13 Bab II Pluralisme Sebagai Realitas Sosial 2.1. Pengantar Pluralisme adalah suatu keniscayaan untuk hidup bersama dalam konteks Indonesia. Bangsa Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak dan terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama, kebudayaan dan lain-lain. Jumlah penduduk Indonesia yang dikeluarkan badan statistik kependudukan Indonesia adalah 237.641.326 jiwa tahun 2010. 1 Dengan demikian Indonesia ini dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Jumlah penduduk yang besar dan juga keanekagaman itu membuat Indonesia di satu sisi kaya akan potensi untuk perkembangan dan pembangunan bangsa, di sisi lain potensi juga untuk terjadinya perpecahan bangsa dan negara. Meningkatnya sektarian dan radikalisme agama yang sebagian berujung pada tindakan kekerasan atas nama agama di Indonesia, merupakan kenyataan yang menyedihkan. Hidup bersama di masyarakat yang plural ini sering kali terjadi sesuatu yang melibatkan kekuatan massa atau jumlah, mayoritas minoritas, pada suatu daerah dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan, sehingga ada satu kelompok yang merasa mempunyai hak untuk menghakimi kelompok yang lainnya. Disinilah kehadiran Negara sangat diperlukan dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Potensi konflik SARA yang menyebabkan perpecahan bangsa, diantaranya dikarenakan masalah agama, berusaha dicegah dan diminimalisir, sehingga negara 1 http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267 ... diakses tanggal 01 Oktober 2016.
29
Embed
Bab II Pluralisme Sebagai Realitas Sosial 2.1. Pengantar · Isme. artinya paham yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham. Sedangkan pluralis artinya bersifat jamak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
13
Bab II
Pluralisme Sebagai Realitas Sosial
2.1. Pengantar
Pluralisme adalah suatu keniscayaan untuk hidup bersama dalam konteks
Indonesia. Bangsa Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk
yang banyak dan terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama, kebudayaan
dan lain-lain. Jumlah penduduk Indonesia yang dikeluarkan badan statistik
kependudukan Indonesia adalah 237.641.326 jiwa tahun 2010.1 Dengan demikian
Indonesia ini dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Jumlah penduduk yang besar
dan juga keanekagaman itu membuat Indonesia di satu sisi kaya akan potensi
untuk perkembangan dan pembangunan bangsa, di sisi lain potensi juga untuk
terjadinya perpecahan bangsa dan negara.
Meningkatnya sektarian dan radikalisme agama yang sebagian berujung
pada tindakan kekerasan atas nama agama di Indonesia, merupakan kenyataan
yang menyedihkan. Hidup bersama di masyarakat yang plural ini sering kali
terjadi sesuatu yang melibatkan kekuatan massa atau jumlah, mayoritas minoritas,
pada suatu daerah dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan, sehingga ada
satu kelompok yang merasa mempunyai hak untuk menghakimi kelompok yang
lainnya. Disinilah kehadiran Negara sangat diperlukan dalam menyelesaikan
persoalan tersebut.
Potensi konflik SARA yang menyebabkan perpecahan bangsa, diantaranya
dikarenakan masalah agama, berusaha dicegah dan diminimalisir, sehingga negara
1 http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267 ... diakses tanggal 01 Oktober 2016.
14
melindungi kebebasan dalam beragama warganya dengan melindungi dalam
hukum dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yaitu UUD 1945.
Masing-masing warga negara bebas memeluk agama dan kepercayaannya, serta
melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Pasal 28E ayat
(1) yang menyatakan, ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya….” dan Pasal 28E ayat (2) berbunyi, ”Setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.” Selain itu, kebebasan beragama juga diatur dalam Pasal
29 ayat (2) bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”2
Setiap agama tidak terpisah satu dengan yang lainnya dalam kemanusiaan.
Keterpisahan mereka dalam kemanusiaan bertentangan dengan prinsip pluralisme
yang merupakan watak dasar masyarakat manusia yang tidak bisa dihindari.
Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama, budaya, dan sebagainya, Indonesia
termasuk satu negara yang paling majemuk di dunia. Indonesia juga merupakan
salah satu Negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini disadari oleh para
founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan
semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
2.2. Pluralisme dan Sikap beragama
Pengertian Pluralisme asal katanya dari “plural” yang berarti jamak atau
lebih dari satu. Isme artinya paham yang berarti beragam pemahaman, atau
bermacam-macam paham. Sedangkan pluralis artinya bersifat jamak (banyak).
2 Tim Redaksi Balai Siasat, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, hasil amanden II
(Jakarta: Balai Siasat,2009).
15
Kejamakan atau lebih dari satu Pluralisme adalah jamak atau tidak satu;
kebudayaan: berbagai kebudayaan yang berbeda-beda di suatu masyarakat.3
Pluralisme adalah pandangan filosofis yang tidak mereduksikan segala sesuatu
pada satu prinsip terakhir, melainkan menerima adanya keragaman. Pluralisme
dapat menyangkut bidang kultural, politik dan religius, sebagaimana terdapat
dalam kamus teologi.4
Setiap agama masing-masing mempunyai perspektif sendiri dengan paham
pluralisme yang ada. Mereka mempunyai penekanan pada hal-hal tertentu dalam
pluralisme, dengan mempunyai dasar teologis masing-masing. Namun demikian
yang menjadi nilai universal dalam paham pluralisme, dalam hal ini pluralisme
agama, adalah adanya pengakuan akan perbedaan-perbedaan yang ada namun tetap
saling menghormati. Ini sangat berbeda, ketika masing-masing agama saling
menjelekkan dan mencampuri ke dalam urusan agama lain, maka bisa terjadi
konflik.
Sedangkan menurut Alwi Shihab, pengertian pluralisme dapat
disimpulkan menjadi 3 yaitu: pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada
kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme
adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Kedua,
pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Dalam hal ini
kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam ras dan bangsa
hidup berdampingan di suatu lokasi. Maksudnya walaupun suatu ras dan bangsa
3 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakar ta : Balai Pustaka,1990),
691.
4 Gerald O’ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius,
1996), 257.
16
tersebut hidup berdampingan tetapi tidak ada interaksi sosial. Ketiga, konsep
pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Paham relativisme
menganggap “semua agama adalah sama”. Keempat, pluralisme agama bukanlah
sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur
tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan
bagian integral dari agama tersebut.5
Sedangkan mengenai pluralisme agama, menurut Wilfred Cantwell Smith,
merupakan tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut
agama. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami
tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri.
Membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi.
Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan
menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. Pada
tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa
kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu Smith mulai
dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus
juga mencakup suatu doktrin mengenai agama lain.
Pendirian teologis tersebut oleh Smith dimasukannya ke dalam analisis
mengenai cara kita menggunakan istilah agama. Dalam karya klasiknya yang
berjudul The Meaning and End of Religion Smith menjelaskan bahwa penggunaan
teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai
penyembahan berhala dan menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai
contoh, Smith mengutip pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang
5 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, (Bandung: Mizan, 1999), 41-42.
17
menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain senantiasa merupakan suatu
berhala. Demikian juga bagi beberapa kaum Muslim, Yesus sebagai kristus adalah
suatu berhala.
Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan jikalau
kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan
sebagaimana di wahyukan oleh agama yang kita anut. Semua agama, entah itu
Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami
sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Illahi dan
manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya toleransi antar
umat beragama yang berbeda-beda tersebut.6
Sementara Mahmoud Mustafa Ayoub mengatakan suka atau tidak, kita
hidup hari ini dalam sebuah dunia yang pluralistik. Namun, kita tetaplah manusia
yang tidak harusnya dibeda-bedakan, kita adalah umat manusia, tapi kita juga
bangsa yang berbeda, budaya, dan agama. Al-Qur'an berulang kali mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan kita semua dari satu jiwa,dan dari satu jiwa diciptakan
pasangan, sehingga berkembang menjadi banyak keturunan laki dan perempuan.
Ayat penting dan sering dikutip lainnya yang terkait dengan ini adalah Al-Hujarat
ayat 13. Demikian pendapat beliau:
Whether we like it or not, we live today in a pluralistic world. Yet, we
are not and cannot be an undifferentiated mass of humankind. Yes, we
are one humanity, but we are also different peoples, cultures, and
religious communities. The Qur'an repeats many times the idea that God
created us all from one soul, and from that soul created its mate; and
from the two He scattered many men and women. The other important
and often-quoted verse related to this is the following Qur'anic challenge:
"humankind we have created you from one male and one female and
made you into different nations and tribes that you may know one
another, surely the noblest view in God's sight is the most righteous."
6 http://limasdodi.blogspot.co.id/2012/09/teologi-pluralisme.html...diakes tanggal 26
bahasa di dunia ini mempunyai dasar yang sama dengan sistem logika.24 Ia
bersifat universal karena ditetapkan sebagai tujuan utama syariat. Nilai
kemanusiaan itu terdapat di dalam perlindungan atas lima hak dasar manusia
meliputi perlindungan atas hidup, hak beragama, hak berpikir, hak kepemilikan,
dan hak berkeluarga.25
Universalisme Islam menampakan diri dalam berbagai manifestasi ajaran-
ajaran yang mengandung nilai-nilai dalam kemanusiaan. Bahasa sederhananya
adalah memanusiakan manusia. Pemikiran Gus Dur ialah pertemuan kemanusiaan
dan keislaman. Hanya saja prinsip keislaman ini bukanlah satu-satunya yang
digunakan olehnya. Prinsip keislaman merupakan landasan awal bagi bagi
keseluruhan pemikirannya. Selain dilandasi oleh prinsip keislaman, ketertarikan
Gus Dur kepada kebudayaan Eropa juga berpengaruh pada pemikiran-
pemikirannya. Budaya yang menjunjung tinggi nilai humanisme, rasionalisme,
dan demokrasi merupakan inti dari universalisme Islam. Humanisme adalah
perjuangan pengangkatan harkat manusia di atas intuisi apa pun. Atas
rasionalisme, Gus Dur terpikat dengan penggunaan akal budi untuk
menyempurnakan peradaban manusia. Pada sistem demokrasi merupakan sistem
politik ideal yang mampu menjamin terpenuhinya hak dasar manusia.26
Ketiga nilai tersebut merupakan akar dari konsep universalisme yang
kemudian dalam perspektif Gus Dur digabungkan dengan prinsip keislaman.
Universalisme Islam adalah nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam yang bersifat
universal karena ditetapkan sebagai tujuan utama syariat. Universalisme Islam
24 Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., 992. 25 Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Yogyakarta:
ar-Ruzz Media, 2013), 11. 26 Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Yogyakarta:
ar-Ruzz Media, 2013), 64.
28
yang diuraikan Gus Dur jalan untuk mencapai kebaikan umat manusia.
Universalisme Islam adalah lima jaminan dasar yang diberikan kepada warga
masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Lima jaminan dasar itu
berupa perlindungan atas hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak atas
keselamatan keluarga dan keturunan, serta hak atas kepemilikan.27
Penempatan hak hidup pada urutan pertama, bagi Gus Dur menganggap
bahwa itu terkait dengan hak yang paling dasar dari manusia, berupa kehidupan.
Jaminan atas hak hidup dalam masyarakat mensyaratkan adanya pemerintahan
berdasarkan hukum. Hukum adalah perwujudan keadilan sosial dalam arti
sebenarbenarnya. Setiap individu maupun kelompok diharapkan akan mendapat
perlakuan yang adil tanpa terkecuali, yaitu dengan adanya hukum yang
diberlakukan dalam masyarakat.28
Pada hak beragama dan hak berpikir menjamin manusia untuk bisa
menentukan pandangan hidup dan keyakinannya. Kedua hak ini diharapkan akan
berimplikasi pada keyakinan agama yang melandasi hubungan masyarakat atas
dasar sikap saling menghormati yang akan mendorong tumbuhnya sikap tenggang
rasa dan saling pengertian. Dalam konteks ini tiap individu mempunyai kebebasan
untuk menentukan alur yang akan dipilihnya.29 Sebagaimana yang sudah dijamin
kebebasannya oleh negara dalam UUD 1945.
Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang
sangat kuat. Hak inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi
dan dalam derajat yang tinggi. Jaminan dasar atas hak kepemilikan merupakan
27 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia & Transformasi
Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 4. 28 Wahid, Islam Kosmopolitan…, 5. 29 Arif, Humanisme Gus Dur…, 65.
29
sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar. Dengan hak itulah
warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang untuk mengembangkan
diri melalui pola yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur kehidupan
masyarakat.30
Selanjutnya yang paling mendasar diperjuangkan oleh Gus Dur secara
konsisten adalah hubungan individu dan masyarakat. Ia mengemukakan, karena
tingginya kedudukan manusia dalam kehidupannya manusia sebagai individu
harus memperoleh perlakuan yang seimbang. Individu memiliki hak-hak dasar
yang tidak dapat dilanggar. Hak-hak itu disebut sebagai hak-hak asasi manusia
yang menyangkut perlindungan hukum, perlakuan keadilan, penyediaan
kebutuhan pokok, peningkatan kecerdasan dan kebebasan keyakinan dan
keimanan.31
2.4.3. Idiologi Wahid dalam Kosmopolitanisme Islam
Sementara itu kosmopolitanisme peradaban Islam adalah keterbukaan
Islam terhadap kebenaran dan peradaban lain, sejak filsafat Yunani kuno hingga
pemikiran Eropa modern. Kosmopolitan adalah mempunyai wawasan dan
pengetahuan luas; terjadi dari orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari
berbagai penjuru dunia; terdapat di berbagai belahan dunia, sedangkan
kosmopolitanisme adalah paham atau gerakan yang berpandangan bahwa
seseorang tidak perlu mempunyai kewarganegaraan tetapi menjadi warga dunia,
paham internasional.32 Sifat kosmopolitan dari Islam ini membuat Islam bisa
duduk secara berdampingan setara dengan rasionalisme Barat, meskipun mulai
dari titik pijak yang berbeda. Pertemuan Islam dengan kosmopolitanisme Barat
30 Wahid, Islam Kosmopolitan ..., 7. 31 Aziz, Neo-modernisme Islam…, 33 32 Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., 463.
30
dimulai dari gagasan Gus Dur tentang pandangan dunia Islam yang dibangun oleh
tiga nilai yaitu demokrasi, keadilan dan persamaan. Kosmopolitanisme peradaban
Islam memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di
sekitar dunia Islam. Proses seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas
budaya dan heterogenitas politik dalam suatu lingkup masyarakat, merupakan
implikasi dari kosmopolitanisme peradapan Islam.33
2.4.4. Idiologi Wahid dalam Pribumisasi Islam
Pribumisasi Islam adalah kontruksi pemikiran Gus dur yang ketiga, yang
terkait dengan lokalitas yang dapat dipahami dalam dua konteks. Konteks
Pertama adalah manifestasi ajaran Islam melalui kultur lokal. Dalam konteks ini,
ajaran Islam yang universal didakwahkan dengan meminjam bentuk budaya lokal
pra-Islam. Konteks Kedua yaitu kontekstualisasi Islam. Dalam konteks ini
pribumisasi Islam merupakan upaya Gus Dur dan para ulama NU untuk
mengakomodasi kebutuhan realitas dengan memanfaatkan keilmuan yang ada.34
Pribumisasi berasal dari kata pribumi yang memiliki makna penduduk asli (warga
negara; penduduk asli suatu negara).35 Akan tetapi yang dimaksud dengan
pribumisasi Islam disini adalah kontekstualisasi Islam ke dalam realitas kehidupan
dalam kerangka kebudayaan. Di Indonesia pribumisasi Islam merupakan gagasan
yang melandasi apa yang saat ini disebut sebagai Islam Nusantara.36
Pribumisasi Islam merupakan salah satu gagasan Gus Dur yang populer.
Pribumisasi Islam terkait dengan lokalitas atau yang disebut sebagai Islam
33 Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia..., 9. 34 Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan..., 15. 35 Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ..., 701. 36 Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan..., 85.
31
Nusantara. Pribumisasi Islam merupakan corak keberislaman yang melekat
dengan keindonesiaan atau gagasan yang menandai suatu bentuk Islam Indonesia.
Secara sederhana, wacana Gus Dur terhadap pribumisasi Islam dapat
dipahami sebagai upaya untuk melindungi proses kontekstualisasi nilai-nilai Islam
dengan kebudayaan lokal Indonesia yang berlangsung alamiah. Pribumisasi Islam
menjadi penting dalam konteks lokal ini untuk dilakukan, karena membuka ruang
apresiasi yang luas bagi kaum Muslimin di Indonesia agar pada saat yang sama
tetap mempertahankan identitas keindonesiaannya yang khas dan sekaligus
mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Jadi
umat Islam Indonesia dapat menjadi islami tanpa harus kehilangan ciri khas
Indonesianya.
2.5. Perjuangan Gus Dur dalam Pluralisme di Indonesia
Ketika membicarakan teologi hanya menyentuh pada aspek ketuhanan
saja, akan banyak sekali tindakan yang mengatasnamakan Tuhan, tetapi praktek
dan dampaknya justru menodai nilai-nilai kemanusiaan. Maka dari itu, Gus Dur
memformulakan konsep iman tidak hanya dalam domain ketuhanan saja, tetapi
juga dalam domain kemanusiaan (sebagaimana sifat keuniversalan Islam).
Manusia sebagai individu maupun kelompok mempunyai kedudukan yang sama
dimata hukum negara maupun agama.
Dalam perjuangan semasa hidupnya Gus Dur selalu konsisten terhadap
tiga hal, yaitu demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Indonesia telah
memilih demokrasi sebagai sistem politik yang digunakan dalam pemerintahan,
32
maka implikasinya tidak ada diskriminasi. Hal ini berkaitan erat dengan konsep
hak asasi manusia dan pluralisme sebagai kenyataan bahwa Indonesia beragam.37
Pluralisme dalam padangan Gus Dur bukanlah menganggap bahwa semua
agama sama, pluralisme bukan hanya masalah agama, tetapi juga masalah
sosiologis dan kemasyarakatan. Masing-masing agama menjalankan akidahnya,
tetapi hubungan antar agama dan toleransi harus tetap terjalin dengan baik. Secara
teologis dalam setiap keyakinan tidak dibenarkan adanya anggapan agama adalah
sama, akan tetapi agama menjadi dasar untuk setiap umat beragama menjalin
hubungan baik dengan siapa pun.
Pluralisme ini menjadi pondasi penting dalam kehidupan dan kemanusiaan
yang digagas Gus Dur adalah bagian penting dalam usaha mencita-citakan bangsa
ini hidup rukun dan aman dalam kebhinekaannya, sebab sebuah bangsa yang
begitu majemuk seperti Indonesia ini jika salah dalam mengelola berbagai
perbedaan paham keagamaan, aliran, suku, dan lain-lain akan memunculkan
ketegangan, permusuhan, dan kekerasan sosial yang mengarah pada disintregasi
bangsa.38
Misi Gus Dur dalam konsep pluralismenya adalah berusaha
menghilangkan sikap kebencian antara agama satu dengan lainnya, sebab
kebencian dapat menimbulkan permusuhan. Timbulnya permusuhan bertolak
belakang dengan misi suci agama yang menyerukan perdamaian. Pluralisme
meniscayakan adanya keterbukaan sikap toleran dan saling menghargai kepada
manusia secara keseluruhan.39
37 Mukhlas Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid, Gus Dur Seorang Mujaddid,
dapat menjadi berkah jika dikelola dengan baik, sehingga menjadi mutlak
diperlukan pemahaman yang sama untuk menghormati dan menghargai dalam
upaya mewujudkan harmonisasi di kalangan anak bangsa.43
Gus dur menyadari bahwa sifat truht claim memang selalu melekat dalam
diri pemeluk agama, tetapi justru karena adanya perbedaan pengalaman dan
penghayatan keagamaan itu dimungkinkan tercapainya titik temu. Usaha
pencarian titik temu ini dicari dengan jalan dialog, saling terbuka dan belajar
bersama-sama dalam menjaga perbedaan.44
2.6. Pluralisme Menurut Jeremy Menchik
Jeremy Menchik adalah seorang asisten profesor di Pardee Sekolah Studi
Global di Boston University dan afiliasi fakultas Ilmu Politik dan Studi Agama.
Penelitian Jeremy Menchik berfokus pada politik agama, dengan kepentingan
tertentu di Indonesia dan dunia Muslim.
Jeremy Menchik menjelaskan kalau ormas-ormas Islam yang ada di
Indonesia banyak memberikan peran, terutama dalam menjaga toleransi dan
pluralisme dalam menjalankan demokrasi di Indonesia. Bagi Menchik,
kesemuanya itu dikarenakan ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, senantiasa menjunjung tinggi demokrasi.45 Pertanyaan Menchik
adalah mengapa ormas Islam di Indonesia bisa toleransi dengan agama lain?
Bagaimana mereka memahami demokrasi dan toleransi? Apa pengaruhnya
terhadap kehidupan bersama dalam demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan-
43 Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid…, 265. 44 Aziz, Neo-modernisme Islam…, 63. 45 Jeremy Menchik, Islam and Democracy in Indonesia : Tolerance Without Liberalism