BAB II PEMBAHASAN A. Bentuk dan Struktur cerita Kyai Ageng Pengging 1. Bentuk Cerita Kyai Ageng Pengging a) Kedudukan dan Fungsi Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging adalah cerita rakyat yang masih hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Boyolali khususnya daerah Pengging. Cerita rakyat ini biasanya disebarluaskan secara lisan dan hanya didasarkan pada kemampuan mengingat para penuturnya. Oleh karena itu, tidak mustahil jika ceritarakyat Kyai Ageng Pengging sangat mudah mengalami penyimpangan atau perbedaan yang biasa disebut munculnya versi dari bentuk ceritanya yang asli Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini bersumber dari para penutur atau orang-orang tua yang sebagian besar telah meninggal. Orang-orang tua tersebut belum tentu mewariskan kepada anak cucu mereka. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa ada cerita yang berbeda versinya dalam lokasi yang berdekatan. Bahkan ada satu cerita yang diingat sebagian saja hingga tidak didapatkan cerita utuh. Pengungkapan cerita yang tidak utuh atau tidak diketahui secara keseluruhan ini sangat memungkinkan hilangnya nilai yang terkandung di dalamnya. 51
44
Embed
BAB II PEMBAHASAN - abstrak.ta.uns.ac.id · BAB II PEMBAHASAN A. Bentuk dan Struktur cerita Kyai Ageng Pengging 1. Bentuk Cerita Kyai Ageng Pengging a) Kedudukan dan Fungsi Cerita
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bentuk dan Struktur cerita Kyai Ageng Pengging
1. Bentuk Cerita Kyai Ageng Pengging
a) Kedudukan dan Fungsi Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging
Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging adalah cerita rakyat
yang masih hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat
Boyolali khususnya daerah Pengging. Cerita rakyat ini biasanya
disebarluaskan secara lisan dan hanya didasarkan pada kemampuan
mengingat para penuturnya. Oleh karena itu, tidak mustahil jika
ceritarakyat Kyai Ageng Pengging sangat mudah mengalami
penyimpangan atau perbedaan yang biasa disebut munculnya versi
dari bentuk ceritanya yang asli
Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini bersumber dari
para penutur atau orang-orang tua yang sebagian besar telah
meninggal. Orang-orang tua tersebut belum tentu mewariskan
kepada anak cucu mereka. Kenyataan di lapangan membuktikan
bahwa ada cerita yang berbeda versinya dalam lokasi yang
berdekatan. Bahkan ada satu cerita yang diingat sebagian saja
hingga tidak didapatkan cerita utuh. Pengungkapan cerita yang
tidak utuh atau tidak diketahui secara keseluruhan ini
sangat memungkinkan hilangnya nilai yang terkandung di
dalamnya.
51
52
Berasal dari hasil wawancara dengan beberapa informan,
dapat diketahui bahwa Kabupaten Boyolali, khususnya Kecamatan
Banyudono yang di Desa Jembungan terdapat cerita rakyat yang
memiliki usia yang sudah tua, mempunyai ciri tradisional,
disebarkan dari mulut ke mulut, dan tanpa diketahui
pengaranganya. Namun, cerita tersebut sampai sekarang masih
hidup. Adapula peninggalan bersejarah dari cerita tersebut, yaitu
adanya makam sang Kyai yang sampai saat ini tetap dijaga dan
dilestarikan.
Cerita-cerita yang ada mempunyai latar belakang dan
budaya serta hasil lingkungan yang merupakan pegalaman
masyarakat pemiliknya. Cerita rakyat yang ada digunakan sebagai
pembentuk watak manusia aslinya. Dahulu cerita-cerita rakyat yang
digunakan oleh orang-orang tua untuk membentuk watak anak
cucunya atau generasi muda agar menjadi manusia yang baik.
Cerita rakyat juga digunakan sebagai alat kontrol sosial, yakni
digunakan untuk mendidik agar manusia hidup sesuai nora yang
berlaku dalam masyarakat. Isi cerita yang disampaikan dapat
memberi petunjuk tentang apa yang benar dan apa yang salah.
Fungsi cerita menurut Kosasih (2003:222), ada lima
kelompok fungsi, yakni sebagai rekreatif yang mampu menghibur
penikmat atau pendengar cerita rakyat Kyai Ageng Pengging
karena ceritanya yang menginspiratif. Kedua adalah sebagai fungsi
didaktif, di dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini terdapat
kandungan nilai-nilai yang mampu mendidik manusia agar mereka
dapat hidup sesuai dengan amanat-amanat yang terkandung di
dalam isi cerita rakyat Kyai Ageng Pengging agar mampu menjadi
manusia yang lebih baik. Selanjutnya, sebagai fungsi estetis yang
memberikan nilai keindahan ada setiap cerita Kyai Ageng
Pengging. Baik keindahan dalam kandungan isinya maupun
keindahan dalam penyampaian cerita yang dituturkan oleh juru
kunci apabila kita berkunjung ke makam Kyai Ageng Pengging
tersebut.
Kemudian adanya fungsi moralitas yang terkandung di
dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging yang dapat membuat
pembaca atau pendengar cerita tersebut mampu membedakan mana
moral yang baik dan moral yang tidak baik untuk dilakukan di
masyarakat, serta mereka mampu hidup sesuai dengan norma dan
moral yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Terakhir adalah
fungsi religiusitas, dalam cerita Kyai Ageng Pengging ini
mengandung ajaran agama yaitu agama Islam. Diharapkan dengan
medengar cerita rakyat ini para pendengar mampu mengambil
pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai teladan. Tidak hanya
agama Islam saja yang diharapkan mampu mengambi teladan
dalam cerita rakyat ini, namun berbagai agama yang ada di
Indonesia ini diharapkan mampu mengambil teladan agar menjadi
manusia yang lebih baik lagi.
53
54
Melalui cerita ternyata juga dapat ditumbuhkan rasa cinta
dan penghargaan kepada leluhur. Hal inilah yang mengilhami
anggota masyarakat saat ini masih berusaha melestarikan tradisi
atau kebiasaan yang ditinggalkan seperti berziarah ke makam
leluhur atau tokoh terdahulu sebagai bentuk pennghormatan.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara juga ditemukan bahwa
hal-hal atau kebiasaan tersebut jarang dijumpai pada masyarakat
dewasa ini di Kecamatan Banyudono. Keadaan seperti ini biasanya
terdapat di lingkungan perkotaan yang dengan kondisi penduduk
yang super sibuk.
Tradisi mendongeng atau bercerita yang dilakukan oleh
orang-orang tua dulu sekarang tidak lagi menjadi hal yang lazim
pada masa kini. Apabila dicermati, hilangnya kebiasaan tersebut
disebabkan oeh beberapa hal, antara lain: 1) para orang tua yang
sibuk mencari nafkah karena harus memenuhi kebutuhan keluarga;
2) teknik komunikasi dan alat komunikasi yang ada saat ini sudah
lebih canggih yang dianggap lebih praktis dan dapat dijangkau
hampir seluruh masyarakat, contohnya televisi dan internet; 3)
adanya pengaruh kebudayaan asing melalui berbagai media
sehingga menggeser kebudayaan lokal; 4) kurangnya usaha
mengenalkan cerita-cerita lokal, termasuk cerita rakyat oleh para
orang tua, lembaga pendidikan, pemerintah daerah kepada kaum
muda.
b) Bentuk Cerita Kyai Ageng Pengging
Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging merupakan lokal
legenda karena mempunyai cerita tentang seorang tokoh yang
bernama Kyai Ageng Pengging atau Kebo Kenongo. Kyai Ageng
Pengging adalah seorang pemimpin dalam sebuah padepokan yang
ia bangun sendiri untuk mengajarkan agama Islam. Beliau
dianggap sebagai seorang guru yang pinunjul atau linuwih yang
dihormati oleh masyarakat Desa Jembungan. Tokoh ini memiliki
kekuatan-kekuatan magis yang disakralkan oleh masyarakat
pendukungnya. Kyai ageng Pengging meskipun mempunyai
kekuatan yang tinggi tetapi tidaklah sombong dan selalu rendah
hati. Beliau tidak mau menduduki tahta dan diagung-agungkan
karena dia tidak menginginkan kenyamanan duniawi.
Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging disebarkan dengan
media lisan. Cerita ini dituturkan dari mulut ke mulut dari generasi
ke generasi berikutnya. Sampai saat ini, cerita rakyat Kyai Ageng
Pengging ini masih dijaga oleh pemilik cerita rakyat Kyai Ageng
Pengging yaitu warga Desa Jembungan Kecamatan Banyudono
Kabupaten Boyolali. Cerita rakyat ini merupakan sebuah folklor
lisan berupa cerita rakyat yang berbentuk legenda.
Berdasarkan keterangan dan hasil penelitian dapat diambil
kesimpulan bahwa cerita Kyai Ageng Pengging memiliki dua versi
dari masyarakat setempat. Keterkaitan data berada tepat di dua desa
yaitu di Desa Jembungan dan Desa Dukuh. Penelitian ini
55
56
dikhususkan pada Desa Jembungan yang merupakan tempat
makam Kebo Kenongo atau biasa disebut Kyai Ageng Pengging.
Menurut cerita dari Juru kunci makam Kyai Ageng
Pengging di desa Jembungan, yaitu Bapak Karsino. Melalui
penelitian yang dilakukan pada Rabu, 14 Juli 2016 sebagai berikut :
1) Penutur Cerita
Penutur cerita disini yang dimaksud adalah juru kunci
sebagai pendukung aktif, yang merupakan pemberi informasi
utama atas cerita rakyat Kyai Ageng Pengging. Juru kunci disini
adalah Bapak Karsino (60 tahun) yang sudah menjadi juru
kunci. Bapak Karsino yang kesehariannya hanya sebagai juru
kunci makam. Sebagai juru kunci di area makam Kyai Ageng
Pengging beliau sering kedatangan tamu yang hendak
berkunjung atau melakukan ritual di area makam.
Penutur cerita Bapak Karsino selalu menceritakan dan
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pengunjung
berkenaan tentang Kyai Ageng Pengging. Pengunjung paling
banyak adalah dari kalangan peziarah yang hendak ingin
berziarah ataupun melakukan ritual. Ritual disini biasanya
dengan tirakatan di dalam makam. Menurut Bapak Karsino
tempat ini paling ramai dikunjungi peziarah adalah pada malam
jumat dan selasa kliwon. Meskipun hanya ada hari tertentu yang
ramai dikunjungi, namun makam ini dibuka setiap hari mulai
senin sampai jumat. Pada hari sabtu dan minggu pun Bapak
Karsino selaku juru kunci bersedia untuk membukakan pintu
bagi pengunjung atau peziarah yang datang pada hari itu.
Selain Bapak Karsino selaku juru kunci makam sebagai
pemberi informan, ada pula beberapa pemberi informasi lain
yang menunjang penelitian tentang cerita rakyat Kyai Ageng
Pengging ini. pemberi informan yang lain antara lain: (1) Bapak
Sadiman, selaku kepala desa Jembungan yang menjadi tempat
penelitian; (2) Bapak Parjiyono, selaku warga sekitar yang
berprofesi sebagai guru; (3) Ibu Parinah, warga sekitar makam
yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga; (4) Bapak
Mujiyanto, selaku peziarah yang mengunjungi makam secara
rutin; (5) Agus, warga sekitar yang masih duduk di bangku
Sekolah Menengah Atas kelas 2; dan masih banyak lagi warga
sekitar yang tidak peneliti tulis dalam skripsi karena data dan
kategori informan yang sama dengan keempat informan yang
sudah disebutkan di atas.
Kelompok pendengar cerita pendukung pasif disini yang
dimaksud adalah para peziarah yang berkunjung. Mereka yang
sering berkunjung tidak hanya dari kalangan rakyat biasa, tetapi
banyak juga dari kalangan pejabat. Hampir setiap hari ada saja
pengunjung yang datang ke makam Kyai Ageng Pengging ini.
Maksud kunjungan mereka ada yang hanya sekedar berkunjung
untuk berdoa atau ingin melakukan serangkaian ritual untuk
tujuan tertentu, seperti meminta berkah dan sebagainya.
57
58
Meskipun tidak ada sesaji-sesaji khusus yang diwajibkan dalam
ritual, masyarakat sering membawa beberapa sesaji seperti di
bawah ini, seperti:
1. Dhupa
Dhupa merupakan simbol pemujaan, dan
melambangkan kekuatan pikiran manusia dengan
Tuhan. Bahan yang digunakan dalam dhupa adalah
kemenyan.
2. Bunga (kembang)
Bunga sebagai simbol dari keikhlasan dan
kesucian. Bunga merupakan sarana untuk persembahan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bunga yang digunakan
yaitu dengan bunga mawar merah dan mawar putih.
Adapula yang membawa kembang setaman atau bunga
setaman (tujuh rupa).
3. Tumpeng
Tumpeng yaitu nasi kuning yang berbentuk
gunung yang disajikan bersama-sama dengan lauk-pauk
berupa sayuran dan makanan tradisional.
2) Kesempatan bercerita
Kesempatan bercerita disini maksudnya adalah suatu
kesempatan dimana juru kunci/sumber cerita mampu atau bisa
bercerita kepada para pengunjung atau orang yang mendengarkan
cerita tersebut. Berasal dari wawancara penulis yang dilakukan di
lokasi, juru kunci sering sekali bercerita kepada pengunjung yang
datang untuk berziarah ataupun melakukan ritual. Biasanya mereka
menanyakan bagaimana sejarah dari riwayat Ki Ageng Pengging.
Kesempatan bercerita paling banyak adalah ketika
pengunjung datang, entah itu dari warga sekitar, pejabat, ataupun
siswa/mahasiswa yang berkunjung untuk mencari data tugas.
Biasanya jika juru kunci bercerita, ia menceritakan semua cerita
berdasar apa yang dia ketahui. Penulis sempat menanyakan
bagaimana beliau mengetahui atau dapat menceritakan keseluruhan
cerita tersebut, beliau mengatakan bahwa ia mengetahui cerita
tersebut secara turun temurun dari para juru kunci terdahulu.
Juru kunci selalu mencoba untuk menjawab dari apa yang
pengunjung tanyakan, meski dari waktu ke waktu mungkin sudah
agak berubah ceritanya, tetapi tidak mengubah inti dari cerita Kyai
Ageng Pengging tersebut. Mungkin ini pengaruh dari pemahaman
yang berbeda dari setiap juru kunci ketika diwariskan oleh juru
kunci yang terdahulu. Ini sesuai dengan pernyataan dari
Danandjaja yang mengatakan bahwa definisi folklore adalah
sebagai berikut:
“Adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar
dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam
apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda”.
(Danandjaja, 1984:2)
3) Tujuan bercerita
59
60
Folklor mengandung arti keyakinan atau kisah-kisah lama
(tradisional) mengenai rakyat, sekaligus juga bisa dimengerti
sebagai studi atas kisah atau keyakinan rakyat itu sendiri. Rakyat di
sini bisa suku, masyarakat, atau penduduk suatu wilayah dengan
ragam budayanya sendiri. Folklor adalah sebagian kebudayaan
suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun di
antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi
yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemoninic
device) (Danandjaja
1997:2).
Tujuan cerita rakyat ini agar tidak habis dimakan jaman.
Karena pada
kenyataan di lapangan, banyak sekali generasi muda yang tidak
mengetahui atau mampu bercerita tentang sejarah ini. Sebenarnya
bisa mengetahui cerita rakyat ini cukup besar manfaatnya, selain
bisa menjaga suatu peninggalan sejarah yang hidup di daerah
tersebut, juga mampu untuk melestarikan serta ikut memiliki
kearifan lokal tersebut.
Bagi penulis secara pribadi, selain ingin melakukan
penelitian sebagai judul skripsi, penulis juga ingin mengetahui
secara luas bagaimana bentuk dan struktur cerita rakyat tersebut.
Bagi juru kunci sendiri bisa memberikan informasi merupakan
suatu kewajiban yang telah diberi amanat oleh para pendahulunya
yang bertugas sebagai juru kunci makam Ki Ageng Pengging. Juru
kunci tidak bosan atau mengeluh untuk bercerita, karena beliau
sadar ini merupakan bagian dari peninggalan kebudayaan yang
wajib untuk dijaga dan dilestarikan keberadaannya, karena jika
sampai punah merupakan suatu kecerobohan. Seperti sifat cerita
rakyat yang diceritakan dari mulut ke mulut dan secara turun-
temurun tanpa menghilangkan versi aslinya.
Mungkin bagi sebagian generasi muda, tidak mengetahui
bagaimana cerita Kyai Ageng Pengging, bahkan sering dijumpai
para muda yang tidak tahu sama sekali tentang salah satu
peninggalan tradisi lisan tersebut yang berada di Desa Jembungan,
Kecamatan Banyudono. Dari itu pula, penulis mengangkat cerita
tersebut untuk diangkat menjadi judul skripsi.
4) Kekuatan Kultural Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging
Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah,
pertama sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan
kedua sebagai tradisi yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual
maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi dengan
sendirinya dapat mencerminkan perkembangan sosiologis, atau
menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak
kultural (Darmono, 1978 dalam Endraswara, 2003:92).
Merujuk pada pendapat tersebut, dapat dilihat bahwa cerita
rakyat Kyai Ageng Pengging memiliki dua ciri pendekatan sebuah
61
62
karya sastra, sebagai kekuatan atau material istimewa. Hal ini
terbukti makam Kyai Ageng Pengging sering dikunjungi peziarah
untuk ngalap berkah karena makam Kyai Ageng dianggap sebagai
tempat yang sakral. Sedangkan sebagai tradisi, untuk peziarah yang
akan memasuki makam Kyai Ageng Pengging diharuskan
melepaskan alas kaki dan memakai pakaian sopan, tidak diijinkan
memakai celana pendek. Kemudian untuk para peziarah maupun
warga sekitar yang hendak memasuki masjid yang terletak di
samping makam tetapi masih termasuk bagian dari makam Kyai
Ageng Pengging itu harus bersuci dahulu. Seperti pernyataan yang
dituturkan oleh juru kunci dan warga berikut ini.
Kutipan:
Tur riyin mesjid niku rada gawat. Pas jaman nem-
neman kula nika ingkang tiyang bibar ngusungi
lethong apa piye dha mboten purun adus ngoten
niku jane kula mpun sanjang nek umpami mlebu
mesjid kudu adus. Ndase dicegur nyelem enten
blumbang diresiki ngoten hle. Enten sok-sok sing
mboten purun, niku terjadi kala mben, niku bar
ngusungi lethong jaran dingge ngobong bata ngoten
nggeh. Niku terjadi diwedeni lah srek pyur, niku
diwedeni drijine gedhe-gedhe sak gedang ngono
kae, tangane mpun ageng sanget trus niku do mlayu
kula sanjang “iki mau mesti enek sing rung adus”.
“ho.o aku mau rung adus, wis adem ra wani”.
(Karsino, 14 Juli 2016)
Terjemahan:
Dahulu kala masjid itu sangat sakral atau angker.
Pada saat saya masih muda itu ada orang yang baru
selesai membawa lethong atau tahi kuda apa
bagaimana tapi ereka tidak mau mandi dulu, padahal
saya sudah memperingatkan mereka untuk mandi
dahulu sebelum masuk ke masjid. Kepalanya
dicelupkan menyelam di blumbang atau kolam kecil
dibersihkan sepeti itu. Ada yang tidak mau, dan
terjadilah, itu yang baru selesai membawa tahi kuda
untuk membakar batu bata. Mereka ditakut-takuti
sesosok makhluk halus yang jarinya besar-besar
seperti pisang, tangannya lebih besar lagi trus
mereka semua lari ketakutan. Saya bertanya pada
mereka “tadi pasti ada yang belum mandi”, “iya, aku
tadi belum mandi, sudah dingin makanya tidak
berani mandi”.
Kutipan:
Mesjid lawas niku wonten cara sak niki nggeh enten
sing jaga tiyang sing mboten katon ngeten hle
sebabe niku kan mesjide Gusti Allah, ning malah do
nyepelekne. Sak niki mboten patos gawat.
(Parjiyono, 1 Februari 2017)
Terjemahan:
Masjid lama itu apabila untuk jaman sekarang ini
ada yang menunggu orang yang tidak kelihatan atau
makhluk halus. Karena masjid itu adalah masjidnya
Allah, tapi ada yang menyepelekannya. Tapi
sekarang tidak terlalu gawat atau angker seperti
dahulu kala.
Hal tersebut membuktikan bahwa Cerita Rakyat Kyai
Ageng Pengging masih sangat dijaga keberadaannya dan
dilestarikan oleh sang pemilik dan pendukung Cerita Rakyat Kyai
Ageng Pengging yaitu masyarakat Desa Jembungan Kecamatan
Banyudono Kabupaten Boyolali. Sampai sekarang masyarakat
Jembungan masih melestarikan tradisi-tradisi yang mengukuhkan
perwujudan cerita rakyat Kyai Ageng Pengging.
63
64
Beberapa tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat
pendukung cerita rakyat Kyai Ageng Pengging antara lain:
1) Tradisi ziarah pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon
Tradisi ziarah ke makam Kyai Ageng Pengging
dilakukan oleh para peziarah merupakan sebuah tradisi yang
turun-temurun sejak dulu. Para peziarah memiliki suatu
kepercayaan bahwa pada malam Selasa Kliwon dan Jumat
Kliwon merupakan hari yang paling baik untuk ngalap berkah
di makam Kyai Ageng Pengging. Meskipun pada
kenyataannya, makam Kyai Ageng Pengging dibuka untuk
umum setiap harinya, bahkan pada saat libur pun sang juru
kunci bersedia untuk membukakan pintu bagi mereka yang
hendak datang ke makam. Mereka percaya bahwa pada hari
tersebut, roh Kyai Ageng Pengging turun ke bumi sehingga
akan mengabulkan doa yang mereka minta.
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan saat melakukan
ziarah kubur di makam Kyai Ageng Pengging antara lain: (1)
berkata kotor; (2) menggunjing orang lain; (3) berbuat asusila;
(4) dalam berdoa meminta hal-hal yang tidak baik misalnya
dilindungi dalam melakukan tindak kejahatan seperti mencuri,
dan lain-lain. (5) Peziarah juga tidak diperbolehkan
menyimpan dendam terhadap orang lain. (6) Wanita yang
sedang dalam keadaan haid tidak diperbolehkan memasuki
area makam. (7) Alas kaki yang digunakan oleh peziarah
haruslah dilepas saat memasuki makam Kyai Ageng Pengging.
2) Tradisi memperingati meninggalnya seseorang atau
upacara kematian
Upacara kematian yang dilakukan masyarakat Jawa
pada umumnya memiliki kesamaan satu sama lain di
daerah manapun. Adapun upacara keamtian yang sampai
saat ini masih digunakan oleh masyarakat desa Jembungan
Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali, sebagai
berikut:
a) Upacara Tigang Dinten (tiga hari)
Merupakan upacara untuk memperingati tiga hari
meninggalnya seseorang, dan menyempurnakan
empat perkara yaitu bumi, api, air, dan angin.
Acara peringatan ini yaitu dengan mengundang
tetangga terdekat untuk melakukan upacara
kenduri bersama.
b) Upacara Pitung Dinten (tujuh hari)
Pitung Dinten merupakan bahasa Jawa yang jika
diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti tujuh
hari, yaitu upacara peringatan tujuh hari
meninggalnya seseorang.
c) Upacara Sekawan Dasa Dinten (empat puluh hari)
65
66
Merupakan upacara untuk memperingati empat
puluh hari meninggalnya seseorang supaya
memberikan kesempurnaan hal yang bersifat badan
wadag atau jasad.
d) Upacara Nyatus (seratus hari)
Nyatus dalam bahasa Indonesia artinya seratus.
Merupakan upacara untuk memperingati seratus
hari meninggalnya seseorang.
e) Upacara Mendhak Pisan
Upacara ini untuk memperingati meninggalnya
seseorag setahun pertama sebahai perwujudan
penyempurnaan kulit, daging, dan jeroan atau isi
perut.
f) Upacara Mendhak Pindho
Merupakan upacara setahun kedua untuk
memperingati meninggalnya seseorang. Upacara
ini sebagai wujud penyempurnaan semua unsur
dari kulit, darah, dan semacamnya.
g) Upacara Mendhak Ketelu
Merupakan upacara untuk memperingati seribu
hari meninggalnya seseorang. Upacara ini sebagai
bentuk keikhlasan paling akhir di masyarakat Jawa
untuk melepas seseorang ke alam baka, dimana
penyempurnaan seluruh unsur semua rasa dan bau
telah hilang.
Juru kunci menceritakan sedikit tentang ritual-
ritual yang hingga kini masih dianut oleh masyarakat
berkaitan dengan meninggalnya seseorang dari upacara
Tigang Dinten (tiga hari) sampai upacara nyewu (seribu
hari) adalah sebagai berikut dengan menggunakan
beberapa ubarampe:
a) Tumpeng
Sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan Yang
Maha Esa serta arwah leluhur yang telah meninggal.
b) Ingkung
Ingkung merupakan daging ayam jago yang
disajikan utuh sebagai lambang kepasrahan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
c) Lalaban
Lalaban dimaksudkan supay sesaji yang digunakan
lengkap tanpa kurang satu apapun. Lalaban ini
berupa cabai merah, garam, dan bawang merah.
d) Sega Liwet
Nasi Liwet yang dimasak gurih dan diberi telur.
e) Apem
67
68
Apem melambangkan sebagai ungkapan maaf dari
seseorang yang telah meninggal semasa hidupnya.
Apem merupakan makanan yang dibuat dari tepung
gandum dan dibentuk bulat-bulat.
f) Dhele Ireng (kedelai hitam)
Merupakan perambangan penerangan yang
diberikan Tuhan kepada orang yang meninggal.
3) Tradisi Upacara Sadranan
Cerita-cerita lanjutan dari sastra lisan Kyai Ageng Pengging
yang semula dianggap mitos bisa saja berubah menjadi cerita non
fiksi dan menjadi acuan masyarakat, dipercaya kebenarannya dan
memiliki nilai-nilai serta manfaat di dalamnya. Nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging seperti nilai
budaya, lingkungan, dan seni. Masyarakat melakukan syukuran
berupa menyembelih kambing, ayam, mengisi khas, dan lain-lain.
Eyang tidak mempunyai amarah sama sekali. Hal ini membuktikan
dia adalah orang yang sudah pada taraf tinggi ilmunya. Daerah
sekitar makam sering diadakan upacara sadranan.
Upacara sadranan dilakukan setahun sekali, pada saat
ruwah tanggal 20. Tradisi Upacara Sadranan yang berada di
makam Kyai Ageng Pengging di dalamnya sendiri terdapat
lambang-lambang yang berwujud dalam bentuk sesaji. Selain
memiliki pesan tentang baik dan buruk, sesaji juga digunakan
sebagai sarana komunikasi kepada makhluk-makhluk gaib untuk
menghormati keberadaan mereka. Sesaji ataupun uborampe yang
digunakan antara lain adalah:
1. Tumpeng
Tumpeng atau Nasi Gunungan melambangkan suatu cita-cita
atau
tujuan yang mulia, seperti gunung yang memiliki sifat besar dan
puncaknya
yang menjulang tinggi. Nasi tumpeng bermacam-macam jenisnya,