-
13
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENYANDANG
DISABILITAS DI BIDANG PENERBANGAN
Bab ini akan secara khusus mengulas mengenai empat hal pokok
yakni
konsep penyandang disabilitas, asas non diskriminasi, hak atas
perlakuan khusus,
serta hak dan kewajiban penyandang disabilitas di bidang
penerbangan.
A. Penyandang Disabilitas
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas1 serta Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri
Sosial Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi dan
Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas2 mendefinisikan bahwa penyandang
disabilitas adalah
setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,
mental, dan/atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan
hak.
Menurut Uning Pratimaratri, penyandang disabilitas atau
penyandang cacat
merupakan setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental yang
1 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5871). 2 Pasal 1 angka 4 Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017
tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 790).
-
14
dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya
untuk
melakukan kegiatan secara layaknya3.
Lebih lanjut, ragam penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 4
ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
yang
meliputi 4
:
a) Penyandang Disabilitas Fisik Yang dimaksud dengan “Penyandang
Disabilitas fisik” adalah
terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh
atau
kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat
kusta, dan
orang kecil;
b) Penyandang Disabilitas Intelektual Yang dimaksud dengan
”Penyandang Disabilitas intelektual” adalah
terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah
rata-rata,
antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down
syndrom;
c) Penyandang Disabilitas Mental; dan/atau Yang dimaksud dengan
“Penyandang Disabilitas mental” adalah
terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi,
anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan
interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif;
d) Penyandang Disabilitas Sensorik. Yang dimaksud dengan
“Penyandang Disabilitas sensorik” adalah
terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain
disabilitas
netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara
Sebagai tambahan, menurut Nandiyah Abdullah, pengelompokkan
penyandang disabilitas dengan klasifikasi dan jenis kelainan,
anak berkebutuhan
dikelompokkan ke dalam bentuk kelainan fisik, kelainan mental,
dan kelainan
karakteristik sosial5. Pertama, kelainan fisik adalah kelainan
yang terjadi pada
satu atau lebih organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut
timbul suatu
3 Muladi, Hak Asasi Manusia Hakikat, Konsep dan Implikasinya
dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005, h., 253. 4
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5871). 5 Nandiyah Abdullah, Mengenal
Anak Berkebutuhan Khusus, Psikologi Fakultas
Psikologi UNWIDHA Klaten, ISSN 0215-9511, Magistra No. 86 Th.
XXV Desember 2013, h., 1.
-
15
keadaan pada fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan
tugasnya secara
normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada: alat
fisik indra, misalnya
kelainan pada indra pendengaran (tunarungu), kelainan pada indra
penglihatan
(tunanetra), kelainan pada fungsi organ bicara (tunawicara);
alat motorik tubuh,
misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada
sistem saraf di
otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral
palsy), kelainan
anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misalnya
lahir tanpa
tangan/kaki, amputasi dan lain-lain. Untuk kelainan pada alat
motorik tubuh ini
dikenal dalam kelompok tunadaksa6.
Kedua, kelainan mental adalah anak yang memiliki
penyimpangan
kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia
sekitarnya.
Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu
kelainan
mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam
arti kurang
(subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul,
menurut
tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu belajar
dengan cepat
(rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius
(extremely gifted)7.
Ketiga, kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka
yang
mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan,
tatatertib,
norma sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang
dikategorikan dalam
kelainan perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan,
sering bentrok
dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma maupun
kesopanan8.
Dari pernyataan di atas penulis berkesimpulan bahwa yang
dimaksud
dengan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan
6 Ibid., h. 1-2.
7 Ibid., h. 4.
8 Ibid., h. 5.
-
16
baik secara fisik maupun mental yang berakibat pada terhambatnya
dalam
melakukan segala aktivitas sosial bermasyarakat, yang mana
kondisi tersebut
berbeda dengan kondisi orang normal pada umumnya atau yang tidak
mengalami
disabilitas.
B. Asas Non Diskriminasi
Indonesia merupakan negara yang mengakui dan menjunjung tinggi
hak
asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang
secara kodrati
melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan9. Hal ini dibuktikan
dengan
pengaturan mengenai hak asasi manusia di Undang-Undang Dasar
Republik
Indonesia Tahun 1945 di Pasal 28A sampai dengan 28J serta
terdapat pengaturan
khusus mengenai Hak Asasi Manusia pada tahun 1999 yaitu
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pengertian mengenai hak asasi manusia terdapat dalam Pasal 1
angka (1)
yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai
mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang
wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun,
pemerintahan, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia10
.
9 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5871). 10
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi
Manusia. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5871).
-
17
Hal ini didukung dengan asas dasar hak asasi manusia yang
terdapat pada
Pasal 3 ayat (3) yang berbunyi, "Setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi
manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi."11
Ini berarti bahwa semua
warga negara berhak untuk diberlakukan sama dengan yang lainnya
karena ini
terkait dengan asas non-diskriminsi yang telah dianut di
Indonesia.
Secara gramatikal, kata diskriminasi diartikan sebagai pembedaan
perlakuan
terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan,
suku,
ekonomi, agama, dan sebagainya)12
. Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diskriminasi
didefinisikan
sebagai berikut:
"diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia
atas
dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status
sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan
baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya".13
Sedangkan secara khusus di bidang disabilitas, Pasal 2
Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Hak-Hak
Penyandang Disabilitas mendefinisikan diskriminasi sebagai:
“setiap pembedaan, pengecualian, atau pembatasan atas dasar
disabilitas
yang bermaksud atau berdampak membatasi atau meniadakan
pengakuan,
penikmatan atau pelaksanaan, atas dasar kesetaraan dengan yang
lainnya
terhadap semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental
dalam
bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, sipil atau lainnya.
Hal ini
11
Pasal 3 angka (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi
Manusia. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5871). 12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Keempat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, h., 334. 13
Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5871).
-
18
mencakup semua bentuk diskriminasi, termasuk penolakan atas
pemberian
akomodasi yang beralasan"14
.
Selain itu, pengertian mengenai diskriminasi juga terletak pada
Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dalam
Pasal 1
angka (3) yang menegaskan bahwa diskriminasi adalah setiap
pembedaan,
pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar
disabilitas yang
bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan
pengakuan,
penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas15
.
Selain diatur dalam Hukum Nasional, Hukum Internasional juga
mengatur
mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) seperti oleh Universal
Declaration of
Human Rights (UDHR). Universal Declaration of Human Rights
(UDHR)
memperluas alasan diskriminasi dengan menyebutkan beberapa
alasan
diskriminasi, antara lain: ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pendapat
politik atau opini lainnya, nasionalitas atau kebangsaan,
kepemilikan akan suatu
benda (property) kelahiran atau status lainnya. Semua merupakan
alasan yang
tidak terbatas dan semakin banyak pula instrumen yang memperluas
alasan
diskriminasi termasuk di dalammnya orientasi seksual, umur dan
cacat tubuh16
.
Sedangkan Menurut Convention on the Rights of Person with
Disabilities
(CRPD) mengenai diskriminasi yakni:
“Multiple discrimination” is defined as a situation in which a
person
experiences discrimination based on two or more grounds,
which
compounds or aggravates it. Intersecting discrimination refers
to a situation
14
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention On
The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai
Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5251). 15
Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang
Penyandang
Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5871). 16
Andreay Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Cetakan
ke-1,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, h., 12.
-
19
in which several grounds are inseparably intertwined. Grounds
for
discrimination include but are not limited to: age; disability;
sex; ethnic,
indigenous, national or social origin; political or other
opinion; race;
religion; refugee, migrant or asylum status; or any other
status17
.
Ontorio Human Rights Commission (OHCR) berpendapat bahwa
discrimination is
not defined in the Code but usually includes the following
elements:
1. not individually assessing the unique merits, capacities and
circumstances of a person
2. instead, making stereotypical assumptions based on a person’s
presumed traits
3. having the impact of excluding persons, denying benefits or
imposing burdens.
Many people wrongly think that discrimination does not exist if
the impact
was not intended, or if there were other factors that could
explain a particular
situation. In fact, discrimination often takes place without any
intent to do harm.
And in most cases, there are overlaps between discrimination and
other legitimate
factors18
.
Pengertian diskriminasi diartikan oleh Falthoni yang mengatakan
pada
dasarnya diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Diskriminasi
adalah
perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan
untuk membedakan
terhadap perorangan atau kelompok berdasarkan sesuatu seperti
berdasarkan suku,
ras, agama atau antar golongan19
. Sedangkan menurut Noor Aziz Said yang
dimaksud dengan diskriminasi yang mengakibatkan kerugian secara
moril adalah
perlakuan yang tidak sama terhadap subjek yang sama atau
sederajat yang
mengakibatkan kerugian baik secara materil maupun secara psikhis
(kejiwaan)20
.
Seperti yang dikatakan oleh Noor Aziz Said dan Falthoni di atas
bahwa
diskriminasi merupakan perlakuan yang tidak sama dan perlakuan
yang tidak adil
17
Convention on the Rights of Person with Disabilities, Addressing
the impact of
multiple discrimination on persons with disabilities, and
promoting their participation and multi-
stakeholder partnerships for achieving the Sustainable
Development Goals in line with the
Convention, CRPD/CSP/2017/2, New York, 13-15 June 2017, h., 2.
18
Ontorio Human Rights Commission, What is "discrimination"?,
http://www.ohrc.on.ca/en/iii-principles-and-concepts/2-what-discrimination,
dikunjungi pada
tanggal 9 Agustus 2018 pukul 08.15. 19
M. Fulthoni A., Memahami Diskriminasi: Buku Saku Kebebasan
Beragama, The
Indonesian Legal Resource Center, Jakarta, 2009, h.,8. 20
Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1554 K/PID/2013, h., 3.
-
20
dan tidak seimbang terhadap subjek yang sama atau sederajat.
Subjek yang
dimaksud sederajat adalah untuk sesama orang yang berstatus
dengan kondisi
normal. Kata normal diartikan sebagai sesuai dengan keadaan yang
biasa tanpa
cacat; tidak ada kelainan serta diartikan bebas dari gangguan
jiwa21
.
Sebagaimana terdapat dalam Pasal 28 I ayat (2) yang berbunyi,"
Setiap
orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif
itu."22
Pada Pasal ini berlaku untuk semua orang baik penyandang
disabilitas
ataupun untuk non-disabilitas untuk bebas dari perlakuan
diskriminasi.
Namun konteks diskriminasi untuk penyandang disabilitas dan
untuk non-
disabilitas tidak sama. Yang mana untuk penyandang disabilitas
mendapat hak
untuk perlakuan khusus sehingga memiliki kedudukan yang setara
dengan orang
yg berstatus non-disabilitas. Hal ini didukung dengan Pasal 28 H
ayat (2) yang
berbunyi, "setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan
keadilan."23
Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa secara mendasar,
diskriminasi adalah dengan membedakan perlakuan terhadap
seseorang yang
normal kondisinya dengan orang yang setara yang dalam hal ini
adalah sesama
orang normal. Namun konsep diskriminasi yang demikian tentu
tidak dapat
diterapkan pada penyandang disabilitas yang sejak semula tidak
memiliki keadaan
yang setara dengan orang yang normal.
21
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Keempat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, h.,968. 22
Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. 23
Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
-
21
Penyandang disabilitas mendapat dukungan dari berbagai negara.
Indonesia
memberikan dukungan dalam bentuk membuat pengaturan khusus
untuk
penyandang disabilitas yang mana pada Pasal 3 huruf (a)
Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi bahwa
pelaksanaan
dan pemenuhan hak penyandang disabilitas bertujuan untuk
mewujudkan
penghormatan, pemajuan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi
manusia serta
kebebasan dasar Penyandang Disabilitas secara penuh dan
setara.24
Hal ini
didukung dengan ayat (4) yang berbunyi, "Kebijakan-kebijakan
khusus yang
diperlukan untuk mempercepat atau mencapai kesetaraan de facto
bagi
penyandang disabilitas tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi
di bawah
ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi ini."25
Berdasarkan hal di atas dapat dipahami bahwa membedakan
perlakuan
terhadap penyandang disabilitas justru bukanlah tindakan
diskriminasi, sehingga
menyamakan perlakuan antara orang normal dengan penyandang
disabilitas lah
yang justru menimbulkan ketidaksetaraan dan merupakan
diskriminasi terhadap
penyandang disabilitas tersebut.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Hakim dalam kasus nomor
C-335/11 dan
C-337/11 yang dialami oleh Ms. Ring dan Ms. Skouboe Werge. Kasus
ini bermula
pada saat Ms. Ring diberhentikan dari pekerjaannya setelah cuti
sakit yang ia
ambil jatuh tempo, ia mengambil cuti karena mengalami nyeri
pinggang yang
tidak bisa diobati. Hal yang sama juga dirasakan oleh Ms.
Skouboe Werge yang
24
Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang
Penyandang
Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5871). 25
Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 107,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251).
-
22
diberhentikan setelah mengambil cuti sakit karena cidera yang ia
terima dalam
kecelakaan lalu lintas. Alasan dari pemecatan mereka yaitu
karena tidak bisa lagi
bekerja penuh waktu karena sakit. Karena hal ini Ms. Ring dan
Ms. Skouboe
Werge menggugat perusahaan tersebut ke pengadilan.26
Adapun putusan pengadilan yang dilaksanakan pada 11 April 2013
yang
mendukung penyandang disabilitas untuk bebas dari diskriminasi
yaitu dengan
menunjang akomodasi yang layak. Akomodasi yang dimaksud adalah
reasonable
accommodation atau akomodasi yang masuk akal yaitu:
"necessary and appropriate modification and adjustments not
imposing a
disproportionate or undue burden, where needed in a particular
case, to
ensure to persons with disabilities the enjoyment or exercise on
an equal
basis with others of all human rights and fundamental
freedoms".
Inti dari pengertian reasonable accommodation yaitu modifikasi
dan
penyesuaian yang perlu dan yang tidak memaksakan beban yang
tidak
proporsional atau tidak semestinya, jika diperlukan dalam kasus
tertentu, untuk
memastikan bagi para penyandang cacat menikmati atau latihan
atas dasar
kesetaraan dengan orang lain dari semua hak asasi manusia dan
kebebasan
mendasar.27 Kasus ini membuktikan adanya kewajiban bagi
perusahaan, untuk
memberikan reasonable accommodation dalam rangka penyetaraan
orang normal
dengan penyandang disabilitas.
Dengan adanya akomodasi yang layak membuat penyandang
disabilitas
menjadi setara dengan orang non-disabilitas sehingga penyandang
disabilitas
dapat berpartisipasi secara penuh dalam melakukan aktivitas.
Dalam hal ini
26
The Court Of Justice Of The European Union, 11 April 2013,
Judgment in Joined
Case No C-335/11 and C-337/11, diunduh
http://curia.europa.eu/juris/document/document
.jsf?docid=136161&doclang=EN, dikunjungi pada 11 Desember
2018 pukul 11.15. 27
The Court Of Justice Of The European Union, 11 April 2013,
Judgment in Joined
Case No C-335/11 and C-337/11, diunduh
http://curia.europa.eu/juris/document/document
.jsf?docid=136161&doclang=EN, dikunjungi pada 11 Desember
2018 pukul 11.15.
-
23
akomodasi menjadi penting untuk meningkatkan perlindungan
terhadap
penyandang disabilitas dari diskriminasi dan mendapatkan haknya
untuk bebas
dari diskriminasi.
Penyandang disabilitas harus dilindungi dari tindakan
diskriminasi, maka
sebagai konsekwensi, asas non-diskriminasi menjadi hukum yang
memberikan
perlindungan terhadap penyandang disabilitas. Sebagaimana
termaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setiap
orang
(termasuk penyandang disabilitas) memiliki perlindungan yang
diberikan oleh
Pasal 28 I ayat (2) yang berbunyi, "Setiap orang bebas dari
perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."
Lebih spesifik pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun
2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With
Disabilities
(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yaitu dalam
Pasal 5 ayat
(1) berbunyi, "Negara-Negara Pihak mengakui bahwa semua manusia
adalah
setara di hadapan dan di bawah hukum dan berhak, tanpa
diskriminasi, untuk
mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang setara".28
Asas non diskriminasi diberikan guna adanya persamaan perlakuan
dan
kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan
dan keadilan
gender, terhadap warga negara tersebut harus diberikan
perlindungan secara
maksimum, serta tidak memberikan perlakuan yang
diskriminasi29
dan menjamin,
28
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 107,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251). 29
Abdullah Cholil, Tindak Kekerasan terhadap Wanita, Seminar
Nasional
Perlindungan Perempuan dari Pelecehan Kekerasan Seksual, 1996,
Yogyakarta: Pusat Penelitian
-
24
melindungi dan memuliakan Hak Asasi Manusia pada umumnya dan hak
warga
negara pada khususnya.30
Menurut Sieghart, asas non-diskriminasi secara subtantif bukan a
simplistic
philosophy of egalitarianism, tetapi lebih luas maknanya dan
mempertimbangkan
keunikan masing-masing individu manusia:
pada intinya bahwa tidak mengharuskan semua orang untuk
diperlakukan
sama terhadap semua keadaan. Yang dibutuhkan hanyalah
menghormati
banyak perbedaan. Mereka berhak untuk atas perlindungan dari
pemaksaan
opresif yang dibuat oleh manusia dan dapat dihindari yang akan
membatasi
perkembangan individu. Terlepas dari karakteristik pribadi,
mereka tidak
boleh diperlakukan secara sewenang-wenang, atau membuat
mereka
kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan mereka
dengan
pekerjaan pilihan mereka atau akses yang adil ke makanan,
pakaian,
perumahan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Kesetaraan
perlakuan
diperlukan untuk menghormati hak dan kebebasan atau sering
disebut
'fundamental' yang melekat pada setiap individu dan diperlukan
untuk
keragaman pribadi mereka dalam mengembangkan dan
memanifestasikan
dirinya.31
Konsep yang sangat penting dari non-diskriminasi adalah
aspek
fungsionalnya agar HAM dapat dinikmati setiap manusia tanpa
dibeda-bedakan.
Dalam konteks ini tujuan asas non-diskriminasi adalah "to allow
all individuals an
equal and fair prospect to access opportunities available in a
society."32
Ruang lingkup asas non-diskriminasi terdiri atas 2 hal yaitu,
melarang
diskriminasi langsung (direct discrimination) dan diskriminasi
tidak langsung
(indirect discrimination):
Kependudukan UGM dan Ford Foundation dikutip dari Nung Ati
Nurhayati, Agnes Widanti,
Ketentuan tentang Keluarga Berencana dan Asas Nondiskriminasi
Dikaitkan dengan Hak
Reproduksi Perempuan, Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.I. No.1.
September 2013, h., 27. 30
Nung Ati Nurhayati, Agnes Widanti, Ketentuan tentang Keluarga
Berencana dan
Asas Nondiskriminasi Dikaitkan dengan Hak Reproduksi Perempuan,
Jurnal Ilmu Keperawatan.
Vol.I. No.1. September 2013, h., 27. 31
Paul Sieghart, The International Law of Human Rights, Clarendon
Press, Oxford,
1983, h., 18, dikutip dari Titon Slamet Kurnia, Interpretasi
Hak-Hak Asasi Manusia Oleh
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Maju Mandar, Bandung,
2015, h., 170-171. 32
Titon Slamet Kurnia, Op.Cit.
-
25
Firstly, it stipulates that those individuals who are in similar
situations
should receive similar treatment and not be treated less
favourably simply
because of a particular 'protected' characteristic that they
possess. This is
known as 'direct' discrimation... Secondly, [it] law stipulates
that those
individuals who are in different situation should receive
different treatment
to the extent that this is needed to allow them to ebjoy
particular
opportunities on the same basis as others. Thus, those same
'protected
grounds' should be taken into account when carrying out
particular
practices or creating particular rules. This is known as
'indirect'
discrimination.33
Dengan demikian diskriminasi langsung adalah "treating one
person less
favourably than another on prohibited grounds and in comparable
circumstance."
Sementara diskriminasi tidak langsung adalah "a practice rule,
requirement or
condition is neutral on its face but has a disproportionate
effect on particular
groups without any objective justification".34
Penerapan asas non-diskriminasi berlaku terhadap penyandang
disabilitas
untuk dapat menyetarakan kedudukan mereka dengan
non-disabilitas. Hal ini
didukung dengan Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016 tentang
Penyandang Disabilitas serta Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) dan
ayat (2) Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The
Rights Of
Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas).
Prinsip kesetaraan atau equality principle menjadi penting dalam
hal
penerapan asas non-diskriminasi untuk penyandang disabilitas.
Kesetaraan
didasarkan pada gagasan bahwa semua orang memiliki nilai dan
kepentingan yang
sama. Masyarakat yang setara dipahami sebagai masyarakat dimana
semua orang
33
The European Court of Human Rights and the European Union Agency
for
Fundamental Rights, Handbook On European Non-Discrimination Law,
Publications Office of the
European Union, Luxembourgh, 2011, h., 21-22. 34
Titon Slamet Kurnia, Op.Cit.
-
26
dapat berpartisipasi secara setara. Berdasarkan prinsip
kesetaraan, setiap orang
berhak dan harus diberi rasa hormat, perhatian, dan perlindungan
yang sama.35
Penyetaraan (atau peningkatan kesetaraan) tidak boleh
ditafsirkan untuk
menolak keragaman manusia. Prinsip kesetaraan menyiratkan bahwa
orang
dengan kebutuhan yang berbeda diperlakukan secara berbeda sesuai
dengan
perbedaan mereka.36
Dalam hukum, kesetaraan mencakup hak setiap individu atas semua
hak asasi
manusia. Lebih jauh, hukum hak asasi manusia mengasumsikan bahwa
semua
manusia memiliki martabat yang sama, terlepas dari keragaman
individu atau
sosial. Selain itu, kesetaraan memberikan hak kepada setiap
orang untuk menjadi
anggota yang setara dalam masyarakat.37
Penerapan kesetaraan pada asas non-diskriminasi merupakan
sesuatu yang
sangat diperlukan terutama untuk penyandang disabilitas. Yang
dalam hal ini
dapat berupa penyediaan akomodasi yang layak yang sesuai dengan
kebutuhan
penyandang disabilitas itu sendiri. Sehingga dengan bantuan
berupa akomodasi
penyandang disabilitas menjadi setara dengan non-disabilitas.
Serta dapat
35
Cf. R. Dworkin, Taking Rights Seriously, London: Duckworth,
1977, h.199, dikutip
dari Aart Hendriks, Disabled Persons And Their Right To Equal
Treatment: Allowing
Differentiation While Ending Discrimination, Health And Human
Rights Vol.I No.2, Harvard
School of Public Health, Cambridge, 1995, h.,156. Diunduh
https://cdn2.sph.harvard.edu/wp-
content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdf, diakses 18
Januari 2019 pukul 18.30. 36
R. Wiggins, Needs, Values, Truth, Oxford: Basil Blackwell, 1991,
dikutip dari Aart
Hendriks, Disabled Persons And Their Right To Equal Treatment:
Allowing Differentiation While
Ending Discrimination, Health And Human Rights Vol.I No.2,
Harvard School of Public Health,
Cambridge, 1995, h.,156. Diunduh
https://cdn2.sph.harvard.edu/wpcontent/uploads/sites/13/
2014/03/7-Hendricks.pdf, diakses 18 Januari 2019 pukul 18.30.
37
D.C. Galloway, Three Models of (In) Equality, McGill Law Review
68, 1993, h.,83,
dikutip dari Aart Hendriks, Disabled Persons And Their Right To
Equal Treatment: Allowing
Differentiation While Ending Discrimination, Health And Human
Rights Vol.I No.2, Harvard
School of Public Health, Cambridge, 1995, h.,156. Diunduh
https://cdn2.sph.harvard.edu/wp-
content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdf, diakses 18
Januari 2019 pukul 18.30.
https://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdfhttps://cdn2.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/13/2014/03/7-Hendricks.pdf
-
27
merasakan rasa hormat, perhatian dan perlindungan yang sama dan
setara dalam
melakukan segala aktivitas.
C. Hak Atas Perlakuan Khusus
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
konstitusi
Indonesia yang terdapat pada Pasal 28 H ayat (2) berbunyi,
"setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pada
kata "setiap
orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus", kata
setiap orang
diartikan juga untuk penyandang disabilitas.
Dilihat dalam konteks Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar
Republik
Indonesia Tahun 1945 diperjelas dengan Pasal 5 ayat (3) joncto
Pasal 42 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 5 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: “setiap
orang
yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan
dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”
Pengaturan ini
diperkuat oleh Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 yang
mengatur bahwa setiap penyandang cacat, orang yang berusia
lanjut, wanita
hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan
khusus.
Dengan pemaknaan di atas, menegaskan bahwa kelompok penyandang
disabilitas
termasuk dalam terminologi “setiap orang” dalam ketentuan Pasal
28 H ayat (2)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.38
Hal ini berarti hak
38
Arie Purnomosidi, Konsep Perlindungan Hak Konstitusional
Penyandang Disabilitas
Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Surakarta, Refleksi
Hukum Volume I, No. 2, 2017,
h.,166.
-
28
untuk penyandang disabilitas merupakan hak konstitusional yang
telah diatur
dalam Undang-Undang."39
Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945
diderivasi ke dalam dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor
39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, "Setiap orang yang
termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan
dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya40
." Kata berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih diatas merupakan dasar dari
adanya hak atas
perlakuan khusus. Hal ini sesuai dengan dengan konstruksi
non-diskriminasi
terhadap disabilitas yaitu bertujuan untuk mempercepat atau
mencapai kesetaraan
de facto bagi penyandang disabilitas tidak boleh dianggap
sebagai diskriminasi.41
Sehingga dengan adanya perlakuan khusus kedudukan penyandang
disabilitas
dengan non-disabilitas menjadi setara.
Hal ini didukung dengan Pasal 41 mengenai hak atas kesejahteraan
yang
mana pada ayat (1) berbunyi," setiap warga negara berhak atas
jaminan sosial
yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara
utuh." Serta ayat (2) berbunyi, "Setiap penyandang cacat, orang
yang berusia
lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan
dan
perlakuan khusus."42
39
Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. 40
Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5871). 41
Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 107,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251). 42
Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak
Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871).
-
29
Konsep pada hak atas perlakuan khusus terdapat pada penjelasan
umum
Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi
Manusia yang berbunyi bahwa yang dimaksud dengan kelompok
masyarakat
rentan atara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir
miskin, wanita hamil,
dan penyandang cacat (istilah penyandang cacat dimaknai menjadi
penyandang
disabilitas sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang
Penyandang Disabilitas)."43
Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas
di bagian menimbang huruf c mengatakan bahwa untuk mewujudkan
kesamaan
hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan
yang
sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi diperlukan peraturan
perundang-
undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Hal ini didukung
dengan Pasal
2 huruf c mengenai Pelaksanaan dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas
berasaskan tanpa diskriminasi atau non-diskirminasi. Hal ini
berimplikasi secara
langsung pada hak atas perlakuan khusus yang diterima penyandang
disabilitas
dan kelompok rentan lainnya.
Pengakuan terhadap hak atas perlakuan khusus ini juga diakui
terdapat
secara Internasional salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2011
tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With
Disabilities
(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang telah
diratifikasi
oleh Indonesia.
Pada Pasal 3 huruf d Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia
Nomor 7
Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial
Penyandang
43
Penjelasan Umum Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang
Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871).
-
30
Disabilitas mengatakan bahwa standar habilitas dan rehabilitas
sosial penyandang
disabilitas bertujuan untuk mewujudkan terpenuhinya
penghormatan,
pelindungan, dan pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas44
.
Hak-hak atas penyandang disabilitas terdapat dalam Pasal 5 ayat
1 Undang-
Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang
meliputi:45
a) hidup; b) bebas dari stigma; c) privasi; d) keadilan dan
perlindungan hukum; e) pendidikan; f) pekerjaan, kewirausahaan, dan
koperasi; g) kesehatan; h) politik; i) keagamaan; j) keolahragaan;
k) kebudayaan dan pariwisata; l) kesejahteraan sosial; m)
aksesibilitas; n) pelayanan publik; o) pelindungan dari bencana; p)
habilitasi dan rehabilitasi; q) konsesi; r) pendataan; s) hidup
secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; t) berekspresi,
berkomunikasi, dan memperoleh informasi; u) berpindah tempat dan
kewarganegaraan; dan v) bebas dari tindakan diskriminasi,
penelantaran, penyiksaan, dan
eksploitasi.
Berdasarkan hak-hak yang disebutkan diatas merupakan perlakuan
khusus
berupa hak yang harus diterima oleh penyandang disabilitas. Hak
tersebut
merupakan bentuk dari perlakuan khusus, yang harus diterima oleh
penyandang
44
Pasal 3 huruf (d) Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2017
tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 790). 45
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5871).
-
31
disabilitas dan harus dipenuhi sehingga dapat dirasakan oleh
semua penyandang
disabilitas sepenuhnya dalam setiap aktivitasnya.
Selain Pasal 5 ayat 1, terdapat juga pengaturan pada Pasal 5
ayat 3 huruf e
yang pada intinya berbunyi, "selain hak Penyandang Disabilitas
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), anak penyandang disabilitas memiliki hak
Pemenuhan
kebutuhan khusus."46
Hal ini didukung pada Pasal 5 ayat 2 huruf (g) Peraturan Menteri
Sosial
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi
dan
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, yang pada intinya
berbunyi, habilitasi
dan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas dilaksanakan
dalam bentuk (g)
pelayanan aksesibilitas.47
Hal ini didukung dengan diaturnya Peraturan Menteri
Perhubungan
Republik Indonesia Nomor PM 98 Tahun 2017 tentang Penyediaan
Aksesibilitas
Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik bagi Pengguna Jasa
Berkebutuhan
Khusus. Aksesabilitas yang dimaksud dalam peraturan ini terdapat
dalam Pasal 1
angka (1) yaitu aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan
untuk pengguna
jasa berkebutuhan khusus guna mewujudkan kesamaan
kesempatan48
. Didukung
pada Pasal 2 yang mengatakan bahwa Penyelenggara jasa
transportasi publik
wajib melaksanakan pelayanan bagi pengguna jasa berkebutuhan
khusus.
46
Pasal 5 ayat (3) huruf (e) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016
tentang Penyandang
Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5871). 47
Pasal 5 ayat (2) huruf (g) Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 7
Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 790). 48
Pasal 1 angka (1), Peraturan Menteri Perhubungan Republik
Indonesia Nomor PM 98
Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa
Transportasi Publik bagi
Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor
1385).
-
32
Pemenuhan hak penyandang disabilitas menjadi dukungan bagi
mereka
melalui perlakuan khusus yang telah diatur oleh Undang-Undang
menjadi sangat
penting guna menyetarakan kedudukan penyandang disabilitas
dengan non-
disabilitas sehingga penyandang disabilitas dapat melakukan
segala aktivitas
tanpa terganggu dengan keterbatasan yang mereka miliki.
D. Kewajiban Maskapai Penerbangan Terhadap Penyandang
Disabilitas
Pada saat menggunakan transportasi yang dalam hal ini adalah
jasa
penerbangan maka penumpang yang merupakan disabilitas sejatinya
mendapatkan
perlindungan dari asas non diskriminasi dan berhak atas
perlakuan khusus dari
pihak bandara maupun maskapai penerbangan baik dalam bentuk jasa
maupun
fasilitas yang tersedia. Baik secara Nasional maupun
Internasional terdapat
pengaturan mengenai cara memperlakukan penumpang yang
mengalami
disabilitas, hal ini terdapat dalam International Civil Aviation
Organization
(ICAO) dalam bukunya yang berjudul Manual on Access to Air
Transport by
Persons with Disabilities.
Pada bagian 2.1 mengenai prinsip umum dikatakan bahwa semua
staf
maskapai penerbangan serta staf bandar udara (selanjutnya
disebut bandara)
termasuk staf yang dipekerjakan secara kontrak untuk mendapatkan
pelatihan
dalam rantai penyampaian layanan perjalanan udara, sangat
penting untuk
menyediakan layanan berkualitas bagi penyandang disabilitas
secara konsisten
-
33
dan hormat. Penting bagi staf untuk mengetahui tanggung jawab
mereka dan
mampu melaksanakannya49
.
Pelatihan harus membahas hambatan sikap, lingkungan atau fisik
dan
organisasi yang mempengaruhi penyandang disabilitas dalam
transportasi udara.
Pelatihan tersebut harus mempersiapkan staf untuk memberikan
bantuan kepada
orang-orang penyandang disabilitas dengan cara yang menghormati
martabat
mereka dan sebagai layanan profesional yang menjadi haknya,
bukan sebagai
bantuan atau sikap penuh kasih50
.
Pelayanan kepada penumpang penyandang disabilitas saat tiba dan
pindah
bandara tersedia pada bagian 4 dari 4.1 sampai 4.10 yang mana
pelayanan yang
diberikan oleh staf maskapai penerbangan dan staff bandara
meliputi:51
1) harus memastikan bahwa bantuan kepada penyandang disabilitas
diberikan tepat waktu sehingga mereka dapat mengambil
penerbangan
yang mereka miliki reservasi;
2) memberikan bantuan kepada penyandang cacat dalam penggunaan
fasilitas bandara, seperti bantan untuk pergi ke dan dari kamar
kecil dan
menggunakan kios otomatis, tergantung pada waktu yang cukup
tersedia;
3) Meja informasi harus dapat diakses oleh semua penyandang
cacat, misalnya, mereka yang menggunakan bantuan mobilitas seperti
kursi
roda, atau yang memiliki gangguan penglihatan, pendengaran,
ketangkasan, atau bicara. Staff meja informasi harus diberikan
pelatihan
yang diperlukan untuk menangani permintaan informasi dari
penyandang
disabilitas dengan efisiensi dan kepekaan;
4) harus memastikan bahwa mesin atau kios check-in otomatis di
bawah kendali mereka dapat diakses dan diidentifikasi dengan
simbol
aksesibilitas universal. Jika mesin dan kios tidak dapat
diakses, maka
tingkat layanan yang setara harus diberikan kepada orang-orang
yang
tidak dapat menggunakannya secara mandiri;
5) harus memberikan bantuan kepada para penyandang disabilitas
di konter check-in. Staff check-in harus diberi pelatihan yang
sesuai untuk
menangani permintaan dari, dan menanggapi kebutuhan,
orang-orang
penyandang cacat, seperti dengan menetapkan tempat duduk yang
sesuai;
49
International Civil Aviation Organization (ICAO), Manual on
Access to Air
Transport by Persons with Disabilities, edisi pertama, Canada,
2013, h., 2-1. 50
Ibid. 51
Ibid., h., 4-1.
-
34
6) harus menyediakan kursi roda, atas permintaan di bandara
kepada penyandang disabilitas untuk memastikan transportasi tanpa
batas dari
kedatangan mereka di bandara sampai saat menaiki pesawat udara,
dan
dari titik penurunan penumpang hingga keluar dari bandara.
Informasi
yang memadai harus tersedia bagi penumpang tentang ketersediaan
kursi
roda, dan apakah bandara atau operator pesawat udara perlu
pemberitahuan terlebih dahulu untuk menyediakan layanan kursi
roda.
Penumpang harus dapat tetap berada di kursi roda pribadi mereka
hingga
ke gerbang keberangkatan dan menerimanya saat turun di mana pun
hal
ini dimungkinkan.
7) Bandara dan operator pesawat udara harus memberikan bantuan
bagasi kepada penyandang cacat ketika diminta saat check-in,
keamanan,
beacukai, imigrasi dan boarding.
8) harus menyediakan tempat duduk untuk penyandang disabilitas
di area layanan penumpang di bawah kendali mereka di mana mungkin
ada
antrean panjang atau waktu tunggu, termasuk di konter penjualan
tiket,
konter check-in, titik pemeriksaan keamanan, area pabean,
dan
pengambilan bagasi. Tempat duduk tidak boleh ditempatkan di
tempat
yang memblokir rute evakuasi;
9) ketika seseorang yang menggunakan kursi roda yang manual dan
untuk bergerak harus menunggu bantuan saat boarding atau saat
penurunan
penumpang, staf bandara atau operator pesawat udara,
sebagaimana
mestinya, harus sering (misalnya setiap 30 menit) kontak dengan
orang
tersebut untuk memberi tahu mereka tentang statusnya
permintaan
bantuan dan untuk menanyakan tentang kebutuhan seseorang.
10) Operator bandara dan pesawat udara harus memastikan bahwa
mereka terus meninjau proses mereka terkait dengan penyediaan
layanan bagi
penyandang cacat sehingga layanan secara konsisten ditingkatkan
dan
mempertimbangkan hal baru praktik dan teknologi. Umpan balik
dari
para penyandang disabilitas harus dicari untuk membantu memberi
tahu
tinjauan ini.
Salah satu bandara yang telah menerapkan peraturan tentang
pelayanan
untuk penyandang disabilitas adalah Bandara Internasional
Katowice yang
terletak di terletak di Pyrzowice, 30 km (19 mil) di utara
Katowice, Polandia.
Beberapa informasi yang diberikan oleh pihak bandara untuk
melakukan
perjalanan yaitu52
:
52
Katowice Airport, Code Of Good Conduct In Providing Assistance
To Disabled
Persons And Persons With Reduced Mobility Travelling By Air,
Pyrzowice, 2017, h., 14.
-
35
1) pada pemesanan tiket, PRMs53 harus melengkapi formulir yang
memberikan rincian informasi tentang kebutuhan khusus mereka
dalam
hal bantuan layanan.
2) Badan pengelola bandara memastikan akses PRM ke informasi
tentang bantuan yang tersedia di Bandara Internasional Katowice di
Pyrzowice.
Informasi ini disajikan secara rinci di situs web bandara dan di
brosur di
dalam gedung terminal. Informasi tersedia dalam bahasa Polandia
dan
Inggris.
Bandara Katowice juga memberikan informasi mengenai tata
cara
pemesanan tiket untuk penumpang yang memerlukan pelayanan khusus
terutama
untuk penumpang yang berkebutuhan khusus atau penyandang
disabilitas, yang
meliputi54
:
1) Maskapai penerbangan dan agen perjalanan harus memiliki semua
yang diperlukan, termasuk informasi dari orang-orang yang
memerlukan
bantuan khusus di bandara dan selama perjalanan udara. Informasi
ini
harus dicatat di sebuah formulir termasuk dalam dokumen ini
kode
disabilitas IATA (International Air Transport Association /
Asosiasi
Pengangkutan Udara Internasional) dan diteruskan ke bagian
penanganan
dengan kode Internasional yang benar dan dalam jangka waktu
yang
diperlukan, sebagaimana ditentukan oleh Peraturan (EC)
1107/2006.
Informasi harus dicatat dalam bahasa yang jelas dan
sederhana
menggunakan istilah internasional yang sesuai.
2) Jika tidak mungkin memperoleh informasi mengenai bantuan
khusus yang diperlukan untuk PRM dari PRM sendiri, diperbolehkan
untuk
memperoleh informasi yang diperlukan dari perwakilan PRM. Dalam
hal
pemesanan telepon, staf pengangkut udara atau agen perjalanan
harus
melengkapi formulir pemesanan sendiri.
3) Pemberitahuan bantuan yang lebih awal diperlukan PRM untuk
memastikan bantuan yang sesuai di bandara dan di dalam pesawat.
4) Maskapai penerbangan diwajibkan memberi tahu manajemen atau
penyedia layanan yang dikontrak oleh manajemen bandara,
mengenai
bantuan yang diperlukan untuk PRMs tidak lebih dari 48 jam
sebelum
keberangkatan yang dijadwalkan sesuai dengan Peraturan (EC)
1107/2006.
5) Pemesanan melalui internet juga harus mencakup kemungkinan
untuk mengajukan permohonan bantuan yang diperlukan dengan cara
yang
53
Penumpang dengan Penyandang Disabilitas atau selanjutnya disebut
PRM atau
(Passengers with Reduced Mobility / Penumpang dengan
Berkurangnya Mobilitas) adalah istilah
yang digunakan di Eropa yang berarti setiap orang yang
mobilitasnya ketika menggunakan
transportasi berkurang karena cacat fisik apa pun, cacat
intelektual atau gangguan atau penyebab
kecacatan lainnya, atau usia, dan yang situasinya membutuhkan
perhatian yang tepat dan adaptasi
terhadap kebutuhan khusus dari layanan yang disediakan untuk
semua penumpang. 54
Katowice Airport, Op.Cit.,h., 15.
-
36
sama seperti dengan bentuk layanan tradisional. Kursi di dalam
pesawat
harus dipesan berdasarkan "siapa cepat, pertama dilayani".
6) Staff bagian penanganan harus diberitahu tentang setiap
pemesanan kursi khusus individu di atas pesawat untuk memastikan
bahwa alokasi kursi
disiapkan sebelum waktu minimum check-in. Dalam kasus di
mana
pemberitahuan sebelumnya belum dibuat, staff harus melakukan
segala
upaya untuk mengakomodasi kebutuhan PRM.
7) Perusahaan penerbangan harus didorong untuk menawarkan diskon
untuk pengangkutan orang yang mendampingi untuk PRM, khususnya
ketika
menganggap kehadiran orang seperti itu diperlukan. Diskon ini
harus
diperluas ke semua situasi di mana PRM membutuhkan dua
kursi.
8) Setiap penumpang penyandang disabilitas tiba di bandara harus
dipastikan akses cepat dan mudah ke bandara. Akses jalan ke
bangunan
terminal harus tangani dengan jelas dan tepat.
Bentuk pelayanan dan bantuan yang diberikan oleh pihak bandara
dan
maskapai penerbangan dari check-in hingga tiba di tempat tujuan
sampai dengan
pemeriksaan keamanan, kontrol paspor, kontrol bea cukai.
Pelayanan dan bantuan
yang diberikan meliputi55
:
1) di bagian check-in, staf bagian penanganan harus memeriksa
semua pra-pemesanan untuk PRM untuk memastikan bahwa semua layanan
yang
diperlukan telah dipesan sebelumnya. Jika layanan belum
dipesan
sebelumnya, penanganan staf agen harus menanyakan kepada PRM
penumpang tentang bantuan yang mereka butuhkan dan mengatur
bantuan yang sesuai. Petugas agen penanganan harus
menginformasikan
PRM tentang jarak ke aula keberangkatan / gerbang dan waktu
penumpang berbadan sehat perlu mencapai area ini. Petugas
agen
penanganan harus dapat berkomunikasi dengan tuna rungu dan
tuna
rungu. Di konter check-in, staf tambahan harus membantu
penumpang
penyandang disabilitas.
2) di bagian ruang keberangkatan, bantuan barupa staf gerbang
harus mengetahui jika penumpang PRM hadir, terutama mereka yang
mengalami gangguan pendengaran, dan penumpang tersebut
secara
sistematis diberikan informasi penerbangan. Staf juga harus
menyadari
penumpang yang membutuhkan bantuan untuk melewati tangga
atau
jarak dari gerbang ke pesawat. Jika diperlukan, staff harus
menawarkan
bantuan. Pendekatan yang sama harus diterapkan dalam
menangani
penumpang tuna netra atau tuna netra. Semua penumpang tersebut
harus
diberitahu secara sistematis tentang setiap tahap prosedur
check-in dan
boarding.
3) Selanjutnya untuk bagian naik ke pesawat (boarding) yaitu
berdasarkan peraturannya, penumpang difabel harus diantarkan ke
kabin pesawat
bersama dengan penumpang lainnya. Penumpang difabel harus berada
di
55
Ibid., h. 19-21.
-
37
pesawat sebelum lepas landas dan mereka membutuhkan asisten
untuk
menolong mereka baik sebelum lepas landas dan saat setelah
pendaratan.
Selain itu, hanya staf terlatih yang bisa membantu para
penumpang
difabel baik itu untuk membantu mengangkat mereka atau
berkaitan
dengan hal lainnya sesuai dengan permintaan dan kebutuhan
penumpang
difabel.
4) Selanjutnya pelayanan yang diberikan didalam pesawat adalah
yang disediakan oleh maskapai udara didefinisikan dalam kode khusus
untuk
penumpang disabilitas yang diatur oleh IATA (International
Air
Transport Association / Asosiasi Pengangkutan Udara
Internasional
untuk Peraturan (EC) 1107/2006 dan Dokumen ECAC 30.
5) Berikutnya pada saat tiba ditempat tujuan atau pada saat
pergantian pesawat (transfer) yaitu diharapkan penumpang difabel
bisa merasakan
perjalanan yang lebih menyenangkan. Kita harus memperhatikan
hal-hal
sekecil apapun seperti delay, karena bisa berakibat atau
berdampak buruk
pada PRM. Transfer pesawat satu ke pesawat lainnya harus ada
peraturan
yang disahkan. Para staf maskapai penerbangan harus
meyakinkan
keamanan dan posibilitas perpindahan pesawat. PRM
membutuhkan
kursi roda yang telah tersedia sejak dari pendaratan
pesawat.
6) Berikutnya pada bagian pemeriksaan keamanan, kontrol paspor,
kontrol bea cukai pelayanan berupa semua penumpang yang disabilitas
harus
diperiksa sama dengan semua penumpang lainnya, tetapi penting
bahwa
pemeriksaan ini dilakukan dengan hati-hati dan sensitif. Staf
keamanan
harus dilatih secara memadai dan akrab dengan ECAC (European
Civil
Aviation Conference) dokumen 30 dalam hal pemeriksaan
keamanan
pada penumpang yang cacat. Informasi mengenai pemeriksaan
keamanan
pada PRM harus didistribusikan kepada staf dalam brosur
berukuran
saku, setelah menyelesaikan kursus pelatihan yang sesuai. Staf
keamanan
harus memastikan semua fasilitas tersedia untuk penumpang
yang
disabilitas seperti bantuan dalam mengangkat bagasi selama
prosedur
keamanan. Staf harus menawarkan bantuan dengan cara apa pun.
Dalam
hal pemeriksaan keamanan, semua infrastruktur harus dapat
diakses kursi
roda. Peraturan tentang pemeriksaan keamanan tercantum dalam
dokumen ECAC (European Civil Aviation Conference) 30 Lampiran
F:
Materi panduan untuk staf keamanan poin-poin penting untuk
pemeriksaan PRM. Pedoman umum tentang pemeriksaan keamanan
pada
PRM telah dimasukkan dalam nomor telepon bantuan.
Di Indonesia pelayanan dan perlakuan serta fasilitas khusus
untuk
penyandang disabilitas di bidang penerbangan diatur dalam
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 134 ayat (2) yakni
berupa56
:
56
Pasal 134 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2009 tentang
Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4956).
-
38
1. pemberian prioritas tambahan tempat duduk; 2. penyediaan
fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat
udara;
3. penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di
pesawat udara;
4. sarana bantu bagi orang sakit; 5. penyediaan fasilitas untuk
anak-anak selama berada di pesawat udara; 6. tersedianya personel
yang dapat berkomunikasi dengan penyandang
cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit; dan
7. tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan
penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang
dapat
dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan orang
sakit.
Pada ketentuan Pasal 134 ayat (2) di jelaskan bahwa “fasilitas
khusus” dapat
berupa penyediaan jalan khusus di bandar udara dan sarana khusus
untuk naik ke
atau turun dari pesawat udara, atau penyediaan ruang yang
disediakan khusus bagi
penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang
pengangkutannya
mengharuskan dalam posisi tidur. Yang dimaksud dengan
“penyandang cacat”,
antara lain, penumpang yang menggunakan kursi roda karena
lumpuh, cacat kaki,
dan tuna netra.
Menurut Noor Aziz Said dalam pendapatnya mengenai diskriminasi
yaitu
dilakukan tidak sama terhadap subjek yang sama atau sederajat.
Hal ini berarti
bagi penyandang disabilitas dengan menyamakan perlakuan untuk
orang biasa hal
ini justru menimbulkan ketimpangan yang mengakibatkan
diskriminasi. Bagi
penyandang disabilitas sangatlah perlu untuk mendapatkan
perlakuan khusus
dimanapun mereka berada khususnya di tempat umum baik dalam
menggunakan
transportasi maupun mendapatkan informasi. Karena untuk
menghindari
diskriminasi dari penyandang disabilitas maka diperlukannya
aksesabilitas yang
baik dan layak untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas
yang telah diatur
dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang
Disabilitas.
-
39