Top Banner
11 BAB II LANDASAN TEORITIS Wiliam Wiersma (dalam Sugiyono, 2006: 58) menyatakan bahwa, teori adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik. Selanjutnya, Cooper and Schindler dalam Sugiyono (2006: 59) mengatakan, teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. Kerangka teoritis merupakan landasan pemikiran yang membantu peneliti dalam menentukan tujuan penelitian, arah penelitian, pemilihan konsep dan perumusan hipotesa (Koentjaraningrat: 1993: 21). Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang dibawa peneliti masih bersifat sementara, maka teori yang digunakan dalam penyusunan proposal juga bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan. Teori dalam penelitian kualitatif akan membantu peneliti dalam memahami konteks sosial secara luas dan mendalam (Sugiono: 2006: 240). 2.1 Multikulturalisme Ada beberapa pandangan yang telah dikemukakan oleh beberapa penulis sebelumnya mengenai multikulturalisme, seperti Suparlan (2004:117) mengatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah ideologi tentang perbedaan dalam kesederajatan. Multikulturalisme sendiri mempunyai fondasi kebudayaan dalam masyarakat yang bersangkutan, yang terwujud sebagai sebuah mozaik dari kebudayaan-kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat multikultural. Sebagai sebuah ideologi yang menekankan perbedaan dalam kesederajatan, multikulturalisme juga didukung oleh ideologi demokrasi yang di dalamnya menganut persamaan dan kebersamaan. Multikulturalisme dikembangkan dari
14

BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

Mar 06, 2019

Download

Documents

doquynh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

11

BAB II

LANDASAN TEORITIS

Wiliam Wiersma (dalam Sugiyono, 2006: 58) menyatakan bahwa, teori

adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk

menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik. Selanjutnya, Cooper and

Schindler dalam Sugiyono (2006: 59) mengatakan, teori adalah seperangkat

konsep, definisi dan proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat

digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.

Kerangka teoritis merupakan landasan pemikiran yang membantu peneliti

dalam menentukan tujuan penelitian, arah penelitian, pemilihan konsep dan

perumusan hipotesa (Koentjaraningrat: 1993: 21). Dalam penelitian kualitatif,

karena permasalahan yang dibawa peneliti masih bersifat sementara, maka teori

yang digunakan dalam penyusunan proposal juga bersifat sementara dan akan

berkembang setelah peneliti memasuki lapangan. Teori dalam penelitian kualitatif

akan membantu peneliti dalam memahami konteks sosial secara luas dan

mendalam (Sugiono: 2006: 240).

2.1 Multikulturalisme

Ada beberapa pandangan yang telah dikemukakan oleh beberapa penulis

sebelumnya mengenai multikulturalisme, seperti Suparlan (2004:117) mengatakan

bahwa multikulturalisme adalah sebuah ideologi tentang perbedaan dalam

kesederajatan. Multikulturalisme sendiri mempunyai fondasi kebudayaan dalam

masyarakat yang bersangkutan, yang terwujud sebagai sebuah mozaik dari

kebudayaan-kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat multikultural. Sebagai

sebuah ideologi yang menekankan perbedaan dalam kesederajatan,

multikulturalisme juga didukung oleh ideologi demokrasi yang di dalamnya

menganut persamaan dan kebersamaan. Multikulturalisme dikembangkan dari

Page 2: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

12

konsep pluralisme budaya (cultural pluralism) dengan menekankan kesederajatan

kebudayaan yang ada pada sebuah masyarakat. Oleh sebab itu, ulasan mengenai

multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang

mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan, penegakan

hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan

golongan minoritas, dan prinsip-prinsip etika moral. Karena dalam konteks

sebuah masyarakat ternyata persoalan tersebut tidak akan lepas dari sebuah

perbedaan.

Scott Lash (2002) juga berpendapat bahwa multikulturalisme memiliki arti

―keberagaman budaya‖. Dia berpendapat bahwa ada tiga istilah yang kerap

digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri dari

keberagaman tersebut—baik keragaman ras, suku, budaya dan bahasa yang

berbeda-beda—yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan

multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi tersebut sesungguhnya tidak

mempresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya

―ketidaktunggalan‖. Konsep pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih

dari satu (many) keragaman menunjukan bahwa keberadaan yang lebih dari satu

itu berbeda-beda, heterogen dan bahkan tidak dapat disamakan.

Menurut Bikhu Parekh (2001), istilah multikulturalisme mengandung tiga

komponen, yakni, pertama; konsep ini terkait dengan kebudayaan. Kedua, konsep

ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan. Dan ketiga, konsep ini mengandung

cara tertentu untuk merespon pluralitas itu. Oleh sebab itu, multikulturalisme

bukan doktrin politik pragmatik, melainkan sebagai cara pandang atau semacam

ideologi dalam kehidupan manusia.

2.1.1 Etnis

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, sehingga bangsa

Indonesia merupakan salah satu bangsa yang sangat kaya akan kebudayaan.

Keragaman budaya, bahasa, suku, ras dan agama yang dimiliki oleh bangsa ini

Page 3: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

13

bisa diamati dari wilayah Sabang sampai Merauke dan bisa diamati melalui

produk-produk budaya yang dihasilkan oleh setiap suku bangsa di Indonesia.

Masyarakat Indonesia juga bisa dikatakan sebagai masyarakat yang pluralistik

yang berasal dari kata ―pluralisme ” (Soekanto, 1984 : 48). Sebenarnya istilah ini

pada awalnya lebih digunakan untuk menggambarkan suatu sistem politik

tertentu, yang diperlukan didalam negara yang kompleks untuk menerapkan

demokrasi, sebab dalam sistem demokrasi selalu ditandai dengan pembagian

kekuasaan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang efektif antara golongan-

golongan tertentu dalam masyarakat , dengan maksud mengadakan kompetisi

yang sehat. Namun seiring berjalannya waktu, istilah tersebut dipergunakan dan

diterapkan pada masyarakat –masyarakat yang mencakup aneka ragam suku

bangsa. Dan keaneka ragam suku bangsa inilah yang disebut sebagai Kelompok/

komunitas etnis (ethnic-group) yang masing-masing mempunyai kebudayaan

khusus (sub-culture). Suku bangsa itu sendiri merupakan kesatuan-kesatuan

manusia yang sangat terikat oleh kesadaran dan kesatuan sistem sosial dan

kebudayaan (yang selalu didukung oleh bahasa dan pola komunikasi tertentu

dalam komunitas–komunitas etnis dan suku bangsa tersebut).

J. Jones (dalam Liliweri 2007) mendefinisikan etnis atau sering disebut

Kelompok/ Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub kelompok

manusia) yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur

atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa,

bahkan peran dan fungsi tertentu.

2.1.2 Kebudayaan

Menurut bahasa Antropologi, ―kebudayaan merupakan seluruh sistem

gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan

bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar‖. Dengan demikian,

hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena jumlah tindakan yang

dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakan dengan

Page 4: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

14

belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang dilakukan

akibat suatu proses yang panjang).

Kata ―budaya‖ berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan

bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti ―budi‖ atau ―akal‖ (Koentjaraningrat

2003: 73-74). Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai ― hal-hal yang berkaitan

dengan budi atau akal‖. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang

sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata ―colere‖ yang artinya adalah

―mengolah atau mengerjakan‖, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan

mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi

culture diartikan sebagai ―segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan

mengubah alam‖. Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871),

memberikan definisi mengenai kebudayaan yaitu ―kebudayaan adalah kompleks

yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,

kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia

sebagai anggota masyarakat‖.

Antropolog ini menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang

didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup

segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak. Selanjutnya Soekanto

menambahkan bahwa penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan

tertentu, akan sangat tertarik dengan objek dan subjek kebudayaan seperti rumah-

rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi maupun proses komunikasi itu

sendiri (Soekanto, 1974 : 40). Taylor selanjutnya menjelaskan juga bahwa

kebudayaan yang merupakan kompleks menyeluruh yang mencakup pengetahuan,

kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta

kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai warga negara dari suatu masyarakat ,

selalu mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat (Soekanto, 1984 : 158).

Pola hidup yang ditafsirkan oleh penulis adalah pola bagaimana masyarakat

berkomunikasi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, terlebih

Page 5: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

15

masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Definisi lain yang mendukung

penjelasan sebelumnya adalah Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari

sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-sombol

yang mereka terima tanpa sadar/tanpa dipikirkan, yang semuanya diwariskan

melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi

berikutnya (Liliweri, 2007 : 8).

Berikut definisi Kebudayaan dari Larry A. Samovar dan Richard E. Porter

(Samovar & Porter 2003 : 8):

Culture as the deposit of knowledge, experience, beliefs, values,

attitudes, meanings, social hierarchies, religion, notions of time,

roles, spatial relationships, concepts of the universe, and material

objects and possessions acquired by a group of people in the

course of generations through individual and group striving

(Kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman,

kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi

ruang, pandangan terhadap alam semesta, dan objek material atau kepemilikan

yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi).

2.2 Teori Konflik dan Manajemen Konflik

2.2.1 Konflik

Sebuah pepatah Cina mengatakan, ―Jika anda tidak pernah bertikai dengan

orang lain, maka anda tidaklah akan mengenal satu sama lain‖. Jika dimaknai

dengan benar, pepatah Cina tersebut tentunya tidaklah mengajarkan kita untuk

bertikai, akan tetapi adakalanya juga dengan bertikai kita akan dapat mengenal

karakter, budaya, kehebatan dan kemampuan orang lain.

Perspektif konflik pertama kali dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883).

Dasar pemikirannya adalah pandangan yang menyatakan bahwa telah terjadi

ekploitasi kelas besar-besaran sebagai penggerak utama dalam kekuatan-kekuatan

sejarah. Ketika berbicara mengenai konflik, maka akan ada banyak definisi dan

Page 6: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

16

pengertian mengenai konflik misalnya konflik bisa diartikan sebagai pertentangan,

peperangan, perkelahian, kerusuhan, dan masih banyak lagi definisi mengenai

konflik dengan berbagai macam sudut pandang. Merujuk pada definisi Park dan

Burgess mengatakan bahwa secara sederhana konflik merupakan perjuangan

untuk mendapatkan status. Status yang dimaksudkan disini adalah status sosial

yang terdapat dalam klasifikasi masyarakat tertentu. Status ini tentu saja berkaitan

dengan kedudukan dan prestise seseorang dalam masyarakat.

Namun Mack dan Snyder menambahkan bahwa Ia tidak hanya

memperjuangkan status tetapi juga memperoleh sumber daya yang langka dan

mewujudkan perubahan sosial yang signifikan. Dengan demikian maka konflik

digambarkan disini sebagai situasi dimana para aktor menggunakan perilaku

konflik melawan pihak lain untuk mencapai tujuan yang bertentangan dan atau

untuk menyatakan permusuhan mereka. Aktor disini tidak dibatasi pada individual

saja, melainkan pada kelompok atau pun dalam penelitian ini adalah komunitas

(Bartos, 2002 : 13). Ketika berbicara mengenai konflik, maka perlu diperhatikan

hal-hal yang menyebabkan terjadinya konflik. Pada awal tulisan ini, sudah

dijelaskan secara singkat bahwa persoalan ekonomi sering menjadi faktor pemicu

terjadinya konflik. Widarto, (2003: 30-31) mengemukakan bahwa konflik adalah

pertentangan dan terdapat empat faktor penyebab terjadinya konflik yaitu :

1. Perbedaan antar orang per orang. Perbedaan pendirian dan perasaan

mungkin menyebabkan bentrokan antar orang per orang.

2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang per orang

tergantung pula dari pola kebudayaan yang menjadi latar belakang

pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seorang secara

sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh pola

pemikiran dan pola pendirian dari kelompoknya. Selanjutnya keadaan

tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya pertentangan antar kelompok

manusia.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

17

3. Bentrokan antar kepentingan. Bentrokan kepentingan orang-orang

maupun kelompok manusia merupakan sumber lain dari konflik atau

pertentangan. Wujud dari kepentingan tersebut misalnya kepentingan

dalam bidang ekonomi, politik, dan sebagainya.

4. Perubahan Sosial. Perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat, untuk

sementara waktu mengubah sistem nilai dalam masyarakat dan

menyebabkan terjadinya berbagai golongan yang berbeda pendiriannya

mengenai reorganisasi dari sistem nilai.

Berdasarkan empat point diatas maka penulis akan memfokuskan penelitian

ini pada persoalan perbedaan kebudayaan dimana hal ini selalu menjadi kajian

yang utama terhadap proses komunikasi antar budaya. Para psikolog berpendapat

bahwa konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antara nilai atau

tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu, maupun

dalam hubungannya dengan orang lain (Killman & Thomas,1978, dalam Haryati

2001 : 9). Selanjutnya Scuyth (dalam Haryati 2001 : 9) melihat konflik dari sisi

hukum, mengemukakan bahwa konflik adalah situasi (keadaan) dimana dua atau

lebih pihak memperjuangkan tujuan-tujuan mereka masing-masing yang tidak

dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain

mengenai kebenaran tujuannya sendiri.

Menurut Simmel, konflik berguna untuk membentuk dan mempertahankan

identitas dan garis batas masyarakat dalam kelompok. Konflik dengan kelompok

lain mendukung pembentukan dan penegasan identitas kelompok tersebut

terhadap dunia sosial disekitarnya.

Sedangkan menurut Webster 1996 (dalam Prurit, 2004) dikatakan bahwa

istilah konflik ―conflict‖ di dalam bahasa aslinya berarti suatu ―perkelahian,

perperangan atau perjuangan‖--- yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa

pihak. Akan tetapi nampaknya kata itu kemudian berkembang dengan masuknya

―ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan

Page 8: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

18

lain-lain‖. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek

psikologis dibalik konfrontasi fisik yang terjadi, istilah ―conflict‖ menjadi begitu

meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.

2.2.2 Teori Konflik

Wirawan (2010), mengatakan bahwa konflik merupakan salah satu esensi

dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang

beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi,

sistem hukum, bangsa, suku, agama dan kepercayaan, aliran politik serta budaya

dan tujuan hidupnya. Dan dalam sejarah umat manusia, perbedaan inilah yang

selalu menimbulkan konflik. Dan konflik merupakan proses pertentangan yang

diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai

obyek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang

menghasilkan keluaran konflik.

Sedangkan Fisher dkk (2001) mengatakan bahwa konflik adalah suatu

kenyataan hidup yang tidak terhindarkan dan konflik merupakan hubungan antara

dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa

memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Menurut Fisher dkk, ada 6 (enam)

teori yang dapat digunakan untuk memahami penyebab konflik, yang diantaranya:

1. Teori hubungan masyarakat, teori ini menganggap bahwa konflik

disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan

permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.

2. Teori negoisasi prinsip. Teori ini menganggap bahwa konflik

disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan

pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.

3. Teori kebutuhan manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang

berakar dapat disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia—fisik, mental

dan sosial—yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas,

pengakuan, partisipasi dan otonomi sering menjadi inti pembicaraan.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

19

4. Teori Identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan karena

identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu

atau penderitaan di massa lalu yang tidak terselesaikan.

5. Teori kesalah-pahaman antar budaya. Teori ini berasumsi bahwa

konflik disebabkan oleh ketidak-cocokan dalam cara-cara komunikasi

diantara berbagai budaya yang berbeda.

6. Teori transormasi konflik. Teori ini berasumsi bahwa konflik

disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan

yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Dalam hal tersebut, Fisher juga berpendapat bahwa ada beberapa hal yang

melatar belakangi sebuah konflik, diantaranya:

1. Kekuasaan. Kekuasaan adalah unsur penting dalam setiap masalah

manusia: suatu konflik sering berpusat pada usaha untuk memperoleh

kekuasaan yang lebih besar atau kekawatiran akan kehilangan

kekuasaan.

2. Budaya. Budaya sangat menentukan cara seseorang dalam berfikir dan

bertindak. Masyarakat menghormati budayanya sendiri, dan sering

mempertahankan dalam menghadapi pengaruh-pengaruh dari luar.

Konflik bisa terjadi karena ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi

diantara berbagai budaya yang berbeda.

3. Identitas. Identitas diperoleh dari rasa memiliki suatu budaya. Dalam

konflik, apa yang dirasakan orang mengenai siapa diri mereka dapat

berubah dan menjadi sumber kekuatan untuk melakukan peningkatan.

Pada waktu yang sama, cara pandang orang lain terhadap satu individu

lain atau kelompok dapat berubah menjadi sebuah cara pandang

serangan.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

20

4. Hak-hak. Merupakan dimensi konflik sosial dan politik yang vital.

Pelanggaran hak dan perjuangan untuk menghapuskan pelanggaran ini,

merupakan dasar dari berbagai konflik kekerasan.

William Hendricks (1996) berpendapat bahwa konflik biasanya dilatar-

belakangi oleh perbedaan-perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu

interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,

kepandaian, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa

sertanya ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang

wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satupun yang tidak pernah mengalami

konflik antar anggotanya atau dengan kolompok masyarakat yang lainnya. Dan

konflik hanya akan hilang bersama dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Menurut Liliweri (2005), konflik yang terjadi antar etnis ada beberapa

definisi yang diantaranya:

1. Suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan individu atau

kelompok yang berbeda etnis (suku, agama, ras, dan golongan) karena

memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai kebutuhan.

2. Hubungan antar dua etnis atau lebih (individu/kelompok) yang

memiliki/ merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu namun diliputi

pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan.

3. Bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu/kelompok

etnis baik intra etnis maupun antar etnis yang memiliki perbedaan

sikap, norma, dan kepercayaan.

4. Pertikaian antar etnis yang disebabkan karena perbedaan kebutuhan

nilai, motivasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya.

5. Suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua etnis /lebih secara

antagonis.

Liliweri juga menambahkan bahwa ada empat unsur-unsur konflik yang

diantaranya adalah sebagai berikut:

Page 11: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

21

1. Ada dua etnis atau lebih yang terlibat. Ada interaksi antar personal

maupun antar kelompok diantara mereka yang terlibat.

2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik antar etnis, tujuan itu yang

menjadi sumber konflik.

3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan antar etnis dalam kerangka

konflik untuk mendapatkan atau mencapai tujuan atau sasaran.

4. Ada situasi konflik antara dua etnis atau lebih yang bertentangan,

meliputi situasi antar pribadi, kelompok dan antar organisasi.

Webster (dalam Pruit dan Rubin, 2009) mengatakan bahwa istilah ―conflict‖

di dalam bahasa aslinya berarti perkelahian, peperangan, perjuangan, yang berupa

konfrontasi fisik antara beberapa pihak.

Sehingga, dari beberapa penjelasan mengenai konflik oleh beberapa penulis

seperti yang telah dikatakan diatas, peneliti dalam hal ini dapat menyimpulkan

bahwa konflik merupakan sebuah persoalan yang timbulnya disebabkan oleh

karena pemahaman yang tidak sejalan, ego diri yang terlalu tinggi, watak adat

isitadat yang keras dan latar belakang individu atau kelompok yang dalam kondisi

tertentu melakukan persinggungan dan melukai, rasa dan perasaan sehingga

menyebabkan masing-masing pihak tidak dapat menerima kondisi yang dialami

dan memutuskan untuk menyelesaikan persoalan dengan watak, karakter, budaya

dan cara yang mereka miliki masing-masing.

2.2.3 Manajemen Konflik

Dalam hal persoalan konflik, sangat perlu sekali dilakukan manajemen,

seperti yang dikatakan oleh Alice Pescuric (dalam Wirawan, 2010), mengelola

konflik merupakan urutan ke-7 dari 10 prioritas kegiatan seorang manajer dalam

sebuah kepemimpinananya. Dalam menjalankan kehidupan pasti akan

menghadapi konflik, dan konflik tersebut dapat terjadi yang disebabkan oleh

beragam hal, seperti konflik antar anggota organisasi, atau konflik dengan pihak

luar. Sehingga sangat diperlukan sebuah manajemen konflik dalam berkehidupan.

Page 12: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

22

Menurut P3PK UGM (1997) seperti yang dikutip oleh Ali Imron, untuk

dapat memanajemen konflik diperlukan beberapa pendekatan seperti salah

satunya adalah pendekatan multikultural, karena pendekatan multikultural lebih

mengakui hak individu untuk tetap mengekspresikan identitas budayanya sesuai

dengan latar belakang masing-masing, termasuk jender, dengan bebas. Selain itu,

dalam pendekatan multikultral terdapat tiga perspektif dalam pengembangannya,

yaitu: Pertama, Perspektif Cultural Assimilation, model yang menunjukan pada

proses asimilasi warga masyarakat subnational kedalam suatu core culture atau

core society. Kedua, Perspektif Cultural Pluralisme, perspektif yang menekankan

pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat subnational untuk

memelihara dan mempertahankan identitas kultural masing-masing dan Ketiga,

Perspektif cultural Synthesis, dimana perspektif ini merupakan sintesis dari

perspektif asimilationis dan pluralis, yang lebih menekanan pentingnya proses

terjadinya sintesis di dalam diri warga masyarakat dan terjadinya perubahan

dalam berbagai kebudayaan masyarakat subnational.

Adapun maksud dari pendekatan multikultural dalam kajian tersebut adalah

pendekatan yang menggunakan matra yang berbasis pada pluralitas budaya dalam

kehidupan masyarakat yang memberikan kebebasan kepada berbagai budaya

untuk hidup berdampingan dan saling menghargai satu dengan lainnya. Gagasan

dan semangat pluralistik terasa mendasari dalam setiap analisis masalah dan

dalam mencari resolusi konflik. Dengan pendekatan demikian diharapkan kultur

etnik dan agama, bahkan golongan semuanya dapat berinteraksi secara wajar

tanpa harus dipertentangkan, masing-masing memiliki eksistensinya.

Penanganan terhadap konflik dengan pendekatan represif ataupun keamanan

(security approach) tidaklah tepat, terlebih pada masa pascareformasi. Bahkan,

pada masa-masa mendatang penanganan konflik social dengan menggunakan

senjata sama sekali tidak populer. Karena, di samping sering membawa korban

jiwa, juga sering tidak menyelesaikan permasalahan. Misalnya, fenomena yang

Page 13: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

23

terjadi di Nangroe Aceh Darussalam beberapa tahun lalu, penyelesaian konflik

dengan senjata ternyata justru banyak membawa bencana sosial seperti banyak

kekerasan seksual dan/ atau pemerkosaan terhadap kaum perempuan oleh oknum

militer yang bertugas berbulan-bulan bahkan bertahun- tahun di wilayah serambi

Mekkah itu. Perjanjian perdamaianlah yang akhirnya menyelesaikan konflik di

provinsi Indonesia paling barat itu. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan-

pendekatan yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah dengan

memerhatikan issue yang melatari konflik (Ali Imron, 2006). Oleh karenanya

penanganan terhadap konflik tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan

kekerasan, namun perlu dilakukan dengan mengedepankan pendekatan yang

mengetahui latar belakang persolan atau terjadinya konflik tersebut.

Lebih lanjut, pendekatan pemecahan masalah memperlakukan konflik

sebagai masalah dan bukan sebagai tindak kerusuhan dan kekerasan yang harus

dibasmi, terlebih memandangnya sebagai pemberontakan atau makar yang harus

diberangus sampai ke akar-akarnya, tanpa melihat akar permasalahan yang

sebenarnya. Pendekatan konflik semestinya lebih memfokuskan perhatian bukan

hanya pada perilaku konflik melainkan juga rasa tidak puas, rasa diperlakukan

tidak adil, dan seterusnya. Juga, pendekatan konflik memfokuskan pada kondisi

dan situasi yang melatari konflik yang terjadi. Ringkasnya, pendekatan konflik

harus dilakukan secara multidimensi atau dengan pendekatan holistik, di

antaranya dengan perspektif multikultural (Ali Imron, 2002). Seperti dipaparkan

di atas, bahwa pemahaman akan keberadaan konflik perlu dilakukan dengan

penyelesaian secara holistik/menyeluruh dengan memandang dari berbagai aspek

konflik tersebut. Hal itu merupakan salah satu jalan yang memungkinkan kita

untuk toleran dan terbuka untuk memasuki dan dimasuki.

Dalam beberapa pemaparan mengenai manajemen konflik diatas, dapat

disimpulkan bahwa perlunya sebuah konflik dalam lingkungan multikulturalisme

dikelola atau dimanajemeni dengan baik sehingga konflik-konflik yang terjadi

Page 14: BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8454/2/T1_352008602_BAB II.pdf · mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan,

24

dapat diminimalisir. Sedangkan dalam pendekatan-pendakatan yang digunakan

juga terdapat beberapa seperti dengan cara tindakan menghindar, kompromis,

berkolaborasi yang tentunya tidak meninggalkan pendekatan kultural dimana

setiap hak-hak yang dimiliki oleh masing-masing etnis dikelola dan diakui dengan

baik.

2.3 Argumentasi Teoritis

Dari kajian pustaka diatas pada intinya merupakan bekal peneliti sebagai

frame berpikir peneliti dalam upaya untuk berdialog secara kritis dengan fakta

empiris. Dengan konsep dasar yang digunakan seperti Multikulturisme, Konflik

dan konsep manajemen konflik diharapakan akan menjadi frame berpikir dalam

menganalisis penegelolaan konflik dalam pergaulan multikultur. Oleh karena

dalam penelitian kualitatif, sifat dari realitas bersifat holistik maka akan lebih baik

jika peneliti sebagai human instrument dalam penelitian kualitatif mempunyai

bekal teori yang cukup banyak, akan tetapi tentunya peneliti harus bersifat

―perspektif emic‖ dimana ―memperoleh data yang tidak hanya tersirat, tapi juga

yang tidak tersirat‖.

Dalam hal ini tidak semua teori akan digunakan untuk menganalisis

masalah, teori mana yang akan digunakan, akan dipilih berdasarkan tujuan

penelitian dan temuan fakta empiris di lapang. Argumentasi yang dibangun disini

adalah disisi lain konsep yang ada akan membantu kita memahami realitas secara

lebih baik, akan tetapi disisi lain akan mendistorsi pemahaman kita akan

realitas.Akan tetapi sesuai tujuan dari penelitian bahwa penelitian ini ditujukan

untuk menganalisis pengelolaan konflik dalam hal ini konflik-konflik etnis yang

ada dalam lingkungan UKSW. Dimana lebih ditekankan terhadap pendekatan-

pendekatan yang digunakan dalam penanganan (pengelolaan) konflik antar etnis,

dalam hal ini mahasiswa UKSW.