Top Banner
13 BAB II PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENYANDANG DISABILITAS DI BIDANG PENERBANGAN Bab ini akan secara khusus mengulas mengenai empat hal pokok yakni konsep penyandang disabilitas, asas non diskriminasi, hak atas perlakuan khusus, serta hak dan kewajiban penyandang disabilitas di bidang penerbangan. A. Penyandang Disabilitas Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas 1 serta Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas 2 mendefinisikan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Menurut Uning Pratimaratri, penyandang disabilitas atau penyandang cacat merupakan setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang 1 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871). 2 Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 790).
27

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENYANDANG … · 2020. 3. 5. · Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. 1. serta ... Hak Asasi Manusia

Feb 10, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 13

    BAB II

    PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENYANDANG

    DISABILITAS DI BIDANG PENERBANGAN

    Bab ini akan secara khusus mengulas mengenai empat hal pokok yakni

    konsep penyandang disabilitas, asas non diskriminasi, hak atas perlakuan khusus,

    serta hak dan kewajiban penyandang disabilitas di bidang penerbangan.

    A. Penyandang Disabilitas

    Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang

    Penyandang Disabilitas1 serta Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Sosial Republik

    Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial

    Penyandang Disabilitas2 mendefinisikan bahwa penyandang disabilitas adalah

    setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau

    sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan

    dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan

    efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

    Menurut Uning Pratimaratri, penyandang disabilitas atau penyandang cacat

    merupakan setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang

    1 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5871). 2 Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017

    tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas (Berita Negara Republik

    Indonesia Tahun 2017 Nomor 790).

  • 14

    dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk

    melakukan kegiatan secara layaknya3.

    Lebih lanjut, ragam penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 4 ayat (1)

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang

    meliputi 4

    :

    a) Penyandang Disabilitas Fisik Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas fisik” adalah

    terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau

    kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan

    orang kecil;

    b) Penyandang Disabilitas Intelektual Yang dimaksud dengan ”Penyandang Disabilitas intelektual” adalah

    terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata,

    antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom;

    c) Penyandang Disabilitas Mental; dan/atau Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental” adalah

    terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:

    a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan

    b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif;

    d) Penyandang Disabilitas Sensorik. Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas sensorik” adalah

    terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas

    netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara

    Sebagai tambahan, menurut Nandiyah Abdullah, pengelompokkan

    penyandang disabilitas dengan klasifikasi dan jenis kelainan, anak berkebutuhan

    dikelompokkan ke dalam bentuk kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan

    karakteristik sosial5. Pertama, kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada

    satu atau lebih organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu

    3 Muladi, Hak Asasi Manusia Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif

    Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005, h., 253. 4 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5871). 5 Nandiyah Abdullah, Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus, Psikologi Fakultas

    Psikologi UNWIDHA Klaten, ISSN 0215-9511, Magistra No. 86 Th. XXV Desember 2013, h., 1.

  • 15

    keadaan pada fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara

    normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada: alat fisik indra, misalnya

    kelainan pada indra pendengaran (tunarungu), kelainan pada indra penglihatan

    (tunanetra), kelainan pada fungsi organ bicara (tunawicara); alat motorik tubuh,

    misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di

    otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan

    anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misalnya lahir tanpa

    tangan/kaki, amputasi dan lain-lain. Untuk kelainan pada alat motorik tubuh ini

    dikenal dalam kelompok tunadaksa6.

    Kedua, kelainan mental adalah anak yang memiliki penyimpangan

    kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya.

    Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan

    mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang

    (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut

    tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu belajar dengan cepat

    (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius (extremely gifted)7.

    Ketiga, kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang

    mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tatatertib,

    norma sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam

    kelainan perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok

    dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma maupun kesopanan8.

    Dari pernyataan di atas penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud

    dengan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan

    6 Ibid., h. 1-2.

    7 Ibid., h. 4.

    8 Ibid., h. 5.

  • 16

    baik secara fisik maupun mental yang berakibat pada terhambatnya dalam

    melakukan segala aktivitas sosial bermasyarakat, yang mana kondisi tersebut

    berbeda dengan kondisi orang normal pada umumnya atau yang tidak mengalami

    disabilitas.

    B. Asas Non Diskriminasi

    Indonesia merupakan negara yang mengakui dan menjunjung tinggi hak

    asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati

    melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,

    dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,

    kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan9. Hal ini dibuktikan dengan

    pengaturan mengenai hak asasi manusia di Undang-Undang Dasar Republik

    Indonesia Tahun 1945 di Pasal 28A sampai dengan 28J serta terdapat pengaturan

    khusus mengenai Hak Asasi Manusia pada tahun 1999 yaitu Undang-Undang

    Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

    Pengertian mengenai hak asasi manusia terdapat dalam Pasal 1 angka (1)

    yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

    mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib

    dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, pemerintahan, dan

    setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia10

    .

    9 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5871). 10

    Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

    Manusia. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 5871).

  • 17

    Hal ini didukung dengan asas dasar hak asasi manusia yang terdapat pada

    Pasal 3 ayat (3) yang berbunyi, "Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi

    manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi."11

    Ini berarti bahwa semua

    warga negara berhak untuk diberlakukan sama dengan yang lainnya karena ini

    terkait dengan asas non-diskriminsi yang telah dianut di Indonesia.

    Secara gramatikal, kata diskriminasi diartikan sebagai pembedaan perlakuan

    terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku,

    ekonomi, agama, dan sebagainya)12

    . Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang

    Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diskriminasi didefinisikan

    sebagai berikut:

    "diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang

    langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas

    dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status

    ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat

    pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan

    atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan

    baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,

    sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya".13

    Sedangkan secara khusus di bidang disabilitas, Pasal 2 Undang-Undang

    Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak

    Penyandang Disabilitas mendefinisikan diskriminasi sebagai:

    “setiap pembedaan, pengecualian, atau pembatasan atas dasar disabilitas

    yang bermaksud atau berdampak membatasi atau meniadakan pengakuan,

    penikmatan atau pelaksanaan, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya

    terhadap semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam

    bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, sipil atau lainnya. Hal ini

    11

    Pasal 3 angka (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

    Manusia. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 5871). 12

    Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,

    Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, h., 334. 13

    Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5871).

  • 18

    mencakup semua bentuk diskriminasi, termasuk penolakan atas pemberian

    akomodasi yang beralasan"14

    .

    Selain itu, pengertian mengenai diskriminasi juga terletak pada Undang-

    Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dalam Pasal 1

    angka (3) yang menegaskan bahwa diskriminasi adalah setiap pembedaan,

    pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang

    bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan,

    penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas15

    .

    Selain diatur dalam Hukum Nasional, Hukum Internasional juga mengatur

    mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) seperti oleh Universal Declaration of

    Human Rights (UDHR). Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

    memperluas alasan diskriminasi dengan menyebutkan beberapa alasan

    diskriminasi, antara lain: ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat

    politik atau opini lainnya, nasionalitas atau kebangsaan, kepemilikan akan suatu

    benda (property) kelahiran atau status lainnya. Semua merupakan alasan yang

    tidak terbatas dan semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan

    diskriminasi termasuk di dalammnya orientasi seksual, umur dan cacat tubuh16

    .

    Sedangkan Menurut Convention on the Rights of Person with Disabilities

    (CRPD) mengenai diskriminasi yakni:

    “Multiple discrimination” is defined as a situation in which a person

    experiences discrimination based on two or more grounds, which

    compounds or aggravates it. Intersecting discrimination refers to a situation

    14

    Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On

    The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5251). 15

    Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang

    Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 5871). 16

    Andreay Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Cetakan ke-1,

    RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, h., 12.

  • 19

    in which several grounds are inseparably intertwined. Grounds for

    discrimination include but are not limited to: age; disability; sex; ethnic,

    indigenous, national or social origin; political or other opinion; race;

    religion; refugee, migrant or asylum status; or any other status17

    .

    Ontorio Human Rights Commission (OHCR) berpendapat bahwa discrimination is

    not defined in the Code but usually includes the following elements:

    1. not individually assessing the unique merits, capacities and circumstances of a person

    2. instead, making stereotypical assumptions based on a person’s presumed traits

    3. having the impact of excluding persons, denying benefits or imposing burdens.

    Many people wrongly think that discrimination does not exist if the impact

    was not intended, or if there were other factors that could explain a particular

    situation. In fact, discrimination often takes place without any intent to do harm.

    And in most cases, there are overlaps between discrimination and other legitimate

    factors18

    .

    Pengertian diskriminasi diartikan oleh Falthoni yang mengatakan pada

    dasarnya diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Diskriminasi adalah

    perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan

    terhadap perorangan atau kelompok berdasarkan sesuatu seperti berdasarkan suku,

    ras, agama atau antar golongan19

    . Sedangkan menurut Noor Aziz Said yang

    dimaksud dengan diskriminasi yang mengakibatkan kerugian secara moril adalah

    perlakuan yang tidak sama terhadap subjek yang sama atau sederajat yang

    mengakibatkan kerugian baik secara materil maupun secara psikhis (kejiwaan)20

    .

    Seperti yang dikatakan oleh Noor Aziz Said dan Falthoni di atas bahwa

    diskriminasi merupakan perlakuan yang tidak sama dan perlakuan yang tidak adil

    17

    Convention on the Rights of Person with Disabilities, Addressing the impact of

    multiple discrimination on persons with disabilities, and promoting their participation and multi-

    stakeholder partnerships for achieving the Sustainable Development Goals in line with the

    Convention, CRPD/CSP/2017/2, New York, 13-15 June 2017, h., 2. 18

    Ontorio Human Rights Commission, What is "discrimination"?,

    http://www.ohrc.on.ca/en/iii-principles-and-concepts/2-what-discrimination, dikunjungi pada

    tanggal 9 Agustus 2018 pukul 08.15. 19

    M. Fulthoni A., Memahami Diskriminasi: Buku Saku Kebebasan Beragama, The

    Indonesian Legal Resource Center, Jakarta, 2009, h.,8. 20

    Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1554 K/PID/2013, h., 3.

  • 20

    dan tidak seimbang terhadap subjek yang sama atau sederajat. Subjek yang

    dimaksud sederajat adalah untuk sesama orang yang berstatus dengan kondisi

    normal. Kata normal diartikan sebagai sesuai dengan keadaan yang biasa tanpa

    cacat; tidak ada kelainan serta diartikan bebas dari gangguan jiwa21

    .

    Sebagaimana terdapat dalam Pasal 28 I ayat (2) yang berbunyi," Setiap

    orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan

    berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

    itu."22

    Pada Pasal ini berlaku untuk semua orang baik penyandang disabilitas

    ataupun untuk non-disabilitas untuk bebas dari perlakuan diskriminasi.

    Namun konteks diskriminasi untuk penyandang disabilitas dan untuk non-

    disabilitas tidak sama. Yang mana untuk penyandang disabilitas mendapat hak

    untuk perlakuan khusus sehingga memiliki kedudukan yang setara dengan orang

    yg berstatus non-disabilitas. Hal ini didukung dengan Pasal 28 H ayat (2) yang

    berbunyi, "setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

    memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan

    keadilan."23

    Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa secara mendasar,

    diskriminasi adalah dengan membedakan perlakuan terhadap seseorang yang

    normal kondisinya dengan orang yang setara yang dalam hal ini adalah sesama

    orang normal. Namun konsep diskriminasi yang demikian tentu tidak dapat

    diterapkan pada penyandang disabilitas yang sejak semula tidak memiliki keadaan

    yang setara dengan orang yang normal.

    21

    Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,

    Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, h.,968. 22

    Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 23

    Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  • 21

    Penyandang disabilitas mendapat dukungan dari berbagai negara. Indonesia

    memberikan dukungan dalam bentuk membuat pengaturan khusus untuk

    penyandang disabilitas yang mana pada Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor

    8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi bahwa pelaksanaan

    dan pemenuhan hak penyandang disabilitas bertujuan untuk mewujudkan

    penghormatan, pemajuan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia serta

    kebebasan dasar Penyandang Disabilitas secara penuh dan setara.24

    Hal ini

    didukung dengan ayat (4) yang berbunyi, "Kebijakan-kebijakan khusus yang

    diperlukan untuk mempercepat atau mencapai kesetaraan de facto bagi

    penyandang disabilitas tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi di bawah

    ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi ini."25

    Berdasarkan hal di atas dapat dipahami bahwa membedakan perlakuan

    terhadap penyandang disabilitas justru bukanlah tindakan diskriminasi, sehingga

    menyamakan perlakuan antara orang normal dengan penyandang disabilitas lah

    yang justru menimbulkan ketidaksetaraan dan merupakan diskriminasi terhadap

    penyandang disabilitas tersebut.

    Hal ini diperkuat dengan pendapat Hakim dalam kasus nomor C-335/11 dan

    C-337/11 yang dialami oleh Ms. Ring dan Ms. Skouboe Werge. Kasus ini bermula

    pada saat Ms. Ring diberhentikan dari pekerjaannya setelah cuti sakit yang ia

    ambil jatuh tempo, ia mengambil cuti karena mengalami nyeri pinggang yang

    tidak bisa diobati. Hal yang sama juga dirasakan oleh Ms. Skouboe Werge yang

    24

    Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang

    Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 5871). 25

    Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan

    Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak

    Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251).

  • 22

    diberhentikan setelah mengambil cuti sakit karena cidera yang ia terima dalam

    kecelakaan lalu lintas. Alasan dari pemecatan mereka yaitu karena tidak bisa lagi

    bekerja penuh waktu karena sakit. Karena hal ini Ms. Ring dan Ms. Skouboe

    Werge menggugat perusahaan tersebut ke pengadilan.26

    Adapun putusan pengadilan yang dilaksanakan pada 11 April 2013 yang

    mendukung penyandang disabilitas untuk bebas dari diskriminasi yaitu dengan

    menunjang akomodasi yang layak. Akomodasi yang dimaksud adalah reasonable

    accommodation atau akomodasi yang masuk akal yaitu:

    "necessary and appropriate modification and adjustments not imposing a

    disproportionate or undue burden, where needed in a particular case, to

    ensure to persons with disabilities the enjoyment or exercise on an equal

    basis with others of all human rights and fundamental freedoms".

    Inti dari pengertian reasonable accommodation yaitu modifikasi dan

    penyesuaian yang perlu dan yang tidak memaksakan beban yang tidak

    proporsional atau tidak semestinya, jika diperlukan dalam kasus tertentu, untuk

    memastikan bagi para penyandang cacat menikmati atau latihan atas dasar

    kesetaraan dengan orang lain dari semua hak asasi manusia dan kebebasan

    mendasar.27 Kasus ini membuktikan adanya kewajiban bagi perusahaan, untuk

    memberikan reasonable accommodation dalam rangka penyetaraan orang normal

    dengan penyandang disabilitas.

    Dengan adanya akomodasi yang layak membuat penyandang disabilitas

    menjadi setara dengan orang non-disabilitas sehingga penyandang disabilitas

    dapat berpartisipasi secara penuh dalam melakukan aktivitas. Dalam hal ini

    26

    The Court Of Justice Of The European Union, 11 April 2013, Judgment in Joined

    Case No C-335/11 and C-337/11, diunduh http://curia.europa.eu/juris/document/document

    .jsf?docid=136161&doclang=EN, dikunjungi pada 11 Desember 2018 pukul 11.15. 27

    The Court Of Justice Of The European Union, 11 April 2013, Judgment in Joined

    Case No C-335/11 and C-337/11, diunduh http://curia.europa.eu/juris/document/document

    .jsf?docid=136161&doclang=EN, dikunjungi pada 11 Desember 2018 pukul 11.15.

  • 23

    akomodasi menjadi penting untuk meningkatkan perlindungan terhadap

    penyandang disabilitas dari diskriminasi dan mendapatkan haknya untuk bebas

    dari diskriminasi.

    Penyandang disabilitas harus dilindungi dari tindakan diskriminasi, maka

    sebagai konsekwensi, asas non-diskriminasi menjadi hukum yang memberikan

    perlindungan terhadap penyandang disabilitas. Sebagaimana termaksud dalam

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setiap orang

    (termasuk penyandang disabilitas) memiliki perlindungan yang diberikan oleh

    Pasal 28 I ayat (2) yang berbunyi, "Setiap orang bebas dari perlakuan yang

    bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan

    terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."

    Lebih spesifik pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

    2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities

    (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yaitu dalam Pasal 5 ayat

    (1) berbunyi, "Negara-Negara Pihak mengakui bahwa semua manusia adalah

    setara di hadapan dan di bawah hukum dan berhak, tanpa diskriminasi, untuk

    mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang setara".28

    Asas non diskriminasi diberikan guna adanya persamaan perlakuan dan

    kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan

    gender, terhadap warga negara tersebut harus diberikan perlindungan secara

    maksimum, serta tidak memberikan perlakuan yang diskriminasi29

    dan menjamin,

    28

    Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan

    Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak

    Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251). 29

    Abdullah Cholil, Tindak Kekerasan terhadap Wanita, Seminar Nasional

    Perlindungan Perempuan dari Pelecehan Kekerasan Seksual, 1996, Yogyakarta: Pusat Penelitian

  • 24

    melindungi dan memuliakan Hak Asasi Manusia pada umumnya dan hak warga

    negara pada khususnya.30

    Menurut Sieghart, asas non-diskriminasi secara subtantif bukan a simplistic

    philosophy of egalitarianism, tetapi lebih luas maknanya dan mempertimbangkan

    keunikan masing-masing individu manusia:

    pada intinya bahwa tidak mengharuskan semua orang untuk diperlakukan

    sama terhadap semua keadaan. Yang dibutuhkan hanyalah menghormati

    banyak perbedaan. Mereka berhak untuk atas perlindungan dari pemaksaan

    opresif yang dibuat oleh manusia dan dapat dihindari yang akan membatasi

    perkembangan individu. Terlepas dari karakteristik pribadi, mereka tidak

    boleh diperlakukan secara sewenang-wenang, atau membuat mereka

    kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan mereka dengan

    pekerjaan pilihan mereka atau akses yang adil ke makanan, pakaian,

    perumahan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Kesetaraan perlakuan

    diperlukan untuk menghormati hak dan kebebasan atau sering disebut

    'fundamental' yang melekat pada setiap individu dan diperlukan untuk

    keragaman pribadi mereka dalam mengembangkan dan memanifestasikan

    dirinya.31

    Konsep yang sangat penting dari non-diskriminasi adalah aspek

    fungsionalnya agar HAM dapat dinikmati setiap manusia tanpa dibeda-bedakan.

    Dalam konteks ini tujuan asas non-diskriminasi adalah "to allow all individuals an

    equal and fair prospect to access opportunities available in a society."32

    Ruang lingkup asas non-diskriminasi terdiri atas 2 hal yaitu, melarang

    diskriminasi langsung (direct discrimination) dan diskriminasi tidak langsung

    (indirect discrimination):

    Kependudukan UGM dan Ford Foundation dikutip dari Nung Ati Nurhayati, Agnes Widanti,

    Ketentuan tentang Keluarga Berencana dan Asas Nondiskriminasi Dikaitkan dengan Hak

    Reproduksi Perempuan, Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.I. No.1. September 2013, h., 27. 30

    Nung Ati Nurhayati, Agnes Widanti, Ketentuan tentang Keluarga Berencana dan

    Asas Nondiskriminasi Dikaitkan dengan Hak Reproduksi Perempuan, Jurnal Ilmu Keperawatan.

    Vol.I. No.1. September 2013, h., 27. 31

    Paul Sieghart, The International Law of Human Rights, Clarendon Press, Oxford,

    1983, h., 18, dikutip dari Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh

    Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Maju Mandar, Bandung, 2015, h., 170-171. 32

    Titon Slamet Kurnia, Op.Cit.

  • 25

    Firstly, it stipulates that those individuals who are in similar situations

    should receive similar treatment and not be treated less favourably simply

    because of a particular 'protected' characteristic that they possess. This is

    known as 'direct' discrimation... Secondly, [it] law stipulates that those

    individuals who are in different situation should receive different treatment

    to the extent that this is needed to allow them to ebjoy particular

    opportunities on the same basis as others. Thus, those same 'protected

    grounds' should be taken into account when carrying out particular

    practices or creating particular rules. This is known as 'indirect'

    discrimination.33

    Dengan demikian diskriminasi langsung adalah "treating one person less

    favourably than another on prohibited grounds and in comparable circumstance."

    Sementara diskriminasi tidak langsung adalah "a practice rule, requirement or

    condition is neutral on its face but has a disproportionate effect on particular

    groups without any objective justification".34

    Penerapan asas non-diskriminasi berlaku terhadap penyandang disabilitas

    untuk dapat menyetarakan kedudukan mereka dengan non-disabilitas. Hal ini

    didukung dengan Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang

    Penyandang Disabilitas serta Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) dan ayat (2) Undang-

    Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of

    Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

    Prinsip kesetaraan atau equality principle menjadi penting dalam hal

    penerapan asas non-diskriminasi untuk penyandang disabilitas. Kesetaraan

    didasarkan pada gagasan bahwa semua orang memiliki nilai dan kepentingan yang

    sama. Masyarakat yang setara dipahami sebagai masyarakat dimana semua orang

    33

    The European Court of Human Rights and the European Union Agency for

    Fundamental Rights, Handbook On European Non-Discrimination Law, Publications Office of the

    European Union, Luxembourgh, 2011, h., 21-22. 34

    Titon Slamet Kurnia, Op.Cit.

  • 26

    dapat berpartisipasi secara setara. Berdasarkan prinsip kesetaraan, setiap orang

    berhak dan harus diberi rasa hormat, perhatian, dan perlindungan yang sama.35

    Penyetaraan (atau peningkatan kesetaraan) tidak boleh ditafsirkan untuk

    menolak keragaman manusia. Prinsip kesetaraan menyiratkan bahwa orang

    dengan kebutuhan yang berbeda diperlakukan secara berbeda sesuai dengan

    perbedaan mereka.36

    Dalam hukum, kesetaraan mencakup hak setiap individu atas semua hak asasi

    manusia. Lebih jauh, hukum hak asasi manusia mengasumsikan bahwa semua

    manusia memiliki martabat yang sama, terlepas dari keragaman individu atau

    sosial. Selain itu, kesetaraan memberikan hak kepada setiap orang untuk menjadi

    anggota yang setara dalam masyarakat.37

    Penerapan kesetaraan pada asas non-diskriminasi merupakan sesuatu yang

    sangat diperlukan terutama untuk penyandang disabilitas. Yang dalam hal ini

    dapat berupa penyediaan akomodasi yang layak yang sesuai dengan kebutuhan

    penyandang disabilitas itu sendiri. Sehingga dengan bantuan berupa akomodasi

    penyandang disabilitas menjadi setara dengan non-disabilitas. Serta dapat

    35

    Cf. R. Dworkin, Taking Rights Seriously, London: Duckworth, 1977, h.199, dikutip

    dari Aart Hendriks, Disabled Persons And Their Right To Equal Treatment: Allowing

    Differentiation While Ending Discrimination, Health And Human Rights Vol.I No.2, Harvard

    School of Public Health, Cambridge, 1995, h.,156. Diunduh https://cdn2.sph.harvard.edu/wp-

    content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdf, diakses 18 Januari 2019 pukul 18.30. 36

    R. Wiggins, Needs, Values, Truth, Oxford: Basil Blackwell, 1991, dikutip dari Aart

    Hendriks, Disabled Persons And Their Right To Equal Treatment: Allowing Differentiation While

    Ending Discrimination, Health And Human Rights Vol.I No.2, Harvard School of Public Health,

    Cambridge, 1995, h.,156. Diunduh https://cdn2.sph.harvard.edu/wpcontent/uploads/sites/13/

    2014/03/7-Hendricks.pdf, diakses 18 Januari 2019 pukul 18.30. 37

    D.C. Galloway, Three Models of (In) Equality, McGill Law Review 68, 1993, h.,83,

    dikutip dari Aart Hendriks, Disabled Persons And Their Right To Equal Treatment: Allowing

    Differentiation While Ending Discrimination, Health And Human Rights Vol.I No.2, Harvard

    School of Public Health, Cambridge, 1995, h.,156. Diunduh https://cdn2.sph.harvard.edu/wp-

    content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdf, diakses 18 Januari 2019 pukul 18.30.

    https://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdf

  • 27

    merasakan rasa hormat, perhatian dan perlindungan yang sama dan setara dalam

    melakukan segala aktivitas.

    C. Hak Atas Perlakuan Khusus

    Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi

    Indonesia yang terdapat pada Pasal 28 H ayat (2) berbunyi, "setiap orang berhak

    mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan

    manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pada kata "setiap

    orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus", kata setiap orang

    diartikan juga untuk penyandang disabilitas.

    Dilihat dalam konteks Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik

    Indonesia Tahun 1945 diperjelas dengan Pasal 5 ayat (3) joncto Pasal 42 ayat (2)

    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 5 ayat

    (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: “setiap orang

    yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan

    dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.” Pengaturan ini

    diperkuat oleh Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang

    mengatur bahwa setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita

    hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.

    Dengan pemaknaan di atas, menegaskan bahwa kelompok penyandang disabilitas

    termasuk dalam terminologi “setiap orang” dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (2)

    Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.38

    Hal ini berarti hak

    38

    Arie Purnomosidi, Konsep Perlindungan Hak Konstitusional Penyandang Disabilitas

    Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Surakarta, Refleksi Hukum Volume I, No. 2, 2017,

    h.,166.

  • 28

    untuk penyandang disabilitas merupakan hak konstitusional yang telah diatur

    dalam Undang-Undang."39

    Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

    diderivasi ke dalam dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun

    1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, "Setiap orang yang termasuk

    kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan

    perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya40

    ." Kata berhak memperoleh

    perlakuan dan perlindungan lebih diatas merupakan dasar dari adanya hak atas

    perlakuan khusus. Hal ini sesuai dengan dengan konstruksi non-diskriminasi

    terhadap disabilitas yaitu bertujuan untuk mempercepat atau mencapai kesetaraan

    de facto bagi penyandang disabilitas tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi.41

    Sehingga dengan adanya perlakuan khusus kedudukan penyandang disabilitas

    dengan non-disabilitas menjadi setara.

    Hal ini didukung dengan Pasal 41 mengenai hak atas kesejahteraan yang

    mana pada ayat (1) berbunyi," setiap warga negara berhak atas jaminan sosial

    yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara

    utuh." Serta ayat (2) berbunyi, "Setiap penyandang cacat, orang yang berusia

    lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan

    perlakuan khusus."42

    39

    Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 40

    Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5871). 41

    Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan

    Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak

    Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251). 42

    Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

    Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871).

  • 29

    Konsep pada hak atas perlakuan khusus terdapat pada penjelasan umum

    Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

    Manusia yang berbunyi bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat

    rentan atara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil,

    dan penyandang cacat (istilah penyandang cacat dimaknai menjadi penyandang

    disabilitas sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang

    Penyandang Disabilitas)."43

    Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

    di bagian menimbang huruf c mengatakan bahwa untuk mewujudkan kesamaan

    hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang

    sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi diperlukan peraturan perundang-

    undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Hal ini didukung dengan Pasal

    2 huruf c mengenai Pelaksanaan dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas

    berasaskan tanpa diskriminasi atau non-diskirminasi. Hal ini berimplikasi secara

    langsung pada hak atas perlakuan khusus yang diterima penyandang disabilitas

    dan kelompok rentan lainnya.

    Pengakuan terhadap hak atas perlakuan khusus ini juga diakui terdapat

    secara Internasional salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011

    tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities

    (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang telah diratifikasi

    oleh Indonesia.

    Pada Pasal 3 huruf d Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7

    Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial Penyandang

    43

    Penjelasan Umum Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

    Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871).

  • 30

    Disabilitas mengatakan bahwa standar habilitas dan rehabilitas sosial penyandang

    disabilitas bertujuan untuk mewujudkan terpenuhinya penghormatan,

    pelindungan, dan pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas44

    .

    Hak-hak atas penyandang disabilitas terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-

    Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang meliputi:45

    a) hidup; b) bebas dari stigma; c) privasi; d) keadilan dan perlindungan hukum; e) pendidikan; f) pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi; g) kesehatan; h) politik; i) keagamaan; j) keolahragaan; k) kebudayaan dan pariwisata; l) kesejahteraan sosial; m) aksesibilitas; n) pelayanan publik; o) pelindungan dari bencana; p) habilitasi dan rehabilitasi; q) konsesi; r) pendataan; s) hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; t) berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi; u) berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan v) bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan

    eksploitasi.

    Berdasarkan hak-hak yang disebutkan diatas merupakan perlakuan khusus

    berupa hak yang harus diterima oleh penyandang disabilitas. Hak tersebut

    merupakan bentuk dari perlakuan khusus, yang harus diterima oleh penyandang

    44

    Pasal 3 huruf (d) Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017

    tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas (Berita Negara Republik

    Indonesia Tahun 2017 Nomor 790). 45

    Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5871).

  • 31

    disabilitas dan harus dipenuhi sehingga dapat dirasakan oleh semua penyandang

    disabilitas sepenuhnya dalam setiap aktivitasnya.

    Selain Pasal 5 ayat 1, terdapat juga pengaturan pada Pasal 5 ayat 3 huruf e

    yang pada intinya berbunyi, "selain hak Penyandang Disabilitas sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1), anak penyandang disabilitas memiliki hak Pemenuhan

    kebutuhan khusus."46

    Hal ini didukung pada Pasal 5 ayat 2 huruf (g) Peraturan Menteri Sosial

    Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi dan

    Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, yang pada intinya berbunyi, habilitasi

    dan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas dilaksanakan dalam bentuk (g)

    pelayanan aksesibilitas.47

    Hal ini didukung dengan diaturnya Peraturan Menteri Perhubungan

    Republik Indonesia Nomor PM 98 Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas

    Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan

    Khusus. Aksesabilitas yang dimaksud dalam peraturan ini terdapat dalam Pasal 1

    angka (1) yaitu aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk pengguna

    jasa berkebutuhan khusus guna mewujudkan kesamaan kesempatan48

    . Didukung

    pada Pasal 2 yang mengatakan bahwa Penyelenggara jasa transportasi publik

    wajib melaksanakan pelayanan bagi pengguna jasa berkebutuhan khusus.

    46

    Pasal 5 ayat (3) huruf (e) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang

    Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 5871). 47

    Pasal 5 ayat (2) huruf (g) Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7

    Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas (Berita

    Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 790). 48

    Pasal 1 angka (1), Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98

    Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik bagi

    Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor

    1385).

  • 32

    Pemenuhan hak penyandang disabilitas menjadi dukungan bagi mereka

    melalui perlakuan khusus yang telah diatur oleh Undang-Undang menjadi sangat

    penting guna menyetarakan kedudukan penyandang disabilitas dengan non-

    disabilitas sehingga penyandang disabilitas dapat melakukan segala aktivitas

    tanpa terganggu dengan keterbatasan yang mereka miliki.

    D. Kewajiban Maskapai Penerbangan Terhadap Penyandang

    Disabilitas

    Pada saat menggunakan transportasi yang dalam hal ini adalah jasa

    penerbangan maka penumpang yang merupakan disabilitas sejatinya mendapatkan

    perlindungan dari asas non diskriminasi dan berhak atas perlakuan khusus dari

    pihak bandara maupun maskapai penerbangan baik dalam bentuk jasa maupun

    fasilitas yang tersedia. Baik secara Nasional maupun Internasional terdapat

    pengaturan mengenai cara memperlakukan penumpang yang mengalami

    disabilitas, hal ini terdapat dalam International Civil Aviation Organization

    (ICAO) dalam bukunya yang berjudul Manual on Access to Air Transport by

    Persons with Disabilities.

    Pada bagian 2.1 mengenai prinsip umum dikatakan bahwa semua staf

    maskapai penerbangan serta staf bandar udara (selanjutnya disebut bandara)

    termasuk staf yang dipekerjakan secara kontrak untuk mendapatkan pelatihan

    dalam rantai penyampaian layanan perjalanan udara, sangat penting untuk

    menyediakan layanan berkualitas bagi penyandang disabilitas secara konsisten

  • 33

    dan hormat. Penting bagi staf untuk mengetahui tanggung jawab mereka dan

    mampu melaksanakannya49

    .

    Pelatihan harus membahas hambatan sikap, lingkungan atau fisik dan

    organisasi yang mempengaruhi penyandang disabilitas dalam transportasi udara.

    Pelatihan tersebut harus mempersiapkan staf untuk memberikan bantuan kepada

    orang-orang penyandang disabilitas dengan cara yang menghormati martabat

    mereka dan sebagai layanan profesional yang menjadi haknya, bukan sebagai

    bantuan atau sikap penuh kasih50

    .

    Pelayanan kepada penumpang penyandang disabilitas saat tiba dan pindah

    bandara tersedia pada bagian 4 dari 4.1 sampai 4.10 yang mana pelayanan yang

    diberikan oleh staf maskapai penerbangan dan staff bandara meliputi:51

    1) harus memastikan bahwa bantuan kepada penyandang disabilitas diberikan tepat waktu sehingga mereka dapat mengambil penerbangan

    yang mereka miliki reservasi;

    2) memberikan bantuan kepada penyandang cacat dalam penggunaan fasilitas bandara, seperti bantan untuk pergi ke dan dari kamar kecil dan

    menggunakan kios otomatis, tergantung pada waktu yang cukup tersedia;

    3) Meja informasi harus dapat diakses oleh semua penyandang cacat, misalnya, mereka yang menggunakan bantuan mobilitas seperti kursi

    roda, atau yang memiliki gangguan penglihatan, pendengaran,

    ketangkasan, atau bicara. Staff meja informasi harus diberikan pelatihan

    yang diperlukan untuk menangani permintaan informasi dari penyandang

    disabilitas dengan efisiensi dan kepekaan;

    4) harus memastikan bahwa mesin atau kios check-in otomatis di bawah kendali mereka dapat diakses dan diidentifikasi dengan simbol

    aksesibilitas universal. Jika mesin dan kios tidak dapat diakses, maka

    tingkat layanan yang setara harus diberikan kepada orang-orang yang

    tidak dapat menggunakannya secara mandiri;

    5) harus memberikan bantuan kepada para penyandang disabilitas di konter check-in. Staff check-in harus diberi pelatihan yang sesuai untuk

    menangani permintaan dari, dan menanggapi kebutuhan, orang-orang

    penyandang cacat, seperti dengan menetapkan tempat duduk yang sesuai;

    49

    International Civil Aviation Organization (ICAO), Manual on Access to Air

    Transport by Persons with Disabilities, edisi pertama, Canada, 2013, h., 2-1. 50

    Ibid. 51

    Ibid., h., 4-1.

  • 34

    6) harus menyediakan kursi roda, atas permintaan di bandara kepada penyandang disabilitas untuk memastikan transportasi tanpa batas dari

    kedatangan mereka di bandara sampai saat menaiki pesawat udara, dan

    dari titik penurunan penumpang hingga keluar dari bandara. Informasi

    yang memadai harus tersedia bagi penumpang tentang ketersediaan kursi

    roda, dan apakah bandara atau operator pesawat udara perlu

    pemberitahuan terlebih dahulu untuk menyediakan layanan kursi roda.

    Penumpang harus dapat tetap berada di kursi roda pribadi mereka hingga

    ke gerbang keberangkatan dan menerimanya saat turun di mana pun hal

    ini dimungkinkan.

    7) Bandara dan operator pesawat udara harus memberikan bantuan bagasi kepada penyandang cacat ketika diminta saat check-in, keamanan,

    beacukai, imigrasi dan boarding.

    8) harus menyediakan tempat duduk untuk penyandang disabilitas di area layanan penumpang di bawah kendali mereka di mana mungkin ada

    antrean panjang atau waktu tunggu, termasuk di konter penjualan tiket,

    konter check-in, titik pemeriksaan keamanan, area pabean, dan

    pengambilan bagasi. Tempat duduk tidak boleh ditempatkan di tempat

    yang memblokir rute evakuasi;

    9) ketika seseorang yang menggunakan kursi roda yang manual dan untuk bergerak harus menunggu bantuan saat boarding atau saat penurunan

    penumpang, staf bandara atau operator pesawat udara, sebagaimana

    mestinya, harus sering (misalnya setiap 30 menit) kontak dengan orang

    tersebut untuk memberi tahu mereka tentang statusnya permintaan

    bantuan dan untuk menanyakan tentang kebutuhan seseorang.

    10) Operator bandara dan pesawat udara harus memastikan bahwa mereka terus meninjau proses mereka terkait dengan penyediaan layanan bagi

    penyandang cacat sehingga layanan secara konsisten ditingkatkan dan

    mempertimbangkan hal baru praktik dan teknologi. Umpan balik dari

    para penyandang disabilitas harus dicari untuk membantu memberi tahu

    tinjauan ini.

    Salah satu bandara yang telah menerapkan peraturan tentang pelayanan

    untuk penyandang disabilitas adalah Bandara Internasional Katowice yang

    terletak di terletak di Pyrzowice, 30 km (19 mil) di utara Katowice, Polandia.

    Beberapa informasi yang diberikan oleh pihak bandara untuk melakukan

    perjalanan yaitu52

    :

    52

    Katowice Airport, Code Of Good Conduct In Providing Assistance To Disabled

    Persons And Persons With Reduced Mobility Travelling By Air, Pyrzowice, 2017, h., 14.

  • 35

    1) pada pemesanan tiket, PRMs53 harus melengkapi formulir yang memberikan rincian informasi tentang kebutuhan khusus mereka dalam

    hal bantuan layanan.

    2) Badan pengelola bandara memastikan akses PRM ke informasi tentang bantuan yang tersedia di Bandara Internasional Katowice di Pyrzowice.

    Informasi ini disajikan secara rinci di situs web bandara dan di brosur di

    dalam gedung terminal. Informasi tersedia dalam bahasa Polandia dan

    Inggris.

    Bandara Katowice juga memberikan informasi mengenai tata cara

    pemesanan tiket untuk penumpang yang memerlukan pelayanan khusus terutama

    untuk penumpang yang berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas, yang

    meliputi54

    :

    1) Maskapai penerbangan dan agen perjalanan harus memiliki semua yang diperlukan, termasuk informasi dari orang-orang yang memerlukan

    bantuan khusus di bandara dan selama perjalanan udara. Informasi ini

    harus dicatat di sebuah formulir termasuk dalam dokumen ini kode

    disabilitas IATA (International Air Transport Association / Asosiasi

    Pengangkutan Udara Internasional) dan diteruskan ke bagian penanganan

    dengan kode Internasional yang benar dan dalam jangka waktu yang

    diperlukan, sebagaimana ditentukan oleh Peraturan (EC) 1107/2006.

    Informasi harus dicatat dalam bahasa yang jelas dan sederhana

    menggunakan istilah internasional yang sesuai.

    2) Jika tidak mungkin memperoleh informasi mengenai bantuan khusus yang diperlukan untuk PRM dari PRM sendiri, diperbolehkan untuk

    memperoleh informasi yang diperlukan dari perwakilan PRM. Dalam hal

    pemesanan telepon, staf pengangkut udara atau agen perjalanan harus

    melengkapi formulir pemesanan sendiri.

    3) Pemberitahuan bantuan yang lebih awal diperlukan PRM untuk memastikan bantuan yang sesuai di bandara dan di dalam pesawat.

    4) Maskapai penerbangan diwajibkan memberi tahu manajemen atau penyedia layanan yang dikontrak oleh manajemen bandara, mengenai

    bantuan yang diperlukan untuk PRMs tidak lebih dari 48 jam sebelum

    keberangkatan yang dijadwalkan sesuai dengan Peraturan (EC)

    1107/2006.

    5) Pemesanan melalui internet juga harus mencakup kemungkinan untuk mengajukan permohonan bantuan yang diperlukan dengan cara yang

    53

    Penumpang dengan Penyandang Disabilitas atau selanjutnya disebut PRM atau

    (Passengers with Reduced Mobility / Penumpang dengan Berkurangnya Mobilitas) adalah istilah

    yang digunakan di Eropa yang berarti setiap orang yang mobilitasnya ketika menggunakan

    transportasi berkurang karena cacat fisik apa pun, cacat intelektual atau gangguan atau penyebab

    kecacatan lainnya, atau usia, dan yang situasinya membutuhkan perhatian yang tepat dan adaptasi

    terhadap kebutuhan khusus dari layanan yang disediakan untuk semua penumpang. 54

    Katowice Airport, Op.Cit.,h., 15.

  • 36

    sama seperti dengan bentuk layanan tradisional. Kursi di dalam pesawat

    harus dipesan berdasarkan "siapa cepat, pertama dilayani".

    6) Staff bagian penanganan harus diberitahu tentang setiap pemesanan kursi khusus individu di atas pesawat untuk memastikan bahwa alokasi kursi

    disiapkan sebelum waktu minimum check-in. Dalam kasus di mana

    pemberitahuan sebelumnya belum dibuat, staff harus melakukan segala

    upaya untuk mengakomodasi kebutuhan PRM.

    7) Perusahaan penerbangan harus didorong untuk menawarkan diskon untuk pengangkutan orang yang mendampingi untuk PRM, khususnya ketika

    menganggap kehadiran orang seperti itu diperlukan. Diskon ini harus

    diperluas ke semua situasi di mana PRM membutuhkan dua kursi.

    8) Setiap penumpang penyandang disabilitas tiba di bandara harus dipastikan akses cepat dan mudah ke bandara. Akses jalan ke bangunan

    terminal harus tangani dengan jelas dan tepat.

    Bentuk pelayanan dan bantuan yang diberikan oleh pihak bandara dan

    maskapai penerbangan dari check-in hingga tiba di tempat tujuan sampai dengan

    pemeriksaan keamanan, kontrol paspor, kontrol bea cukai. Pelayanan dan bantuan

    yang diberikan meliputi55

    :

    1) di bagian check-in, staf bagian penanganan harus memeriksa semua pra-pemesanan untuk PRM untuk memastikan bahwa semua layanan yang

    diperlukan telah dipesan sebelumnya. Jika layanan belum dipesan

    sebelumnya, penanganan staf agen harus menanyakan kepada PRM

    penumpang tentang bantuan yang mereka butuhkan dan mengatur

    bantuan yang sesuai. Petugas agen penanganan harus menginformasikan

    PRM tentang jarak ke aula keberangkatan / gerbang dan waktu

    penumpang berbadan sehat perlu mencapai area ini. Petugas agen

    penanganan harus dapat berkomunikasi dengan tuna rungu dan tuna

    rungu. Di konter check-in, staf tambahan harus membantu penumpang

    penyandang disabilitas.

    2) di bagian ruang keberangkatan, bantuan barupa staf gerbang harus mengetahui jika penumpang PRM hadir, terutama mereka yang

    mengalami gangguan pendengaran, dan penumpang tersebut secara

    sistematis diberikan informasi penerbangan. Staf juga harus menyadari

    penumpang yang membutuhkan bantuan untuk melewati tangga atau

    jarak dari gerbang ke pesawat. Jika diperlukan, staff harus menawarkan

    bantuan. Pendekatan yang sama harus diterapkan dalam menangani

    penumpang tuna netra atau tuna netra. Semua penumpang tersebut harus

    diberitahu secara sistematis tentang setiap tahap prosedur check-in dan

    boarding.

    3) Selanjutnya untuk bagian naik ke pesawat (boarding) yaitu berdasarkan peraturannya, penumpang difabel harus diantarkan ke kabin pesawat

    bersama dengan penumpang lainnya. Penumpang difabel harus berada di

    55

    Ibid., h. 19-21.

  • 37

    pesawat sebelum lepas landas dan mereka membutuhkan asisten untuk

    menolong mereka baik sebelum lepas landas dan saat setelah pendaratan.

    Selain itu, hanya staf terlatih yang bisa membantu para penumpang

    difabel baik itu untuk membantu mengangkat mereka atau berkaitan

    dengan hal lainnya sesuai dengan permintaan dan kebutuhan penumpang

    difabel.

    4) Selanjutnya pelayanan yang diberikan didalam pesawat adalah yang disediakan oleh maskapai udara didefinisikan dalam kode khusus untuk

    penumpang disabilitas yang diatur oleh IATA (International Air

    Transport Association / Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional

    untuk Peraturan (EC) 1107/2006 dan Dokumen ECAC 30.

    5) Berikutnya pada saat tiba ditempat tujuan atau pada saat pergantian pesawat (transfer) yaitu diharapkan penumpang difabel bisa merasakan

    perjalanan yang lebih menyenangkan. Kita harus memperhatikan hal-hal

    sekecil apapun seperti delay, karena bisa berakibat atau berdampak buruk

    pada PRM. Transfer pesawat satu ke pesawat lainnya harus ada peraturan

    yang disahkan. Para staf maskapai penerbangan harus meyakinkan

    keamanan dan posibilitas perpindahan pesawat. PRM membutuhkan

    kursi roda yang telah tersedia sejak dari pendaratan pesawat.

    6) Berikutnya pada bagian pemeriksaan keamanan, kontrol paspor, kontrol bea cukai pelayanan berupa semua penumpang yang disabilitas harus

    diperiksa sama dengan semua penumpang lainnya, tetapi penting bahwa

    pemeriksaan ini dilakukan dengan hati-hati dan sensitif. Staf keamanan

    harus dilatih secara memadai dan akrab dengan ECAC (European Civil

    Aviation Conference) dokumen 30 dalam hal pemeriksaan keamanan

    pada penumpang yang cacat. Informasi mengenai pemeriksaan keamanan

    pada PRM harus didistribusikan kepada staf dalam brosur berukuran

    saku, setelah menyelesaikan kursus pelatihan yang sesuai. Staf keamanan

    harus memastikan semua fasilitas tersedia untuk penumpang yang

    disabilitas seperti bantuan dalam mengangkat bagasi selama prosedur

    keamanan. Staf harus menawarkan bantuan dengan cara apa pun. Dalam

    hal pemeriksaan keamanan, semua infrastruktur harus dapat diakses kursi

    roda. Peraturan tentang pemeriksaan keamanan tercantum dalam

    dokumen ECAC (European Civil Aviation Conference) 30 Lampiran F:

    Materi panduan untuk staf keamanan poin-poin penting untuk

    pemeriksaan PRM. Pedoman umum tentang pemeriksaan keamanan pada

    PRM telah dimasukkan dalam nomor telepon bantuan.

    Di Indonesia pelayanan dan perlakuan serta fasilitas khusus untuk

    penyandang disabilitas di bidang penerbangan diatur dalam Undang-Undang

    Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 134 ayat (2) yakni berupa56

    :

    56

    Pasal 134 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang

    Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 4956).

  • 38

    1. pemberian prioritas tambahan tempat duduk; 2. penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat

    udara;

    3. penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat udara;

    4. sarana bantu bagi orang sakit; 5. penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara; 6. tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang

    cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit; dan

    7. tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang dapat

    dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit.

    Pada ketentuan Pasal 134 ayat (2) di jelaskan bahwa “fasilitas khusus” dapat

    berupa penyediaan jalan khusus di bandar udara dan sarana khusus untuk naik ke

    atau turun dari pesawat udara, atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi

    penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya

    mengharuskan dalam posisi tidur. Yang dimaksud dengan “penyandang cacat”,

    antara lain, penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat kaki,

    dan tuna netra.

    Menurut Noor Aziz Said dalam pendapatnya mengenai diskriminasi yaitu

    dilakukan tidak sama terhadap subjek yang sama atau sederajat. Hal ini berarti

    bagi penyandang disabilitas dengan menyamakan perlakuan untuk orang biasa hal

    ini justru menimbulkan ketimpangan yang mengakibatkan diskriminasi. Bagi

    penyandang disabilitas sangatlah perlu untuk mendapatkan perlakuan khusus

    dimanapun mereka berada khususnya di tempat umum baik dalam menggunakan

    transportasi maupun mendapatkan informasi. Karena untuk menghindari

    diskriminasi dari penyandang disabilitas maka diperlukannya aksesabilitas yang

    baik dan layak untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas yang telah diatur

    dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

    Disabilitas.

  • 39