BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konservasi Salah satu upaya yang dianggap efektif untuk dilakukan dalam melindungi ekosistem dan sumberdaya adalah dengan menetapkan kawasan konservasi yang bertujuan melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses- proses ekologi. Kawasan Konservasi Laut (KKL) meliputi; Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Daerah Perlindungan Laut (DPL), dan Suaka Perikanan (SP). Tujuan dari penetapan kawasan konservasi yang tertera dalam pasal 3 Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH Tahun 1990) yang dikutip oleh Hardjasoemantri (1991) adalah sebagai berikut: “Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia”. Hingga Tahun 2009, jumlah KKL di Indonesia berjumlah 89 dengan luas keseluruhan adalah 22.175.609 ha. Jumlah dan luasan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di Indonesia Tahun 2009 secara terperinci dapat dilihat pada lampiran 2. 2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi Kawasan konservasi di pesisir dan laut memiliki peran utama sebagai berikut (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001): 1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem. 2. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.
20
Embed
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 ... fileadalah menetapkan batas-batas atau zona-zona. Hal ini menjadi penting karena penentuan zona ini akan menentukan siapa
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
5
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konservasi
Salah satu upaya yang dianggap efektif untuk dilakukan dalam melindungi
ekosistem dan sumberdaya adalah dengan menetapkan kawasan konservasi yang
bertujuan melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan
kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-
proses ekologi. Kawasan Konservasi Laut (KKL) meliputi; Kawasan Konservasi
Laut Daerah (KKLD), Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut
(TWAL), Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Daerah
Perlindungan Laut (DPL), dan Suaka Perikanan (SP). Tujuan dari penetapan
kawasan konservasi yang tertera dalam pasal 3 Undang-undang Konservasi Hayati
(UUKH Tahun 1990) yang dikutip oleh Hardjasoemantri (1991) adalah sebagai
berikut:
“Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia”.
Hingga Tahun 2009, jumlah KKL di Indonesia berjumlah 89 dengan luas
keseluruhan adalah 22.175.609 ha. Jumlah dan luasan Kawasan Konservasi Laut
(KKL) di Indonesia Tahun 2009 secara terperinci dapat dilihat pada lampiran 2.
2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi
Kawasan konservasi di pesisir dan laut memiliki peran utama sebagai
berikut (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001):
1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi
ekosistem.
2. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi
daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan, meningkatkan
kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.
6
3. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat
menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang
bernilai ekologis dan estetika.
4. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan
konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat
terhadap ekosistem pesisir dan laut, menyediakan tempat yang relatif tidak
terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan
penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi
laut dan dampak aktivitas menusia terhadap keanekaragaman hayati laut.
5. Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan
konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam mempertahankan basis
ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara
optimal dan berkelanjutan.
Pada pasal empat dari UUKH Tahun 1990 dinyatakan bahwa konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan
kewajiban pemerintah serta masyarakat. Artinya bahwa pengelolaan kawasan
konservasi dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk masyarakat. Namun dalam
kenyataannya, yang lebih berwenang adalah pihak pemerintah baik pusat maupun
daerah yang menyatakan dirinya sebagai pihak yang mencetuskan dan pemilik
kawasan konservasi sedangkan masyarakat terbatas dalam hal pengelolaan.
Mengingat pentingnya kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara khusus masyarakat lokal maka
masyarakat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan
konservasi. Hal ini nantinya akan berimplikasi dalam penerapan proses konservasi
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring.
2.1.1.2 Penetapan Zona Kawasan Konservasi
Sistem zonasi kawasan konservasi adalah pembagian wilayah di dalam
kawasan menjadi zona-zona guna menentukan kegiatan-kegiatan pengelolaan
yang diperlukan secara tepat dan efektif dalam rangka mencapai tujuan
7
pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya
(DEPHUT 1995 dikutip Manoppo 2002).
Masalah yang penting dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi
adalah menetapkan batas-batas atau zona-zona. Hal ini menjadi penting karena
penentuan zona ini akan menentukan siapa pelaku yang berhak mengelola dan
memanfaatkan bahkan hal ini bisa memicu terjadinya konflik. Menurut Bengen
(2001), secara umum zona-zona di kawasan konservasi dikelompokkan menjadi
tiga zona yaitu:
1. Zona inti atau zona perlindungan: habitat di zona ini memiliki nilai
konservasi yang tinggi oleh karena itu zona ini harus dikelola dengan tingkat
perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas
manusia khususnya mengeksploitasi.
2. Zona penyangga: zona ini bersifat lebih terbuka tetapi tetap dikontrol dan
beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga di
sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi
dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang mengganggu dan melindungi
kawasan dari pengaruh eksternal.
3. Zona pemanfaatan: lokasi ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tetapi
dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi
beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan
konservasi.
Penetapan zonasi di atas hampir berlaku di seluruh kawasan konservasi di
Indonesia walaupun ada kawasan yang memiliki batas zonasi lebih dari ketiga
zona di atas. Ketika penetapan zonasi dilakukan menjadi hal yang penting untuk
diperhatikan adalah komunitas lokal atau masyarakat pesisir yang beroperasi di
zona-zona tersebut. Banyak kasus dilapangan membuktikan, area yang sering
dilalui nelayan lokal harus di ambil dan dijadikan zona terlindungi bahkan nelayan
tersebut tidak boleh melintas atau beroperasi di area tersebut. Padahal area yang
termasuk zona terlindungi merupakan area yang sudah sejak lama mereka
manfaatkan dan kelola. Hal ini lah yang justru menimbulkan konflik, sehingga
ketika penetapan zonasi harus melibatkan peran masyarakat lokal guna
meminimalisir konflik yang akan terjadi.
8
2.1.2 Daerah Perlindungan Laut
2.1.2.1 Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL
Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah salah satu bentuk pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai area larang ambil (no
take zone area) dan dikelola oleh masyarakat lokal (Coremap II 2009). Daerah
Perlindungan Laut yang yang dikelola oleh masyarakat lokal disebut DPL-BM
(Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat). DPL-BM merupakan daerah
pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari
kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat
setempat. Demikian pula kegiatan manusia di dalam kawasan DPL-BM diatur
atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan, dan larangan kegiatan
tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk
peraturan kampung (Coremap II 2009).
Prinsip dasar dari DPL adalah zona larang ambil bersifat permanen dan tidak
untuk dibuka pada waktu-waktu tertentu. Daerah Perlindungan Laut dimaksudkan
untuk :
1. Mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan
pesisir, khususnya bagi terumbu karang dan mangrove (Salm et al. 2000
dikutip Setianingsih 2010)
2. Melindungi spesies langka dan habitatnya, serta mempertahankan produksi
perikanan (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)
3. Dapat merehabilitasi/menjaga sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak
(Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)
4. Mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan
perekonomian/pendapatan bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000 dikutip
Setianingsih 2010; Coremap II 2009)
5. Mendidik masyarakat lokal dalam hal perlindungan laut/konservasi sehingga
dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat
(Coremap II 2009)
DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas
perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin
9
mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu
karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan
memberikan kesempatan kepada terumbu karang dan organisme laut lainnya yang
sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Nantinya
kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi, menyediakan tempat hidup dan
makanan bagi ikan-ikan untuk hidup, makan, tumbuh, dan berkembang biak.
Sumber : DKP Raja Ampat (2009)
Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut
2.1.2.2 Manfaat dan Sistem Zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL)
COREMAP II (2008) menyatakan bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari
Daerah Perlindungan Laut diantaranya adalah, (i) meningkatkan hasil tangkapan
perikanan lokal, (ii) keuntungan ekonomis karena pemeliharaan ikan yang lebih
baik, (iii) menciptakan kesempatan kerja, dan (iv) membantu penegakan aturan.
DPL harus memiliki zona inti, yaitu suatu areal yang di dalamnya kegiatan
penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya lainnya sama sekali
tidak diperbolehkan (no take zone area). Begitu juga kegiatan yang dapat merusak
terumbu karang di zona inti seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar, serta
penggunaan galah untuk mendorong perahu di atas terumbu karang juga dilarang.
Aturan larang ambil sangat penting di zona inti. Namun demikian, keputusan
pelarangan tersebut tergantung pada keinginan masyarakat itu sendiri.
10
Pada umumnya, DPL-BM memiliki zona inti dan zona penyangga. Zona
penyangga adalah suatu kawasan di sekeliling zona inti yang memperbolehkan
beberapa jenis kegiatan, termasuk penangkapan ikan. Penangkapan yang
diperbolehkan adalah dengan menggunakan cara tradisional seperti memancing,
memanah, dan menggunakan perahu tradisional. Kegiatan penyelaman dengan
menggunakan scuba dan snorkeling juga diizinkan. Sementara itu, kegiatan
penangkapan ikan secara komersil seperti penggunaan perahu berlampu, dan
penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang tetap
dilarang dalam zona penyangga ini (Coremap II 2009).
2.1.2.3 Proses Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL)
Daerah Perlindungan Laut ditetapkan dengan tujuan menjamin keberlanjutan
dari sumberdaya laut dan memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai
pengelola utama. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM)
dibuat dan ditetapkan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat
melalui suatu peraturan yang disepakati bersama atau kesepakatan kampung.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam pembentukan DPL adalah sebagai
berikut (Coremap II 2009):
1. Pengenalan masyarakat dan identifikasi isu
Langkah ini merupakan upaya mengajak masyarakat memahami peran DPL-
BM dan manfaat yang diperoleh. Kemudian mengidentifikasi isu dengan
mengumpulkan data dasar mengenai kondisi desa dan mengidentifikasi isu
utama.
2. Persiapan program DPL-BM
Pada langkah kedua, kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan lingkungan
hidup terhadap masyarakat lokal, pelatihan yang bertujuan membangun
kapasitas masyarakat, pemetaan terumbu karang, dan pembentukan
kelompok pengelola DPL-BM.
3. Konsultasi dan pembuatan aturan
Langkah ini dilakukan secara formal dan informal demi mendapatkan
kesepakatan terhadap, lokasi DPL, zona DPL, ukuran atau luasan DPL, hal-
11
hal yang dilarang dan diperbolehkan dalam zona yang ditetapkan, sanksi dan
kewajiban pengelola, serta rancangan peraturan desa.
4. Persetujuan aturan
Ketika masyarakat dan pihak yang berkepentingan telah bersepakat untuk
membentuk DPL maka selanjutnya adalah membuat persetujuan aturan yang
telah didiskusikan. Aturan desa tentang DPL-BM ditetapkan secara formal
melalui peraturan desa yang didukung mayoritas masyarakat setempat,
ditandatangani oleh pemerintah desa dan lembaga-lembaga perwakilan di
desa dan diteruskan kepada Kepala Kecamatan dan Bupati .
5. Pelaksanaan dan pemantauan
Langkah terakhir yang dilakukan adalah pemasangan tanda batas permanen;
pemasangan papan peraturan dan informasi; peresmian DPL; patroli dan
pemantauan secara rutin; pelaksanaan dan penegakan peraturan DPL; serta
evaluasi.
Secara umum, konsep yang diterapkan oleh Coremap dalam proses
pembentukan DPL-BM adalah mengikuti siklus pengelolaan sumberdaya pesisir,
mulai dari identifikasi isu, persiapan perencanaan, pendanaan dan adopsi formal,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.
Sumber : DKP Raja Ampat (2009)
Gambar 2. Siklus Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
12
2.1.2.4 Penentuan Lokasi dan Ukuran DPL
Adapun beberapa syarat penentuan lokasi dan ukuran Daerah Perlindungan
Laut yang digunakan oleh Coremap II Kabupaten Raja Ampat, antara lain adalah
(Coremap II 2008):
1. Kondisi tutupan karang hidup (karang keras dan lunak) dalam kondisi yang
baik (tutupan karang di atas 50 persen)
2. Kepadatan ikan dan keanekaragaman organisme laut lainnya cukup tinggi
3. Merupakan terumbu karang “sumber” (source reef)
4. Mencakup 10 persen-20 persen dari keseluruhan habitat terumbu karang
yang ada di wilayah suatu desa
5. Habitat terumbu karang yang mencakup rataan dan kemiringan karang dan
secara ideal memiliki lamun dan habitat mangrove (tetapi tidak harus selalu
memiliki lamun dan mangrove)
6. Suatu kawasan yang diketahui merupakan tempat ikan bertelur
7. Lokasinya masih berada dalam jangkauan penglihatan masyarakat sehingga
mudah diamati dan memudahkan pemantauan serta penerapan aturan yang
berlaku
2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat
Melimpahnya sumberdaya alam pesisir dan laut yang dimiliki Indonesia
tentunya memerlukan strategi pengelolaan yang dapat secara efektif
meningkatkan kuantitas di segala bidang, baik ekonomi masyarakat maupun
konservasi dan kelestarian sumberdaya alam. Upaya tersebut dilatar belakangi
oleh kenyataan bahwa pendekatan dari atas (top down) yang menempatkan
pemerintah sebagai pemegang peran utama, terbukti tidak efektif. Menurut Perez
(1995) seperti dikutip oleh Saad (2003), proses pengelolaan tersebut
mengakibatkan hilangnya sistem masyarakat dan tata nilai yang sudah berlaku
secara turun temurun.
Hal tersebut mendorong para ahli untuk merekomendasikan pengembangan
pengelolaan bersama atau pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (community
based fisheries management). Saad (2003) mendefinisikan pengelolaan perikanan
berbasis masyarakat sebagai pembagian tanggung jawab dan otoritas antara
13
pemerintah setempat dan sumberdaya setempat (local community) untuk
mengelola sumberdaya perikanan. Secara formal dan informal, pengelolaan model
ini diwujudkan dalam bentuk penyerahan hak milik (property rights) atas
sumberdaya perikanan kepada masyarakat. Selain itu menurut Ruddle (1999)
seperti dikutip oleh Ruddle dan Satria (2010), unsur-unsur pengelolaan
sumberdaya perikanan berbasis masyarakat antara lain :
1. Territorial Boundary (batasan wilayah)
2. Rules (peraturan)
3. Authority (kewenangan)
4. Monitoring (pengawasan)
5. Sanctions (sanksi)
2.1.4 Hak Kepemilikan
Ketika berbicara pemanfaatan dan pengelolaan suatu kawasan konservasi
ataupun sumberdaya alam secara umum, maka tidak terlepas dari konteks hak
kepemilikan para pengguna terhadap sumberdaya alam yang akan dimanfaatkan.
Dengan adanya kejelasan akan hak milik seseorang maka akan menentukan dan
membatasi sejauh mana ia dapat mengambil dan mengelola sumberdaya dan juga
dapat menjauhi terjadinya konflik kepentingan atas sumberdaya alam yang
menjadi objek. Hak-hak tersebut akan menentukan status kepemilikan seseorang
atau kelompok atas sumberdaya.
Menurut Ostrom dan Schlager yang dikutip Satria (2009), terdapat lima tipe
hak-hak dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu:
1. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya
yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non
ekstraktif.
2. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan
sumberdaya.
3. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam
pengelolaan sumberdaya.
14
4. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain.
5. Hak pengalihan (alienation right) adalah hak untuk menjual atau
menyewakan sebagian atau seluruh hak kolekif tersebut di atas.
Terkait dengan hak kepemilikan atas sumberdaya, maka penting untuk
diketahui rezim-rezim kepemilikan yaitu akses terbuka (open access), negara
(state property), swasta (private property), dan masyarakat (communal property).
Tabel 1. Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di Indonesia
Rezim
kepemilikan
Keterangan
Akses terbuka
(open access)
Akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, siapa,
kapan, dimana, dan bagaimana terjadinya persaingan
bebas. Pada rezim ini, tragedy of the commons sering
terjadi. Selain itu kerusakan sumberdaya, konflik antara
pelaku, dan kesenjangan ekonomi pun mengikutinya.
Negara (state
property)
Hak kepemilikan berada di tingkat daerah hingga pusat
dan berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup
orang banyak. Pada rezim ini sering terjadi konflik antara
pemerintah pusat dan daerah atau dengan pihak lainnya.
Swasta (private
property)
Hak kepemilikan lebih bersifat temporal atau dalam jangka
waktu tertentu karena izin pemanfaatan yang diberikan
pemerintah. Rezim ini sangat berpotensi menimbulkan
konflik dengan masyarakat setempat dan terjadinya kesenjangan ekonomi.
Komunal atau
masyarakat
Rezim ini ditandai oleh hak kepemilikan yang sifatnya
sudah turun temurun, lokal, dan spesifik. Peraturan yang
ada dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan
pelaksanaannya lebih efektif. Kekurangan rezim ini adalah
lemahnya legitimasi secara formal dari pemerintah atas aturan-aturan lokal yang ada.
Sumber : Satria (2009)
Hak-hak di atas dikategorikan berdasarkan dimiliki atau tidaknya hak
tersebut oleh setiap pemangku kepentingan. Orang yang memiliki hak tersebut
juga diklasifikasikan ke dalam lima kategori, seperti tertera pada tabel dibawah
ini:
15
Tabel 2. Status Hak Kepemilikan
Hak Milik Owner Proprietor Claimant Authorized
user
Authorized
entrant
Access x x x x x
Withdrawal x x x x
Management x x x
Exclusion x x
Alienation x
Sumber : Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Satria (2009)
2.1.5 Analisis Kesejahteraan Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal atau berada di
wilayah pesisir, dan sebagian besar hidupnya bergantung pada kekayaan
sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir. Secara turun temurun mereka
bermata pencaharian sebagai nelayan, pedagang antar pulau, dan lain-lain.
Nikijuluw (2005) menggolongkan masyarakat pesisir dalam dua tipe kelompok
yaitu kelompok non-perikanan (penjual jasa pariwisata, jasa transportasi, dan yang
memanfaatkan sumberdaya non hayati laut dan pesisir) dan kelompok perikanan
(nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan, dan pedagang ikan).
Secara umum, yang menjadi pembeda masyarakat pesisir dengan
masyarakat desa dan kota adalah dari aspek kondisi sosial dan ekonomi mereka
yang umumnya terbelakang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003). Penyebab
dari kemiskinan masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa faktor, diantaranya
adalah :
1. Tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, dan akses
terhadap pasar (Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).
2. Pendapatan yang relatif rendah (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003;