15 BAB II PERKEMBANGAN SINDEN DI YOGYAKARTA A. Kesenian Tradisional di Yogyakarta 1. Pengertian Kesenian Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang bersifat universal. 1 Kesenian yang merupakan salah satu unsur kebudayaan keberadaannya sangat diperlukan manusia dalam pemenuhan kebutuhan. Pada umumnya kesenian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat bersifat sosio-religius, yang bermaksud bahwa kesenian tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sosial dan memiliki kepentingan yang erat kaintannya dengan kepercayaan masyarakat yang bersangkutan. Kesenian juga merupakan sesuatu yang hidup senapas dengan mekarnya rasa keindahan yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke masa, dan hanya dapat dinilai dengan ukuran rasa. 2 Bakker berpendapat bahwa kesenian merupakan suatu keindahan/estetika yang mewujudkan nilai rasa dalam arti luas. Kesatuan manusia yang terdiri atas budi dan badan tidak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai dengan akal murni saja. Rasa mempunyai kepekaan terhadap kenyataan yang tidak ditemukan oleh akal. Adanya kecenderungan bahwa manusia itu dapat menerima suatu keindahan yang salah satunya adalah kesenian. 3 1 Koentjaraningrat., Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 204. 2 Timbul Haryono., “Sekilas Tentang Seni Pertunjukan Masa Jawa Kuna: Refleksi dari Sumber-Sumber Arkeologis”, dalam JAWA: Majalah Ilmiah Kebudayaan volume 1, tahun 1999, (Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa), hlm. 92. 3 Bakker SJ, J.W.M., Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, (Jakarta dan Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius, 1994), hlm. 47.
29
Embed
BAB II PERKEMBANGAN SINDEN DI YOGYAKARTAabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0511006_bab2.pdf · dengan akal murni saja. ... “Sekilas Tentang Seni Pertunjukan Masa Jawa Kuna: ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
15
BAB II
PERKEMBANGAN SINDEN DI YOGYAKARTA
A. Kesenian Tradisional di Yogyakarta
1. Pengertian Kesenian
Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang bersifat universal.1
Kesenian yang merupakan salah satu unsur kebudayaan keberadaannya sangat
diperlukan manusia dalam pemenuhan kebutuhan. Pada umumnya kesenian yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat bersifat sosio-religius, yang
bermaksud bahwa kesenian tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sosial dan
memiliki kepentingan yang erat kaintannya dengan kepercayaan masyarakat yang
bersangkutan. Kesenian juga merupakan sesuatu yang hidup senapas dengan
mekarnya rasa keindahan yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke
masa, dan hanya dapat dinilai dengan ukuran rasa.2
Bakker berpendapat bahwa kesenian merupakan suatu keindahan/estetika
yang mewujudkan nilai rasa dalam arti luas. Kesatuan manusia yang terdiri atas
budi dan badan tidak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai
dengan akal murni saja. Rasa mempunyai kepekaan terhadap kenyataan yang
tidak ditemukan oleh akal. Adanya kecenderungan bahwa manusia itu dapat
menerima suatu keindahan yang salah satunya adalah kesenian.3
1 Koentjaraningrat., Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta,
1990), hlm. 204. 2 Timbul Haryono., “Sekilas Tentang Seni Pertunjukan Masa Jawa Kuna:
Refleksi dari Sumber-Sumber Arkeologis”, dalam JAWA: Majalah Ilmiah
Kebudayaan volume 1, tahun 1999, (Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa), hlm. 92. 3 Bakker SJ, J.W.M., Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, (Jakarta
dan Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius, 1994), hlm. 47.
16
Munculnya kesenian biasanya secara spontanitas menurut situasi dan
kondisi dalam masyarakat tersebut. Sebagai contoh, apabila mata pencaharian
masyarakat itu di sektor pertanian atau bertani maka isi kesenian itu ditujukan
untuk kepentingan pertanian, dan apabila masyarakat hidup sebagai nelayan, maka
kesenian itu juga disesuaikan dengan kehidupan nelayan. Begitu juga di
Yogyakarta yang merupakan pusat kebudayaan Jawa, maka kesenian-kesenian
atau seni pertunjukan yang ada dan berkembang pesat, bersifat serimonial.
Kesenian Jawa yang merupakan refleksi estetis orang Jawa dalam
berinteraksi dengan lingkunganya, tidak terpisah dari pola kulturnya yang
makrokosmis. Karena itu seni adalah simbol kosmis, dan bentuk karyanya
dikategorikan fundamental eksistensi manusia, yang menyajikan struktur
pengetahuan tentang yang ada (being), kepercayaan agraris dan nilai. Dengan
demikian seni tidak bersifat otonom, melainkan berakar dari filosofi kehidupan
kolektif masyarakatnya.
Kesenian tradisional terbagi menjadi dua, yakni kesenian tradisional
keraton/istana dan kesenian kerakyatan. Kesenian istana berciri formal, halus,
terikat, aturan ketat, runtut dan mendetail, serta sering disebut dengan kesenian
adiluhung (adi “bagus, utama, indah”, luhung “agung, hebat”). Karena kesenian
istana adalah simbol kosmis, tidak otonom, dan berakar dari filosofi kehidupan
masyarakatnya. Sedangkan kesenian rakyat pedesaan bersifat sederhana dan
spontan, tidak resmi, serta punya hubungan erat dengan “konsep-konsep religius
kuna”.
Pada hakekatnya, kesenian Jawa yang asli dan indah selalu terdapat di
dalam lingkungan istana raja dan di daerah-daerah Jawa sekitarnya. Pulau Jawa
17
khususnya kota Yogyakarta memiliki kesenian khas dan kebudayaan yang tinggi,
bahkan merupakan pusat serta sumber kesenian di Indonesia. Yogyakarta
merupakan satu daerah di Jawa Tengah yang apabila dilihat dari segi kesenian
sangatlah unik dan menarik, ini dikarenakan daerah ini masih dipimpin oleh
seorang Sultan yang masih memegang teguh adat istiadat khususnya kesenian.
2. Seni Pertunjukan
a. Sejarah Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan tradisional Jawa sudah dikenal sejak lama. Di dalam
beberapa relief maupun prasasti disebutkan beberapa bentuk pahatan ataupun
ukiran yang menggambarkan bagaimana masyarakat Jawa telah berkesenian.
Bahkan di dalam relief-relief di candi-candi tertentu ditemukan pula beberapa
penggambaran bentuk-bentuk instrumen musik yang berupa kecapi dan
celempung pada candi Jago, reyong di candi Ngrimbi, kendhang di candi
Tegawangi, gong pada candi Kedato dan candi Panataran, bendhe dan terompet
pada candi Sukuh, dan sebagainya. Bila dilihat berdasarkan data yang
dikumpulkan dan diperoleh gambaran sekilas tentang bagaimana seni pertunjukan
masa Jawa Kuna sekitar abad V-XVI yang meliputi seni musik gamelan, seni tari
dan lawak topeng, serta wayang.4
Seni pertunjukan yang dikenal dalam masyarakat adalah bentuk seni yang
ingin dipertunjukkan kepada masyarakat. Seni pertunjukan itu lahir dari
4 Timbul Haryono., “Wayang Dan Jati Diri Bangsa, Sebuah Renungan”,
dalam Makalah Seminar Balai Kajian Jarahnitra, (Yogyakarta: P2NB, 1999),
hlm. 100.
18
masyarakat, dan ditonton oleh masyarakat.5 Itu berarti bahwa seni pertunjukan
lahir dan dikembangkan oleh masyarakat, apabila ini benar dalam masyarakat
hadir berbagai sistem sosial yang menggerakkan dinamika masyarakat (sistem
kepercayaan, sistem sosial, sistem kekuasaan dan sebagainya), maka seni
pertunjukan yang tumbuh dan berkembang itu tidak bisa dan tidak pasti
dipengaruhi oleh sistem yang berkembang dalam masyarakat, intinya masyarakat
mempunyai pengaruh dalam perkembangan seni pertunjukan.
Tradisi diartikan sebagai adat kebiasaan yang dilakukan dalam masyarakat
dan setiap tempat atau daerah yang berbeda. Keseluruhan gagasan yang berasal
dari masa lalu yang masih ada pada masa kini benar-benar belum dilupakan,
gagasan tersebut disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini serta
kebiasaan yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Kebiasaan
yang diwariskan mencakup berbagai nilai budaya yang meliputi adat istiadat dan
kepercayaan.
Masyarakat pedesaan cenderung lebih erat hubungannya dengan berbagai
macam tradisi yang harus dipertahankan keberadaanya sesuai warisan nenek
moyang. Apabila masyarakat diidentifikasi sebagai masyarakat agraris maka
masyarakat agraris cenderung tidak berani berspekulasi dengan alternative yang
baru. Kata tradisi banyak mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan kesenian.
Hasil kesenian tradisi merupakan pewarisan yang dilimpahkan oleh masyarakat
berasal dari angkatan tua kepada angkatan muda. Kriteria yang menentukan bagi
5 Umar Kayam., Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa Dan Perubahan,
Ketika Orang Jawa Nyeni. Syafri Sairin Dan Heddy Shri Ahimsa Putra (ed.),
(Yogyakarta: Galang Press, 2000), hlm. 1.
19
konsep tradisi diciptakan melalui tindakan dan kelakuan manusia melalui pikiran
dan imajinasi manusia diteruskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya.6
Seni tradisional khususnya pertunjukan rakyat tradisional yang dimiliki,
hidup dan berkembang dalam masyarakat sesungguhnya mempunyai fungsi
penting, hal itu terlihat terutama dalam dua segi, yaitu daya jangkau
penyebaranya, dan fungsi sosialnya. Dari penyebaran seni pertunjukan rakyat
memliki wilayah jangkauan yang meliputi seluruh lapisan masyarakat, dari segi
fungsionalnya, daya tarik seni pertunjukan rakyat terletak pada kemampuan
sebagai pembangunan dan pemeliharaan solidaritas kelompok.7
Dalam perkembangan kebudayaan termasuk di dalamnya perkembangan
kesenian (seni pertunjukan) juga tidak lepas dengan derasnya pertumbuhan
industrialisasi. Industrialisasi akan mengakibatkan pula berkembangnya
kebudayaan massa seperti acara-acara TV, musik populer, bioskop, kaset dan
video. Hasil kebudayaan seperti itu adalah budaya komersial, selalu bercorak
hiburan, tidak rumit, serta berciri baru (modern) dan pada umumnya mengundang
penonton yang banyak. Jadi kebudayaan massa adalah kebudayaan yang telah
dikemas oleh pembuatnya, diproduksi sesuai dengan kebutuhan pasar dan
besarnya penikmat. Oleh karena itu, pada zaman “modern” seperti sekarang ini
seni pertunjukan tradisional mendapat dua pesaing yaitu (1) seni pertunjukan
modern dan (2) seni pertunjukan massa.
Keberadaan seni pertunjukan tradisional, khususnya seni pertunjukan
tradisional Jawa sekarangpun mulai mengalami perkembangan serta pergeseran
6 Jaecken Maspermana Putra., Dinamika Social Budaya Seniman
Dongkrek Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun Tahun 1982-2009, (Surakarta:
Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa UNS, 2014). 7 Umar Kayam., op.cit., hlm. 340.
20
sesuai dengan kondisi zamannya. Apabila hal ini tidak dilakukannya sudah tentu
seni pertunjukan tradisional akan tersingkir sendiri dari penontonnya dan lama-
kelamaan akan hilang dengan sendirinya. Namun demikian yang penting dalam
mempertontonkan seni pertunjukan adalah bagaimana kesenian tersebut dapat
memberikan suatu pesan nilai tertentu kepada para penontonnya.
Djelantik berpendapat, munculnya seni pertunjukan asal mulanya dari
kegiatan ritual yang dibutuhkan oleh manusia setelah ia mampu memikirkan
tentang keberadaannya di dunia. Oleh karena mampu memberi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masalah keduniawian, ia beralih
kepada kepercayaan akan perlindungan oleh leluhur dan kekuatan-kekuatan yang
ada di alam semesta, yang mengatur alam dan kehidupan manusia.
Kekuatan-kekuatan itu dibayangkan sebagai dewa atau roh, dimana
manusia dapat meminta pertolongan sewaktu diperlukan, misalnya pada waktu
terjadi wabah penyakit, bencana alam, kekeringan, dan sebagainya. Untuk
menjalin hubungan dengan kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan pemujaan atau
persembahyangan dan tindakan-tindakan yang bersifat ritual, yang dimaksudkan
untuk lebih meyakinkan dirinya dan masyarakat sekitarnya akan terjadinya
hubungan spiritual itu. Untuk itu, ucapan-ucapan diperkuat dan diperindah
menjadi nyanyian yang kemudian dibantu dengan iringan suara benda-benda
seadanya seperti: kayu atau bambu. Namun dalam perkembangan selanjutnya
benda-benda tersebut ada yang dibuat dari logam. Dengan bernyanyi lebih lama
maka terciptalah ritma (irama), demikian pula dengan perubahan-perubahan nada,
maka terciptalah lagu. Lagu dan ritme mengundang gerakan badan pada waktu
melakukan upacara, dengan demikian maka terciptalah seni tari dan seni
21
karawitan bersamaan dengan ritual yang dilaksanakan. Semua hal yang dilakukan
itu sempat ditonton oleh masyarakat, sehingga tanpa sengaja terciptalah seni
pertunjukan.8
Bentuk seni pertunjukan ritual yang juga mengandung peran sebagai
media pendidikan budi pekerti adalah seni pertunjukan wayang ritual. Hal ini
dikarenakan seni pertunjukan untuk adegan ritual atau ruwatan untuk sesuatu,
sedangkan cerita wayangnya tetap sebagai bentuk cerita untuk media pendidikan
budi pekerti. Oleh karena itu, masyarakat Jawa sering dianggap masyarakat yang
penuh filosofi karena selalu menampilkan simbolisme dan makna yang tersirat
sebagai media pendidikan dalam setiap pementasan seni pertunjukan wayang kulit
maupun seni pertunjukan lain.
b. Tantangan Seni Pertunjukan
Keberadaan seni tradisi dan seniman semakin memprihatinkan. Panggung-
panggung hiburan tempat seni tradisi pentaspun juga semakin banyak yang tutup,
gulung tikar dan tidak beroperasi lagi. Di sisi lain, para senimannya pun sudah
semakin kehilangan akan jati dirinya sebagai seniman, karena paling tidak para
seniman dituntut untuk lebih berkreasi maupun bermotivasi dalam upaya
menyiasati era global sekarang ini, agar kesenian tradisional dapat tetap bertahan
hidup. Keberadaan seni pertunjukan tradisional ternyata sangat ditentukan oleh
dua hal yang penting, yaitu:
8 Djelantik, A.A.M., “Seni Pertunjukan Ritual dan Politik”, dalam
GELAR: Jurnal Ilmu dan Seni STSI Surakarta. Volume 2 No. 1 Oktober 1999,