paham-
paham lainnya.
Sebagaimana di Barat, pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan
paham-paham keagamaan Islam juga timbul dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan modernisasi (Rusli,
2014: 185). Khususnya di Mesir, beriringan dengan jatuhnya institusi Khilafah
Turki Utsmani, gelombang modernisasi melanda wilayah Mesir. Buku-buku dan
jurnal-jurnal barat diterjemahkan, pemikiran-pemikiran Barat mulai disoroti dan
dikaji, bahkan untuk beberapa kasus sosial-politik, fenomena budaya, dan trend
kebiasaan Barat menggantikan budaya dan kebiasaan Timur (Ashori, 2008: 11).
Di bawah bayang-bayang “liberalisasi, modernisasi, westernisasi, dan
sekulerisasi”. Hasan Al-Banna muncul dengan pemikiran revivalis (kebangkitan
agama) dan puritanis (pemurnian agama) yang menghendaki kembalinya kejayaan
Khilafah Islamiyyah di masa lalu ( 2008: 11). Tampilan Hasan Al-Banna sebagai
salah satu tokoh pembaharu ini juga tidak terlepas dari gerakan pembaharu
sebelumnya. Meskipun para tokoh pendahulunya tidak meninggalkan progam-
21
progam secara tertulis yang jelas dan bentuk gerakan atau institusi yang kongkret,
tetapi melalui ide-ide para pendahulunya telah mengilhami Hasan Al-Banna untuk
berjuang melalui Ikhwanul Muslimin di Mesir (Rusli, 2014: 185).
Dalam rangka mengkaji pemikiran tokoh lebih dalam, pada bab ini
dipaparkan deskripsi latar belakang tokoh yaitu Hasan Al-Banna, meliputi
berbagai aspek seperti biografi hidupnya, ideologi pemikirannya, dan gerakan
yang dibina olehnya.
A. Biografi Hasan Al-Banna
Hasan Al-Banna lahir pada 17 Oktober tahun 1906 M, di daerah
Mahmodin (Mahmudiyah) kota kecil dekat Iskandariyah, Provinsi Buhairah 90
ml sebelah Barat-Laut Kairo (Al-Jundi, 2003:10. Rusli, 2014: 186. Mitchell,
2005: 3). Nama lengkapnya Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna, ia
merupakan anak tertua dari lima bersaudara laki-laki (dakwatuna.com, 2008: 10.
Mitchell, 2005: 3).
Ayahnya bernama Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Banna,
merupakan seorang ulama yang ahli dalam ilmu hadits, aqidah, fiqh, dan nahwu,
sehingga ia menjadi guru dan imam di masjid Ma‟zoon sekaligus sebagai muadzin
di sana (Anshori, 2008: 12. Mitchell, 2005: 1). Ia juga memiliki sebuah
perpustakaan yang cukup besar (Al-Jundi, 2003:11). Selain sebagai imam dan
ulama besar, ayah Hasan Al-Banna berprofesi sebagai sebagai tukang reparasi jam
dan penjilidan buku sehingga ayahnya dikenal dengan julukan Asy-Syaikh As-
Sa‟ati (Al-Jundi, 2003:11. dakwatuna.com, 2008: 10). Ayahnya juga hidup
semasa dengan Muhammad Abduh ketika belajar di Al-Ahzar (Rusli, 2014: 186),
dan pernah mensyarahkan kitab hadits Musnad Ahmad bin Hambal, yang
22
dianggapnya sebagai ensiklopedi Sunnah Rasul Terbesar (Al-Jundi, 2003:24).
Sebagai seorang ayah, ia mencita-citakan Hasan Al-Banna menjadi seorang
mujahid di samping menjadi seorang mujtahid (Kholid, 1999: 252).
Masa kehidupan ayahnya tersebut, telah banyak dikembangkan konsep
dakwah Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridla
melalui majalah Al-Manar. Setelah menetapnya muhammad Abduh di kota
Mahmudiyah Buhairah pada tahun 1906 M, kota Mahmudiyah menjadi pusat
kajian hukum hingga Hasan Al-Banna dilahirkan, yang beberapa tahun kemudian
ia juga ikut bergabung dalam kajian tersebut, dan menghasilkan konsep-konsep
general dengan mengkolaborasikan konsep fikih dan tasawuf. Hal ini
mempengaruhi Hasan Al-Banna dalam konsep dakwahnya yang bersifat global
dan universal. Konsep semacam inilah yang dianggap sebagai pembaharuan
pemikiran Islam (Al-Jundi, 2003:25).
Saat kanak-kanak, Hasan Al-Banna dibesarkan ditengah-tengah keluarga
yang taat beribadah, berpendidikan, kaya, dan terhormat. Meskipun begitu, ia di
masa kecil membiasakan diri dengan pola hidup zuhud, rajin bertahajud, berpuasa
senin-kamis, dan amalan-amalan yang wajib maupun yang sunnah. Ia didik oleh
langsung ayahnya secara disiplin karena pada logikanya sang ayah yang
merupakan seorang tukang arloji semestinya sangat menghargai waktu dan
kedisiplinan. Hal ini terbukti sejak kecil ia dituntut untuk menghafalkan Al-
Qur‟an.
Ayahnya memberikan pelajaran mengenai Al-Qur‟an, hadits, fiqh, bahasa,
dan tasawuf. Terlebih lagi ayahnya tersebut memiliki perpustakaan untuk
menanamkan motivasi belajar dan membaca kepada Hasan Al-Banna. Bahkan
23
tidak jarang ayahnya tersebut memberi beberapa hadiah buku. Buku-buku tersebut
memberinya pengaruh yang sangat berarti diantaranya seperti Al-Anwar Al-
Muhammadiyah karya An-Nabhani, Mukhtasar Al-Mawahib Al-Ladunniyyah
karya Qasthalani, dan Nur Al-Yaqin fi Sirat Sayyid Al-Mursyalin karya Syaikh Al-
Khudri. Buku-buku yang dikoleksi menuntut untuk dibuatnya perpustakaan
khusus yang berisikan majalah-majalah dan buku-buku yang beraneka ragam
(2003: 41).
Keilmuan ayahnya dalam bidang hadits ini sangat mempengaruhi
perkembangan keagamaan Hasan Al-Banna. Melalui dominasi tradisi hadits
tersebut, Hasan Al-Banna menempa mental dan pemahamannya tentang Islam,
sehingga ketika dewasa ia berprinsip bahwa untuk membebaskan umat Islam dari
kemunduran akibat kolonial barat dan sekulerisme, umat Islam harus meneladani
dan meniru Nabi Muhammad dalam berbagai aspek kehidupan (Anshori, 2008:
12). Maka dari itu Hasan Al-Banna dikenal sebagai tarekat dan penganut mazhab
Hambali. Setelah anak-anak Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Banna
besar dan mulai mengeyam pendidikan, mereka pindah dari Mahmudiyah ke
Kairo, dan menetap di suatu daerah dekat Universitas Al-Azhar (2003:12).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa faktor lingkungan
keluarga dan didikan dari orang tua sangat berpengaruh dalam ideologi Hasan Al-
Banna. Melalui faktor inilah, Hasan Al-Banna memiliki pondasi ilmu yang kuat
terutama dalam ilmu agama. Hal tersebut secara tidak langsung membentuk
struktur kognitif dalam diri Hasan Al-Banna sebagai manusia yang religius dalam
berurusan dengan realitas sosial.
24
Saat menginjak umur 12 tahun, Hasan Al-Banna masuk sekolah dasar.
Semenjak itu, untuk pertama kalinya Hasan Al-Banna mengikuti sebuah
organisasi-organisasi keagamaan. Diantara yang membentuk karakternya adalah
organisasi ‚Jam’iyyah As-Suluk wal Akhlak‛ (Perhimpunan Akhlak Mulia) yang
bertujuan menghukum anggota-anggotanya atas setiap pelanggaran (Mitchell,
2005: 4).
Hasan Al-Banna pada masa Remaja aktif dalam organisasi dan aktif
belajar dalam pengkaderan organisasi, sewaktu sekolah keguruan di Madrasah Al-
Mu’alimin Al-Awaliyah, ia bersama teman-temannya mendirikan organisasi
Muhara>bah Al-Munkara>t (Organisasi Pemberantasan Kemungkaran) dan ia
menjadi komandannya. Kegundahannya terhadap kemaksiatan menyebabkan ia
bersama teman-temannya membuat organisasi Menolak Keharaman tersebut.
Aktivitas terpenting mereka adalah menulis dan mengirim surat-surat rahasia dan
bernada mengancam kepada orang-orang yang dipandang hidupnya melanggar
ajaran Islam (2005: 4). Aktivitas nyatanya seperti, mengingatkan umat Islam yang
melakukan dosa dan meninggalkan kewajiban Islam seperti shalat, puasa, dan
lain-lain. Hasan Al-Banna juga punya kegiatan yang dilakukannya ketika masih
kecil, yaitu membangun-bangunkan orang tidur dari rumah ke rumah untuk shalat
Subuh berjamaah di masjid (dakwatuna.com, 2008: 10). Organisasi ini ikut
menempa dan mengantarkan seorang Hasan Al-Banna menjadi tokoh terkemuka
(Ahshori, 2008: 13).
Lingkungan pedesaan yang jauh dari hiruk-pikuk suasana kota turut
membantu perkembangan Hasan Al Banna. Sehingga dalam usia yang masih
muda beliau sudah berhasil menghafal Al-Qur‟an pada saat usia 14 tahun. Beliau
25
di samping berguru pada ayahnya juga berguru pada ulama lain, sampai akhirnya
mengantarkan beliau belajar di Da>rul-‘Ulum Kairo.
Selama belajar di Da>rul-‘Ulum, Hasan Al-Bana merupakan mahasiswa
yang berprestasi. Ia juga telah menyusun tugas akhir sehingga meraih gelar
sarjana dengan predikat yang terbaik kelima dari seluruh pelajar Mesir (Al-Banna,
2006: 1). Setelah menyelesaikan studinya, ia ditugaskan oleh pemerintah sebagai
guru Madrasah di Provinsi Ismailiyyah. Ia memilih profesi guru karena ia melihat
bahwa para pendidik sumber cahaya yang menerangi masyarakat (Rusli, 2014:
186) .Pada saat itu, kondisi kota Ismailiyyah telah dikuasai dan terpengaruh oleh
Inggris (Anshori, 2008: 14). Saat itu bersamaan dengan kondisi Mesir khususnya
dan bangsa Arab pada umumnya mengalami berbagai peristiwa denotatis,
diantaranya runtuhnya institusi Khilafah Islamiyyah di Turki pada awal abad 20
M, dan peristiwa penjajahan kolonial Barat di daerah Timur Tengah, khusunya
kedudukan Inggris di Mesir, dan hijrahnya bangsa Zionisme di tanah Palestina.
Peristiwa tersebut menggugah rasa nasionalisme yang tinggi dalam benak Hasan
Al-Banna (Al-Jundi, 2003: 40).
Tiga pertentangan yang dihadapi Hasan Al-Banna menuntutnya untuk
mengambil jalan yang telah ia persiapkan sendiri. Tiga pertentangan yang
dimaksud adalah jatuhnya khilafah yang menjadi sistem pemerintahan Islam di
Turki, carut-marutnya ikatan persatuan Islam yang telah memberi peluang bagi
missionaris dan melipatgandakan ekpedisi, serta pengambil-alihan gerakan
nasionalisme yang berpihak pada hukum positif dan undang-undang liberal
sebagai akibat sikap latah pada Barat (2003: 65).
26
Hasan Al-Banna tidak bisa berdiam diri dengan kemerosotan bangsa Arab
saat itu. Ia mengadakan pertemuan pada Maret 1928 M, dengan keempat
temannya, Abdurrahman, Ahmad Al-Khudri, Zakki Al-Maghrib, dan Hafidz
„Abdul Hamid di kediamanya Ismailiyyah (2003: 48). Dalam pertemuan itu
membahas permasalahan bangsa Arab. Mereka melihat bahwa kebudayaan Mesir
telah merosot dan orang Islam tidak memiliki kedudukan dan kemuliaan.
Mereka berbaiat dan menyatakan diri sebagai “tentara (junu>d) dakwah
Islam”. Seorang diantara mereka mengusulkan sebuah nama resmi gerakan,
namun ditolak oleh Hasan Al-Banna dan ia berkata “Tidak perlu nama resmi,
yang terpenting adalah gagasan dan pemaknaanya” (Anshori, 2008: 16). Akhirnya
mereka memutuskan dan berikrar” kami bersaudara berdedikasi untuk
kepentingan Islam. Oleh karena itu, kami adalah Ikhwanul Muslimin (Rusli,
2014: 195).
Sejak baiat itu, seruan dakwah telah dikibarkan oleh Hasan Al-Banna dan
teman-temannya, mereka memulai dakwah tersebut di berbagai kedai-kedai
minuman. Mereka membidik orang-orang awan luar masjid. Meskipun begitu
dakwah tersebut mendapat respon yang baik dari masyarakat Mesir (Al-Jundi,
2003: 48). Pengikut Hasan Al-Banna semakin hari semakin bertambah banyak,
rasa simpati dan fanatik berdatangan mendukungnya. Sehingga ia memiliki
pengaruh yang cukup kuat di berbagai wilayah, terutama Ismailiyyah.
Ikhwanul Muslimin pada tahun 1933 M, berpindah dari Ismailiyyah
menuju Kairo. Saat itu gerakan Ikhwanul Muslimin mulai menerbitkan tabloid
atau buletin pada tiap mingguan Ikhwanul Muslimin, dengan Muhibuddin M.
Khathib sebagai pemimpin redaksinya. Lalu menyusul Al-Nadzir yang untuk
27
pertama kalinya terbit pada 1938 M, dan kemudian menyusul al-Syihab pada
tahun 1947 M. Melalui media-media tersebut, pemikiran Hasan Al-Banna dan
sepak terjang Ikhwanul Muslimin menjadi lebih dikenal tidak hanya oleh
masyarakat Mesir dan negeri Arab saja tetapi juga oleh dunia Islam secara luas
(Al-Anshori, 2008: 17).
Ikhwanul Muslim dalam perjalanan perjuangannya di Mesir pada akhirnya
mengalami beberapa hambatan dari pemerintahan Mesir sendiri, setelah
kekhawatiran pemerintah atas keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam agitasi dan
kekerasan, tepatnya pada tahun 1948, ketika pecah perang Palestina dan peran
Mesir yang mengecewakan. Klimaknya pada tanggal 8 Desember 1948, dengan
keluar perintah militer yang berisi pembubaran Ikhwanul Muslimin dan
cabangnya di mana saja, menutup pusat-pusat kegiatannya, dan berbagai dokumen
dan aset Ikhwanul Muslimin. Selain pembubaran, pemerintah juga melakukan
penangkapan dan penghalauan para pejuang dan tokoh-tokoh Ikhwan ke kamp-
kamp konsentrasi dan penjara (Kholid, 1999: 254-255).
Tahun 1941 M, sebenarnya Ikhwanul Muslimin membentuk tim formatur
untuk merumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang pertama
bagi Ikhwanul Muslimin untuk menopang cita-cita Hasan Al-Banna menuju
terwujudnya Khilafah Islamiyyah (Al-Anshori, 2008: 17). Namun, perjuangan
Hasan Al-Banna berakhir pada 12 Februari 1949 M, ketika ia ditembak mati oleh
Kolonel Mahmud Abd Al-Majid atas perintah raja Faruq di sebuah jalan raya
Kairo (Rusli, 2014: 188).
28
1. Riwayat Pendidikan Hasan Al-Banna
Pendidikan yang dimaksud dalam sub bab ini adalah pendidikan formal
yang telah ditempuh oleh Hasan Al-Banna. Pendidikan semasa perjalanan hidup
Hasan Al-Banna dimulai dari sekolah tingkat dasar Al-Rasyad Al-Dinniyah
sekaligus sekolah persiapan di Mahmudiyah, kemudian ke tingkat yang lebih
tinggi yaitu di Madrasah Al-Mu’alimin Al-Awaliyah (sekolah keguruan) di
Damanhur, dan terakhir tingkat perguruan tinggi di Da>rul-’Ulum Kairo Mesir.
a. Madrasah Al-Rasyad Al-Dinniyah
Pendidikan formal yang ditempuh Hasan Al-Banna pertama kalinya di
sekolah Al-Rasyad Al-Dinniyah kemudian melanjutkan sekolah persiapan
yang berada di kota Mahmudiyah (Al-Jundi, 2003:13). Dalam masa ini,
kehidupan Hasan Al-Banna sangat dipengaruhi lingkungan rumah, sekolah,
dan masjid. Kehidupan tersebut dimulai dengan didikan langsung dari orang
tuanya yang menanamkan kedisiplinan dalam berilmu, beribadah, juga
beramal.
Selama di Mahmudiyah Hasan Al-Banna memiliki seorang guru
sekaligus sebagai figur sahabat yang bernama Syaikh Muhammad Zuhran,
pemilik sekolah Ar-Rasyad Ad-Dinniyah yang banyak disebut oleh Hasan
Al-Banna dalam buku catatan harianya, Mudzakarah. Melalui gurunya
inilah, Hasan Al-Banna sangat mencintai ilmu dan semangat belajar, ia juga
pandai dalam berkomunikasi, berorasi, dan mempengaruhi audien. Dari
dialah pula, Hasan Al-Banna memperoleh pemahaman atas hubungan
solidaritas yang kuat antara da’i dan orang-orang yang sejalan denganya
(2003:28).
29
Muhammad Abu Syausah, salah seorang guru lainya, yang telah
memberikan kesan dan pengaruh terhadapnya selama kehidupan di
Mahmudiyah. Karena Muhammad Abu Syausah sangat menaruh perhatian
yang dalam terhadap persoalan pendidikan dan pembentukan kader
pendakwah. Selain itu, gurunya tersebut juga mengedepankan toleransi antar
muslim terhadap berbagai khilafiyyah (perbedaan) dan menghindari
perpecahan kaum musim, sehingga dapat tercapainya persatuan. Dari situlah
Hasan Al-Banna, terinspirasi untuk berdakwah secara lemah-lembut tanpa
kekerasan dan tidak mudah untuk menjustifikasi suatu tarekat tertentu
(2003:30).
Masa ini untuk pertama kalinya Hasan Al-Banna mengenal dan
mengikuti organisasi. Organisasi yang paling menonjol dalam memberikan
pengaruh terhadap pemikirannya adalah ‚Jam’iyyah As-Suluk wal Akhlak‛
(Perhimpunan Akhlak Mulia) yang diketuai langsung olehnya (Mitchell,
2005: 4).
b. Madrasah Al-Mu’alimin Al-Alawiyah
Sekitar tahun 1920, ia meneruskan pendidikanya ke Madrasah Al-
Mu’alimin Al-Awaliyah (sekolah keguruan) di Damanhur dan menetap
disana (Al-Jundi, 2003:13). Ketika itu, ia telah hafal Al-Qur‟an 30 juz
sebelum berumur 14 tahun (Rusli, 2014:186). Di lingkungan Madrasah ini
ia bertemu dengan berbagai guru-guru besar, sehingga semakin membuka
wawasan dan paradigmanya dalam berfikir (Al-Jundi, 2003:13).
Abdul Fattah Abu A‟llam merupakan salah seorang guru Hasan Al-
Banna saat itu, yang selalu ia ingat dari gurunya tersebut adalah wasiat yang
30
diberikannya kepada Hasan Al-Banna. Wasiatnya tersebut menganjurkan
Hasan Al-Banna untuk selalu melakukan kajian yang mendalam, dan untuk
selalu memikirkan rahasia perundang-undangan Islam maupun sejarah
perkembangannya, juga sejarah madzhab dan terbentuknya kelompok-
kelompok (firqoh) serta thaifah merupakan kelompok yang lebih kecil lagi
(2003:32). Hal ini sangat mempengaruhi pemikiran Hasan Al-Banna,
sekaligus menumbuhkan ambisi untuk membangun sebuah komunitas
ataupun gerakan yang pada akhirnya terwujud melalui Ikhwanul Muslimin.
Selain itu dalam fase ini, Hasan Al-Banna untuk pertama kalinya
menyaksikan majelis dzikir, karena begitu terkesan ia bergabung menjadi
anggota tarekat Al-Hishafiyah yang didirikan di oleh Abdul Wahhab Al-
Hasafy, melalui tarekat ini ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh sufi
tarekat tersebut. Ia bahkan menghabiskan waktunya di siang hari berada di
toko jam, sedangkan malam harinya berkumpul di tarekat Al-Hisyafiyah itu
(2003:13). Hasan Al-Banna mengikuti tarekat ini selama dua puluh tahun. Ia
tetap memegang teguh ajaran sufisme hingga menjadi pengikut majelis
dzikir yang taat dan menjadi kepercayaan para gurunya (Mitchell, 2005: 4).
Hasan Al-Banna sangat terkagum-kagum dengan majelis-majelis zikir
dan lantunan nasyid yang dilantukan secara berjamaah. Terlebih lagi, ia
bertemu dengan guru lamanya Syaikh Zuhran sehingga ia aktif melakukan
zikir di pagi dan petang hari. Jamaah Tarekat ini kemudian mendirikan
organisasi Al-Jama’iyyah Al-Hasyfiyyah Al-Khairiyah, dan Hasan Al-Banna
menjabat sebagai sekretarisnya. Organisasi ini kemudian diganti oleh Hasan
Al-Banna menjadi Ikhwanul Muslimin (Qomar Z.A. dalam Istadiyantha,
31
2006: 66. Al-Jundi, 2003: 13). Asosiasi ini bertujuan untuk berjuang
melindungi moralitas Islam, dan membendung kegiatan misionaris
Kristenisasi di kotanya (Mitchell, 2005: 5).
Ia juga sangat tekun mempelajari dunia tasawuf dan ibadah, ia banyak
mempelajari kitab-kitab besar seperti Ihya’ Ullumuddin milik Imam Ghazali,
Ushul Al-Awliya’, Al-Yaqut, Al-Jawahir, dan lain sebagainya. Ia juga
meneladani intisari keimanan, dzikir, dan ibadah. Meskipun begitu tidak
memepelajari tasawuf secara membabi buta, ia berusaha memehami tasawuf
sebagai wahana manajemen kepribadian dan sebuah metode pendidikan (Al-
Jundi, 2003:31).
Ia menjadikan Majalah-Majalah besar sebagai wahana diskusi, belajar,
dan mengkaji kitab-kitab besar, juga persoalan-persoalan yang dilematis dan
kontroversial. Diskusi seputar masalah thariqat, kewalian, dunia sufi, bid‟ah-
bid‟ah, dan permasalahan lainya yang menghangat. Kemudian, ia bersama
teman-temanya mendirikan organisasi Muhara>bah Al-Munkara>t (Organisasi
Pemberantasan Kemungkaran) dan ia menjadi komandannya. Organisasi ini
ikut menempa dan mengantarkan seorang Hasan Al-Banna menjadi tokoh
terkemuka (Ahshori, 2008: 13). Dalam pandangan Anshori tersebut ia
menilai bahwa melalui nama organisasi tersebut menampakan watak Hasan
Al-Banna yang radikal dalam merespon kebobrokan sosial yang ada.
Selama proses pembelajaranya di Madrasah Al-Mu’alimin ini, dia
merasa mendapatkan pengaruh yang sangat besar. Karena pada masa ini dia
dapat menghafal banyak matan dari ilmu yang bermacam-macam, dan
semuanya itu ia lakukan di luar kurikulum pelajaran. Ia menghafal Milhah
32
Al-I’rab karya Al-Hariri, Alfiah li Ibnu Malik, Al-Bayquniyyah di bidang
hadits, Al-Jawaharah di bidang tauhid, Ar-Rahbiyyah di bidang pembagian
warisan, sebagian matan As-sullam di bidang mantiq, sebagian besar matan
Al-Quduryy di bidang fikih abu hanifah, matan Al-Ghayah wa At-Taqrib
karya Abu Syuja‟ di bidang fikih Syafi‟i, juga sebagian Mandzumah ibn
‘Asyir di bidang fikih Malik. Hal ini dilakukan Hasan Al-Banna sesuai
dengan arahan dari orang tuanya. Orang tuanya pernah berpesan bahwa:
“Barangsiapa menghafal banyak matan, ia akan menguasai banyak teknik.”
Pesan tersebut sangat diresapi oleh Hasan Al-Banna hingga dia berusaha
menghafal matan As-Syathibiyyah fiy Al-Qira’at, meskipun ia kesulitan
untuk memahaminya, akan tetapi dia benar-benar menghafal pengantar dan
sebagian isinya (Al-Jundi, 2003:42).
c. Da>rul-’Ulum
Selepas dari sekolah keguruan dalam umur 16 tahun, Hasan Al-Banna
melanjutkan studi di Da>rul-’Ulum Kairo. Ketika disitu, ia berkenalan dengan
Rasyid Ridla dan mulai belajar Tafsir Al-Manarnya Ridla, ia juga belajar
tentang slogan-slogan Muhammad Abduh seperti A’r-Ruju, ilai > Qur’an wal
Sunnah (Anshori, 2008: 13). Pada masa kuliah ini, perangkat-perangkat
intelektual dan kepedulian emosional Hasan Al-Banna mulai terbentuk dua
hal yang mempengaruhi pendidikannya selama ini adalah ilmu-ilmu Islam
klasik dan kedisiplinan emosional sufisme (Mitchell, 2005: 6).
Hasan Al-Banna merupakan mahasiswa berprestasi ketika ujian akhir,
ia telah melengkapi hafalan Al-Qur‟an 30 juz dan hafalan 18.000 bait syair
hikmah Arab dan juga prosa sebagai persyaratan kelulusannya (Ansori, 2008:
33
13. Al-Banna, 2006: 1), dan menyusun karya tulis ilmiah hingga mendapat
gelar kesarjanaan dengan gelar terbaik dengan peringkat kelima dari seluruh
pelajar Mesir (Al-Banna, 2006: 1). Di dalam karya tulis itulah Hasan Al-
Banna memaparkan dengan jelas bahwa ia mempersiapkan diri dan beberapa
pemuda yang bergabung bersamanya untuk melindungi dan menjaga agama
Islam (Al-Jundi, 2003:31).
Hal tersebut diungkapkan Hasan Al-Banna karena pada masa itu
banyak peristiwa denotatis, diantaranya terjadinya revolusi tahun 1919 M, ia
telah menyaksikan penjajahan masyarakat Mesir oleh ekspansi militer
kolonial Barat. Sebagai mahasiswa ia ikut berpartisipasi dalam demontrasi
yang meletus di dalam lingkungan kampus maupun luar kampus (Mitchell,
2005: 5).
Berbagai peristiwa itu membuat jiwa nasionalisme Hasan Al-Banna
timbul dalam benaknya. Walaupun demikian, menurutnya persoalan tersebut
tidak sekedar masalah invansi Inggris terhadap Mesir akan tetapi merupakan
upaya Barat untuk merebut kekuasaan atas dunia Arab (red: Islam).
Menurutnya, apa yang terjadi bukan semata penjajahan fisik, melainkan
upaya penguasaan umat Islam agar jauh dari nilai-nilai ajaran syariat Islam
dan terpengaruh pemikiran-pemikiran kolonial Barat (Al-Jundi, 2003:39).
Sehingga, jiwa nasionalisme yang tumbuh pada Hasan Al-Banna tidak hanya
semata cinta tanah air, namun juga cinta terhadap agamanya (red: Islam) yang
sudah membudaya di negeri Mesir.
Melihat fenomena tersebut, Hasan Al-Banna beranggapan bahwa umat
Islam tidak akan mungkin berada di bawah cengkraman imperialisme dan
34
kolonialisme maupun ekspansi militer Barat, jika mereka tetap berpegang
teguh kepada pedoman Islam. Dengung nasionalisme umumnya pada saat itu
menurut pandangan Hasan Al-Banna bergerak dalam bingkai pemikiran
kebarat-baratan yang mencari kemerdekaan dan kebebasan dengan cara-cara
demokrasi ala Barat. Menurutnya, dengan begitu tanpa disadari telah menjadi
pendukung terbesar tertanamnya invasi Barat.
Ketika kolonialisme berhasil menumbangkan khilafah Islam tahun 1926
M, Hasan Al-Banna merasa rencana-rencana penjajahan telah jauh memasuki
kedalam umat Islam Timur Tengah. Ia juga mengetahui akan terjadinya
konflik di Palestina seiring hijrahnya Zionisme di sana dan mengintai Baitul
Maqdis. Kolonial Inggris berhasil menjajah Mesir, Sudan, dan Irak.
Sedangkan Perancis menguasai Suria, Lebanon, Maroko, dan daerah sekitar,
termasuk Tunisia, Al-Jazair, dan Marakisy. Dalam keyakinan Hasan Al-
Banna bahwa apa yang mereka sebut dengan gerakan nasionalisme bukanlah
cara yang tepat. Partai-partai yang ada merespon baik bahwa setiap yang
langkah dan tindakan yang akan diambil harus dijustifikasi dan mendapat
legitimasi pihak Kolonial Barat. Orang-orang partai saat itu menurutnya
bergerak di bawah bayang-bayang Barat. Pengaruh tersebut telah tersebar ke
beberapa sekolah, perbankan, perundang-undangan, dan masyarakat.
Peraturan yang diklaim demokratis ala Barat diterapkan dengan sistem yang
berlaku di Barat, baik dalam politik maupun hukum. Pada saat bersamaan
juga menghalangi umat Islam dan masyarakat Mesir khususnya, untuk
kembali kepada sistem agama dan budaya mereka (2003: 40).
35
Terlebih lagi posisi Al-Azhar dan para ulama dalam hal tersebut sangat
lemah. Kekuatan Islam baru bisa digalang dan disatukan dalam wadah
bernama Asy-syubban Al-Muslimin (jamaah-jamaah lain). Akan tetapi Hasan
Al-Banna bermaksud menghadapi masalah tersebut dengan sistem yang
berbeda. Ia memulainya dengan wacana persatuan umat Islam yang disebut
Al-Jam’iyyat Al-Islammiyyah, tetapi untuk tahap pertama ia kosentrasikan
pada bidang sejarah gerakan kebangkitan Islam melalui dimesi pendidikan
Islam, juga pembangunan pemuda dan penggalangan kekuatan. Semua itu
menjadi gagasan universal yang diharapkan bisa merealisasikam misi dan
tujuan Islam sesuai cara-cara yang di benarkan agama (red: cara yang
diyakini). Adapun dari sisi peradaban dan pemikiran yang dapat
menkonsolidasikan pemikiran ini, Hasan Al-Banna memperbanyak membaca
dan berupaya menuntut ilmu dan belajar di luar batas-batas kurikulum
sekolah (2003: 41).
Setelah menyelesaikan studinya di usia 21 tahun, Hasan Al-Banna di
tugaskan oleh pemerintah untuk menjadi guru Madrasah di daerah
Ismailiyyah. Di wilayah ini pengaruh dari Inggris tampak sangat dominan,
sehingga gaya kehidupan di wilayah Ismailiyah hampir semuanya bercorak
Barat layaknya Eropa (Anshori, 2008: 14). Mulai dari makanan, fashion,
pergaulan bebas, dekandesi moral, bahkan mata pencaharian masyarakat
Ismailiyyah sebagai pekerja Terusan Suez milik koloni Inggris. Sehingga
wilayah Ismailiyyah disebut-sebut sebagai kota yang Eropa di Mesir (2008:
7).
36
Koloni Inggris di Suez, dalam pandangan Hasan Al-Banna telah
merenggut kebebasan pribumi Arab dan memandang hina masyarakatnya. Ia
menyaksikan para pekerja Arab berubah tampak berwajah merah, berambut
pirang meniru budaya Eropa dan melupakan identitas budaya Timur (red:
Islam, Arab). Ia beranggapan bahwa Inggris dan juga Barat berusaha secara
sistematis melemahkan kekuatan Islam dengan menyebarkan faham
sekulerisme dan kristenisasi atas dunia Islam, termasuk Mesir dan negeri-
negeri Islam lainnya. Maka dalam rangka merespon kondisi tersebut, Hasan
Al-Banna melakukan konsolidasi baik melalui media maupun mendatangi
berbagai tempat seperti masjid dan warung-warung untuk menyerukan
melawan kolonial Barat sehingga terbetuklah Ikhwanul Muslimin pada tahun
1347 H/ 1928 M.
Menurut hemat penulis, jenjang pendidikan formal yang ditempuh oleh
Hasan Al-Banna menjadi modal dalam memperkaya pola pikirnya. Hal tersebut
dapat diliat dari didikan awal orang tuanya yang sangat dominan dengan ajaran
salafi yang menolak ajaran tasawuf, akan tetapi setelah Hasan Al-Banna
menempuh pendidikan formal di tingkat Madrasah Al-Mu’alimin Al-Alawiyah
menjadikan ia sebagai pribadi yang objektif karena menurutnya tidak semua
ajaran tasawuf itu sesat. Terlebih lagi setelah ia menempuh pendidikan di tingkat
Da>rul-’Ulum menjadikan ia sebagai sosok modern dalam menghadapi realitas
sosial, ia juga tidak menolak modernisasi yang dibawa oleh Barat. Akan tetapi ia
tidak melepas sepenuhnya ajaran salafi dalam pemikirannya, sehingga para ahli
menyebutnya dengan neo-salafi.
37
2. Perjalanan Hasan Al-Banna Bersama Ikhwanul Muslimin
Hasan Al-Banna telah menyelesaikan studinya dengan prestasi yang
sangat baik. Ia kemudian ditugaskan sebagai guru Madrasah oleh pemerintah di
daerah Ismailiyyah. Dimana di provinsi itu, pengaruh Inggris sangat dominan
terlebih lagi dengan adanya markas besar perusahaan Suez dan dikelilingi kamp
dan instalasi militer tentara koloni Inggris. Berbagai gaya hidup, budaya dan
tradisi Barat sangat nampak di sana, sehingga kota Ismailiyyah ini menjadi kota
yang paling berpenampilan seperti Eropa dibandingkan kota-kota lainnya di Mesir
(Anshori, 2008: 7).
Peristiwa tersebut, membuat Hasan Al-Banna merasa Barat telah
menghancurkan peradaban Arab dan umat Islam di Timur. Barat telah menyebar
virus-virus pemikiran liberal dan sekuler di kalangan umat Islam membuat mereka
jauh dari nilai dan budaya Islam. Hal ini menggerakan rasa nasionalime yang
tinggi dalam jiwa Hasan Al-Banna. Namun, ia mengklaim bahwa rasa
nasonalismenya tersebut berdasarkan keyakinan terhadap agamanya (red: Islam).
Ia juga tidak membenarkan nasionalisme dari kalangan partai-partai sekuler yang
memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan di Mesir. Menurut pandanganya
dengan pemikiran nasionalisme secara demokratis Barat sama saja bangsa Mesir
masih terjajah oleh ideologi Barat. Apalagi sistem dan peraturan partai-partai di
Mesir saat itu harus mendapatkan persetujuan dan legitimasi Barat.
Ia merespon kondisi Mesir dan bangsa Arab pada saat itu dengan
melakukan seruan dengan gerakan dakwah di pelbagai tempat. Ia meyakini bahwa
tidak ada peraturan dan ajaran yang menjamin kebahagiaan manusia dan
memberikan arahan kepada mereka akan jalan praktis untuk mencapai
38
kebahagiaan yang dimaksud, melebihi ajaran Islam. Maka, ia telah menentukan
tujuan hidupnya untuk menunjukan Islam kepada berbagai kalangan masyarakat
Mesir dan umat manusia menurut konsep yang sebenar-benarnya (red: syariat
Islam) dan bersifat amaliyah (tindakan nyata). Oleh karena itu pusat pemikiran
Ikhwanul Muslimin terkait dengan Islam (Al-Jundi, 2003: 48).
Ide dan gagasan itu selalu berkecambuk dalam jiwa Al-Banna terkadang ia
juga mengutarakannya kepada beberapa orang di sekitarnya. Jika ada kesempatan
ia selalu berdakwah untuk mengoptimalkan upaya dan semangat menyelamatkan
umat manusia dengan mengajak mereka kepada islam. Berbagai peristiwa di
Mesir dan beberapa negara Islam Timur Tengah, membuat hati Hasan Al-Banna
terusik untuk melakukan tindakan dalam melakukan perbaikan. Namun ia merasa
belum mendapatkan atensi yang diperlukan untuk mengatur upaya-upaya praktis.
Beruntung gagasan Hasan Al-Banna disambut dan direspon oleh Ahmad Basya
Taimour. Menurutnya Ahmad Basya memiliki semangat yang tinggi dan yang
terutama cara berfikir yang matang, pengertian yang penuh, dan kehati-hatian
dalam berbuat (2003: 48).
Respon untuk segera mengambil tindakan juga didapatkan Hasan Al-
Banna dari kawan-kawannya yaitu, As-Sukari, „Askariyyah, Muhammad Abdul
Hamid, dan lainnya. Semuanya sepakat untuk berbuat sesuai dengan tujuan dan
misi yang diinginkan bersama, yaitu merubah tradisi, budaya, dan kebiasaan umat
secara umum untuk kembali kepada syariat dan hukum Islam yang benar sesuai
keyakinan mereka (2003: 48).
Sekitar bulan Maret 1928 M/ 1347 H, akhirnya ide dan pemikiran Hasan
al-Banna terealisasikan dengan beridirinya “Ikhwanul Muslimin” disaat usianya
39
masih 22 tahun. Gerakan tersebut merupakan hasil dari pertemuan Hasan Al-
Banna bersama empat temannya yaitu, Abdurrahman yang berprofesi sebagai
sopir, Ahmad Al-Khudri sebagai tukang cukur, Zakki Al-Maghribi sebagai
penjahit, dan Hafidz „Abdul Hamid sebagai tukang kayu (2003: 48). Mereka
berkumpul untuk membahas kemajuan umat Islam, mereka melihat bahwa
kebudayaan Mesir telah merosot dan orang Islam tidak mempunyai kedudukan
serta kemuliaan. Akhirnya mereka memutuskan untuk berikrar “kami bersaudara
berdedikasi untuk kepentingan Islam oleh karena itu, kami adalah Al-Ikhwan Al-
Muslimin” (Rusli, 2014: 195)
Pembahasan mengenai perjalanan Hasan Al-Banna dalam
memperjuangkan Ikhwanul Muslimin, akan dipaparkan berdasarkan beberapa
periode, diantaranya;
a. Periode Pembentukan (1928-1936 M)
Ketika periode pembentukan ini, baik ketika masih di Ismailiyyah
maupun kepindahanya di Kairo pada 1993 M, aktivitas gerakan ini masih
berupa dakwah, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Ikhwan dengan dipimpin
oleh Hasan Al-Banna tidak kenal lelah membangun dan membina kehidupan
agama masyarakat (2014: 197).
Metodologi dakwah yang digunakan Hasan Al-Banna terbilang sangat
unik. Karena dakwah tersebut tidak dimulai dari masjid ke masjid maupun
majelis ilmu, akan tetapi ia membidik masyarakat awam sehingga ia
memulai dari satu kedai kopi satu ke kedai kopi yang lainnya. Semula
pemilik kedai menanggapi dengan sinis perjuangan Hasan Al-Banna dan
40
kawan-kawanya, namun dengan berjalannya waktu dakwah tersebut
direspon dengan sangat baik (Al-Jundi, 2003: 50-51).
Di Ismailiyyah, Ikhwanul Muslimin mengambil rumah tua sebagai
kantor seketariat. Kemudian diiringi dengan pembangunan masjid, sekolah
khusus putra dan putri, klub, dan berbagai industri rumah tangga yang
bertujuan sebagai pusat kegiatan masyarakat (Mitchell, 2005: 14).
Konflik internal Ikhwanul Muslimin yang tercatat dalam periode
kepemimpinan Hasan Al-Banna adalah ketika tuntutan untuk memilih wakil
penggati Hasan Al-Banna di Ismailiyyah. Sebelumnya Hasan Al-Banna
telah diminta memilih calon kandidat penggantinya, setelah dimufakati
pihak oposisi menentang keputusan. Sehingga diadakan penilihan ulang
meskipun hasilnya jatuh kepada kandidat yang dicalonkan Hasan Al-Banna
tersebut (Mitchell, 2005: 15).
Setelah dua tahun, perjuangan Ikhwanul Muslimin sudah menampakkan
hasilnya, di mana terbentuknya cabang di Abu Shuwair, Port Said, dan Al-
Balaah. Setelah tiga tahun perjalanan terbentuk cabang lain di Suez. Ketika
memasuki tahun keempat, sepuluh cabang lainnya dapat terbentuk. Saat
memasuki tahun kelima Hasan Al-Banna menerima surat mutasi ke Kairo,
dengan otomatis markas Ikhwanul Muslimin dari Ismailiyyah berpindah ke
Kairo tahun1933 M. Waktu itu, Ikhwanul Muslimin menjalin hubungan
dengan Asosiasi kebudayaan Islam yang kemudian melebur menjadi satu
dengan Ikhwanul Muslimin dan membentuk cabang pertama di Kairo.
Kemudian dakwah Ikhwanul Muslimin juga tersebar di lima puluh kota di
Mesir diakhir tahun.(Mitchell, 2005: 15. Syamakh, 2011: xiii-xiv).
41
Ikhwan berusaha meningkatkan taraf hidup masyarakat dalam bidang
sosial kemasyarakatan seperti memperbaiki lahan pertanian, menolong fakir-
miskin, menangani penerangan pedesaan bahkan mengelola hasil-hasil