BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 AnatomiAsal embriologi kanalis analis dari proktoderm yang
merupakan invaginasi ectoderm, sedangkan rektum berasal dari
entoderm, sehingga hal ini menyebabkan epitel, arterialisasi,
persarafan, serta penyaliran limfenya berbeda1. Rektum dilapisi
oleh mukosa glanduler usus sedangkan kanalis analis oleh anoderm
yang merupakan kelanjutan dari sel gepeng kulit luar. Perubahan
daerah antara rektum dan anus ditandai dengan perubahan epitel.
Pada persarafan rectum yang dipersarafi oleh saraf otonom tidak
peka terhadap nyeri, berbeda dengan kanalis analis yang dipersarafi
oleh saraf simpatis yang kaya akan persarafan. Sistem arterialisasi
di atas garis anorektum mengalir melalui system porta, sedangkan
yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melaui cabang vena
iliaka1,2. Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3
sentimeter. Sumbunya mengarah ke umbilikus dan membentuk sudut yang
nyata ke dorsal dengan rectum dalam keadaan istirahat. Pada saat
defekasi sudut ini menjadi lebih besar. Batas atas kanalis anus
disebut dengan linea dentate yang artinya bergigi. Di daerah ini
terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rectum.
Infeksi yang terjadi di sini dapat menimbulkan abses anorektum yang
dapat membentuk fistula1. Kanalis analismemiliki struktur silinder
yang dikelilingi oleh dua lapisan otot, internal sfingter (IS) dan
eksternal sfingter (ES).Sfingter internal terdiri dari otot halus ,
serat yang berkelanjutan dengan otot polos rektumdan melingkari
bagian dua pertiga kranialkanalis analis. Sedangkan sfingter
eksternus terdiri atas serabut otot lurik yang terdapat pada
sepertiga kaudal kanalis analis. Dua sfingter ini dipisahkan ruang
intersfingterikyang terdiri atas lemak, jaringan areolar , dan otot
longitudinal.Ruang ini membentuk bidang yang memudahkan pus atau
fistula menyebar3.Arteria rektalis superior memasok darah kepada
kanalis analis kranial dari linea pektinata dan bagian proksimal
rektum. Kedua arteria rectalis inferior mengurus pendarahan
arterial bagian kaudal kanalis analis , bagian distal rektum, dan
juga otot-otot di sekitarnya kulit perianal. Arteria rectalis media
membantu pemasokan darah dengan membentuk anastomosis dengan
arteria rectalis superior dan arteria rectalis inferior , serta
memasok darah kepada rectum bagian tengah dan bagian
distal1,2,3.Pembuluh darah balik vena pada anorektum berasal dari
plexus hemoroidalis internus yang berjalan kearah kranial ke dalam
vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke
vena porta. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke dalam
vena pudenda interna dan ke dalam vena iliaka interna dan sistem
kava1.Pembuluh limfe dari kanalis membentuk pleksus halus yang
menyalirkan isinya menuju ke kelenjar limfe inguinal. Selanjutnya,
cairan limfe terus mengalir sampai ke kelenjar limfe iliaka.
Pemebuluh limfe dari rektum di atas garis anorektum berjalan
seiring dengan vena hemoroidalis superior dan melanjut ke kelenjar
limfe mesenterika inferior dan aorta1. Persarafan rectum terdiri
atas sistem simpatik dan sistem parasimpatik. Serabut simpatik
berasal dari pleksus mesenterikus inferior dan system parasakral
yang terbentuk dari ganglion simpatis lumbal ruas kedua, ketiga,
dan keempat. Persarafan kranial dari linea pektinata persarafan
kanalis analis berasal dari plexus hypogastricus inferior.
Persarafan kanalis analis dari kaudal berasal dari nervus rektalis
inferior cabang nervus pudendus1,2,3.
Gambar 2.1 . Gambar anatomi kanalis analis
Gambar 2.2 Vaskularisai Anorektum
2.2 Fisiologi Fungsi utama dari rektum dan kanalis anal ialah
untuk mengeluarkan massa feses yang terbentuk di tempat yang lebih
tinggi dan melakukan hal tersebut dengan cara yang terkontrol.
Rektum dan kanalis anal tidak begitu berperan dalam proses
pencernaan, selain hanya menyerap sedikit cairan. Selain itu
sel-sel Goblet mukosa mengeluarkan mukus yang berfungsi sebagai
pelicin untuk keluarnya massa feses3,4. Pada hampir setiap waktu
rektum tidak berisi feses. Hal ini sebagian diakibatkan adanya otot
sfingter yang tidak begitu kuat yang terdapat pada rectosigmoid
junction, kira-kira 20 cm dari anus. Terdapatnya lekukan tajam dari
tempat ini juga memberi tambahan penghalang masuknya feses ke
rektum. Akan tetapi, bila suatu gerakan usus mendorong feses ke
arah rektum, secara normal hasrat defekasi akan timbul, yang
ditimbulkan oleh refleks kontraksi dari rektum dan relaksasi dari
otot sfingter. Feses tidak keluar secara terus-menerus dan sedikit
demi sedikit dari anus berkat adanya kontraksi tonik otot sfingter
ani interna dan eksterna3,42.3 Definisi Perianal FistulaPerianal
fistula didefinisikan sebagai saluran abnormal yang menghubungkan
saluran anal atau rektum ke permukaan kulit di sekitar anus,
biasanya disebabkan oleh perforasi atau penyaliran abses anorektum,
sehingga kebanyakan fistel mempunyai satu muara di kripta di
perbatasan anus dan rektum dan lubang lain di perineum di kulit
perianal. Bentuk kronik dari abses yang tidak sembuh yang akan
membentuk traktus akibat inflamasi4,5.
2.4 EpidemiologiPerianal fistulas memiliki prevalensi sekitar
18,2 % dengan rasio laki-laki : perempuan sebesar 2 : 1. Pada
laki-laki diketahui angka prevalensi adalah sebesar 12,6% dari
100.000 populasi sedangkan pada perempuan adalah 5,6% dari 100.000
populasi. Umumnya rata-rata 40 tahun (20 tahun 60 tahun) 4,5.
2.5 EtiopatofisiologiTeori kriptoglandular oleh Eisenhammer dan
Parks kini secara luas telah digunakan. Eisenhammer mengatakan
bahwa kelenjar intramuskular anal mengalami infeksi dan akibat
infeksi berulang dan mengakibatkan obstruksi duktus penghubungnya,
kelenjar anal tidak dapat melakukan pengosongan secara spontan ke
kanalis analis. Sedangkan Parks menemukan adanya dilatasi kista
dari kelenjar anal sebanyak delapan dari tiga puluh kasus anal
fistula. Sehingga dia menghubungkannya dengan dilatasi duktus yang
didapat atau kongenital. Infeksi dimulai pada bidang
intersfingterik. Jika terjadi penjalaran kebawah dari bidang
intersfingterik maka akan terbentuk perianal abses. Jika terjadi
penjalaran keatas dari bidang intersfingterik maka, kemungkinan
terbentuk abses intersfingterik yang tinggi atau abses
supralevator. Sepsis yang menjalar melewati ES akan membentuk abses
ischiorectal.Jika hal ini kemudian meluas ke atas levator, maka
akan terbentuk abses supralevator. Abses Horseshoe terbentuk pada
penyebaran yang melingkar4,5.
2.6 KlasifikasiA. Hukum Goodsall Untuk membantu pemeriksa
memperkirakan arah saluran dan kemungkinan lokasi dari muara
interna, dapat digunakan Hukum Goodsall. Ketika pasien berada dalam
posisi litotomi : jika muara eksterna terletak anterior dari garis
imajiner yang ditarik horizontal dari kanalis ani, fistula biasanya
berjalan langsung menuju anal kanal ; jika muara eksterna terletak
sebelah posterior dari garis, fistula biasanya membentuk lengkungan
terhadap garis tengah dari kanalis ani5.
Gambar 2.3Klasifikasi Hukum Goodsall
Fistel dengan lobang kripta di sebelah anterior umumnya
berbentuk lurus. Fistel dengan lobang yang berasal dari kripta di
sebelah dorsal umumnya tidak lurus, tetapi bengkok ke depan karena
radang dan pus terdorong ke anterior di sekitar m.puborektalis dan
dapat membentuk satu lobang perforasi atau lebih di sebelah
anterior, sesuai hukum Goodsall. Beragam perbedaan anatomis dari
abses dan fistula ini dapat terjadi, pemahaman mengenai hal itu
dipermudah oleh pengetahuan tentang rute penyebaran infeksi5.
Lokasi muara fistula eksterna adalah kunci dari posisi muara
interna. Jalur umum traktus fistulosa anorektum. Muara interna
(primer) hampir selalu berada dalam kripta; fistula biasanya
tunggal dan hanya melibatkan bagian muskulus sfingter; fistula
majemuk atau fistula yang melibatkan seluruh muskulus sfingter
eksterna jarang ditemukan4. Harus dicatat, walau bagaimanapun,
semakin jauh muara eksterna dari anus, hukum Goodsall semakin tidak
dapat dipercaya. Sebagai tambahan, arah saluran pada fistula yang
rumit tidak dapat diprediksi4.
B. Klasifikasi ParksSistem klasifikasi Parks menjelaskan ada 4
tipe fistula perianal yang terjadi akibat infeksi kriptoglandular
yaitu : A. Fistula IntersfingterikaMerupakan bentuk fistula yang
sering terjadi (70%) yang disebabkan oleh karena abses perianal.
Saluran yang terbentuk oleh karena pecahnya abses menembus kedalam
ruang interfingterika. Sebuah high blind track dapat melewati jalur
fistula menuju dinding rektum dan dapat menembus ke rektum bagian
bawah sehingga proses infeksi dapat menyebar hingga ke rektum
bagian bawah. Infeksi juga dapat menyebar hingga ke pelvic cavity
yang berada di atas levator ani. Selain itu fistula
intersfingterika juga dapat disebabkan oleh adanya pelvic abses
yang kemudian bermanifestasi ke area perianal 5.B. Fistula
Transsfingterika Fistula ini merupakan hasil dari abses ischioanal
dan merupakan fistula dengan prevalensi sebesar 23% dari
keseluruhan distula. Saluran fistel berjalan dari internal dan
eksternal sfingter menuju ischioanal fossa. Sebuah saluran buta
juga dapat terjadi dimana bagian lengan atas dari saluran fistel
dapat berjalan ke arah apeks dari ischioanal fossa atau meluas
melalui otor levator ani dan menuju pelvis. Salah satu bentuk dari
fistula transsfingterika adalah fistula rectovaginal5.C. Fistula
SuprasfingterikaSaluran fistel ini merupakan hasil dari abses
supralevator dan memiliki prevalensi kejadian sebesar 5% dari
keseluruhan fistel. Saluran fistel berjalan diatas puborektalis
setelah muncul sebagai abses intersfingterika. Saluran fistel
membelok ke lateral bawah menuju sfingter eksternal pada ruang
ischioanal ke kulit perianal. Sebuah saluran buta juga dapat
terjadi dan merupakan penyebab dari pelebaran pada horseshoe5.D.
Fistula EkstrasfingterikaFistel ini merupakan tipe yang sangat
jarang terjadi dengan prevalensi sebesar 2% dari keseluruhan
fistel. Saluran fistel berjalan dari rektum dan menuju kulit
perianal melalui ruang ischioanal. Hal ini dapat disebabkan oleh
adanya penetrasi benda asing ke rektum sehingga terjadi drainase
melewati levators, trauma penetrasi ke perineum, atau berasal dari
penyakit Crohns atau karsinoma. Namun penyebab tersering adalah
iatrogenik sekunder pada saat operasi fistula yang berlebihan5
IntersphinctericTransphinctericSuprasphinctericExtrasphinctericGambar
2.4 Klasifikasi Parks
2.7 Manifestasi KlinisGejala paling umum yang dikeluhkan adalah
adanya discharge, meskipun nyeri lokal juga tidak jarang. Namun
kebanyakan fistula juga dapat asymptomatik.Adanya riwayat abses ani
yang berulang dengan drainase merupakan suatu petunjuk bahwa
seseorang mungkin mempunyai fistula. Biasanya gejala terbatas pada
pembengkakan intermiten, drainase, pruritus dan ketidaknyamanan
yang bervariasi. Riwayat abses bermanfaat dalam diagnosis. Adanya
riwayat kambuhan abses perianal dengan selang waktu diantaranya,
disertai pengeluaran nanah sedikit-sedikit3. Muara eksterna
biasanya terlihat sebagai titik berwarna merah, mengalami
inflamasi, mengeluarkan nanah yang bercampur darah, tinja. Muara
kulit secara khas agak meninggi, papila abu-abu merah muda dari
jaringan granulasi. Pada waktunya, pembentukan parut sepanjang
saluran ini menjadi dapat dipalpasi. Sonde kadang-kadang dapat
dimasukkan melalui fistula ke dalam linea pektineus. Biasanya tidak
nyeri. Pada colok dubur umumnya fistel dapat diraba antara telunjuk
di anus (bukan di rectum) dan ibu jari di kulit perineum sebagai
tali setebal kira-kira 3 mm (colok dubur bidigital). Jika fistel
agak lurus dapat disonde sampai sonde keluar di kripta asalnya3.
Fistel perineum jarang menyebabkan gangguan sistemik. Fistel kronik
yang lama sekali dapat mengalami degenerasi maligna menjadi
karsinoma planoseluler kulit.Fistula dicurigai apabila : discharge
persisten pada tempat drainase abses ; ditemukan organisme usus
dari hasil kultur ; abses terjadi rekuren ; terdeteksi adanya
indurasi baik secara klinis atau di fistula5.
2.8 Diagnosis Anamnesis , pemeriksaan fisk, dan pemeriksaan
penunjang berperan dalam menentukan diagnosis perianal 1. Anamnesis
Pada anamnesis dapat kita nilai dari faktor resiko seperti usia,
jenis kelamin. Adanya pengeluaran discharge dari anus biasanya
menjadi keluhan tersering. Sedangkan riwayat abses perianal yang
sering kambuh dengan selang waktu disertai dengan pengeluaran nanah
sering dijumpai. Adanya ulkus, kemerahan dan iritasi di kulit
sekitar anus, dan general malaise. Meskipun demikian perianal
fistula sering asymptomatik4.
2. Pemeriksaan FisikTemuan pemeriksaan fisik tetap menjadi
andalan diagnosis. Pada pemeriksaan fisik di daerah (dengan
pemeriksaan digital/rectal toucher) ditemukan satu atau lebih
eksternal opening fistula atau teraba adanya fistula di bawah
permukaan kulit. Pada umumnya fistula akan teraba pada telunjuk
jari di anus dan ibu jari di kulit perineum sebagai tali setebal
kira-kira 3mm. Eksternal opening fistula tampak sebagai bisul (bila
abses belum pecah) atau tampak sebagai saluran yang dikelilingi
oleh jaringan granulasi. Internal opening fistula dapat dirasakan
sebagai daerah indurasi/nodul di dinding anus setinggi garis
dentata. Terlepas dari jumlah eksternal opening, terdapat hampir
selalu hanya satu internal opening5. 3. Pemeriksaan PenunjangPada
pemeriksaan laboratorium tidak terdapat pemeriksaan spesifik untuk
penyakit ini. Pemeriksaan harus dilengkapi dari rektoskopi untuk
menentukan adanya penyakit di rektum, seperti karsinoma atau
proktitis TBC, amuba, atau morbus Chron. Fistulografi kadang
berguna pada keadaan kompleks. Dalam hal ini mengacu pada hukum
Goodsall yang menguraikan lima poin dasar dalam menilai fistula
yaitu; lokasi dari internal opening (sebuah fistula tidak akan
dapat diobati jika hal ini tidak dapat di identifikasi) ; lokasi
dari external opening ; jalan primary track fistula ; adanya
penyebaran sekunder ; adanya komplikasi penyakit
lain1,2,3.Pemeriksaan radiologi bukanlah pemeriksaan rutin untuk
evaluasi fistula. Pemeriksaan dilakukan untuk membantu saat dari
bukaan primer/internal sulit diidentifikasi atau pada kasus fistula
rekuren atau fistulae multipel untuk mengidentifikasi traktus
sekunder atau bukaan primer yang terlewatkan3. Fistulografi dapat
dilakukan dengan menginjeksi zat kontras melalui bukaan internal
yang kemudian diikuti dengan x-ray anteroposterior, lateral, dan
oblik untuk melihat jalannya traktus fistula.Prosedur ini mempunyai
tingkat akurasi 16-48 % dan membutuhkan kemampuan untuk
memvisualisasi bukaan internal.Jaringan granulosa dan materi
purulen di dalam traktus fistula seringkali mengobstruksi aliran
kontras menuju perpanjangan fistula sehingga dapat memberikan
gambaran yang salah.Yang lebih menambah kesulitan adalah tidak
adanya patokan anatomis dalam melihat fistula pada pemeriksaan
ini4. CT-scan yang dilakukan dengan kontras intravena dan rektal
merupakan metode noninvasif untuk melihat ruang
perirektal.Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengidentifikasi
abses-abses anorektal dengan letak dalam, tapi jarang digunakan
sebagai evaluasi preoperatif fistula ani. CT-scan mempunyai
resolusi yang kurang baik dalam memberi gambaran jaringan lunak
sehingga sulit memberikan gambaran fistula berkaitan dengan
otototot levator dan sfingter khususnya pada potongan aksial4. USG
endoanal dilakukan untuk menentukan hubungan antara traktus primer
dengan sfingter anal, untuk menentukan apakah fistula sederhana
atau kompleks dengan perpanjangan, dan untuk menentukan lokasi
bukaan primer.Transduser dimasukkan ke dalam kanalis analis
kemudian hidrogen peroksida dapat dimasukkan melalui bukaan
eksternal. USG endo anal memberikan gambaran yang baik dari daerah
anal dan sangat akurat dalam mengidentifikasi pengumpulan cairan
dan traktus fistula. Akan tetapi identifikasi dari bukaan internal
masih sukar.Bahkan dengan penggunaan hidrogen peroksida yang masih
sering terasa agak sulit. Pada beberapa penelitian, pemeriksaan ini
50% lebih baik dalam menemukan bukaan internal yang sulit daripada
pemeriksaan fisik saja3,4. MRI mempunyai resolusi jaringan yang
bagus dan kapabilitas multiplanar sehingga sangat akurat dalam
mengidentifikasi bukaan internal dan traktus fistula.Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa hasil MRI 80-90% mendekati penemuan
saat operasi.Hal ini membuat MRI menjadi pilihan utama dalam
mengidentifikasi fistulae yang kompleks.Walaupun terlihat lebih
baik daripada USG dalam mengevaluasi fistula ani, namun USG lebih
murah dan dapat digunakan saat operasi sedang berlangsung dalam
kamar operasi3,4.
2.9 Diagnosis Banding Hidradenitis SupuratifHidradenitis
merupakan radang kelenjar apokrin. Hidradenitis Supuratif (HS)
adalah suatu keadaan kronik, yaitu infeksi kelenjar apokrin yang
berhubungan dengan axilla dan regio anogenital.HS biasanya
membentuk fistula multipel subkutan yang sering ditemukan di
ketiak, lipat paha, perianal dan umumnya tidak meluas ke struktur
yang lebih dalam. Faktor predisposisi HS disebutkan sebagai
obesitas, perokok, penggunaan deodorant, mencukur rambut pada
axilla, hyperhidrosis, recurrent folliculitis1,4,7.Pada Seseorang
dengan HS sering didahului oleh trauma/mikrotrauma, seperti banyak
keringat, pemakaian deodoran, atau pencabutan rambut ketiak. Pada
pemeriksaan fisis didapatkan awalnya akan muncul abses yang
berbatas tegas, tanpa bekas luka dan tanpa adanya saluran sinus.
Kemudian akan terbentuk bekas luka akibat bekas garukan serta abses
berulang. Selanjutnya lesi akan menyatu membentuk skar serta adanya
inflamasi dan discharge saluran sinus7. Terdapat kriteria
diagnostik HS menurut the 2nd International Conference on
Hidradenitis supurativa, March 5, 2009, San Francisco, CA US
adalah: Lesi yang khas berupa nodul yang nyeri blind boild pada
lesi yang akut: abses, sinus dan tombstone serta komedo terbuka
pada lesi sekunder Topografi yang khas : pada region axilla,
pangkal paha, perineum dan region perianal, bokong dan area lipatan
infra mammae dan intermammae. Kronik dan berulangTerdapat beberapa
pemeriksaan penunjang berupa tes laboratorium, dimana akan
ditemukan leukositosi, peningkatan sedimentasi eritrosit, dan
peningkatan C-Reaktif Protein (CRP). Radiologi berupa
ultrasonografi dilakukan pada dermis dan folikel untuk melihat
formasi abses dan kelainan bagian profunda dari folikel. Pada
histopatologi akan ditemukan lesi awal dengan tanda ada sumbatan
keratinosa dalam duktus apokrin atau orifisium folikel rambut dan
distensi kistik folikel. Proses ini meluar ke kelenjar apokrin.
Dapat pula ditemukan hyperkeratosis, folikulitis aktif atau abses,
pembentukan traktus sinus, fibrosis dan granuloma 7.
Gambar 2.5 Hidradenitis Supuratif
Pengobatan yang diberikan pada pasien dengan HS berupa
antibiotic topical, oral, kortikosteroid, isotretionin oral,
radioterapi, dan manajemen operatif pada abses akut dan kronik yang
rekuren dengan nodul fibrotic atau sinus tract, Pengobatan
definitive membutuhkan eksisi komplit yang melibatkan daerah yang
terkena 1,7. Sinus pilonidalis terdapat hanya di lipatan
sakromakoksigeal dan berasal dari sarang rambut dorsal dari tulang
koksigeus atau ujung tulang sakrum1. Sinus poilonidalis sering
mengenai dewasa muda dan jarang ditemukan pada anak-anak dan orang
diatas 40 tahun. Kejadian pada laki-laki lebih tinggi dibanding
pada perempuan, juga pada mereka yang memiliki rambut pada tubuh
yang banyak. Adapaun predisposisi penyakit ini berupa aktivitas
lebih sering duduk, obesias, adanya trauma pada kulit, iritasi
kulit yang sering, adanya riwayat keluarga dengan keluhan
serupa.Mereka dengan sinus pilonidalis biasanya mengeluhkan nyeri
dan muncul bengkak pada lipatan pantat yang berubah menjadi abses
dalam beberapa hari. Pada fase akut penatalaksanaan yang disarankan
adalah insisi drainase, sedangkan pada infeksi kronis dilakukan
wide excision.
2.10 Penatalaksanaana. Abses Perianal Antibiotik mempunyai
peranan yang sedikit karena tidak dapat penetrasi ke dalam pus, dan
seringkali terdapat nekrosis jaringan lemak. Abses akut membutuhkan
drainase bedah. Tidaklah bijaksana untuk melakukan sesuatu lebih
jauh lagi meskipun kita mencurigai adanya fistula, bengkak dan
hiperemis menutupi lokasi yang tepat dari sphincter. Pus harus
selalu dikirim untuk pemeriksaan mikrobiologik karena keberadaan
organisme usus mengindikasikan kecenderungan adanya fistula4. b.
Manajemen FistulaPrinsip umum dalam penanganan bedah fistula ani
adalah untuk menghilangkan fistula, mencegah rekurens, dan untuk
memelihara fungsi sfingter. Keberhasilan biasanya ditentukan oleh
identifikasi muara primer dan memotong otot dengan jumlah yang
paling minimal. Perencanaan akan bergantung pada lokasi fistula dan
kerumitannya, serta kekuatan otot sfingter pasien. Pengelolaan
berdasar pada eradikasi sepsis dengan seoptimal mungkin menjaga
fungsi anal. Jalur fistula harus dibuka dan diizinkan untuk sembuh
dari dasarnya. Mayoritas fistula superfisial dan intersphincter
(85%) langsung dapat diatasi. Sisanya (transfingterik dan
suprasfingterik) jauh labih sulit dan membutuhkan perawatan
spesialis. Biasanya perawatannya lebih lama; dilakukan secara
bertahap untuk mencegah kerusakan sfingter. Operasi bertujuan
menginsisi di atas saluran fistula, meninggalkan insisi tesebut
terbuka untuk bergranulasi nantinya. Biasanya dicapai dengan
menempatkan sonde melalui kedua muara fistula dan memotong di atas
sonde. Jika fistula mengikuti perjalanan yang mengharuskan
pemotongan sfingter, maka insisi harus memotong serabut otot tegak
lurus dan hanya pada satu tingkat. Akan timbul inkontinensia, jika
otot terpotong lebih dari satu tempat3. Benang yang halus
monofilamen (seton) sering ditaruh melalui jalur primer di sekitar
sfingter eksterna sebagai drain sementara luka lebar di sebelah
exterior striated muscle dari sfingter eksternus mengalami
penyembuhan4. 1. Fistulotomy Pertama-tama dilakukan pelacakan untuk
mencari muara interna fistula. Lalu, dilakukan pemotongan dan
membiarkan jalurnya dalam keadaan terbuka, mengkuretnya
(mengeluarkan isinya), lalu menempelkan sisinya ke sisi yang
diinsisi sehingga fistula dibiarkan terbuka (diratakan)
flattenedout. Untuk memperbaiki fistula yang lebih rumit, seperti
horshoe fistula (dimana jalurnya melewati sekitar dua sisi tubuh
dan mempunyai muara eksternal pada kedua sisi dari anus), dokter
bedah dapat membiarkan terbuka hanya pada segmen dimana jalurnya
bersatu dan mengeluarkan jalur sisanya. Jika sejumlah banyak otot
sfingter yang harus digunting, pembedahan dapat dilakukan dalam
lebih dari satu tahap dan harus diulang jika seluruh saluran belum
dapat ditemukan. Teknik dibiarkan terbuka (Fistulotomi) berguna
pada mayoritas perbaikan fistula. Pada prosedur ini, dimasukkan
probe melalui fistula (melalui kedua muara), dan kulit yang
menutupinya, jaringan subkutis, dan otot sfingter dipisahkan, oleh
sebab itu membuka salurannya. Kuretasi dilakukan untuk memindahkan
jaringan granulasi pada dasar saluran. Teknik ini dilakukan secara
hati-hati untuk menghindari terlalu banyak menggunting sfingter
(yang dapat menyebabkan inkontinensia). Fistulotomi dibiarkan
menutup secara sekunder2. Pada fistel dapat dilakukan fistulotomi
atau fistulektomi. Dianjurkan sedapat mungkin di lakukan
fistulotomi, artinya fistel dibuka dari lubang asalnya sampai ke
lubang kulit. Luka dibiarkan terbuka sehingga menyembuh mulai dari
dasar per sekundam intentionem. Lukanya biasanya akan sembuh dalam
waktu agak singkat. Kadang dibutuhkan operasi dua tahap untuk
menghindari terpotongnya sfingter anus4.2. Flap Rektal Terkadang,
untuk mengurangi jumlah otot sfingter yang digunting, dokter bedah
dapat mengeluarkan jalurnya dan membuat flap ke dalam dinding
abdomen untuk mencapai dan mengeluarkan muara fistula interna. Flap
nya kemudian ditempelkan ke belakang6.
3. Penempatan Seton Fungsi dari pada penempatan seton adalah
untuk menciptakan jaringan parut di sekitar otot sphincter sebelum
memotongnya dengan pisau ; mengizinkan seton untuk secara lambat
memotong seluruh jalur melalui otot selama beberapa minggu ; seton
juga dapat membantu drainase fistula. Pada pasien dengan fistula
kompleks, fistula rekuren, penyakit Crohn, keadaan
imunokompromised, seton dapat digunakan sendiri, atau kombinasi
dengan fistulotomi. Seton dibuat dari benang silk yang besar,
penanda silastik, atau pita karet, yang dipasang pada saluran
fistula dan menyediakan tiga tujuan. Yang pertama, kita dapat
melihat langsung ke saluran, sebagai drain dan pemicu fibrin, dan
juga memotong melalui fistula. oleh sebab itu, seiring waktu,
sejalan dengan terjadinya fibrosis diatas seton. Secara perlahan
memotong melalui otot sfingter, dan menampakkan saluran. Seton
diketatkan selama kunjungan ke poli sampai ia ditarik selama lebih
dari 6-8 minggu. Keuntungan pemakaian seton, adalah bahwa
fistulotomi bertahap ini mengizinkan untuk pembelahan progresif
dari otot sfingter, menghindari terjadinya komplikasi
inkontinensia2. Gambar 2.5 Penempatan Seton4. Lem fibrin atau
sumbat kolagen Pada beberapa kasus, dokter dapat menggunakan lem
fibrin, terbuat dari protein plasma, untuk menyumbat dan
menyembuhkan fistula daripada memotong dan membiarkannya terbuka.
Dokter menyuntikkan lem melalui lubang eksterna setelah
membersihkan salurannya lebih dahulu dan menempelkan lubang yang di
dalam agar tertutup. Saluran fistula dapat juga disumbat dengan
protein kolagen dan kemudian ditutup6. Pada fistel dapat dilakukan
fistulotomi atau fistulektomi. Dapat dianjutkan sedapat mungkin
dilakukan fistulotomi, artinya fistel dibuka dari lubang asalnya
sampai ke lubang kulit. Luka dibiarkan terbuka sehingga
menyembuhkan mulai dari dasar per sekundam intentionem. Lukanya
biasanya akan sembuh dalam waktu agak singkat. Kadang dibutuhkan
operasi dua tahap untuk menghindari terpotongnya sfingter
anus1.
2.11 KomplikasiKomplikasi dapat terjadi langsung setelah operasi
atau tertunda. Komplikasi yang dapat langsung terjadi antara lain:
perdarahan, impaksi fecal, hemorrhoid. Komplikasi yang tertunda
antara lain adalah: Inkontinensia, munculnya inkontinensia
berkaitan dengan banyaknya otot sfingter yang terpotong, khususnya
pada pasien dengan fistula kompleks seperti letak tinggi dan letak
posterior. Drainase dari pemanjangan secara tidak sengaja dapat
merusak saraf-saraf kecil dan menimbulkan jaringan parut lebih
banyak. Apabila pinggiran fistulotomi tidak tepat, maka anus dapat
tidak rapat menutup, yang mengakibatkan bocornya gas dan feces.
Risiko ini juga meningkat seiring menua dan pada wanita ; Rekurens,
terjadi akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukaan primer atau
mengidentifikasi pemanjangan fistula ke atas atau ke
samping.Epitelisasi dari bukaan interna dan eksterna lebih
dipertimbangkan sebagai penyebab persistennya fistula.Risiko ini
juga meningkat seiring penuaan dan pada wanita; Stenosis analis ;
Proses penyembuhan menyebabkan fibrosis pada kanalis anal;
Penyembuhan luka yang lambat, penyembuhan luka membutuhkan waktus
12 minggu, kecuali ada penyakit lain yang menyertai (seperti
penyakit Crohn).Sedangkan komplikasi yang dapat disebabkan oleh
perianal fistula adalah Fournier ganggren. Fournier ganggren
diketahui sebagai suatu kegawatan urologi dengan onset mendadak ,
cepat berkembang dan bisa menjadi gangrene yang luas hingga
menyebabkan septikemia. Penyakit ini merupakan bentuk dari fasitis
nekrotikan yang terdapat di sekitar genitalia eksterna yang
disebabkan akibat infeksi kolorectal (13%-50%) , infeksi dari
urogenitalia (17 % -87%) dan sisanya adalah trauma lokal atau
infeksi kulit di sekitar genitalia. Kelainan kolorectal yang sering
menyebabkan terjadinya fournier gangren adalah abses perianal,
perirektal, atau isiorektal dan perforasi kanker kolon,
instrumentaasi atau divertikulitis. Sehingga fournier ganggren
merupakan salah satu komplikasi dari perianal fistula yang
merupapakan suatu kegawatan urologi7.
2.12 PrognosisFistel dapat kambuh bila lubang dalam tidak turut
dibuka atau dikeluarkan, cabang fistel tidak turut dibuka , atau
kulit sudah menutup luka sebelum jaringan granulasi mencapai
permukaan. Fistel dapat kambuh bila lubang dalam tidak turut dibuka
atau dikeluarkan, cabang fistel tidak turut dibuka, atau kulit
sudah menutup luka sebelum jaringangranulasi menempel permukaan.
Setelah fistulotomy standar, tingkat kekambuhan dilaporkan adalah
0-18% dan tingkat dari setiap inkontinensia tinja adalah 3-7%.
Setelah menggunakan Seton, melaporkan tingkat kekambuhan adalah
0-17% dantingkat dari setiap inkontinensia feses adalah 0-17%.
Setelah flap, tingkat kekambuhan dilaporkan adalah 1-17% dan
tingkat dari setiap inkontinensia feses adalah 6-8%1.