22 BAB II PEMBAHASAN Sebelum mengkaji lebih dalam mengenai analisis penulis terkait permasalahan atau problematika pekerja (kreditor) sebagai pemohon kepailitan perusahaan tempatnya bekerja (debitor), penting untuk memahami konsep hukum kepailitan. Oleh karena kepailitan digunakan sebagai pranata hukum untuk menyelesaikan sengketa utang piutang oleh pekerja terhadap perusahaan, maka pekerja harus memenuhi syarat pengajuan permohonan pailit baik syarat formil maupun materil. Syarat formil dan materil digunakan sebagai kaidah untuk menentukan apakah permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan ataupun ditolak. Syarat formil terdiri dari dua komponen, yaitu kompetensi Pengadilan Niaga dan pembuktian sederhana. Sedangkan syarat materil terdiri dari tiga komponen, yaitu adanya debitor, adanya dua kreditor atau lebih dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam satu syarat materil, menyatakan bahwa salah satu pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah kreditor. Untuk dapat menjelaskan bahwa pekerja dapat menjadi kreditor oleh karena tidak terpenuhinya hak normatif yang seharusnya diterima oleh karena Pemutusan Hubungan Kerja oleh perusahaan sehingga besarnya hak normatif yang dapat ditentukan dalam bentuk sejumlah uang tersebut dikategorikan sebagai utang dalam arti luas. Oleh karena itu, dalam bab ini lebih mentitikberatkan pada
89
Embed
BAB II PEMBAHASAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16062/2/T1_312014067_BAB II... · Niaga dan pembuktian sederhana. Sedangkan syarat materil terdiri dari
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
22
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum mengkaji lebih dalam mengenai analisis penulis terkait
permasalahan atau problematika pekerja (kreditor) sebagai pemohon kepailitan
perusahaan tempatnya bekerja (debitor), penting untuk memahami konsep hukum
kepailitan. Oleh karena kepailitan digunakan sebagai pranata hukum untuk
menyelesaikan sengketa utang piutang oleh pekerja terhadap perusahaan, maka
pekerja harus memenuhi syarat pengajuan permohonan pailit baik syarat formil
maupun materil. Syarat formil dan materil digunakan sebagai kaidah untuk
menentukan apakah permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan ataupun
ditolak. Syarat formil terdiri dari dua komponen, yaitu kompetensi Pengadilan
Niaga dan pembuktian sederhana. Sedangkan syarat materil terdiri dari tiga
komponen, yaitu adanya debitor, adanya dua kreditor atau lebih dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Dalam satu syarat materil, menyatakan bahwa salah satu pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit adalah kreditor.
Untuk dapat menjelaskan bahwa pekerja dapat menjadi kreditor oleh karena
tidak terpenuhinya hak normatif yang seharusnya diterima oleh karena Pemutusan
Hubungan Kerja oleh perusahaan sehingga besarnya hak normatif yang dapat
ditentukan dalam bentuk sejumlah uang tersebut dikategorikan sebagai utang
dalam arti luas. Oleh karena itu, dalam bab ini lebih mentitikberatkan pada
23
pembahasan mengenai hubungan antara tuntutan atas hak normatif pekerja dan
kedudukan kreditur dalam proses kepailitan, bagaimana kedudukan hukum bagi
pekerja sebagai kreditor dalam proses kepailitan. Sehingga apabila pekerja
mengajukan permohonan pailit, pekerja juga memiliki kedudukan hukum (legal
standing) dalam proses kepailitan.
Oleh sebab itu, sistematika penulisan dalam bab ini dibagi dalam beberapa
bagian yakni sebagai berikut. Pertama, membahas mengenai latar belakang
adanya lembaga kepailitan. Kedua, membahas konsep kepailitan yang diuraikan
berdasarkan pendekatan etimologis, doktrin dan pendekatan UU. Ketiga, memuat
uraian tentang hukum acara dalam kepailitan, yang terdiri dari dua, yaitu syarat
permohonan pailit dan acara pemeriksaan pailit. Syarat permohonan pailit yang
dimaksud adalah syarat formil dan materil termasuk uraian mengenai pekerja
sebagai pemohon pailit dan perseroan terbatas sebagai termohon pailit. Keempat,
memuat uraian tentang hasil penelitian terhadap kasus-kasus kepailitan. Kelima,
memuat uraian tentang analisis yang terdiri dari tiga bagian, yaitu variasi
pertimbangan hakim dan amar putusan dalam memutus 10 (sepuluh) kasus
kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja, penetapan PHI yang
menentukan besarnya hak normatif yang diterima pekerja akibat PHK dan variasi
yang dapat dilakukan oleh pekerja agar permohonan kepailitan dapat dikabulkan.
A. Latar Belakang Lembaga Kepailitan
Banyaknya kredit macet pada sejumlah bank pada akhir tahun 1997 telah
menandai awal krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia. Kondisi ini
semakin diperparah dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar
24
Amerika, yang pernah mencapai titik terendah Rp. 15.000,00/1 US$. Seiring
dengan merosotnya nilai tukar rupiah tersebut, kemudian para debitor Indonesia
dalam membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo, baik dalam mata uang
asing ataupun rupiah juga ikut merosot. Permasalahan kredit macet ini dinilai,
selain merupakan sumber krisis moneter yang telah terjadi, juga merupakan faktor
penghambat perbaikan ekonomi Indonesia pasca krisis moneter tersebut.1
Pada tahun 1988, akibat terjadi krisis moneter di Indonesia berpengaruh
terhadap peraturan kepailitan. Faillisements Verordening (Staatsblad No. 217
Tahun 1905 Jo. Staatsblad No. 348 Tahun 1906) yang merupakan peraturan
kepailitan yang berlaku pada saat itu di Indonesia dirasakan tidak mampu lagi
untuk menyelesaikan permasalahan kredit macet tersebut. Oleh karena itu, pada
tanggal 22 April 1998 pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang (peraturan) kepailitan. Perpu tersebut mengubah dan menambah
faillisements verordening (FV) dan tidak mencabut faillisements verordening
(FV), yang kemudian menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998. Salah satu pokok penyempurnaan yang dilakukan oleh perpu
kepailitan yang disebutkan dalam penjelasan atas Undang-Undang Kepailitan
bagian umum adalah pembentukan Pengadilan Niaga yang khusus memeriksa
permohonan kepailitan dan sengketa bisnis.2
Pembentukan Pengadilan Niaga ini untuk mengatasi sistem hukum dan
kompetensi hakim pengadilan umum yang tidak mencukupi dalam memutuskan
1 Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta: Kumpulan
makalah seri Workshop Kepailitan I - IV, Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, h. v.
2 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 5-7.
25
sengketa-sengketa bisnis, terutama sengketa kepailitan. Selain itu, pembentukan
pengadilan khusus ini adalah untuk mengatasi citra negatif pengadilan umum di
Indonesia yang korup, tidak transparan dan lama dalam memutuskan suatu
perkara. Pengadilan Niaga diharapkan mampu untuk menegakkan prinsip-prinsip
keadilan, transparan, cepat, sederhana dan efektif bagi sengketa-sengketa
kepailitan. Akan tetapi setelah berjalan 6 tahun sejak awal berdiri tahun 1998
hingga 2003 minat masyarakat untuk menggunakan Pengadilan Niaga sebagai
tempat penyelesaian perkara kepailitan dirasakan mengalami penurunan.3 Hal ini
dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 1.
Jumlah perkara kepailitan yang diterima Pengadilan Niaga dari Tahun
1998-2003
Tahun Jumlah perkara yang diterima Pengadilan Niaga
1998 38
1999 100
2000 84
2001 61
2002 39
2003 38
Salah satu yang diyakini menjadi penyebab kemunduran perkembangan
Pengadilan Niaga adalah banyaknya ketidakjelasan aturan yang terdapat dalam
UU No. 4 Tahun 1998. Oleh karena itu dilakukan perubahan terhadap UU No. 4
Tahun 1998 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kepailitan yang baru dan
3 Laporan Kegiatan 1998-2003, Pengadilan Niaga-Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta,
2004, h. 10.
26
masih diberlakukan hingga saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya
disebut UU No. 37 Tahun 2004). Beberapa perubahan pokok UU No. 4 Tahun
1998 adalah (a) Perubahan akan percepatan waktu; (b) Perubahan syarat
permohonan kepailitan; (c) Perubahan para pihak pemohon; (d) Perubahan pada
prosedur permohonan pailit. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan
berbagai penafsiran sehingga diberikan batasan secara tegas mengenai pengertian
utang, pengertian kepailitan, pembatasan dalam mengajukan permohonan pailit
pada Pasal 2 ayat (5) serta syarat-syarat dan prosedur pernyataan paiit.4
B. Konsep Kepailitan
Istilah “pailit” dapat dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Latin, Belanda,
Inggris dan Perancis. Kata pailit berasal dari bahasa Latin yaitu „failure‟, dalam
bahasa Belanda digunakan istilah „failiet‟, sedangkan dalam bahasa Inggris
dipergunakan istilah „to fail‟, serta Perancis menyebut pailit dengan menggunakan
istilah „failite‟ artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan
pembayaran.5
Algra mendefinisikan bahwa kepailitan adalah “Faillissementis een
gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoeve van
zijn gezamenlijke schuldeiser”.6 (kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap
semua harta kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk melunasi utang-
4 Edward Manik, Op.Cit., h. 14-29.
5 Sunarmi, Op. Cit., h. 23.
6 Algra, N.E, Inleiding tot Het Nederlands Privaatrecht, Tjeenk Willink, Groningen, 1974, h. 425.
27
utangnya kepada kreditor (si berpiutang)). Henry Campbell Black dalam Black‟s
Law Dictionary juga mendefinisikan bahwa:
Bankrupt is the state or condition of a person (Individual,
partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its
debt as they are, or become due.7 The term includes a person
againts whom an involuntary petition has been filed, or who has
filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.8 Sedangkan
pengertian kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita
umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
Dalam pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepailitan adalah
pelaksanaan dari dua asas/prinsip dalam rezim hukum harta kekayaan yaitu
prinsip paritas creditorium (Pasal 1131 KUHPerdata) dan prinsip pari passu
prorata parte (Pasal 1132 KUHPerdata). Prinsip paritas creditorium berarti
bahwa semua kekayaan debitor baik barang bergerak atapun barang tidak
bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di
kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban
debitor. Sedangkan prinsip pari passu prorata parte adalah harta kekayaan
tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus
dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor
7 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minnesota, 1979, h.
134. 8 M. Hadi Shubhan, Op. Cit., h. 1.
28
itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima
pembayaran tagihannya.9
Walaupun dinyatakan bahwa seluruh harta kekayaan debitor (Pasal 21 UU
No. 37 Tahun 2004) menjadi jaminan bagi pelunasan utang kepada Kreditor, akan
tetapi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak berlaku terhadap:10
(a) Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh
debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya,
alat-alat medis yang digunakan unuk kesehatan, tempat tidur,
dan perlengkapannya yang digunakan oleh Debitor dan
keluargannya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari
bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; (b)
Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri
sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah,
pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang
ditentukan oleh hakim pengawas; atau (c) Uang yang diberikan
kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi
nafkah menurut undang-undang.
Ketentuan dalam UU Kepailitan bertujuan untuk melindungi hak dasar atau
hakiki yang dimiliki debitor sebagai manusia. Sehingga dengan dipailitkannya
debitor, tidak bermakna bahwa seluruh harta kekayaan debitor menjadi disita oleh
Pengadilan untuk membayar seluruh hutangnya kepada kreditor.
C. Hukum Acara dalam Kepailitan
1. Syarat Agar Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit Dapat Diterima
Adapun syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit sehingga
dapat diterima terbagi menjadi dua, yaitu syarat formil dan syarat materil.
9 Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, 2001, dalam Rudhy A. Lontoh
(ed.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, h. 168.
10 Pasal 22 UU No. 37 Tahun 2004.
29
Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka permohonan pailit yang ajukan
oleh pemohon ditolak oleh Pengadilan Niaga dimana permohonan itu diajukan.
a. Syarat Formil
Terdapat 2 (dua) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat
diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU
No. 37 Tahun 2004, yakni pengajuan permohonan pailit merupakan
kewenangan Pengadilan Niaga di tempat kedudukan debitor dan perkara
dapat dibuktikan secara sederhana.
1) Kompetensi Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga merupakan bagian dari Peradilan Umum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum juncto Pasal 1 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004. Pengadilan Niaga
mempunyai kompetensi (kewenangan) untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban
pembayaran utang. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
UU No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa :
Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal
lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-
Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum
debitor.
Selain itu, Pasal 300 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan
bahwa Pengadilan Niaga juga berwenang untuk memeriksa dan memutus
30
perkara lain di bidang perniagaan yang ditetapkan dengan undang-
undang. Pengadilan Niaga berwenang menangani perkara-perkara seperti
Hak Kekayaan Intelektual dan Lembaga Penjamin Simpanan.
2) Pembuktian sederhana
Syarat ini diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004
menyatakan bahwa:
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila
terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti secara
sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
dipenuhi.
Dalam proses pembuktian hukum kepailitan, fakta dan kenyataan
yang terbukti secara sederhana yang dimaksud adalah adanya fakta dua
atau lebih kreditor dan adanya fakta utang yang telah jatuh waktu dan
tidak dibayar. Fakta dan kenyataan tersebut harus terbukti secara
sederhana dalam jangka waktu proses sejak pengajuan permohonan
hingga dikeluarkanya putusan yaitu selama 60 hari. Apabila fakta dan
kenyataan tidak terbukti sederhana atau dengan kata lain perlu jangka
waktu yang lama untuk dapat membuktikan bahwa terdapat sengketa
utang-piutang antara debitor dan kreditor, maka esensi dari kepailitan
akan hilang. Hal ini dikarenakan kepailitan termasuk sebagai proses
acara peradilan cepat. Apabila fakta dan kenyataan tidak sederhana, maka
pihak yang berkepentingan tersebut harus mengajukan gugatan
keperdataan ke Pengadilan Negeri.
31
b. Syarat Materil
Ada 3 (tiga) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat diterima
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu:
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
1) Adanya Debitor
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.11
Debitor yang dimaksud adalah subjek hukum, baik orang perseorangan
atau orang alamiah (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechts
persoon) seperti Perseroan Terbatas. Tanpa adanya perikatan maka tidak
ada debitor sebagai si berutang yang memiliki kewajiban pembayaran
utang kepada Kreditor dan merupakan subjek utama dalam hukum
kepailitan.
2) Adanya dua Kreditor atau lebih
Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.12
Yang dimaksud dengan “kreditor” adalah baik kreditor konkuren,
kreditor separatis maupun kreditor preferen.13
Adanya dua kreditor atau
lebih yang dimaksud adalah untuk dapat mengajukan permohonan pailit
11
Pasal 1 Angka 3 UU No. 37 Tahun 2004. 12
Pasal 1 Angka 2 UU No. 37 Tahun 2004. 13
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004.
32
kepada debitor, maka debitor tersebut harus memiliki sekurangnya 2
(dua) kreditor. Jika debitor hanya berutang kepada seorang kreditor saja,
maka seluruh harta kekayaannya menjadi jaminan bagi pelunasan hutang
tersebut, serta pranata hukum yang digunakan adalah jalur gugatan
keperdataan di Pengadilan Negeri. Akan tetapi, jika debitor memiliki
lebih dari 1 (satu) kreditor maka harta kekayaan debitor haruslah dibagi
berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum kepailitan, seperti prinsip
paritas creditorum dan prinsip pari passu prorata parte.
3) Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih
Syarat ini dimaksudkan adalah apabila akan mengajukan permohonan
pailit, maka dari dua kreditor atau lebih tersebut harus memiliki minimal
adanya satu utang yang tidak dibayar lunas oleh debitor serta utang
tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Yang dimaksud dengan
“telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar
utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena
percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena
pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun
karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.14
Pengertian
“utang” sebagai syarat pengajuan permohonan pailit tercantum dalam
Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 yakni:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau
14
Ibid.
33
kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-
undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila
tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk
mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Dari definisi tersebut utang yang dimaksud dalam hukum kepailitan
adalah utang dalam arti luas atau tidak ada pembatasan, oleh karena
utang bukan hanya meliputi “utang yang timbul dari perjanjian utang-
piutang dan pinjam-meminjam” tetapi juga “utang yang timbul karena
undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah
uang.”15
Selain itu, pengertian utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih atau kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu
yang dimaksud adalah karena percepatan waktu penagihan (klausula
Cross Dwolt), pengenaan sanksi atau denda serta karena putusan
pengadilan atau arbitrase.
15
Mariske Myeke Tampi, Tanggung Jawab Organ Perseroan Terbatas dalam kasus-kasus Kepialitan, Tesis, Universitas Kristen Satya Wacana, 2012, h. 47-48.
34
Bagan 2.
Lima syarat agar permohonan pernyataan pailit dapat diterima
2. Pemohon Pailit
Pemohon pailit adalah pihak yang mengajukan permohonan pernyataan
pailit ke Pengadilan Niaga. Pihak yang dapat menjadi pemohon pailit adalah
debitor sendiri, satu atau lebih kreditor, atau oleh pihak ketiga, seperti
Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) maupun
Menteri keuangan.16
Dalam penulisan ini lebih memfokuskan pada dasar
hukum mengapa pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor sehingga
memiliki kedudukan hukum untuk menjadi pemohon pailit.
16
Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004.
Lima Syarat Agar
Permohonan
pernyataan pailit
dapat diterima
Syarat Materil
Syarat Formil
Kompetensi
Pengadlan Niaga
Pembuktian
Sederhana
Tidak membayar
lunas sedikitnya
satu utang yang
telah jatuh waktu
dan dapat tagih
Adanya 2 Kreditor
atau lebih
Adanya Debitor
35
a. Pekerja
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.17
Jika dilihat dalam UU Kepailitan tidak
disebutkan secara eksplisit bahwa pekerja dapat berkedudukan sebagai
kreditor. Hal ini dikarenakan pada Pasal 2 UU Kepailitan yang mengatur
pihak yang berkedudukan sebagai pemohon pailit, hanya mengatur kreditor
dalam arti luas atau tidak bersifat limitatif siapa yang dapat menjadi
kreditor. Akan tetapi, menurut Ricardo Simanjuntak18
pekerja termasuk
dalam salah satu golongan yang mendapat pembagian dari hasil penjualan
boedel pailit menurut urutan haknya, yaitu setelah hak preferensi separatis
dan sebelum hak preferensi khusus. Hak para kreditor untuk mendapatkan
pembagian dari hasil penjualan pailit dibagi dalam 7 (tujuh) tingkat mulai
dari hak yang paling tinggi (memiliki hak yang harus didahulukan) sampai
hak yang paling rendah yaitu sebagai berikut:
1) Hak retensi merupakan hak yang dimiliki oleh kreditor atas kewenangan
yang diberikan kepadanya untuk melakukan perbaikan ataupun
penambahan nilai dari boedel pailit. Kreditor ini berhak untuk menahan
benda (boedel pailit) yang berada di bawah kekuasaannya sebelum biaya
perbaikan terhadap boedel pailit tersebut terlebih dahulu dilunasi,19
serta
17
Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003. 18
Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, h. 301-302.
19 Pasal 61 UU No. 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 21 ayat (3) huruf b UU No. 16 Tahun
2009 tentang Perppu No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahaan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; (selanjutnya disebut UU No. 16 Tahun 2009).
36
biaya perkara yang dikeluarkan untuk pelelangan dan penyelesaian
warisan;20
2) Hak istimewa atas tagihan negara merupakan hak yang dimiliki kantor
pajak untuk mendapatkan pembayaran (tagihan pajak) dari boedel pailit
lebih dahulu dari kreditor lainnya,21
yaitu hak mendahulu untuk tagihan
pajak atas barang-barang Wajib Pajak (boedel pailit) kreditor;
3) Hak prefensi separatis merupakan hak yang dimiliki oleh kreditor-
kreditor yang memegang jaminan dalam bentuk hak tanggungan, hipotek,
gadai dan fidusia;22
4) Hak istimewa pekerja/buruh;23
5) Hak prefensi khusus bagi kreditor preferen khusus berdasarkan Pasal
1139 KUHPerdata;
6) Hak preferensi umum bagi kreditor preferen umum berdasarkan Pasal
1149 KUHPerdata;
7) Hak umum bagi kreditor konkuren untuk dibayarkan secara pro rata
berdasarkan Pasal 1132 KUHPerdata.
Dari penjelasan di atas, pekerja termasuk dalam salah satu golongan
yang mendapat pembagian dari hasil penjualan boedel pailit menurut urutan
haknya, yaitu hak yang diistimewakan oleh UU Ketenagakerjaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (4) yang berbunyi: ”Dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan
20
Pasal 21 ayat (3) huruf c UU No. 16 Tahun 2009 Jo. Pasal 1139 ayat (1) dan Pasal 1149 ayat (1) KUHPerdata.
21 Pasal 21 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 Jo. Pasal 1134 dan Pasal 1137 KUHPerdata.
22 Pasal 138 UU No. 37 Tahun 2004.
23 Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
37
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.” Dari pasal
tersebut dapat dilihat secara jelas bahwa oleh karena hak pekerja merupakan
utang, maka dalam hukum kepailitan pekerja dapat berkedudukan sebagai
kreditor oleh karena utang yang tidak dibayarkan oleh perusahaan. Utang
yang dimaksud adalah hak pekerja seperti hak atas pembayaran upah dan
hak-hak lainnya yang dimaksudkan adalah hak-hak normatif sebagaimana
diatur dalam Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003. Oleh sebab itu pekerja
dapat menjadi pemohon pailit dalam hukum kepailitan.
b. Serikat Pekerja
Walaupun tidak disebutkan secara ekspilisit dalam UU No. 37 tahun 2004
bahwa serikat pekerja dapat berkedudukan sebagai subjek yang dapat
menjadi pemohon pailit, akan tetapi berdasarkan pada Pasal 1 angka 1 UU
No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh yang
menyatakan:
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Jadi, serikat pekerja dapat mewakili pekerja untuk memperjuangkan
serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Serikat Pekerja memiliki hak
untuk mewakili pekerja dalam membuat perjanjian kerja bersama dengan
pengusaha dan mewakili pekerja dalam menyelesaikan perselisihan
38
industrial24
untuk memenuhi kewajibannya melindungi dan membela
anggota (pekerja) dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan
kepentingannya.25
Penerapan pasal tersebut dapat dilihat dalam Putusan
Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung No. 080 PK/Pdt.Sus/2009
dimana:
Para pihak PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama
Willi Josep Candra melawan Fakhur Khakam, dkk.
sebagai Pimpinan Serikat Pekerja Nasional PT. AGB yang
bertindak untuk dan atas nama seluruh anggota Serikat
Pekerja Nasional yang berjumlah 1942 orang berdasarkan
Surat Keputusan Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja
Nasional Nomor: KEP.83/A-INT/DPC SPN/III/07 dan
berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Serikat Pekerja Nasional.
Dalam amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon pailit.
Dengan kata lain, majelis hakim menyimpulkan bahwa persyaratan
permohonan pailit oleh serikat pekerja telah terpenuhi. Dengan demikian
adanya pengakuan jika serikat pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor
atau pemohon pailit dengan mewakili anggotanya (pekerja) untuk
memperjuangkan serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Hak dan
kepentingan yang dimaksud adalah hak pekerja untuk menerima pemenuhan
hak normatifnya yang tidak dibayarkan oleh perusahaan sehingga
diperlukan upaya hukum untuk mengajukan permohonan pailit yang
diwakili oleh Serikat Pekerja.
24
Pasal 25 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh.
25 Pasal 27 huruf a UU No. 21 Tahun 2000.
39
3. Hubungan Pekerja dan Kepailitan
a. Kedudukan Hukum Sebagai Kreditor
UU Kepailitan tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai
kedudukan pekerja sebagai kreditor. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan
golongan kreditor yang terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu kreditor konkuren,
kreditor preferen dan kreditor separatis26
pekerja memiliki kedudukan
sebagai kreditor preferen umum. Golongan kreditor yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1) Kreditor konkuren
Kreditor konkuren diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Kreditor
konkuren adalah para kreditor yang mendapatkan pelunasan setelah hak
dari kreditor separatis dan kreditor preferen telah terpenuhi. Kreditor
konkuren mendapatkan pelunasan berdasarkan prinsip pari passu pro
rata parte, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh
pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada
besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka
secara keseluruhan, terhadap seluruh kekayaan debitor tersebut. Dengan
demikian, para kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas
pelunasan utang dari harta debitor tanpa ada yang didahulukan.
26
Sunarmi, Op. Cit., h. 42.
40
2) Kreditor preferen
Kreditor preferen (yang diistimewakan), yaitu kreditor yang oleh undang-
undang, semata-mata karena sifat piutangnya mendapatkan pelunasan
terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai
hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang yang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi
daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata karena sifat
piutangnya (Pasal 1134 KUHPerdata). Kreditor preferen terdiri atas
kreditor preferen umum dan kreditor preferen khusus.
a) Kreditor preferen khusus
Kreditor preferen khusus adalah kreditor yang piutang-piutangnya
diistimewakan menurut prefensi khusus (Pasal 1139 KUHPerdata).
Prefensi khusus tersebut antara lain:
(1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu
penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun
tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda
tersebut, bahkan lebih dahulu daripada gadai dan hipotik;
(2) Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya
perbaikan yang menjadi kewajiban si penyewa, beserta segala apa
yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa;
(3) Harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar;
(4) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
(5) Biaya untuk melakukan pekerjaan suatu barang, yang masih harus
dibayar kepada tukang;
41
(6) Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah
penginapan sebagai demikian sebagai seorang tamu;
(7) Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan;
(8) Apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukang kayu dan
lain-lain;
(9) Penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai
yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian,
kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan dalam
jabatannya.
b) Kreditor preferen umum
Kreditor preferen umum adalah kreditor yang piutang-piutangnya
diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak yang
disebut prefensi umum (Pasal 1149 KUHPerdata). Adapun prefensi
umum didasarkan pada urutan sebagai berikut:
(1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan oleh
pelelangan dan penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini
didahulukan daripada gadai dan hipotek;
(2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan
hakim untuk menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi;
(3) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang
penghabisan;
42
(4) Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah
dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang
kenaikan upah menurut Pasal 1602 KUHPerdata;27
(5) Piutang karena penyerahan baha-bahan makanan yang dilakukan
kepada si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam
bulan yang terakhir;
(6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama, untuk tahun
yang penghabisan;
(7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang
terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka.
3) Kreditor separatis (secured creditor)
Kreditor separatis (secured creditor) yaitu kreditor pemegang hak
jaminan kebendaan yaitu gadai, hipotek, hak tanggungan dan fidusia.
Hak yang dimiliki kreditor separatis adalah hak untuk dengan
kewenangan sendiri menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa putusan
pengadilan.
Selain itu, pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-VI/2008
pekerja juga diakui memiliki kedudukan sebagai kreditor. Kreditor terbagi
menjadi empat macam, yaitu :
1) Kreditor istimewa, yaitu hak mendahului negara atas utang pajak
(penjelasan pasal 41 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004);
27
Telah diatur dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
43
2) Kreditor separatis, yaitu kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya atau
kreditor dengan jaminan (pasal 55 ayat 1 UU. No 37 Tahun 2004);
3) Kreditor preferen dengan privilege khusus, yaitu kreditor yang memiliki
hak istimewa oleh karena pembelian barang yang belum dibayar, jasa
tukang dan lain-lain;
4) Kreditor preferen dengan privilege umum, yaitu kreditor yang memiliki
hak istimewa atau hak prioritas seperti pekerja (Pertimbangan hakim 3.18
dalam Putusan MK No. 18/PUU-VI/2008 Jo. Putusan PK MA No. 080
PK/Pdt.Sus/2009);
5) Kreditor konkuren, yaitu kreditor yang tidak memiliki hak jaminan
kebendaan atau hak istimewa termasuk kreditor yang terikat perjanjian
sebelum dinyatakan pailit (Pasal 37 ayat (1) UU. No 37 Tahun 2004).
Dalam Putusan MK No. 18/PUU-VI/2008 memuat bahwa diperlukan
adanya peranan negara dalam bentuk kebijakan konkret untuk memberikan
perlindungan hak pekerja dalam hal terjadi kepailitan, dengan kata lain
dalam Putusan MK tersebut tetap mengakui bahwa kedudukan pekerja
sebagai kreditor preferen dengan privilege umum walaupun mengajukannya
tidak menghapuskan kedudukan kreditor separatis oleh karena pekerja tidak
kehilangan hak-hak atau upahnya. Akan tetapi dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pekerja memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk dapat berstatus sebagai kreditor, yaitu sebagai kreditor preferen
dengan privilege umum.
44
b. Hak Normatif Pekerja Yang Dikategorikan Sebagai Utang Dalam Arti
Luas
Pekerja memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat
berstatus sebagai pemohon pailit, yaitu sebagai kreditor preferen dengan
privilege umum oleh karena tidak dipenuhinya hak normatif oleh
perusahaan akibat dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hak normatif
yang dimaksud tercantum dalam Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yaitu : “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan
kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima.” Dalam hukum kepailitan, besarnya hak normatif sebagai
kewajiban perusahaan yang dinyatakan dalam jumlah uang dikategorikan
sebagai utang dalam arti luas. Oleh karena besarnya hak normatif dapat
dikategorikan sebagai utang, maka pekerja dapat berkedudukan sebagai
kreditor untuk mengajukan permohonan pailit.
Akan tetapi, hak normatif pekerja dapat dianggap sebagai utang
apabila terlebih dahulu telah ditentukan berdasarkan kesepakatan antara
perusahaan dan pekerja atau ditentukan oleh putusan pengadilan mengenai
besarnya uang yang harus dibayarkan debitor kepada pekerja (berkedudukan
sebagai kreditor).28
Yang dimaksud dianggap sebagai utang berdasarkan
kesepakatan antara debitor dan pekerja dapat dilihat dalam kasus PT.
Unggul Summit Particle Board Industry (selanjutnya disingkat PT. USPBI)
melawan Dewan Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit
28
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), 2009, h. 90.
45
Particle Board Industry.29
Dalam perkara tersebut, PT. USPBI telah
melakukan kesepakatan dengan Serikat Pekerja dalam bentuk Surat
Perjanjian Bersama tanggal 14 Mei 2013 yang memuat kewajiban
membayar uang pesangon, uang penggantian hak dan upah terakhir. Namun
besarnya hak normatif tersebut belum dibayarkan oleh PT. USPBI sehingga
dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan mengabulkan
permohonan. Dalam kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa majelis hakim
menyimpulkan bahwa persyaratan permohonan pailit oleh Serikat Pekerja
telah terpenuhi. Hal ini dikarenakan hak normatif sebagai kewajiban debitor
yang dinyatakan dalam sejumlah uang berdasarkan surat perjanjian bersama
tersebut yang belum dibayarkan oleh PT. USPBI dapat dikategorikan
sebagai utang.
Sedangkan yang dimaksud dianggap sebagai utang berdasarkan
putusan pengadilan yang menentukan besarnya uang yang harus dibayarkan
debitor kepada pekerja adalah dikeluarkannya putusan Pengadilan
Hubungan Industrial yang menyatakan hak normatif dalam bentuk sejumlah
uang. Misalnya dalam kasus PT. Indah Pontjan melawan Rohani, dkk.30
Dalam perkara tersebut, oleh karena PHK yang dilakukan secara sepihak
oleh perusahaan, maka para mantan pekerja mengajukan gugatan
Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) ke Pengadilan Negeri Medan.
Berdasarkan pada putusan PHI No. 04 G/2008/PHI Mdn. yang menghukum
PT. Indah Pontjan untuk membayar hak-hak mantan pekerja sebesar Rp.
148.263.300,00 (seratus empat puluh juta dua ratus enam puluh tiga ribu
29
Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 17/Pailit/2015/PN-Niaga-SBY, 26 Nopember 2015. 30
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 195 PK/Pdt.sus/2012, 30 April 2013.
46
tiga ratus rupiah) tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan
permohonan pailit, yakni besarnya hak yang seharusnya diterima tetapi
tidak dibayarkan tersebut dianggap sebagai utang. Walaupun dalam putusan
tersebut permohonan pailit ditolak dengan pertimbangan hakim
membenarkan dalil PT. Indah Pontjan bahwa belum selesainya proses
eksekusi.
4. Termohon Pailit
Termohon pailit adalah pihak yang diajukan permohonan pernyataan pailit ke
Pengadilan Niaga. Pihak yang dapat menjadi termohon pailit adalah debitor.
Debitor yang dimaksud adalah subjek hukum baik orang alamiah (natuurlijk
persoon) maupun badan hukum (recht persoon) seperti Perseroan Terbatas.
Selain itu, subjek hukum yang dapat menjadi debitor adalah bank, Perusahaan
Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,
atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.31
Akan tetapi, dalam penulisan ini lebih memfokuskan pada Perseroan Terbatas
sebagai debitor atau pihak yang berkedudukan sebagai temohon pailit.
Perseroan Terbatas
Semula Perseroan Terbatas diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan terbatas. Tetapi kemudian diganti dengan UU No. 40 Tahun 2007
yang memberikan definisi Perseroan Terbatas pada Pasal 1 angka (1), yaitu:
Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan
modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
31
Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004.
47
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-
undang ini serta peraturan pelaksananya.
Perseroan Terbatas memiliki status sebagai badan hukum (legal entity)
dengan penekanan sebagai persekutuan modal. Ini berarti, PT merupakan
subjek hukum namun bersifat artificial. Sementara itu, badan hukum ini
merupakan persekutuan modal. Sama seperti halnya subjek hukum orang
perseorangan, badan hukum memiliki sifat dapat melakukan perbuatan hukum
– yaitu perbuatan yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga dapat
dituntut maupun menuntut di muka pengadilan. Namun oleh karena badan
hukum tidak memiliki sifat alamiah yang sama dengan subjek hukum alamiah
(orang perseorangan), untuk dapat mengaktualisasikan tindakan badan hukum
memerlukan suatu organ yang berfungsi sebagai representasi.32
Fungsi
representative sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UU No. 37 Tahun 2004
untuk mewakili perseroan baik di depan maupun di luar pengadilan sebagai
persona standi in judicio adalah wewenang direksi33
(kecuali ditentukan lain
dalam anggaran dasar perseroan).
5. Acara Pemeriksaan Pailit
Asas acara pemeriksaan kepailitan adalah acara cepat maka proses
kepailitan menggunakan proses pembuktian sederhana (sumir). Permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terbukti secara sederhana (sumir)
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana yang disyaratkan
dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan terpenuhi,34
yakni terpenuhinya syarat formil dan materil. Kekhususan persidangan dalam
32
Tri Budiyono, Op. Cit., h. 31-33. 33
Ibid, h. 173. 34
M. Hadi Shubhan, Op. Cit., h. 124
48
kepailitan adalah hanya pembuktian apakah debitor mempunyai utang yang
telah jatuh tempo dan tidak dibayar serta adanya minimal dua kreditor.35
Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan,
maka pekerja (kreditor) atau pemohon lainnya dapat mengajukan permohonan
ke pengadilan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh
kekayaan debitor dan menunjuk kurator sementara untuk mengawasi
pengelolaan usaha debitor dan mengawasi pembayaran kepada kreditor,
pengalihan, atau penjaminan kekayaan debitor yang dalam rangka kepailitan
memerlukan persetujuan kurator. Apabila setelah sita jaminan dijatuhkan dan
ada pihak ketiga yang mengklaim sebagai pemilik barang yang disita, maka
bantahannya harus diajukan ke Pengadilan Niaga tersebut.36
Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan proses beracara
permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dan pada tingkat kasasi di
Mahkamah Agung berdasarkan pada Pasal 6 -14 UU No. 37 Tahun 2004.
35
Ibid, h. 125. 36
Ibid.
49
Bagan 3.
Proses beracara permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga
Permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan
Pendafataran permohonan pernyataan pailit oleh Panitera
Panitera menyampaikan permohonan
kepada ketua Pengadilan (max. 2 hari)
Pengadilan mempelajari permohonan dan
menetapkan hari sidang (max. 3 hari)
Sidang Pemeriksaaan permohonan pailit
(max. 20 hari)
Penundaan sidang (max. 25 hari)
Pemanggilan
debitor & kreditor
Dikabulkan Terbukti secara sederhana bahwa persyaratan Pasal 2 ayat (1) telah
dipenuhi
Putusan diucapkan (max. 60 hari)
Upaya hukum: Kasasi
50
Bagan 4.
Proses beracara dalam upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung
Setelah proses pemeriksaan terhadap permohonan dilakukan, maka
hakim Pengadilan Niaga harus menetapkan putusannya paling lambat 60 hari
sejak permohonan tersebut didaftarkan di Pengadilan.37
Sifat putusan pailit
adalah uit vorbaar bij voorrad atau putusan serta-merta, yaitu putusan dalam
37
Pasal 6 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004.
Upaya hukum: Peninjauan Kembali Berlaku mutatis mutandis Proses kasasi
Permohonan kasasi diajukan (max. 8 hari) dengan mendaftarkan
ke Panitera Pengadilan
Pendaftaran permohonan oleh Panitera
Panitera mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi
kepada pihak termohon kasai (max. 2 hari)
Termohon kasasi mengajukan kontra memori kasasi (max. 7 hari)
Penyampaian memori kasasi oleh pemohon kasasi
MA mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang (max. 2 hari)
Paniter menyampaikan permohonan, memori, kontra memori
kasasi beserta berkas perkara ke MA (max. 14 hari)
Sidang pemeriksaan (max. 20 hari)
Putusan diucapkan (max. 60 hari)
51
kepailitan pada prinsipnya dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap
putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.38
Hal ini dikarenakan tujuan
kepailitan adalah melakukan pembagian aset untuk membayar utang-utang
debitor terhadap kreditor, sehingga jika para kreditor telah terlanjur terbayar
karena putusan pailit tersebut dibatalkan, maka pembayaran tersebut pada
hakikatnya tidak merugikan debitor pailit itu sendiri karena utang pada
prinsipnya harus dibayar baik sekarang atau nanti hanya persolalan waktu saja.
Selain itu, dengan dibatalkannya putusan pailit tidak menjadikan hapusnya
utang-utang debitor terhadap kreditor.39
Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika telah
dikeluarkannya putusan Pengadilan Niaga, akan tetapi pada upaya hukum
kasasi dibatalkan oleh karena pekerja (kreditor) sebagai pemohon pailit yang
mengajukan permohonan atas Perseroan Terbatas (debitor) sebagai termohon
pailit adalah BUMN? seperti pada kasus PT. Merpati Nusantara Airlines
(Persero)40
dan Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero).41
Amar putusan
pada tingkat kasasi membatalkan putusan Pengadilan Niaga dengan
pertimbangan yang harus mengajukan permohonan pailit adalah Menteri
Keuangan. Jika dibatalkannya putusan pailit tidak menjadikan hapusnya utang-
utang debitor terhadap kreditor, maka siapakah yang akan membayar? apakah
negara atau PT jenis BUMN tersebut? Dengan demikian maka perlunya
penjelasan khusus terkait putusan serta-merta dalam hukum acara kepailitan.
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh). Untuk dapat mencapai
tujuan tersebut apabila pekerja merasa dirugikan salah satunya dengan adanya
Pemutusan Hubungan Kerja dari perusahaan tempat mereka bekerja, maka
Serikat Pekerja memiliki kewenangan untuk mewakili kepentingan atau
bertindak untuk dan atas nama seluruh pekerja yang menjadi anggota Serikat
Pekerja.
Apabila Serikat Pekerja yang mengajukan permohonan pailit,
kemungkinan dikabulkannya permohonan menjadi besar. Sebaliknya, jika
permohonan diajukan oleh pekerja yang bertindak untuk dan atas nama sendiri
atau untuk kepentingan sendiri, kemungkinan dikabulkannya permohonan
menjadi kecil. Prinsipnya, perusahaan yang diajukan permohonan pailit adalah
perusahaan yang mempunyai banyak tenaga kerja. Apabila yang mengajukan
permohonan pailit adalah sebagian kecil dari jumlah seluruh tenaga kerja yang
ada (baik yang masih bekerja maupun yang telah di PHK oleh perusahaan) dan
permohonan pailit diterima hingga berkekuatan hukum tetap, maka akan
menimbulkan dampak yang besar. Dampak yang dimaksud adalah:
90
a) Meningkatnya tingkat pengangguran di Indonesia. Oleh karena kepailitan
memiliki esensi sita umum terhadap seluruh boedel pailit, maka secara
otomatis seluruh pekerja yang ada harus diberhentikan atau dilakukannya
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan.
b) Aset perusahaan tidak sebanding dengan utang. Jika suatu perusahaan
dipailitkan, maka demi hukum perusahaan/badan hukum tersebut menjadi
tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Hal ini berdampak pada
pembagian aset perusahaan. Jika aset telah digunakan untuk membayar
utang dan memiliki sisa, sedangkan badan hukum memiliki kekhususan
yaitu terjadi pemisahan harta kekayaan maka sisa aset tersebut dapat
digunakan untuk membuat perusahaan baru. Jika hal ini terjadi, maka sama
saja dengan membuat perusahaan baru yang organ PT sama akan tetapi
menimbulkan ketidakefisiensi dan membutuhkan waktu yang lama.
Hal ini berbeda jika pemohon pailitnya adalah serikat pekerja. Serikat
pekerja mewakili seluruh kepentingan anggota yang tergabung didalamnya.
Apabila perusahaan tidak mampu untuk membayar gaji/upah karyawan oleh
karena kinerja perusahaan yang menurun, maka kepailitan adalah salah satu
pranata hukum yang dapat digunakan untuk melindungi kepentingan para
pekerja sehingga tidak memberikan kerugian yang lebih besar kepada para
pekerja tersebut.
91
2) Pengakuan oleh Perusahaan adanya utang kepada pekerja (pemohon
pailit) dan/ atau kepada kreditor lain di depan persidangan.
Dari kedua kasus yang dikabulkan sebagaimana telah diuraikan di atas,
perusahaan (termohon pailit) mengakui atau membenarkan adanya utang
kepada pekerja dan/atau kreditor lainnya. Hal ini salah satu yang menjadi
esensi kepailitan yaitu terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
sederhana. Apabila perusahaan sebagai termohon pailit tidak mengakui adanya
utang, maka seperti pada kasus PT. Welltekindo Nusantara melawan Sendy
Nainggolan, dkk. dimana perusahaan tidak mengakui sisa pembayaran maka
majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya menyimpulkan bahwa adanya
utang yang didalilkan oleh pemohon tidak dapat dibuktikan secara sederhana.
3) Adanya Surat Perjanjian bersama antara Pekerja/Serikat Pekerja dan
Perusahaan sehingga dapat membuktikan adanya utang.
Pada kasus PT. Unggul Summit Particle Board Industry melawan Dewan
Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. USPBI, dengan adanya surat
Perjanjian Bersama antara pemohon dan termohon tanggal 14 Mei 2013 yang
menyepakati kewajiban termohon untuk membayar uang pesangon, uang
penggantian hak dan upah terakhir yang belum terbayar yang keseluruhannya
berjumlah Rp. 3.826.929.250,- dan pembayarannya ditentukan paling lambat
tanggal 14 Agustus 2013. Surat Perjanjian Bersama42
memiliki kekuatan
42
Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak (Pasal 1 angka 21 UU No. 13 Tahun 2003).
92
pembuktian yang kuat untuk mendukung dalil pemohon bahwa adanya utang.
Hal ini seperti tercantum pada Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 yakni:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen,
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan
yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan debitor.
Selain itu, dalam Surat Perjanjian Bersama juga berisi kesepakatan
mengenai jangka waktu pembayaran hak normatif sebagai kewajiban
perusahaan (termohon pailit) contohnya pada kasus di atas tanggal 14 Agustus
2013. Apabila sampai pada tanggal 14 Agustus 2013 perusahaan (termohon
pailit) tidak membayar, maka sejak tanggal 15 agustus 2013 utang atau
kewajiban termohon disebut sebagai hutang yang telah jatuh tempo.
Berdasarkan uraian di atas dalam 2 (dua) kasus kepailitan yang mana
pemohonnya adalah pekerja, terdapat fakta bahwa adanya ketentuan khusus bagi
pekerja untuk memenuhi syarat formil dan materil dalam proses kepailitan.
Ketentuan khusus pada syarat formil dan syarat materil yaitu :
(a) Menjadi kompetensi Pengadilan Niaga apabila adanya perjanjian bersama
antara perusahaan dan pekerja sebagai bukti utang (memuat hak normatif
pekerja dalam bentuk sejumlah uang);
Perjanjian Bersama yang dimaksud dalam penulisan ini bukanlah PKB. Akan tetapi perjanjian
bersama yang notabene adalah perjanjian perdamaian antara pekerja/serikat pekerja dan perusahaan yang memuat kewajiban perusahaan untuk membayar hak-hak normatif pekerja dalam bentuk sejumlah uang akibat adanya PHK dengan jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Sehingga apabila perusahaan tidak membayar sebagaimana isi perjanjian, maka dapat menjadi bukti adanya utang yang jatuh waktu dalam proses kepaillitan.
93
(b) Dapat dibuktikan secara sederhana dengan adanya pengakuan utang oleh
perusahaan kepada pekerja atau kreditor lain;
(c) Subjek yang menjadi pemohon pailit bukanlah pekerja (orang perorangan)
melainkan serikat pekerja yang mengatasnamakan seluruh pekerja;
(d) Apabila perjanjian yang memuat kewajiban perusahaan tidak dilaksanakan
dalam jangka waktu tertentu, utang tersebut menjadi utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih.
(e) memenuhi syarat lain pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 dan
memperhatikan kekhususan Pasal 2 ayat (2) sampai dengan Pasal 2 ayat
Angka 17 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Pertimbangan hukum tersebut juga terdapat pada kasus PT. Merpati
Nusantara Airlines dimana selain PT. MNA adalah Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan publik, dasar penolakannya
adalah pokok perkara merupakan perselisihan hubungan industrial yang
seharusnya diperiksa dan diadili oleh PHI.
Memang benar bahwa sengketa perselisihan hubungan indutrial adalah
kewenangan PHI. Akan tetapi, perselisihan hak atau perselisihan PHK juga
dapat menjadi kewenangan Pengadilan Niaga (Vide: Bab II Kompetensi
Pengadilan Niaga). Hal ini dikarenakan perselisihan hak atau perselisihan PHK
jika telah ditentukan besarnya dalam bentuk sejumlah uang, maka dapat
dikategorikan utang dalam arti luas dalam hukum kepailitan. Hal ini dapat
dilihat pada kasus PT. Arta Glory Buana dan PT. Unggul Summit Particle
Board Industry dimana pemohon pailit adalah pekerja dan pokok perkara
termasuk perselisihan PHK, akan tetapi permohonan tetap dikabulkan. Dengan
demikian dapat disimpulkan walaupun terjadi tumpang tindih kewenangan
Pengadilan Niaga dan PHI, apabila pada fakta persidangan terbukti memenuhi
syarat formil dan materil pada pranata hukum kepailitan maka permohonan
pailit akan diterima.
100
3) Kewajiban timbul dari Putusan PHI dan bukan timbul karena perjanjian
atau UU
Pada kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil permohonan
kepailitan ditolak dalam pertimbangan hakim di tingkat kasasi yang
menyatakan bahwa kewajiban pembayaran timbul dari Putusan PHI dan bukan
timbul karena perjanjian atau UU sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka
6 UU No. 37 Tahun 2004. Pertimbangan hukum di tingkat kasasi untuk
menyatakan permohonan pailit ditolak adalah keliru. Hal ini dikarenakan
pertimbangan tidak memperhatikan adanya ketentuan pada penjelasan Pasal 2
UU No. 37 Tahun 2004 yang menyatakan:
Yang dimaksud dengan “utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang
telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena
percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan,
karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang
berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau
majelis arbiter.
Dengan kata lain, putusan pengadilan termasuk putusan Pengadilan
Hubungan Industrial yang memuat kewajiban perusahaan kepada pekerja
merupakan dasar atau bukti adanya utang yang telah jatuh waktu. Oleh sebab
itu, Putusan PHI pada PN Banjarmasin tanggal 14 April 2007 yang
menghukum termohon pailit membayar kewajiban kepada para pemohon
sebesar Rp. 17.806.401 sebagai bukti adanya utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih telah tepat. Hal ini dapat dilihat pada amar putusan Pengadilan
Niaga No. 03/Pailit/2010/PN-NIAGA SBY yang mengabulkan permohon dari
para pemohon pailit (pekerja) atau terpenuhinya syarat-syarat permohonan
kepailitan.
101
4) Pengajuan permohonan Eksekusi Pengadilan Negeri
Permohonan pailit pada kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil
ditolak oleh karena putusan PHI dimaksudkan segera eksekusi bahkan
aanmaning juga dalam rangka eksekusi. Pertimbangan hukum ini juga ada pada
kasus PT. Indah Pontjan yang permohonan pailit oleh pemohon (pekerja)
ditolak dengan pertimbangan adanya putusan PHI dan pihak perusahaan tidak
mau melaksanakan putusan secara sukarela, dapat meminta pelaksanaan
putusan dengan cara eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
memutuskan perkara.
Bagan 5.
Skema pengajuan permohonan eksekusi Pengadilan Negeri
Putusan PHI yang berisi
kewajiban pembayaran
perusahaan kepada pekerja
Perusahaan
melaksanakan
putusan
Perusahaan tidak
melaksanakan
putusan
Pekerja meminta
pelaksanaan
putusan
Terpenuhinya
hak pekerja
EKSEKUSI
Dilaksanakan
perusahaan
Tidak dilaksanakan
perusahaan
Teguran/Aanmaning
oleh ketua Pengadilan
Hubungan Idustrial
Berapa lama
jangka waktu
eksekusi dari
Pengadilan
Negeri?
102
Dari kedua kasus ini, yang menjadi permasalahan adalah berapa lama
jangka waktu eksekusi dari Pengadilan Negeri? Anmaning yang ditetapkan
oleh Pengadilan dalam rangka eksekusi putusan bukanlah termasuk dalam
pengertian “telah jatuh waktu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
UU No. 37 Tahun 2004 sebab aanmaning tersebut tidak didasarkan atas
kesepakatan antara pemohon dan termohon dalam perjanjian. Pertimbangan
hukum ini pun adalah keliru, karena bagaimana mungkin aanmaning harus
berdasarkan kesepakatan? Aanmaning sebagai perintah dari Ketua Pengadilan
Hubungan Industrial oleh karena dikeluarkannya putusan PHI bahkan hingga
adanya eksekusi perusahaan tidak mau membayar kewajibannya tersebut.
Aanmaning dapat dikatakan sebagai utang yang telah jatuh waktu karena
aanmaning menentukan hari dan tanggal pelaksanaan isi putusan PHI.
Sehingga jika setelah jangka waktu dalam surat tegoran/aanmaning dalam
rangka eksekusi tidak dilaksanakan, maka seyogianya dapat dikatakan telah
jatuh waktu. Oleh sebab itu, jika jangka waktu eksekusi tidak diketahui dan
dengan aanmaning tidak dilaksanakan oleh perusahaan, maka hal ini
menimbulkan ketidakpastian bagi hak para pekerja.
5) Adanya pelaksanaan putusan perdamaian sehingga harus mengajukan
permohonan pembatalan perdamaian
Pada kasus PT. Rasico Industry (dalam likuidasi) permohonan kepailitan
ditolak dalam pertimbangan hakim di tingkat kasasi yang menyatakan bahwa
dengan adanya pelaksanaan putusan perdamaian yang telah berkekuatan
hukum tetap, maka mekanisme yang harus ditempuh jika ingin mempailitkan
103
PT. Rasico Industry adalah dengan mengajukan permohonan pembatalan
perdamaian (Pasal 170, 171 dan 291 UU Kepailitan).
Dalam pertimbangan hukum dari hakim terhadap kasus ini adalah tepat.
Latar belakang harus mengajukan permohonan pembatalan perdamaian43
karena sejak pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kepailitan berakhir (Pasal 166 ayat (1) UU Kepailitan). Karena perdamaian
adalah perjanjian antara debitor pailit dengan semua kreditornya untuk
membayar utang sesuai presentasi pelunasan yang disepakati. Sehingga apabila
perusahaan (debitor pailit) lalai memenuhi isi perdamaian kepada pekerja,
pekerja (kreditor pailit) dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang
telah disahkan. Sehingga dengan adanya putusan pembatalan perdamaian,
pekerja dapat mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga (Pasal 170
ayat (1) Jo. Pasal 172 ayat (1) UU Kepailitan).
6) Tidak dapat dibuktikan secara sederhana
Pada kasus PT. Welltekindo Nusantara, PT. Alogics Mandiri Coal dan
PT. Indah Pontjan alasan penolakan permohonan pailit adalah karena perkara
tidak dapat dibuktikan secara sederhana. Pokok perkara yang dapat disebut
sebagai perkara yang tidak bersifat sederhana adalah sebagai berikut.
43
Perdamaian yang dimaksud dalam kasus ini bukanlah perdamaian yang termasuk dalam siklus kepailitan. Akan tetapi, kesepakatan perusahaan untuk membayar kewajiban berupa uang pesangon kepada pekerja sejumlah Rp. 194.832.000,- berdasarkan putusan No. 371/K/TUN/2001. Sehingga harus dilakukan permohonan pembatalan perdamaian agar dapat mengajukan permohonan pailit.
104
a) Penyangkalan sisa pembayaran atas remunerasi akibat PHK oleh
termohon pailit (perusahaan)
Pengakuan adanya utang dari termohon pailit adalah dasar yang
menentukan perkara bersifat sederhana atau tidak. Jika dilihat Kasus PT.
Arta Glory Buana dan kasus PT. Unggul Summit Particle Board Industry,
permohonan dikabulkan karena adanya pengakuan utang oleh perusahaan.
Maka pada kasus PT. Welltekindo Nusantara pun berlaku demikian, yaitu
tidak bersifat sederhana karena utang/ sisa pembayaran atas remunerasi
akibat PHK tidak diakui oleh perusahaan sebagai debitor pailit (termohon
pailit).
b) Tidak terdapat adanya bukti yang nyata besarnya gaji dan pinjaman
perusahaan kepada pekerja
Pada kasus PT. Alogics Mandiri Coal, pekerja hanya memiliki bukti
berupa hasil audit laporan keuangan termohon tidak ada penjelasan gaji
siapakah yang belum dibayarkan tersebut, kapan adanya hutang dan kapan
tanggal jatuh tempo pembayarannya. Selain itu, bukti lampiran auditor juga
tidak dibubuhi tanda tangan penanggung jawab sehingga tidak jelas
pertanggungjawabannya. Selain itu, surat teguran/somasi tidak sampai
kepada termohon pailit, sehingga somasi yang dilakukan belum sempurna
oleh karena itu maka tenggang waktu jatuh temponya hutang belum dapat
diketahui. Pertimbangan hukum dari hakim untuk menolak permohonan
pailit adalah tepat. Hal ini karena bukti yang diajukan tidak memenuhi
105
syarat Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan sehingga perkara tidak dapat
dibuktikan secara sederhana.
c) Pekerja sebagai pemohon pailit adalah sebagian kecil dari tenaga kerja
perusahaan
Alasan ini tidak memiliki hubungan dengan pembuktian tidak bersifat
sederhana. Hal ini dikarenakan syarat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan
tidak memberikan persyaratan atas jumlah tenaga kerja yang dapat
mengajukan permohonan pailit, karena 2 (dua) orang pekerja apabila
memiliki hak atas pembayaran dari perusahaan yang tidak dibayarkan juga
tetap dikatakan sebagai kreditor. Selain itu pada pertimbangan hakim juga
menguraikan dengan adanya putusan PHI tidak berarti mekera secara
otomatis menjadi kreditor terhadap perusahaan. Pertimbangan hakim ini pun
keliru. Putusan PHI memuat kewajiban pembayaran perusahaan kepada
pekerja sehingga apabila tidak dilaksanakan maka dapat menjadi utang yang
telah jatuh waktu (Pasal 2 UU Kepailitan).
Berdasarkan uraian di atas, maka problematika terhadap pekerja
dalam proses kepailitan dapat disimpulkan dalam skema di bawah ini.
106
Bagan 6.
Skema sepuluh kasus kepailitan yang dikabulkan dan ditolak
Pekerja
Eksekusi Pengadilan
Negeri
PT
(BUMN)
No. 897 K/Pdt.Sus/2009
No. 106 K/Pdt.Sus/2012
No. 195 PK/Pdt.Sus/2012
No. 469 K/Pdt.Sus/2012
No. 246 K/Pdt.Sus/2012
No. 584 K/Pdt.Sus/2010
Kompetensi Penyelesaian
Hubungan Industrial
Pengadilan Niaga
Menteri
Keuangan
No. 075 K/Pdt.Sus/2007
No. 447 K/Pdt.Sus/2016
No. 80 PK/Pdt.Sus/2009 No.
17/Pailit/2015/PN-Niaga-
SBY
Pemohon: SERIKAT PEKERJA
Pemohon melengkapi bukti:
Adanya Perjanjian Bersama
(untuk membuktikan bahwa
perjanjian sebagai bukti
utang dan menjadi
kompetensi Pengadilan
Niaga)
Terpenuhinya Syarat Formil
dan Syarat Materil
Memperhatikan
kekhususan Pasal 2
ayat (5) UU
Kepailitan.
Perkara tidak dapat
dibuktikan secara
sederhana
Meminta pelaksanaan
putusan PHI dengan
cara eksekusi kepada
Ketua Pengadilan
Negeri yang
memutuskan perkara
PT. DI dan PT. MNA
adalah BUMN yang
bergerak di bidang
kepentingan publik
Bukan kompetensi
Pengadilan Niaga
Adanya putusan
perdamaian
Pembatalan perdamaian
107
Skema di atas memberikan gambaran bahwa dari 10 (sepuluh) kasus
kepailitan dimana pemohonnya adalah pekerja, hanya 2 (dua) kasus saja yang
dikabulkan karena memenuhi ketentuan khusus yaitu pemohonnya adalah serikat
pekerja. Sedangkan 8 kasus ditolak karena subjek yang menjadi pemohon pailit
adalah pekerja (orang perorangan). Dengan demikian dapat disimpulkan pekerja
perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan khusus dalam hukum kepailitan agar
supaya tidak merugikan pekerja dalam memenuhi hak-hak normatifnya.
2. Penetapan PHI yang menentukan besarnya hak normatif yang diterima
pekerja akibat PHK
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa pada kasus PT. Ata Surya Wood
Working Mantuil, permohonan kepailitan ditolak karena kewajiban perusahaan
kepada pekerja timbul dari putusan PHI bukan karena perjanjian atau UU.
Dengan kata lain dalam mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga tidak
perlu mendapatkan penetapan PHI yang menentukan besarnya hak normatif yang
diterima pekerja akibat PHK. Karena cukup dengan adanya perjanjian bersama
antara pekerja dan perusahaan yang memuat kewajiban pembayaran perusahaan
dapat menjadi bukti utang. Selain itu, pada kasus PT. Ata Surya Wood Working
Mantuil dan kasus PT. Indah Pontjan ditolak karena seharusnya pekerja
mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pada kedua
kasus ini, pekerja telah mendapatkan putusan PHI yang memuat kewajiban
perusahaan untuk membayar hak normatif pekerja. Bahkan pada kasus PT. Indah
Pontjan, telah dikeluarkan aanmaning oleh karena perusahaan tidak mau
melaksanakan isi putusan PHI. Akan tetapi, perusahaan tetap tidak membayar hak
108
normatif pekerja tersebut. Permasalahannya apabila pekerja telah mengajukan
permohonan eksekusi dan diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri, berapa lama
jangka waktu eksekusi yang dibutuhkan pekerja agar supaya hak-hak normatif
mereka dapat terbayarkan? Oleh karena ketidakpastian melalui gugatan ke PHI,
maka kepailitan juga dapat digunakan sebagai pranata hukum penyelesaian utang-
piutang antara pekerja dan perusahaan. Dengan demikian, maka sengketa yang
terjadi antara pekerja dan perusahaan tidak hanya menjadi kompetensi Pengadilan
Hubungan Industrial, tetapi juga menjadi kompetensi Pengadilan Niaga.
3. Variasi yang dapat dilakukan oleh pekerja agar permohonan kepailitan
dapat dikabulkan
Pekerja memiliki kedudukan hukum untuk menggunakan kepailitan sebagai
pranata hukum penyelesaian sengketa hutang-piutang terhadap perusahaan. Akan
tetapi dalam proses kepailitan pekerja harus memenuhi ketentuan-ketentuan
khusus seperti pada 2 (dua) kasus kepailitan yang dikabulkan sebagaimana telah
diuraikan di atas. Selain itu, jika dilihat dari 8 (delapan) kasus kepailitan yang
ditolak terdapat fakta bahwa pekerja tidak mendapatkan pemenuhan atas hak-hak
normatif oleh karena tidak melalui proses yang telah ditetapkan oleh UU maupun
karena tidak memperhatikan ketentuan khusus yang telah ditetapkan dalam UU
No. 37 Tahun 2004. Oleh sebab itu, untuk menjawab problematika pekerja dalam
proses kepailitan ini, maka penulis menguraikan variasi yang dapat dilakukan
pekerja agar permohonan kepailitan dapat dikabulkan. Variasi tersebut diuraikan
dalam skema berikut ini.
109
Bagan 7.
Variasi agar supaya permohonan pailit dapat dikabulkan
Dari skema di atas, perlu diperhatikan bahwa yang harus menjadi pemohon
pailit adalah serikat pekerja bukanlah pekerja (orang perorangan). Dari 8
(delapan) kasus kepailitan, dapat disimpulkan menjadi tiga persoalan yang
menjadi dasar penolakan permohonan pailit, yaitu :
a. Adanya perjanjian perdamaian;
Perlu diperhatikan adanya perjanjian perdamaian atau tidak. Apabila ada
perjanjian perdamaian maka pekerja sebelum mengajukan permohonan pailit,
SERIKAT PEKERJA
(PEMOHON PAILIT)
PERUSAHAAN
(TERMOHON PAILIT)
Adanya Perjanjian
Perdamaian
Kompetensi Penyelesaian Hubungan Industrial
Pelaksanaan putusan PHI
Mengajukan
permohonan
pembatalan putusan
perdamaian kepada
termohon
Membuat Perjanjian
Bersama (sebagai bukti
adanya utang, jangka
waktu jatuh tempo
sehingga menjadi
kompetensi Pengadilan
Niaga)
Meminta pelaksanaan
putusan PHI dengan cara
eksekusi kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang
memutuskan perkara
Mencantumkan jangka
waktu pelaksanaan eksekusi
PENGADILAN
NIAGA
110
perlu mengajukan permohonan pembatalan putusan perdamaian kepada
termohon (perusahaan).
b. Kompetensi PHI;
Agar supaya permohonan kepailitan dikabulkan, sebelumnya pekerja membuat
Perjanjian Bersama dengan perusahaan, karena perjanjian bersama menjadi
bukti adanya utang. Selain itu dalam perjanjian menentukan jangka waktu
pelaksanaan kewajiban perusahaan sehingga apabila melewati jangka waktu
perjanjian menjadi utang yang telah jatuh tempo. Walaupun isi perjanjian
adalah memuat hak-hak normatif pekerja, apabila telah dinyatakan dalam
bentuk perjanjian menjadi kompetensi dari Pengadilan Niaga sehingga tidak
menjadi alasan bahwa sengketa tersebut adalah kompetensi PHI.
c. Pelaksanaan Putusan PHI;
Apabila pekerja telah mengajukan upaya hukum melalui gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial, maka apabila putusan PHI yang telah
mengabulkan (memuat hak normatif dalam bentuk sejumlah uang) memuat
kewajiban perusahaan tidak dilaksanakan secara sukarela, maka yang dapat
dilakukan adalah mengajukan permohonan eksekusi pada Pengadilan Negeri.
Dalam permohonan pekerja meminta untuk mencantumkan jangka waktu
pelaksanaan eksekusi. Hal ini dimaksudkan agar supaya memiliki kepastian
kapan akan terpenuhinya hak-hak pekerja. Sehingga apabila perusahaan tetap
tidak melaksanakan, bahkan dengan dikeluarkannya aanmaning tidak
dilaksanakan oleh perusahaan, maka pekerja dapat menjadikan dasar
permohonan pailit ke Pengadilan Niaga oleh karena tidak terlindunginya hak-