-
11
BAB II
PANDANGAN TEOLOGI KRISTEN TENTANG MESIAS
NIRKEKERASAN
2.1. Pendahuluan
Berbicara tentang Mesias, maka tidaklah cukup melihatnya dari
satu sisi saja.
Setidaknya ada dua pandangan yang terlibat dalam pembicaraan
tentang Mesias, yaitu
Yahudi dan Kristen. Yahudi memiliki konsep Mesias yang mewarnai
kehidupan
beragama mereka. Konsep Mesias Yahudi juga yang dipakai oleh
kekristenan, karena
kekristenan berawal dari orang-orang Yahudi. Konsep Mesias
muncul dan
berkembang dalam Perjanjian Lama, bahkan sampai pada Perjanjian
Baru. Oleh
karenanya dalam bab ini yang membahas tentang Mesias, dua
pandangan itu akan
dibahas guna mendapatkan gambaran yang cukup utuh tentang
Mesias. Pandangan
Mesias dari kalangan Yahudi dan Kristen diperlukan untuk
membangun sebuah
konstruksi Mesias yang nirkekerasan. Penjelasan Mesias akan
diawali dengan definisi
Mesias itu sendiri. Setelah mendapat definisi awal Mesias, maka
penjelasan akan
dilanjutkan pada kemunculan dan perkembangan konsep Mesias dalam
Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Konsep Mesias dalam Perjanjian Lama
dan Perjanjian
Baru dipaparkan sebagai dasar dalam memahami Mesias Nirkekerasan
yang
merupakan konsep Mesias yang dilakoni oleh Yesus.
2.2. Definisi Mesias
Mesias berasal dari kata Ibrani mashiah yang berarti diurapi.
Seseorang yang
menjadi Mesias akan diurapi minyak. Seseorang yang diurapi
memiliki tugas untuk
dilakukan. Bisa dikatakan inilah arti awal dari mashiah atau
Mesias. Ia hanyalah
seseorang yang diurapi dan melakukan tugas tertentu, tidak ada
yang spesial darinya.
-
12
Tugas yang dijalankan Mesias akan berdampak pada banyak orang.1
Ketika Mesias
itu diurapi, maka ia juga menjadi seorang pemimpin.2 Oleh
karenanya beberapa teks
dalam Perjanjian Lama menunjukkan bahwa setiap orang yang
mendapatkan tugas
khusus pasti akan diurapi dan menjadi seorang pemimpin.
Seorang pemimpin berarti ia mempunyai fungsi sosial. Beberapa
ahli
mengatakan bahwa seorang pemimpin berarti ia berhubungan dengan
politik3, kultus,
bidang militer.4 Tiga wilayah itu yang selalu identik dengan
pemimpin, dalam hal ini
seorang Mesias. Politik, kultus dan bidang militer menjadi tiga
wilayah ideal yang
harus dikuasai oleh seorang Mesias. Pemahaman ini akhirnya
dilekatkan dalam rupa
seorang raja.
Seorang raja perlu piawai dalam bidang politik, kultus dan
militer. Kepiawaian
ini diperlukan seorang raja agar kerajaannya dapat kokoh
bertahan dan kuat.
Pemahaman ini berkembang karena Israel saat itu merasa bahwa
Tuhan Israel kalah
dengan ilah bangsa lain. Israel ingin menjadi bangsa yang hebat
lagi dan tetap ingin
menunjukkan bahwa Tuhan Israel tidaklah kalah dari ilah bangsa
lain. Keinginan itu
dapat terpenuhi jika Israel dipimpin oleh seorang raja yang
diurapi Tuhan dan
memimpin kerajaan yang ilahi.
1 Joseph A. Fitzmayer, “messiah” dalam The HarperCollins Bible
Dictionary, ed. Paul J.
Achtemeier (New York: HarperCollins Publishers, 1996), 677.
2 Jacob Neusner dan Alan J. Avery-Peck, The Routledge Dictionary
of Judaism (New York:
Routledge, 2004), 86.
3 Politik: (Kej.41:34; Hak. 9:28; 2Raj. 25:19; Yer. 52:25; Est.
2:3); Kultus: (Yer. 29:26; Neh.
11:9, 14, 22; 2Taw. 24:11; 31:13); Milter: (Yos. 10:24; Yes.
1:10; 3:6-7, 22:3; Ams. 6:7, 25:15).
4 S. Talmon, “The Concept of Māšîah and Messianism in Early
Judaism” dalam The Messiah:
Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed. James H.
Charlesworth (Minneapolis:
Augsburg Fortress Publishers, 1992), 87-88.
-
13
Seorang raja yang diurapi Tuhan menunjukkan hubungan yang intim
dengan
Tuhan, memiliki aura ilahi dan bahkan diyakini mempunyai
kekuatan ilahi.5 Seorang
raja yang diurapi Tuhan akan menjalankan rencana ilahi bagi
umat. Oleh karenanya
tidaklah berlebihan jika seorang raja itu memiliki aura ilahi
dan memiliki hubungan
yang intim dengan Tuhan karena ia secara tidak langsung adalah
representasi ilahi
dalam rupa manusia. Aura ilahi yang dimiliki seorang raja
memampukan ia
menjalankan kerajaan yang ilahi bukan kerajaan manusia.6 Aura
ilahi menjadi
penentu apakah raja itu dapat menjalankan kerajaan dengan baik
atau tidak. Dalam
kisah raja-raja di Israel keilahian seorang raja, dalam hal ini
berarti kedekatakan
dirinya dengan Tuhan, berdampak langsung dengan situasi
kerajaan. Jika seorang raja
tidak dekat dengan Tuhan, berarti kerajaan itu akan hancur dan
penduduk menderita.
Dan begitu pula sebaliknya. Jadi selain memiliki kepiawaian
dalam bidang militer,
kultus dan politik, seorang raja juga harus memiliki aura ilahi
dalam dirinya.
Pada awalnya Mesias dipahami sebagai seseorang dengan tugas
khusus yang
memiliki dimensi sosial. Jika hal itu dipahami dalam kerangka
Pra-Pembuangan,
maka Mesias tidaklah tertuju pada satu individu saja. Setiap
orang yang menjalani
tugasnya masing-masing dan selama masih berkaitan dengan orang
banyak, maka ia
adalah Mesias. Namun Pasca-Pembuangan dalam keinginan membangun
Israel, maka
pengertian Mesias menjadi lebih spesifik dan kompleks. Mesias
dalam Pasca
Pembuangan tidak hanya diurapi, memiliki tugas khusus,
berdimensi sosial tapi yang
paling utama adalah ia adalah seorang pemimpin yang dalam hal
ini adalah raja.
5 Sigmund Mowinckel, He That Cometh: The Messiah Concept in The
Old Testament and
Later Judaism, terj. G. W. Anderson (Michigan: William B.
Eerdmans Publishing Co., 2005), 5.
6 P. D. Hanson, “Messiah and Messianic Figure in
Proto-Apocalypticism” dalam The
Messiah: Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed.
James H. Charlesworth
(Minneapolis: Augsburg Fortress Publishers, 1992), 68.
-
14
Perkembangan arti Mesias menunjukkan bahwa arti Mesias tidak
dapat dipahami
secara etimologis saja. Mesias juga perlu didefiniskan
berdasarkan keadaan sosial di
mana kata Mesias itu berkembang. Mesias memang berarti ‘yang
diurapi’ namun
tugas dan keberadaan ‘yang diurapi’ itu sendiri bergantung pada
situasi umat,
sehingga akan muncul pemahaman Mesias sesuai dengan kebutuhan
dan keadaan
umat.
2.3. Macam-macam Konsep Mesias dalam Kekristenan
2.3.1. Konsep Mesias dalam Perjanjian Lama
Konsep mesias bukan hanya memiliki sisi praktikal namun ia juga
memiliki
sisi ilahi. J. J. M. Roberts menegaskannya bahwa kata mashiah
awalnya selalu
merujuk kepada Allah.7 Dan hal itu selalu merujuk kepada seorang
raja. Ketika
seorang raja dikatakan ‘diurapi Allah’ setidaknya bemakna dua
hal yaitu seorang raja
dipilih dan diurapi oleh Allah serta menunjukkan adanya hubungan
yang akrab antara
Allah dengan raja. S. M. Siahaan mengatakan bahwa penggunakan
kata mashiah itu
memang awalnya untuk raja yang memerintah, namun lambat laun
digunakan untuk
menggambarkan Raja Keselamatan yang akan datang.8 Jadi kata
mashiah atau Mesias
itu berkembang menjadi sebuah kata yang bermakna eskatalogis.
Pengharapan tentang
Raja Keselamatan itu didasari pada keadaan Israel pada saat itu
yang berada dalam
sistem pemerintahan Monarki. Walaupun bersifat Monarki tetapi
pemilihan raja tetap
berada dalam kendali Allah. Allah yang berhak menunjuk atau
mengurapi seorang
7 J.J. M. Roberts, “The Old Testament’s Contribution to
Messianic Expectations” dalam The
Messiah: Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed.
James H. Charlesworth
(Minneapolis: Augsburg Fortress Publishers, 1992), 39.
8 S. M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama
(Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2001), 4.
-
15
raja bagi Israel. Ketika dihubungkan dengan Raja Keselamatan,
maka ia adalah orang
yang benar-benar dipilih oleh Allah.
Sebelum berada dalam sistem Monarki, Israel berada dalam masa
Hakim-
hakim. Saat itu Israel tidak lagi memiliki pemimpin karena Yosua
telah meninggal.
Dan Israel harus memasuki tanah Kanaan dan berhadapan dengan
bangsa-bangsa
yang ada di sana. Israel membutuhkan sosok pemimpin yang akan
menyatukan
mereka dalam menaklukkan tanah Kanaan. Proses penaklukan tanah
Kanaan menjadi
tantangan yang sulit karena kelemahan Israel dalam berperang
serta perbuatan jahat
Israel di mata Tuhan. Israel berbalik menjadi penyembah
dewa-dewa yang mereka
temui di tanah Kanaan dan kawin campur.9 Allah pun mengangkat
seorang Hakim
untuk mengajak Israel menyembah-Nya kembali dan meyakinkan bahwa
Israel
mampu menaklukan bangsa-bangsa di tanah Kanaan.10
Hakim pada saat itu hanya
bertindak sebagai pemimpin peperangan namun tidak menjadi
seorang imam.
Kalaupun disebutkan bahwa Israel menyembah ilah lain, Hakim
hanya
menyampaikan teguran Allah dan tidak memimpin Israel dalam
peribadahan.
Kehadiran Hakim menjadi bukti bahwa Allah hadir di tengah Israel
dan
menjadi jawaban atas keinginan untuk penaklukan tanah Kanaan.
Hakim memang
menjadi pemimpin tertinggi umat saat itu, tapi Hakim tidak lebih
dari Allah. Hakim
ditunjuk oleh Allah dan menjalankan apa yang menjadi kehendak
Allah. Jadi secara
tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa Allah tetap menjadi
pemimpin mereka
(teokrasi) walaupun sudah ada pemimpin di tengah mereka.
Kehadiran Hakim juga
9 Tremper Longman III dan Raymond B. Dillard, An Intrudoction To
The Old Testament,
Edisi Ke-2 (Michigan: Zondervan, 2006), 139.
10 John Barton dan John Muddiman, ed., The Oxford Bible
Commentary (New York: Oxford
University Press, 2001), 176.
-
16
merupakan respon atas kenyataan yang dilihat Israel bahwa
bangsa-bangsa di tanah
Kanaan telah memiliki seorang raja. Kenyataan bahwa sistem
Monarki telah
berkembang saat itu di kalangan bangsa lain, menggiring Israel
pada sebuah situasi di
mana mereka juga akan menganut sistem Monarki.
Pemahamaan tentang raja dan kerajaan Israel dipengaruhi oleh
setidaknya tiga
bangsa yaitu Mesir, Mesopotamia dan Kanaan. Bangsa Mesir
memahami bahwa raja
memiliki sisi ilahi yang terlihat dari kelahirannya atau saat
pengangkatannya.11
Bangsa Mesir melihat bahwa raja adalah sosok yang dapat dipuja,
contohnya Firaun
yang dianggap sebagai Dewa yang baik. Bangsa Mesopotamia melihat
seorang raja
adalah perwakilan umat terhadap Allah.12
Bangsa Mesopotamia juga melihat bahwa
raja adalah sosok ilahi dengan menyebutnya anak ilahi. Seorang
raja dipilih oleh
Dewa dan menjadi hambanya.13
Bangsa Kanaan melihat bahwa rajanya dapat terlibat
dalam kultus yang dijalankan.14
Dalam kultus itu raja menjadi pengantara antara
Dewa dengan umat serta sebaliknya.
Israel menggabungkan tiga pemahaman raja bangsa itu menjadi
pemahaman
rajanya sendiri. Sistem pemerintahan di Israel diawali dengan
teokrasi. Allah menjadi
pemimpin tertinggi bagi Israel. Seorang raja pun diangkat untuk
menjadi pemimpin
bagi Israel. Seorang raja Israel tidak hanya menjalankan tugas
kenegeraannya tapi ia
juga bertindak menjadi imam besar. Raja Israel juga dianggap
sebagai anak Allah.
Raja bukan menjadi anak Allah langsung, tapi Allah menyebut
bahwa raja Israel
11
Shirley Lucass, The Concept of The Messiah In The Scriptures of
Judaism and Christianity
(New York: T & T Clark International, 2011), 40.
12 Lucass, The Concept of The Messiah, 43.
13 Lucass, The Concept of The Messiah, 44.
14 Lucass, The Concept of The Messiah, 47.
-
17
adalah anaknya.15
Raja Israel juga bertindak sebagai imam besar. Raja Israel
walaupun menjadi pemimpin tertinggi di dunia, tetapi ia juga
tetap menjalankan
perintah Allah. Raja Israel menjadi penghubung antara umat
dengan Allah dan
sebaliknya ketika menjalankan ritual sebagai imam besar.
Peran raja Israel yang memerintah sekaligus berperan dalam
kultus dimulai
dari masa pemerintahan Daud. Daud menjadi raja kota Suci Israel
dan imam tertinggi
yang mengurapi para imam. Oleh karenanya, Daud disebut sebagai
raja kota suci
Yerusalem. Daud dan keturunannya mempunyai kekuasaan sebagai
raja dan sekaligus
imam.16
Hal tentang kekuasaan sebagai raja dan imam berpengaruh
dalam
mengartikan Mesias dalam kehidupan Israel.
Konsep raja dan imam mencuat dengan kuat ketika Israel kembali
dari
pembuangan. B. M. Bokser menyebutkan bahwa ingatan peristiwa
Keluaran menjadi
alasan mengapa konsep eskalotogis mulai muncul dalam kehidupan
Israel.
Pengharapan eskatologis memiliki aspek pembebasan untuk memulai
kehidupan
baru.17
Israel memerlukan seorang pemimpin untuk mengembalikan
kejayaaannya.
Keinginan mengulang kejayaan yang mendorong para nabi dalam
menyuarakan
kemunculan sosok Mesias yang akan merestorasi kehidupan Israel.
Konsep Mesias
menjadi sebuah konsep eskatologis yang sangat dinantikan
kehadirannya oleh Israel.
Mesias akan datang guna melakukan apa yang dulu dilakukan oleh
Daud. Ia akan
kembali membangun Bait Allah, kembali mengurapi imam dan
memimpin Israel
menuju kehidupan yang baik.
15
Siahaan, Pengharapan Mesias, 9.
16 Siahaan, Pengharapan Mesias, 10.
17 B. M. Bokser, “Messianism, The Exodus Pattern, and Early
Rabbinic Judaism”, dalam The
Messiah: Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed.
James H. Charlesworth
(Minneapolis: Augsburg Fortress Publishers, 1992), 257.
-
18
2.3.2. Konsep Mesias dalam Perjanjian Baru
Mesias dalam Perjanjian Baru merujuk pada gelar Kristus yang
disematkan
pada Yesus. Yesus diidentifikasikan sebagai seorang Mesias
karena pemberitaan
Yesus tentang Kerajaan Allah. Yesus diyakini akan kembali
membangun kejayaan
kerajaan Israel di mana Ia memerintah sebagai rajanya.18
Pengharapan akan
kedatangan seorang raja merasuki pikiran orang Yahudi saat itu
yang sedang
menderita. Orang Yahudi di zaman Yesus menantikan penggenapan
nubuatan Mesias
atau kedatangan Anak Manusia untuk menyelamatkan mereka dari
penindasan bangsa
Romawi.19
Injil Markus mulai dengan menggunakan istilah rahasia mesianis.
Penulis Injil
Markus menekankan bahwa identitas Yesus sebagai Mesias tidak
boleh diberitahu
kepada siapa pun oleh setiap orang yang merasakan mukjizat
Yesus, para murid
bahkan para setan.20
Mesias rahasia dalam Injil Markus menimbulkan beberapa
tafsiran yaitu pertama, tafsiran apologetik. Tafsiran ini
mengatakan bahwa Injil
Markus merahasiakan kemesiasan Yesus guna menghindari serangan
para musuh
yang membenci Yesus. Tafsiran Mesias rahasia juga menunjukkan
situasi bahwa
komunitas pembaca Injil Markus bersifat ‘rahasia’ karena mereka
juga dibenci.
Kedua, tafsiran epifanik. Tafsiran ini menekankan tentang
penyataan kemuliaan
Yesus. Injil Markus tidaklah menekankan tentang rahasia
mesianis, namun lebih
kepada menyatakan kemuliaan Yesus. Ketiga, tafsiran teologi
salib. Tafsiran ini
mengatakan bahwa pengenalan terhadap kemesiasan Yesus hanya
dapat ditempuh
18
B. L. Mack, “The Christ and Jewish Wisdom” dalam The Messiah:
Developments In
Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth
(Minneapolis: Augsburg Fortress
Publishers, 1992), 192.
19 James E. Will, A Christology of Peace (Lousville:
Westminster/John Knox Press, 1989), 32.
20 Samuel Benyamin Hakh, Pemberitaan Tentang Yesus: Menurut
Injil-injil Sinoptik. Cetakan
ke-2 (Bandung: Jurnal Info Media, 2008), 132.
-
19
melalui jalan penderitaan. Jadi setiap orang harus menderita
terlebih dahulu bahwa
bisa memahami bahwa Yesus adalah Mesias. Hal ini juga masih
berkaitan dengan
adanya kebencian terhadap komunitas Markus yang membuat mereka
menderita.
Keempat, tafsiran historik. Tafsiran ini mengatakan bahwa Yesus
sebagai Mesias
tetap rahasia sampai Yesus bangkit. Setelah bangkit rahasia
Mesias menjadi terbuka,
tidak lagi tersembunyi. Namun kerahasiaan Mesias tetap tertutup
bagi siapa pun yang
belum percaya kepada Yesus.21
Injil Matius menekankan bahwa Yesus adalah penggenapan Mesias
dalam
Perjanjian Lama. Matius menekankan Yesus adalah Mesias dengan
membuktikan
bahwa Yesus adalah keturunan Daud dalam pembukaan Injilnya
(Matius 1:1-17). Injil
Matius juga mengaitkan Yesus dengan Anak Allah (Matius 16:16;
26:63). Injil Matius
bukan hanya mengatakan bahwa Yesus adalah penggenapan Mesias,
tapi Yesus juga
adalah Musa yang baru.22
Oleh karenanya beberapa peristiwa Yesus diidentikkan
dengan peristiwa Musa, contohnya ketika Yesus berpuasa selama
empat puluh hari di
padang gurun (Matius 4:1-11) sama seperti peristiwa Musa membawa
Israel melintasi
padang gurun selama empat puluh tahun. Yesus dianggap akan
bertindak seperti Musa
untuk membawa keselamatan dan arah baru. Dan itu merupakan
pemahamaan yang
berkembang pada orang Yahudi di abad pertama.23
Injil Lukas memakai gelar Mesias hanya tiga kali, yaitu dalam
hubungan
dengan pengakuan Peturs (Luk. 9:20), hubungan antara Mesias
dengan Daud (Luk.
20:41) dan pertanyaan imam besar pada waktu Yesus diadili (Lukas
22:67). Injil
21
Samuel Hakh, Pemberitaan Tentang Yesus, 134-136.
22 Bart D. Ehrman, The New Testament: A Historical Introduction
to The Early Christian
Writings. Edisi ke-2 (New York: Oxford University Press, 2000),
88.
23 Bart Ehrman, The New Testament, 89.
-
110
Lukas menampilkan Mesias dalam dua cara yaitu pertama,
kebangkitan dan
penggenapan adalah dua istilah kunci dalam mengenakan gelar
Mesias kepada Yesus.
Kedua, dalam pemberitaannya mengenai Yesus sebagai Mesias Injil
Lukas terkadang
menambahkan ungkapan yang menyatakan bahwa penderitaan dan
kematian Yesus
adalah sesuatu yang perlu sesuai dengan yang dinubuatkan dalam
Kitab Suci. Jadi
bagi Injil Lukas, Mesias bukan seorang figur politis, melainkan
seorang figur Mesias
yang menderita sesuai dengan janji Kitab Suci untuk memberikan
keselamatan kepada
manusia.24
Injil Sinoptik berbeda-beda dalam mengartikan Mesias dalam diri
Yesus. Injil
Markus bukan hanya merumuskan rahasia kemesiasan tapi juga
sangat menekankan
bahwa Mesias tidak punya banyak waktu atau buru-buru. Hal ini
dianggap wajar
bahwa ketika keempat tafsiran atas kerahasiaan Mesias terlihat
bahwa ada penderitaan
dan harapan eskatologis dan apokaliptik. Injil Markus begitu
sangat ingin
mewujudkan kedatangan Mesias itu karena Ia akan membawa
kemuliaan dan
pembebesan bagi umat, khususnya komunitas Markus. Injil Matius
menyatakan
bahwa Yesus adalah keturunan Daud dan penggenapan Perjanjian
Lama karena Injil
Matius berhadapan dengan komunitasnya yang merupakan orang
Kristen Yahudi. Injil
Matius menggunakan bahan-bahan Perjanjian Lama untuk meyakinkan
pembacanya
bahwa Yesus adalah benar-benar penggenapan nubuatan Mesias.
Injil Lukas
menghindari penggunaan Mesias dalam artian politis karena Injil
Lukas ditulis kepada
seorang penguasa Romawi yang bernama Teofilus Yang Agung. Mesias
sebagai
tokoh politik tidak akan diberitakan oleh Injil Lukas karena
pastinya akan mendapat
penolakan dari bangsa Romawi dan mengesankan agama Kristen akan
mengudeta
24
Samuel Hakh, Pemberitaan Tentang Yesus, 141.
-
111
pemerintahan Romawi. Keberagaman pandangan Mesias dalam Injil
Sinoptik
memperlihatkan bahwa Mesias diartikan sesuai dengan konteks
komunitas yang ada.
2.3. Mesias Nirkekerasan
2.3.1. Latar Belakang Sosial-Politik Mesias Nirkekerasan
Pandangan Mesias di dalam Perjanjian Baru yang sebelumnya
disebutkan
adalah pandangan dari para penulis Injil tentang Yesus.
Pandangan itu muncul setelah
kehidupan pelayanan Yesus, bukan pada saat pelayanan Yesus
terjadi. Diyakini
bahwa para penulis Injil tidak terlibat langsung dalam aktifitas
pelayanan bersama
Yesus. Lalu bagaimanakah sebenarnya keadaan sosial-politik saat
Yesus melakukan
pelayanannya, sehingga beberapa orang yang dikatakan mengatakan
bahwa Yesus
adalah seorang Mesias?
Dunia di mana hidup Yesus adalah dunia di mana kekaisaran
Romawi
mendominasi wilayah Palestina. Herodes Yang Agung menjadi
pemimpin yang
bertangan besi yang menggunakan kekerasan dalam mengokohkan
kekuasaannya.
Herodes Yang Agung memperlakukan orang Yahudi dengan sombong,
menyiksa
orang Farisi bahkan membunuh tiga putranya sendiri.25
Situasi mengerikan ini
menjadi bibit dalam munculnya perlawanan dari pihak Yahudi.
Orang Yahudi
melakukan perlawanan di bawah pimpinan tokoh karismatik yang
bercirikan Mesias.
Perlawanan besar di bawah tokoh karismatik mendesak kekaisaran
Romawi untuk
melakukan perlawanan, salah satunya adalah hukuman mati dengan
cara disalib
kepada orang-orang yang dianggap mengancam kekuasaan
Romawi.26
25
John Stambaugh – David Balch, terj. Stephen Suleeman, Dunia
Sosial Kekristenan Mula-
mula (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 15.
26 Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, terj.
Bambang Subandrijo
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 99.
-
112
Munculnya tokoh karismatik yang bercirikan Mesias merupakan
konsekuensi
logis dari situasi yang dihadapi orang Yahudi saat itu. Keadaan
penindasan dan
kekerasan oleh kekaisaran Romawi membuat orang Yahudi berada
dalam dua situasi.
Situasi pertama adalah orang Yahudi melakukan praktik-praktik
agamanya sesuai
dengan keadaan saat itu. Orang Yahudi harus menerima keadaan
bahwa beberapa
peraturan keagamaan saat itu dimodifikasi oleh kekaisaran
Romawi, contohnya adalah
persembahan korban yang dilakukan setiap hari di Bait Suci
dilakukan atas nama
kaisar dan bukan lagi atas nama Tuhan.27
Sebagian orang Yahudi menerima perlakuan
kasar seperti ini, namun ada sekelompok orang Yahudi yang
melakukan perlawanan
terhadap kekaisaran Romawi – dan ini adalah situasi kedua.
Perlawanan orang Yahudi
tetap dilakukan di bawah kepemimpinan tokoh karismatik yang
dicirikan Mesias.
Orang-orang Yahudi yang melakukan perlawanan itu disebut kaum
Zelot. Dua
kelompok Yahudi yang bertahan dengan keadaan yang ada dan
kelompok Zelot yang
melakukan perlawanan sebenarnya sama-sama menantikan pemulihan
ibadah di
Yerusalem.28
Kenapa akhirnya tokoh-tokoh karismatik itu bermunculan dan
disebut sebagai
Mesias? Jika kita merujuk kepada pemahaman mesias dalam bagian
sebelumnya, jelas
bahwa seorang pemimpin dibutuhkan dalam memenuhi aspek
pengharapan mesianik
orang Yahudi. Pengharapan mesias yang dikenakan pada tokoh
karismatik membawa
ingatan orang Yahudi kembali pada kejayaan bangsa Israel. Orang
Yahudi yang hidup
saat itu ingin bahwa mereka lepas dari kekuasaan Romawi. Orang
Yahudi berharap
bahwa ada pemimpin yang akan memulihkan situasi ketertindasan
mereka dan
27
John Stambaugh, Dunia Sosial Kekristenan, 17.
28 John Stambaugh, Dunia Sosial Kekristenan, 21.
-
113
kemurnian ibadah mereka di Yerusalem. Perlawanan oleh tokoh
karismatis yang
bercirikan Mesias membuat tentara romawi memperketat pengamanan
untuk
mencegah kemungkinan munculnya para Mesias dan para pengikutnya.
Bahkan
tentara Romawi juga memeriksa dan menganiaya beberapa orang yang
merupakan
keturunan Daud untuk mencegah munculnya keturunan Daud menjadi
Mesias.29
2.3.2. Yesus dan Mesias Nirkekerasan
Bagi orang Yahudi di masa pemerintahan Romawi, kehadiran Yesus
dianggap
sebagai salah satu tokoh karismatik yang bercirikan Mesias.
Yesus dianggap demikian
karena Yesus mengabarkan tentang Kerajaan Allah. Anggapan orang
Yahudi saat itu
tentang Kerajaan Allah adalah Yesus telah dipilih oleh Allah
untuk menjadi wakil-
Nya dalam dunia ini. Pemahaman ini muncul dari kata Kerajaan
Allah itu sendiri yang
berarti ada sebuah wilayah di mana Allah akan memerintah atasnya
dan otoritas dari
Allah untuk memerintah.30
Pemahaman Kerajaan Allah dipengaruhi situasi di mana
orang Yahudi sering dihadapkan pada penderitaan yang dilakukan
oleh kerajaan dari
bangsa lain. Tercatat bahwa beberapa kerajaan telah menindas dan
menaklukan Israel
seperti Babilonia, Asyur, Asiria, Persia dan Roma. Orang Yahudi
sudah sangat
merindukan bahwa akan datang waktunya di mana Kerajaan Allah
yang akan
memerintah dan menaklukan kerajaan-kerajaan lain. Kerinduan
terhadap kejayaan
pemerintahan raja Daud juga melatarbelakangi gerakan orang
Yahudi untuk percaya
pada Yesus yang akan datang sebagai Mesias, seorang Raja
keturunan Daud, yang
akan memerintah di Kerajaan Allah.
29
John Stambaugh, Dunia Sosial Kekristenan, 21.
30 Daniel Lywood Smith, Into The World of The New Testament:
Greco Roman and Jewish
Texts and Contexts (London: Bloomsbury T&T Clark, 2015),
26.
-
114
Yesus menghadirkan sebuah cara agar umat tidak terperangkap
dalam
lingkaran kekerasan. Yesus hidup dan mengajarkan sebuah jalan
nirkekerasan. Jalan
nirkekerasan yang dilakoni Yesus adalah respon atas keinginan
orang Yahudi abad
pertama yang memilih untuk menjadi nirkekerasan.31
Josephus mengatakan bahwa
saat itu orang Yahudi melakukan perlawanan nirkekerasan terhadap
kekaisaran
Romawi. Josephus mengatakan bahwa perlawanan nirkekerasan itu
lebih banyak pada
aspek religius. Salah satu contoh yang diberikan Josephus adalah
Kaisar Caligula
yang hendak mendirikan patungnya di Bait Allah di Yerusalem pada
tahun 39 M.
Orang Yahudi menolaknya dengan memilih mati daripada hidup untuk
menyaksikan
patung Caligula masuk dalam Bait Allah.32
Namun konsep nirkekerasan yang diajarkan Yesus mendapat
pertentangan
karena masih bernuansa kekerasan. Hal itu dapat ditemui dalam
perumpamaan-
perumpamaan yang cenderung menghakimi dan bersifat destruktif.
Perumpamaan itu
menimbulkan ketegangan bagi para pembaca karena diperhadapkan
dengan
nirkekerasan Yesus dan kekerasan ilahi (Allah). Ketegangan ini
akan membawa orang
untuk melegalkan tindakan kekerasan karena dipercaya tindakannya
dilakukan juga
oleh Allah.33
Beberapa perkataan Yesus juga dinilai mengandung unsur
kekerasan.
Salah satu perkataan Yesus yang dipakai untuk menolak konsep
nirkekerasan adalah
Matius 10:34 “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk
membawa damai
di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan
pedang.” Kata
pedang memang identik dengan tindak kekerasan, namun perkataan
Yesus ini perlu
31
Simon J. Joseph, The Nonviolent Messiah: Jesus, Q and The
Enochic Tradition
(Minneapolis: Fortress Press, 2014), 43.
32 Simon Joseph, The Nonviolent Messiah, 43.
33 Leo Lefebure, Penyataan Allah, 109.
-
115
dilihat dalam konteks di mana perkataan itu dimuat oleh Injil
Matius. Pedang yang
dimaksudkan dalam Matius 10:34 adalah pemisahan atau perlawanan.
Perkataan
Yesus mengenai pedang bukanlah sebuah ajakan bagi pengikutnya
untuk mengangkat
pedang dan melakukan perlawanan. Perkataan tersebut ingin
menegaskan bahwa
kesetiaan dalam mengikuti-Nya akan membawa seseorang dalam
situasi sulit di mana
keluarga dekatnya akan memberikan penolakan.34
Perumpamaan Yesus mengenai penghakiman akhir dipakai juga
untuk
menyanggah konsep mesias nirkekerasan. Perumpamaan mengenai
penghakiman
akhir menyuguhkan situasi yang mengerikan di mana tidak
diberikannya
pengampunan dan pembuangan orang-orang fasik ke dalam jurang
kegelapan.
Gambaran ini tentunya bertentangan dengan konsep nirkekerasan
yang penuh dengan
kasih. Adanya kekerasan dalam perumpamaan Yesus setidaknya dapat
dipahami
dalam dua hal. Pertama, kekerasan yang ditampilkan dalam
perumpamaan
menyimbolkan kekerasan yang dialami oleh umat Kristen saat itu.
Penghakiman akhir
itu adalah bentuk penghiburan di mana setiap umat Kristen yang
menderita akan
mendapatkan penghiburan yaitu keselamatan dan bukan
penghukuman.35
Penghukuman itu akan diberikan pada pihak-pihak yang telah
membuat umat Kristen
menderita. Pemahaman ini dapat dikatakan bahwa si korban yaitu
umat Kristen tetap
bertindak nirkekerasan walaupun kekerasan mengiringi kehidupan
mereka. Di sisi lain
penghukuman terhadap pelaku kekerasan tetap menjadi sorotan
karena juga
menyetujui adanya kekerasan. Namun jika pernyataan ini digiring
kembali pada
situasi terbentuknya konsep mesias, maka penggambaran
penghakiman akhir adalah
34
Simon Joseph, The Nonviolent Messiah, 26.
35 David C. Sim, “The Pacifist Jesus and The Violent Jesus In
The Gospel of Matthew,”
Hervormode Teologiese Studies Vol. 67 Issue 1 (2011): 5.
-
116
sesuatu yang wajar karena Mesias yang datang menghakimi adalah
harapan dari
setiap orang yang menderita kekerasan. Guna menghindari
keambiguan konsep
mesias nirkekerasan maka perumpamaan yang mengandung kekerasan
dalam
dipahami dalam hal yang kedua yaitu perumpamaan tersebut adalah
ajakan untuk
melakukan nirkekerasan. Perumpamaan tentang penghakiman akhir
adalah hal yang
bersifat eskatologis, sedangkan nirkekerasan lebih bersifat
waktu sekarang.
Nirkekerasan justru berusaha untuk mewujudkan agar di waktu
kelak akan tercipta
juga situasi nirkekerasan bukan kekerasan seperti yang
digambarkan oleh
perumpamaan itu.36
Apabila setiap orang tetap berada dalam lingkaran kekerasan,
maka yang terjadi adalah penghukuman tanpa pengampunan dan
pembedaan antara
orang benar dan orang fasik. Hal ini dilihat sebagai sikap
individu yang terus
melakukan kekerasan tanpa memikirkan akibatnya bagi korban dan
setiap orang akan
melakukan apapun untuk menjadi kuat dan terbebas dari keadaan
mencekam. Jadi
perumpamaan tentang penghakiman akhir yang penuh dengan
kekerasan itu adalah
situasi yang akan terjadi apabila kekerasan tetap dibiarkan
tumbuh sumbur dalam
masyarakat. Setiap orang harus keluar dari lingkaran kekerasan
itu untuk menciptakan
hari esok yang penuh harapan di mana setiap orang menjalani
sikap nirkekerasan dan
situasi yang penuh kasih dan damai dapat tercipta.
Nirkekerasan Yesus dapat dijelaskan melalui kata Yunani
antistenai. Kata
antistenai merupakan bentukan dari dua kata yaitu anti, yang
berarti melawan dan
histemi yang berarti pemberontakan yang menggunakan kekerasan.
Kata antistenai
sendiri digunakan dalam Septuaginta untuk merujuk pada situasi
di mana ada dua
36
Barbara E. Reid, “ Violent Endings In Matthew’s Parables and
Christian Nonviolence,”
Catholic Biblical Quaterly Vol. 66 Issue 6 (April 2004):
254.
-
117
kubu saling berlawanan sampai salah satu kubu kalah.37
Kata antistenai berarti
‘jangan melawan kejahatan’. Walter Wink tidak menyetujui
pengartian ‘jangan
melawan kejahatan’ karena terkesan hanyalah sebuah perintah dan
menggiring pada
sebuah kepatuhan semu. Walter Wink melihat bahwa antistenai
lebih baik diartikan
‘jangan bertindak dengan keras kepada seseorang yang bertindak
jahat’. Pengartian
lebih mengarahkan pembacanya kepada sebuah tindakan nyata.38
Beberapa kisah dalam Injil menunjukkan bagaimana seharusnya
bertindak
dalam menghadapi kekerasan, salah satunya adalah kisah tentang
memberikan pipi
yang di sebelah kanan ketika ada seseorang yang menampar pipi
kiri. Pemberian pipi
kanan untuk ditampar bukanlah sebuah tindakan yang pasif,
mengalah ataupun
melukai. Ketika seseorang mendaratkan tamparan di pipi kanan
seseorang, maka ia
akan menggunakan bagian luar tangannya. Bagian luar tangan kanan
seseorang adalah
bagian yang sering dipakai untuk menunjukkan kepatuhan dan sikap
tunduk pada
seseorang yang lebih tinggi status sosialnya, seperti para budak
yang mencium bagian
luar tangan kanan tuannya.
Kisah tersebut menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat
direndahkan dengan
cara apapun. Kisah pemberian pipi kanan adalah untuk menciptakan
keseteraan di
antara manusia.39
Seseorang yang menampar berarti merendahkan orang yang
ditampar. Ia mengambil peran sebagai yang superior dan si korban
menjadi inferior.
Namun ketika si korban membiarkan pipi kanannya ditampar dengan
menggunakan
bagian luar tangan si penampar, maka terjadilah pertukaran
posisi antara si penampar
(inferior) dan si korban (inferior). Tindakan ini dilakukan
bukan untuk bermaksud
37
Walter Wink, Jesus and Nonviolence: A Third Way (Minneapolis:
Fortress Press, 2003), 11.
38 Walter Wink, Jesus and Nonviolence, 11.
39 Walter Wink, Jesus and Nonviolence, 16.
-
118
melukai si korban, tapi untuk menjadikan sebuah situasi agar
tidak terulang lagi
lingkaran setan kekerasan. Setiap korban pasti akan cenderung
membalas kekerasan
kepada pelakunya. Kalau hal itu terjadi, maka setiap orang akan
berusaha untuk
menaklukan lawannya dan menguasai lawannya. Pemberian pipi kanan
adalah cara
agar setiap orang tidak lagi berpikir untuk mendominasi orang
lain, tapi lebih pada
penyetaraan derajat – tidak ada lagi istilah inferior dan
superior. Hal ini juga untuk
melawan kultur Romawi yang keras dan senang mencari kehormatan.
40
Nirkekerasan bukanlah sebuah tindakan yang pasif atau tindakan
yang
mengalah. Nirkekerasan adalah sebuah tindakan nyata, ia
melakukan sesuatu dalam
melawan kejahatan yaitu tidak bertindak dengan keras. Seseorang
yang melakukan
nirkekerasan melakukan satu tindakan tapi bukan tindakan yang
mengandung
kekerasan. Ketika Yesus dikatakan sebagai Mesias, berarti Ia
akan memimpin
perlawanan melawan Romawi untuk memberi kehidupan baru bagi
orang Yahudi
yang menderita kala itu. Yesus sebagai Mesias nirkekerasan
membawa perubahan
bagi kehidupan masyarakat saat itu untuk tidak bertindas keras
terhadap para
penindasnya (Romawi).
2.3.3. Nirkekerasan dan Gereja
Mesias nirkekerasan telah mengubah makna Mesias itu sendiri.
Mesias
nirkekerasan bukan lagi menjadi sebuah konsep eskatologis, tapi
ia menjadi konsep
yang bernilai ‘hari ini’. Mesias nirkekerasan bukan lagi menjadi
sebuah keyakinan
dogmatis, tetapi ia telah menjadi sebuah tindakan etis. Jalan
nirkekerasan yang dipilih
Yesus bukanlah sebuah perubahan sosial tapi adalah sebuah
pemahaman diri yang
40
Daniel Smith, Into The World of The New Testament, 35.
-
119
baru.41
Jalan nirkekerasan Yesus adalah sebuah bentuk konkrit dari
penghayatan
spiritural diriNya. Oleh karenanya Yesus mengajak bukan untuk
mengubah dunia ini
tapi untuk menunjukkan bahwa tindakan etis, atau dalam hal ini
tidak melawan
kekerasan dengan kekerasan, adalah hasil perenungan spiritual
bukan hanya norma
atau ketaatan biasa. Perenungan itu menghasilkan hubungan yang
antar pribadi yang
saling menghargai dan menghormati.
Mesias nirkekerasan mengandung kasih Allah di dalamnya.
Nirkekerasan
menjadi sebuah tindakan Allah bagi manusia. Mesias nirkekerasan
menjadi
penghubung antara dunia Allah yaitu kasih dan dunia manusia
yaitu dosa. Mesias
nirkekerasan membawa kasih dari Allah dan membawa keberdosaan
manusia.
Ketaatan Yesus dalam menjalani perannya sebagai Mesias
nirkekerasan, sampai mati
di kayu salib, memampukan kekristenan melakukan nirkekerasan
yang di dalamnya
terdapat kasih.42
Jalan nirkekerasan merupakan jalan untuk masuk ke dalam
kasih
Allah. Nirkekerasan bukanlah menilai bahwa seseorang punya hak
untuk menolak
kekerasan terjadi dalam dirinya. Nirkekerasan adalah cara untuk
tetap berada dalam
kasih Allah. Ketika seseorang telah membalas kekerasan dengan
kekerasan dia telah
memalingkan diri dari kasih Allah. Jadi nirkekerasan bukanlah
sebuah sikap yang
menuntut kepatuhan tapi sebuah kesadaran diri untuk tidak
berlaku kekerasan.
Nirkekerasan berada dalam ruang kasih Allah yang tidak menuntut
balasan
dari manusia. Kasih Allah selalu diberikan dan ditujukan bagi
umat walaupun umat
melakukan kekerasan yang membuat mereka terasing dari kasih
Allah. Allah
41
John Howard Yoder, The Politics of Jesus: Vicit Agnus Noster,
Edisi ke-2 (Michigan:
William B. Eerdmans Publishing Company, 1994), 6.
42 Alain Epp Weaver, “UNJUST LIES, JUST WARS?: A Christian
Pacifist Conversation with
Augustine,” Journal of Religious Ethics Vol. 29 Issue 1 (Maret
2011): 70.
-
120
menerima kekerasan dari umat namun tidak membalas kekerasan itu
dengan hukuman
atau kekerasan. Allah tidak menggunakan pemahaman hirarkis untuk
membedakan
dirinya dengan umat, justru Allah mendekatkan dirinya agar
terjadi hubungan antar
pribadi. yang erat. Demi terciptanya hubungan pribadi yang erat
itu pula, kasih Allah
menjelma dalam tubuh manusia. Oleh karenanya ketika seseorang
melakukan
kekerasan terhadap orang lain, ia melakukan penolakan terhadap
kasih Allah yang ada
dalam diri setiap individu.
Gereja memberitakan kasih Allah ia bukanlah sebuah bentuk yang
tidak nyata
tapi nyata dalam diri Yesus dan lebih nyata lagi dalam diri
umat. Gereja menjadi
pemberita kasih Allah dengan sikap nirkekerasan. Gereja
mempunyai kesadaran untuk
mengundang semua orang untuk masuk dalam kasih Allah dengan
melakukan
nirkekerasan. Gereja perlu membangun sikap untuk tidak
membeda-bedakan umat
karena pada dasarnya kasih Allah dan nirkekerasan adalah soal
kesamaan derajat dan
memanusiakan manusia.
2.4. Penutup
Nirkekerasan menjadi jalan yang dipilih oleh Yesus dalam situasi
masyarakat
saat itu. Situasi saat itu memerlukan adanya perubahan situasi
bagi orang Yahudi
dalam masa pemerintahan Romawi. Berbagai perlawanan dilakukan
oleh mereka,
namun tidak menemui kemenangan. Perlawanan yang dilakukan justru
membuat
mereka semakin dicurigai dan dijadikan sasaran kekerasan.
Beberapa orang Yahudi
memutuskan untuk tidak melawan dan hidup sesuai dengan keadaan
menghindari
kekerasan.
Yesus disebut-sebut sebagai Mesias yang akan membawa kebebasan
dari
penindasan kekaisaran Romawi. Orang Yahudi semakin yakin bahwa
Yesus adalah
-
121
Mesias ketika Ia memberitakan Kerajaan Allah. Mereka percaya dan
berharap bahwa
Kerajaan Allah akan memerintah lagi di mana Yesus sebagai
rajanya dan akan
menaklukan kerajaan-kerajaan lain. Yesus memang tidak
memberitakan bahwa
Kerajaan Allah akan terbentuk dalam dunia ini. Kerajaan Allah
yang diberitakan
Yesus adalah situasi di mana Allah hadir di dalamnya dan
menampakkan sifat-sifat
Allah.
Mesias Nirkekerasan menjadi jalan alternatif yang ditempuh Yesus
untuk
mendamaikan dua pandangan besar tersebut. Mesias nirkekerasan
menjadi pemimpin
dalam bertindak melawan kekerasan. Mesias nirkekerasan menjadi
pemimpin untuk
membawa perubahan baru bagi masyarakat saat itu. Perubahan baru
itu adalah
bagaimana seseorang tidak lagi berpikir untuk mengalahkan atau
mendominasi pihak
lain. Seseorang dipanggil untuk mengubah lingkaran kekerasan itu
dengan tidak
mengubah posisi dari korban menjadi pelaku kekerasan, tapi
menyadari bahwa
keberadaan dan derajat yang sama sebagai manusia. Mesias
nirkekerasan memimpin
untuk menghindari terjadinya kontak fisik dan membawa
pemahamawan baru di mana
kekerasan diubah menjadi kasih. Mesias nirkekerasan menjadi
jalan baru yang
ditempuh sesuai dengan konteks masyarakat yang ada saat itu.
Jika melihat definisi Mesias dan beberapa Mesias dalam pandangan
Kristen,
maka Mesias nirkekerasan adalah seorang pemipin yang mempunyai
dampak sosial,
menjadi pemimpin yang membawa perubahan dan mendatangkan
keselamatan agar
orang menyadari untuk tidak melakukan kekerasan atau membalas
kekerasan dengan
kekerasan.